"Dulu sekitar 3 tahun yang lalu, terakhir ditinggali oleh seorang Kyai, namanya Kyai Sholeh, Neng," jawab Pak tua.
"Mereka pemilik rumah ini, bukan?"
"Bukan, cuma ngontrak juga."
"Apakah mereka diganggu sesuatu saat tinggal di sini, Pak?"
"Neng diganggu, ya?"
"Ya, Pak. Semalam malah sesosok makhluk hitam berani menampakkan dirinya," ujarnya setengah berbisik.
"Hiii...!" respon Pak tua.
"Cepet-cepet pergi aja, Neng. Cari aman," saran pemungut sampah itu.
"Keluarga Kyai itu bertahan lama gak, Pak?" tanya Sulati.
"Sekitar 6 bulan kayaknya, Neng. Bayi mereka meninggal. Terus pindah, selebihnya saya gak tau," jelasnya.
"Oh, terima kasih, Pak!" kata gadis pelayan itu.
"Sama-sama. Neng tidak membuka ketukan pintu di malam hari, 'kan?" tanya Pak tua.
"Saya gak, tapi Nyonya saya iya," jawabnya.
"Pantas makhluk itu bisa masuk dan menampakkan diri," gumamnya.
"Permisi, Neng," pamitnya kemudian.
Sulati mempersilakannya pergi agar bisa melanjutkan mengumpulkan sampah-sampah milik komplek ini.
Ia masuk kembali ke dalam rumah memasak bubur untuk Nyonya Sandra lalu membawa naik ke atas.
"Nyonya, makan dulu ya," rayu gadis pelayan.
Nyonya Sandra duduk bersandar pada tumpukkan bantal. Ia menerima mangkuk putih terbuat dari porselen yang berisi bubur ayam buatan pelayannya.
"Mbak, tadi suamiku telpon. Kuberi tahu kalau aku sakit. Katanya dia akan pulang meminta cuti mendadak. Mungkin sore atau agak malam sampai rumah," ucapnya.
Sulati tertegun dalam hati terselip rasa takut jika nanti Tuannya pulang larut malam.
"Apa yang harus aku lakukan?" pikirnya. Kejadian kemarin malam saja sudah cukup membuatnya ketakutan.
"Bagaimana jika makhluk itu masuk bersamaan dengan Tuan," pikirannya berkecamuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab.
"Nyonya, saya keluar sebentar, ya, Nya. Apakah Nyonya mau titip sesuatu?" tanya Sulati.
"Belikan paracetamol, Mbak!" pesannya.
"Baik, Nya!" jawabnya. Sulati bergegas keluar dan menuruni tangga, kemudian mengambil sepeda yang biasa digunakan untuknya belanja.
Ia ingin menemui seorang pemuka agama di komplek ini, agar bisa mengatasi kedatangan Tuan jika bertepatan datang di malam hari. Sekarang tujuannya ke apotek kecil yang terletak di depan komplek guna membeli pesanan Nyonya.
Selesai membeli paracetamol, ia bertanya kepada pemilik warung tempatnya biasa belanja.
"Bu, kyai atau ustadz di komplek ini siapa. namanya?" tanyanya.
"Oh, Kyai Ahmad Sobari. Rumahnya di samping masjid sebelah timur," jawab pemilik warung.
"Terima kasih banyak!" balasnya sambil tersenyum.
Kembali Sulati mengayuh sepedanya dengan kencang ke arah yang ditunjukkan pemilik warung.
Sampailah ia di sebuah rumah terbilang sederhana. Halamannya kecil tapi asri dengan pagar yang tanpa pintu. Sulati turun dari sepeda dan menyandarkannya di bawah pohon mangga di halaman pemilik rumah.
Ia mengetuk pintu dengan pelan.
"Assalamualaikum!" ucap Sulati.
"Wa'alaikum salam wr. wb." Dari dalam rumah terdengar suara jawaban, lalu langkah kaki mendekati pintu sebelum bunyi pintu terbuka.
"Ada apa, Neng?" Seorang wanita mengenakkan jilbab syar'i muncul dari balik pintu menanyakan maksud kedatangannya.
"Sepertinya wanita itu Bu Nyai," pikirnya mengingat wajahnya yang keibuan, Sulati menebak umurnya di antara 40-45 tahun.
"Em, anu ... Pak Kyainya ada?" tanyanya.
