Share

Bayi yang Malang

Penulis: Fikri Mahmud
last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-17 15:03:46

      "Nduk, coba susui anakmu ini dari tadi menangis saja. Entah ada apa?" minta Emak pada anak perempuannya. 

        Umi mengambil bayinya yang tengah menagis dari gendongan Emakn dan mulai menyusui. Namun ketika bayi mulai merasa nyaman dan mengantuk, ia tersentak. 

      "Oeee ... oee ... oeee ...!" tangisan histeris bayi kembali menggema. Umi bingung dengan anaknya. Ia periksa popok, basah langsung dia ganti. Namun tangisannya tidak kunjung berhenti. 

       "Assalamu'alaikum!" suara Abi dan Umar pulang dari masjid. 

      "Wa'alaikum salam wr. wb!" jawab Emak dan Umi serempak. 

      "Anak Abi kenapa menangis?" Abi mendekati anaknya sambil mencolek pipinya. 

      "Iya,  Bi. Entah kenapa setiap akan memejamkan mata selalu terkejut lalu histeris," jawab Umi. 

      "Sini coba biar Abi yang gendong," pintanya. Umi segera menyerahkan padanya. 

       Abi mulai menimang-nimang, sang bayi mulai diam. Kemudian Kyai Sholeh mulai melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang dihafal, lelah berdiri, ia duduk di sofa. Tangan kirinya mengelus kening bayi yang mulai tertidur dalam dekapannya. 

       Setelah bacaannya mencapai satu juz kira-kira 30 menitan,  ia mulai meletakkan bayinya di dalam kamar. Namun baru 5 menit bacaan Al-Qur'an berhenti kembali anak perempuan itu menangis histeris. Abi kembali melantunkan Al-Qur'an, anaknya terdiam dan mulai tertidur. 

       "Apa mungkin jin yang bulan lalu kuusir mengganggu bayi ini. Jika seperti ini, besok bayi ini harus segera dibawa pergi," pikir Kyai Sholeh. 

         Emak mulai tidur di atas dipan kayu jati. Matanya terpejam namun tubuhya sangat gelisah,  dalam mimpinya siluet asap keluar dari bawah dipan membentuk rupa si makhluk jelaga.

      Saat makhluk itu hendak menduduki dadanya, Emak spontan  mengigau keras. 

      "E, copot,  copot, copot! Astaghfirullah! Innalilahi wa innailahi roji'un!" Teriakkan refleknya dalam tidur membuat Abi dan Umi terperanjat.

        Abi mengetuk pintu kamar di samping, kemudian menggerakkan gagang pintu. Melihat Emak tidur dengan pejaman gelisah mereka segera membangunkannya. 

       "Copot!  Copot! Copot!  Astaghfirullah! Makhluk apa itu tadi. Kok,  ngeri men!" ucap Emak saat matanya terbuka. 

       "Emak mimpi?" tanya Abi. 

      "Iya, Aku didatangi makhluk gede, hitam legam kayak arang. Awalnya seperti asap hitam tipis dari bawah dipan, eh, lha, kok, makin besar," ceritanya menggebu-gebu penuh keheranan dengan mimpinya. 

      Lantas kepalanya melongok ke bawah dipan buat memastikan di sana tidak ada apa-apa. 

    "Emak kira tadi itu bukan mimpi, lho, Le! Waktu kamu bangunkan baru Emak sadar kalau tertidur tadi," ceritanya.

     "Emak tidur sama Umi saja, ya! Saya biar tidur di ruang tamu," kata Abi. Emak mengangguk. 

       "Jangan lupa wudhu dan baca ayat kursi serta mu'awidatain* sebelum tidur!"  saran Abi. 

      "Ya,  Le!" jawab Emak. 

     "Besok pagi kita berangkat ke rumah Emak, biar Umi tinggal di sana sementara." Abi memberitahu rencananya besok. 

       Makhluk pekat itu gusar, Kyai Sholeh melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an sepanjang malam, hingga akhirnya ia memutuskan malam ini berhenti mengganggu bayi. 

      Suara azan sepertiga malam terakhir membangunkan orang untuk melakukan shalat tahajud. Begitupun Kyai Shaleh dan Umar, mereka shalat berjamaah empat rakaat ditambah tiga rakaat shalat witir pada ruang keluarga. 

      Setelah selesai bersama,  Umar teringat sesuatu. 

      "Oh,  ya,  Abi. Tadi pagi Umar lihat sepasang mata merah di antara rerimbunan daun belimbing, sepertinya di sana tempat persemayamannya," cerita Umar. 

     "Kapan kejadiannya?" tanya Abi. 