"Neng siapa? bukan istri sirri Pak Kyai 'kan?" tanya wanita paruh baya tersebut. Wajah Sulati terkejut mendapat tudingan barusan.
"Bu–bukan! Ma–mana mungkin saya ...." Ia tergagap.
"Bercanda, Neng! Ayo, masuk!" Perempuan bersahaja itu terkekeh, geli melihat wajah terkejut Sulati. Tentu saja orang yang baru mengenalnya akan kaget, selera humor Bu Nyai berat. Berat dimental.
Sulati menghela nafas lega tangannya mengelus dada, tersungging senyum di bibirnya.
"Bu Nyai, ada-ada saja," gumamnya.
"Duduklah!" Bu Nyai membentangkan tangan kanannya isyarat mempersilakan tamu untuk duduk di sofa sederhana miliknya. Kemudian Ia masuk ke dalam memanggil suaminya.
Seorang lelaki yang sedikit beruban dengan jenggot tipis keluar dari sebuah bilik yang tadi dimasuki Bu Nyai. Ia berjalan ke ruang tanpa melihat Sulati. Pandangannya terus saja menunduk, kadang bola matanya memandang ke arah lain, yang jelas bukan memandang wajah tamunya.
"Ada perlu apa, Neng?" tanya Pak Kyai. Sulati merasa serba salah, ia tidak biasa menghadapi cara pandang orang yang dihormati ini. Benar-benar tidak mau menatap lawan bicaranya, hanya sekilas lalu kembali menatap lain.
"Apakah aku terlalu buruk? Ataukah dandananku yang tidak menggunakan kerudung seperti Bu Nyai?" pikirnya.
"Pak Yai, tolong ajari saya cara agar tidak diganggu setan, saya takut Pak Yai, di rumah kontrakkan yang saya huni banyak demitnya." Sulati langsung menyampaikan maksud tujuannya datang ke rumah Pak Kyai. Selang beberapa menit Bu Nyai datang membawa dua cangkir teh hangat untuk dihidangkan, kemudian duduk di sebelah Pak Kyai.
Lalu Sulati menceritakan kejadian yang dialami olehnya dan Nyonya Sandra. Pak Kyai manggut-manggut mendengarkan tanpa sedikitpun menyela.
"Bisa baca Al-Qur'an?" tanya Pak Kyai.
"Belum bisa, Pak Yai," jawabnya.
"Bib*, tolong ambilkan diktat sholat dan terjemahan juz amma di lemari!" pinta lelaki berkopyah itu pada istrinya.
Bu Nyai segera bangkit dari duduknya berjalan menuju bilik dan keluar dengan membawa dua buah buku.
"Ini, Bib." Bu Nyai mengulurkan kepada suaminya.
Pak Kyai membuka juz Amma. Kemudian tangannya mengambil pena yang tersedia di tengah meja.
"Sementara kamu baca ini, namanya ayat kursi, kalau tidak bisa membaca huruf arabnya baca latinnya yang dicetak tebal. Ini saya tandai." Laki-laki yang biasa menjadi imam di masjid samping rumahnya itu membalik lagi lembaran-lembaran Juz Amma.
"Baca juga ini, namanya surat An-Nas, lalu ini, namanya surat Al-Falaq dan ini, namanya surat Al-Ikhlas. Ketiga surat ini kamu baca masing-masing 3 kali. Pagi dan sore di jam yang sama. Jangan sampai lupa. Sampai sini paham!"
"Ya, Pak Yai, terima kasih, " jawab Sulati.
"Ini belum cukup lho ya. Sebelum tidur lakukan rutinitas secara berurutan, wudhu, membaca kembali ayat kursi, dan ketiga surat sebanyak tiga kali, kedua tangan seperti orang do'a. Jika sudah selesai tiup kedua telapak tanganmu kemudian usapkan ke seluruh tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki, agar Allah senantiasa menjagamu dari hal-hal buruk." Pak Kyai menjelaskan dengan kedua tanganya ikut memperagakan apa yang harus dilakukan.
Sulati mengangguk-angguk.
"Kamu juga harus mulai shalat 5 waktu, ini aku bawakan diktat shalat, pelajarilah. Pergilah sebisanya ke masjid! InsyaAllah Bu Nyai mau mengajarimu. Ya, 'kan, Bib?" ucap Pak Kyai sambil menoleh ke istrinya.
"Ingat! Jangan biarkan lidah dan hatimu tanpa zikir! Ucapkan selalu lafal tauhid, bisa?"
"Bisa Pak Kyai, terima kasih banyak. Saya benar-benar berterima kasih atas petuahnya." Berkali-kali Sulati menundukkan kepala tanda terima kaish saat Pak Kyai mengulurkan kedua buku tadi untuk dibawanya pulang."Saya permisi, Pak Yai!" pamitnya yang dibalas dengan anggukkan.
"Assalamualaikum." Ucapan salamnya dijawab serempak oleh pasangan suami istri itu.
Sulati segera mengendarai sepedanya.
"Semoga resep pengusir setan Pak Yai mujarab," do'a Sulati di dalam hati.______
note: Bib* kepanjangan dari habibiy/habibaty, diambil dari bahasa arab yang artinya kekasihku.
Begitu sampai di rumah, Sulati menaruh sepedanya di teras, kemudian mengunci pagar. Ia masuk ke dalam rumah dan langsung naik ke lantai atas. Nyonya Sandra sedang memegang sapu tangan basah yang diletakkan pada keningnya, sementara tangan kirinya memegang ponsel. "Baru pulang, Mbak?" tanyanya sambil menoleh ke pintu melihat Sulati datang. "Iya, Nya. Ini paracetamolnya." Pelayan itu meletakkan paracetamol di atas meja kecil yang berada di samping ranjang. "Bawa buku apa itu, Mbak?" tanya Nyonya lagi. "Diktat shalat sama Juz Amma, Nya!" Mendengar jawabannya, Nyonya Sandra tersenyum meledek. "Mau tobat, Mbak?" "Iya, Nya. Takut keburu mati diterkam makhluk hitam," jawab Sulati asal-asalan. Jawaban p
Setelah mengunci kamar Nyonya Sandra, Sulati kembali menuruni tangga. Bersiap di belakang pintu sambil memejamkan mata mengigit bibirnya kuat-kuat membaca sebisa yang ia ingat di dalam hati. "Makhluk itu mungkin tidak bisa masuk dengan tubuh aslinya tapi entah jika memanfaatkan raga Tuan Dewangga. Tuhanku beri aku jalan keluar, selamatkan kami." Sulati terus memohon, hingga ketukkan pintu berubah menjadi gedoran kasar. "Bagaimana jika ia mendobrak pintu ini?" Baru saja ia berpikir seperti itu, tiba-tiba suara gebrakkan terdengar. Pintu terkuak dengan paksa, Tuan Dewangga memandang beringas menatap Sulati dengan mata merah membara. Sulati mundur beberapa langkah lidahnya mulai reflek mengucap kalimat tauhid matanya menatap tajam mata yang merah itu. Lelaki yang kerasukkan jin it
Tiga tahun yang lalu. Tok! Tok! Tok! Penghuni Kontrakkan yang baru datang dua hari yang lalu itu saling pandang. Mereka duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi. "Le*, tolong dibuka pintunya!" perintah Kyai Sholeh pada Umar, putranya yang baru berumur 18 tahun. "Nggeh, Abi," jawab Umar. Remaja yang baru pulang dari pesantren itu berdiri menuju ruang tamu untuk membukakan pintu. Ia membuka hordeng jendela kaca ruang tamu, tapi tidak terlihat siapapun di sana. "Abi, tidak ada siapa-siapa di luar!" teriak Umar sedikit keras, agar yang di ruang keluarga terdengar. "Ya, sudah kalau begitu. Tidak usah dibuka!" jawab Abinya.&
Satu bulan telah lewat tanpa ada gangguan dari makhluk jelaga. Meskipun begitu keluarga Kyai Sholeh masih senatiasa rutin membaca Al Qur'an. Hingga suatu hari yang dinanti sang mkhluk tiba. Jam 05.00 setelah subuh. "Abi, perut Umi sakit!" Umi memegangi perutnya, sambil meringis menahan rasa mulas yang datang dan pergi dalam waktu berdekatan. Abi menghentikan bacaan Al-Qur'an kala mendengar rintihan istrinya. "Mungkin sudah waktunya melahirkan," pikir Abi. Ia bergegas menghampiri istrinya. "Abi antar ke bidan sekarang ya? Tunggu di sini," kata Kyai Sholeh. Ketika hendak berdiri, istrinya menahan tangan kanannya, wajahnya meringis menahan rasa sakit luar biasa. "Abi, bolehkan Umi tinggal sementara 3 bulan pasca melahirkan di rumah orang tua Umi?" mohonnya. Abi tidak ja
"Nduk, coba susui anakmu ini dari tadi menangis saja. Entah ada apa?" minta Emak pada anak perempuannya. Umi mengambil bayinya yang tengah menagis dari gendongan Emakn dan mulai menyusui. Namun ketika bayi mulai merasa nyaman dan mengantuk, ia tersentak. "Oeee ... oee ... oeee ...!" tangisan histeris bayi kembali menggema. Umi bingung dengan anaknya. Ia periksa popok, basah langsung dia ganti. Namun tangisannya tidak kunjung berhenti. "Assalamu'alaikum!" suara Abi dan Umar pulang dari masjid. "Wa'alaikum salam wr. wb!" jawab Emak dan Umi serempak. "Anak Abi kenapa menangis?" Abi mendekati anaknya sambil mencolek pipinya. "Iya, Bi. Entah kenapa setiap akan memejamkan mata selalu terkejut lalu histeris," jawab Umi.