      "Tepat setelah Abi dan Umi meninggalkan rumah,  terjadi angin ribut hanya di sekitar sini. Umar melihat ke bawah,  tidak sengaja terlihat olehnya. Sampai-sampai dahan belimbing patah. Apa besok ditebang saja, ya,  Bi?" jelas umar,  sambil menanyakan pendapat Abi mengenai Usulny. 

       "Seharusnya ditebang saja, tapi ini bukan rumah kita. Mana berhak merusak tanaman pemiliknya," ucap Abi. 

       "Kita pergi saja dari sini,  kasihan adikmu tidak bisa tidur kalau tidak dibacakan ayat-ayat Allah. Rupanya jin blimbing itu memasuki alam mimpinya," kata Abi. 

        "Jadi sekarang kita beres-beres,  Bi?" tanya Umar memastikan. Abi menjawab dengan anggukan. 

        "Baiklah," Umar segera beranjak dari tempat duduknya menuju kamarnya. Sedangkan Abi beedzikir menunggu azan subuh. 

      Saat azan subuh berkumandang,  Kyai Sholeh dan Umar pergi ke masjid. Sang bayi mulai lagi menangis. 

       Emak bingung tidak biasanya bayi menangis histeris padahal sudah diberi ASI,  popok masih kering. Apa penyebabnya?

        "Mak, cobalah baca ayat yang Mak hafal seperti yang dilakukan Ayahnya anak-anak semalam," pinta Umi. 

      "Iya,  ya, Nduk! Yo,  wes, kubacakan surat Al-Fatehah sama surat pendek lainnya," Akhirnya sang bayi tenang. 

        Demi melihatnya tertidur dalam bedongan, Emak yang sedari tadi menahan buang air kecil meletakkannya di sofa dengan pendampingan bantal di pinggirnya. 

       Jin hitam tahu si bayi tidak dalam penjagaan. Ia sudah berada dalam ruangan tatkala Abi dan Umar keluar rumah menuju masjid. Dengan menyeret kaki sebelah ia menggapai bantal yang mendampingi bayi, membekapnya lalu ia jatuhkan dengan posisi tertelungkup. 

      "Copot! Copot! Copot! Astaghfirullah. Genduk*, kenapa kamu bisa sampai jatuh!" Umi yang dari tadi sedang berada di dapur kaget mendengar teriak latah Emaknya.

       Emak bukan main terkejut kala mengetahui cucunya sudah berada di bawah dalam kondisi tertelungkup. Bagaimana bisa bayi berumur satu bulan bisa bergeser? Apalagi bedongnya masih utuh. 

       Emak  mendekap cucunya dengan rasa bersalah. Umi datang pada Emak. 

       "Ada apa, Mak?" tanya si Ibu bayi. 

       "Ini, Kok,  bisa jatuh padahal didampingi bantal, bedongnya saja masih menutup rapat.  Mana jatuhnya tertelungkup, 'kan ya mustahil. Emak cuma sebentar ke kamar mandi tadi," cerita Emak. 

        "Coba lihat, Mak!" pinta Ibu bayi,  Emak menyerahkan cucunya pada Umi. 

     Umi merasa heran dengan anaknya yang terkesan sangat diam,  seharusnya menangis kalau terjatuh. Dibuka gedongnya dan mulai meraba badan anaknya,  tubuh bayi sangat dingin,  perasaannya mulai tidak enak. Ia meletakkan jari telunjuknya di bawah hidung,  ia mulai panik,  tidak ada hembusan nafas. Dada bayi datar tidak ada gerakan diafragma sama sekali. 

        Matanya berkaca-kaca, menciumi kedua pipi, dahi lalu tubuhnya, tangan bahkan kaki, berkali-kali.  Tangisnya mulai meledak. 

      "Kamu kenapa,  Nak? Bangunlan! Menangislah yang keras! Umi akan gendong. Jangan diam seperti ini!" isakan wanita yang baru kemarin melahirkan itu terdengar pilu,  pelukannya semakin rapat, air mata membasahi wajah sang bayi yang tergolek lemas tak bernyawa dalam dekapannya.

       Emak ikut-ikutan menangis. 

      "Maafkan Emak Nduk,  Emak salah! huuu... uuu...!" Ia memeluk pundak anak perempuannya.

        "Dia tidak apa-apa 'kan, Nduk?" tanyanya sambil menangis. 

        "Assalamu'alaikum," suara salam Abi terabaikan oleh isakan tangis mereka. 

       Abi dan Umar masuk,  mereka heran ada apa Emak dan Umi menangis.

       "Ada apa?" tanya Abi. 

        "Putri kita, Bi!" Ia tidak sampai hati untuk mengatakan dugaannya, hanya menyerahkan tubuh yang dingin pada suaminya sambil tersedu sedan. Abi menerimanya, lalu memeriksanya. 