Lima belas tahun yang lalu di rumah itu. Malam itu Ki Lurah Agung Jayengrana pulang larut, Larasati terbangun mendengar ketukan pintu. Wanita dengan pakaian adat jawa itu membenahi sanggulnya dan merapikan kebaya krem yang ia pakai lalu membukakan pintu untuknya. Namun Ia terdiam mematung saat berhadapan dengan sang tulang punggung keluarga. Ternyata ada gadis sinden di samping suaminya. Anak perempuan bernama Kirana yang masih berusia 5 tahun ikut terjaga manakala sang Ibu tidak di sampingnya. Ia segera berlari ke samping Larasati. "Ibu mengapa Bapak membawa Mbak Sinden ke rumah?" tanya Kirana lirih tangannya menggenggam lengan Larasati. Ibunya hanya mengelus kepalanya sekali. "Apa maksud Kang Mas, membawa gadis ini kemari?" tanya Larasati menyembunyikan luka yang men
"Jadi bagaimana, Nduk? Keputusan ada di tanganmu." Akhirnya Ketua paguyuban melaksanakan terapan pada Ningrum. Gadis sinden itu menarik nafas dalam-dalam, lama ia terpekur. "Jika saya mengedepankan ego, maka nasib paguyuban akan selamanya berpindah-pindah tempat. Bukankah sejak dulu kita punya mimpi untuk menetap di satu daerah. Sekarang harapan itu ada di depan kita. Jadi untuk kepentingan kita bersama, saya harus rela berkorban. Akan saya tahu pengorbanan saya tidak sia-sia. " Keputusan inilah yang membuat Ningrum di malam berikutny
"Ayo, Bapak antar anakmu berobat pakai motor. Dipannya nanti biar Bapak mampir ke rumah Pak Sasongko. Kemasilah pakaianmu dan milik anakmu! Kita tinggal sementara di rumah Bapak," ucapnya. Larasati segera mengemasi pakaian mereka berdua. Pak Mangun menggendong cucu kesayangan di punggung menuruni tangga, diikuti oleh anak perempuannya. "Bilang pada Agung, aku bawa pulang anak dan cucuku. Pesanku padanya sampaikan jika kacang sudah lupa dengan kulitnya maka bersiaplah menerimakarmanya," ucap laki-laki berambut putih itu kepada Ningrum saat berpapasan, wanita itu hanya diam saja tidak tahu bagaimana harus bersikap. "Seandainya karma itu benar ada, lalu karma apa yang dulu kujalani bersama rombongan harus berpindah-pindah tempat, sering kali kami menahan lapar manakala penduduk mulai jenuh dengan pementasan l
Kusuma memberikan bayi kekasihnya pada pimpinan paguyuban yang sedang duduk di depannya usai pemakaman Setya Ningrum.Pak Widjaya memciumi cucunya dengan penuh perasaan duka."Cucuku yang cantik semoga nasib baik menyertaimu. Jadilah gadis lembut," ucap Pak Wijaya sembari berdo'a penuh harap."Kusuma bisakah kau tambahkan nama Sofiya padanya? Aku ingin dia menjadi gadis yang lembut," pintanya."Njeh, Bapak," jawab Kusuma dengan tawaduk.Dua tahun setelah itu, Pak Widjaya menutup mata untuk selamanya. Anggota paguyuban pun bercerai berai. Kini tinggallah Kusuma hidup bersama Sofiya Harsa Sandra. Layaknya kasih sayang anak kandung. Kusuma mencari mata pencarian yang membuatnya tetap bisa mengawasi Sofiya.Pendidikan Kusuma yang hanya pernah masuk sekolah rakyat membuatnya kesulitan mencari mata pencarian yang layak. Sekolah Rakyat sendiri kini sudah berganti menjadi SD. Ia bertekad merantau ke kota Surabaya berbekal sisa-sisa harta penin
MISTERI RUMAH KONTRAKAN 20 Para anggota Paguyuban Kencono Alam tidak mampu berbuat banyak menyaksikan adik tersayang mereka dibawa polisi. Mereka terlambat datang ke rumah duka, sehingga hanya melihat sebentar mobil yang membawanya saat sedang melaju. Selepas magrib Pak Wijaya dan Pak Wardoyo pergi ke kantor polisi menanyakan bisakah anaknya dibebaskan. Mereka menjawab bahwa untuk sementara akan menyelidiki dugaannya terkait dengan kematian Kirana. Di dalam sel, Ningrum sendiri bertingkah aneh seperti tertawa sendiri, menggeram-geram dengan mata mendelik, kadang marah dengan mengumpat Larasati. Hal itu membuat sipir melaporkan pada atasannya bahwa ia mengalami dugaan gangguan jiwa. Untuk memastikaan hal tersebut dipanggillah Psikiater demi tegaknya diagnosa pada Ningrum. Akhirnya Ningrum dibebaskan karena dinyatakan kejiwaannya tidak se
Pelayan yang mengantarkan hidangan untuk makan siang melihat Larasati yang menangisi Kirana pada pangkuan Kakeknya. Dalam waktu sekejap berita lelayu meninggalnya anak almarhum Ki Lurah menyebar cepat lewat mulut para pelayan. Kembali penduduk berduyun-duyun mendatangi rumah duka. "Kasihan Bu Laras, baru saja suaminya meninggal. Eh, hari ini anaknya menyusul," ucap salah seorang warga. "Iya, sejak kedatangan sinden itu. Musibah beruntun menimpa Bu Laras." Warga lain ikut menimpali. Sementara Larasati menunduk lesu menatap jenazah putrinya. Ia tidak peduli dengan sekitar, sesekali ia menangis sesenggukkan, lalu menunduk diam lama, lalu menangis lagi. Rasa bersalah membiarkan anaknya keluar rumah menyeruak dalam hatinya, dada terasa sesak seolah ada batu besar menghimpit jantung. Disampingnya, Pak Mangun menepuk-nepuk punggung
Para anggota paguyuban yang perempuan masih menemani Setya Ningrum di rumah duka. Tatkala pukul sebelas malam barulah satu persatu pulang. Tinggallah hanya mereka bertiga yaitu Larasati, Kirana dan Ningrum. Larasati dan Kirana meninggalkan ruang tengah menuju peraduan mereka di atas. Sedang Ningrum punya rencana. Ini malam purnama. Gadis sinden itu mulai melakukan ritual yang sudah diajarkan oleh Kusuma siang tadi. Ia masuk ke kamar mandi membuka dua bungkusan. Satu berisi bunga tujuh warna, kembang serai dan garam Kasamba yang didapat oleh Kusuma saat perjalanan pulang. Satunya lagi ramuan entah apa dari Pamannya. Kedua ramuan itu ia tuangkan pada bak mandi. Ketika ia mulai mengguyurkan ke tubuhnya hawa kamar mandi berubah sangat dingin. Anehnya dari dalam tubuh justru memanas, sedikit bergetar seperti ada aliran listrik menjalar
Sepanjang perjalanan Kusuma merasa diikuti seseorang, tapi sesuai pesan Pamannya, sekalipun ia tidak berani menoleh ke belakang. "Padahal, waktu aku berangkat, perasaan biasa saja. Tempat yang biasa kulalui tidak pernah membuat bulu kuduk merinding. Apakah mungkin benda yang kubawa ini penyebabnya," pikir pemuda itu. Ia mempercepat langkah, setiap kali melewati hutan dan sungai, sayup-sayup terdengar seseorang bersuara berat memanggil-manggil namanya. Namun, ia pura-pura tidak mendengar apapun. Akhirnya Kusuma sampai pada sebuah bukit gundul yang dinamai oleh penduduk dengan sebutan gunung Kuncung. Dari situ, sudah terlihat dari kejauhan kebun teh membentang di desanya. Ia tersenyum. "Sudah dekat," gumamnya. Ia berlari-lari kecil menuruni bukit tersebut. Satu jam kemudian ia memasuki perbatasan desanya. &nbs
MISTERI RUMAH KONTRAKAN 16 Pagi sekali ketika azan subuh dilantunkan tidak ada anggota paguyuban terbangun selain Kusuma. Dengan membawa perbekalan ia pergi ke perbukitan gunung Anjasmara. Udara pagi yang dingin tidak menyurutkan langkahnya melalui jalan-jalan setapak dan melewati tujuh sungai serta lembah. Ia sampai pada sebuah desa terpencil dengan penduduk yang sedikit. Jarak rumah di situ berjauhan, mereka hidup dari beternak juga bercocok tanam. Ladang, sawah dan hutan jati luas terbentang sejauh mata memandang. Beberapa bunga liar menghiasi perbatasan jalan setapak. Seperti negeri peri yang menyimpan keelokan, sekaligus misteri. Kusuma berhenti di sebuah rumah terbuat dari papan-papan kayu jati dengan atap rumbia di sudut jalan desa. Diketuknya pintu yang memiliki tinggi hanya satu setengah meter. "Kulonuwun!" ucapnya. Seorang lelaki paruh baya berumur
Peristiwa pagi tadi membuat Ki Lurah tidak nyaman berada di kediamannya sendiri. Ia merasa sedang dimusuhi kedua istrinya. "Punya dua istri, tapi seperti tidak punya sama sekali, membuat kepalaku pusing saja." Ia menggerutu sambil menikmati secangkir kopi di bawah pohon belimbing, duduk di bangku panjang yang biasa dipakai oleh Larasati. Untungnya, meskipun Ningrum tidak bersikap seperti biasa, ia tetap mau meninggalkan secangkir kopi panas untuknya di dapur. Walaupun tidak menemani suaminya berbincang-bincang sebagai teman ngopi layaknya hari-hari sebelum kejadian pagi tadi. "Permisi, Tuan!" seorang laki-laki berperawakan tegap muncul di depan pagar rumahnya. Ki Lurah menoleh. "Sarto, ada apa?" tanyanya. "Ini, Tuan. Mau menyerahkan laporan penjualan daun teh," jawabnya. &
Sejak kejadian sore yang memalukan tadi, Ningrum segera masuk kamar. Rasanya tidak ingin dirinya terlihat Larasati lagi, ia ingin lenyap sementara waktu sampai dilupakan oleh orang yang menyaksikan peristiwa jatuhnya. Di dalam kamar baru dengan dipan yang baru pula, ia berbaring menatap langit-langit kamar rumah ini. Teringat dibenaknya pertemuan di kebun teh dengan Kusuma satu minggu setelah pesta pernikahannya. Saat semua saudara sepaguyuban mulai bekerja di lahan teh miliknya. Mereka berdua duduk di pondok darurat yang sengaja dibangun di tiap hektar lahan, guna istirahat sejenak melepas lelah.***Waktu itu. "Adik Ningrum, maafkan pertanyaan Akang sebelumnya. Apakah kau bahagia bersamanya?" tanya Kusuma, matanya menatap gadis yang selalu menghiasi mimpi-mimpi akan masa depan yang ingin ia lalui. Menjalin rumah tangga, melalui
Ningrum dan Ki Lurah pulang dari pelesiran, sampai di pagar mereka mendapatkan Larasati dan Kirana asyik menanami halaman mereka dengan tanaman hias. Meskipun jelas suara kendaraan datang dan berhenti di depan rumah, tetapi wanita itu sedikitpun tidak melirik ataupun menoleh pada siapa yang datang. Sebaliknya lelaki beristri dua itu juga tidak hendak menyapa wanita yang telah memberikannya keturunan. Ki Lurah Agung menyadari sepenuhnya ada perang dingin antara dirinya dan Larasati. Ia ingin tahu seberapa lama istrinya itu bertahan mendiamkannya. Satu minggu lewat tanpa ada sepatah katapun di antara mereka berdua. Sampai suatu hari Pak Sasongko datang membawakan dipan yang dipesan. Ia dengan dibantu salah satu centeng Ki Lurah merangkai papan serta ukiran kayu jati menjadi sebuah ranjang tidur yang unik terkesan mewah.