      "Innalillahi wa inna ilahi ro'jiun. Allahumma'jurni fie mushibati waflufli khairan minha*," Ucapan Istirja' Abi makin membuat tangis dua wanita itu bertambah hebat. 

     Subuh di rumah ini menjadi duka,  padahal baru kemarin mereka gembira dengan kelahiran sang bayi. 

Lima bulan kemudian. 

      "Abi,  sudah satu bulan lebih Umi tidak datang bulan!" Umi memberi tahu suaminya. Ia deg-degan berharap mengandung. 

    "Benarkah? Apa kita perlu ke bidan sekarang?" tanya Abi harap-harap cemas. 

     "Abi belikan tespeck saja, biar Umi yang memastikkan," pjntanya. Abi segera keluar untuk membeli apa yang diminta istrinya,  karena tidak sabar lagi untuk meyakinkan kabar gembira ini. Selang sepuluh menit, Abi sudah kembali dan menyerahkannya pada Umi. 

      "Abi semangat sekali," kata Umi tersenyum malu-malu. Ia kemudian ke kamar mandi. Tidak lama kemudian keluar dan langsung memeluk Abi. 

       "Positif, Bi!" katanya. 

      Abi terharu,  matanya berkaca-kaca. 

     "Kita pindah ke rumah Emak hari ini juga,  Abi tidak ingin anak kita diusik oleh jin penunggu rumah ini," kata Abi. Umi mengangguk senang. Umar segera diberitahu.

     Hari itu juga mereka meninggalkan rumah kontrakan, dan menyerahkan kunci pada seorang nenek yang rumahnya dibalik tembok belakang mereka. 

     "Nek, ini kuncinya. Kami pindah ke kampung," kata Umi pada sang Nenek. 

      "Seharusnya kalian usir makhluk itu selamanya," ucapnya lirih nyaris tidak terdengar. 

      "Tidak ada yang mau menghuni rumah itu sejak lima belas tahun yang lalu," lanjutnya sedih  lebih pelan dari semula. 

_______

Note:

      *Mu'awidatai adalah surat untuk berlindung yaitu An-Nas dan Al Falaq. 

      *Genduk=berasal dari bahasa jawa, maknanya panggilan sayang untuk anak perempuan. 

       

     *Innalillahi wa inna ilahi ro'jiun. Allahumma'jurni fie mushibati waflufli khairan minha= Istirja dan do'a yang diajarkan Rasulullah saat mendapat musibah. Artinya Sesungguhnya kami milik Allah,  dan hanya kepada–Nyalah kami kembali, Ya Allah berilah aku pahala dalam musibah yang menimpaku dan gantilah dengan yang lebih baik. 

Bab terkait

  • MISTERI RUMAH KONTRAKAN   Paguyuban Kencono Alam

    Lima belas tahun yang lalu di rumah itu. Malam itu Ki Lurah Agung Jayengrana pulang larut, Larasati terbangun mendengar ketukan pintu. Wanita dengan pakaian adat jawa itu membenahi sanggulnya dan merapikan kebaya krem yang ia pakai lalu membukakan pintu untuknya. Namun Ia terdiam mematung saat berhadapan dengan sang tulang punggung keluarga. Ternyata ada gadis sinden di samping suaminya. Anak perempuan bernama Kirana yang masih berusia 5 tahun ikut terjaga manakala sang Ibu tidak di sampingnya. Ia segera berlari ke samping Larasati. "Ibu mengapa Bapak membawa Mbak Sinden ke rumah?" tanya Kirana lirih tangannya menggenggam lengan Larasati. Ibunya hanya mengelus kepalanya sekali. "Apa maksud Kang Mas, membawa gadis ini kemari?" tanya Larasati menyembunyikan luka yang men

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-17
  • MISTERI RUMAH KONTRAKAN   Kedatangan Ayah Kandung Larasati

    "Jadi bagaimana, Nduk? Keputusan ada di tanganmu." Akhirnya Ketua paguyuban melaksanakan terapan pada Ningrum. Gadis sinden itu menarik nafas dalam-dalam, lama ia terpekur. "Jika saya mengedepankan ego, maka nasib paguyuban akan selamanya berpindah-pindah tempat. Bukankah sejak dulu kita punya mimpi untuk menetap di satu daerah. Sekarang harapan itu ada di depan kita. Jadi untuk kepentingan kita bersama, saya harus rela berkorban. Akan saya tahu pengorbanan saya tidak sia-sia. " Keputusan inilah yang membuat Ningrum di malam berikutny

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-18
  • MISTERI RUMAH KONTRAKAN   Bibit Pohon Belimbing

    "Ayo, Bapak antar anakmu berobat pakai motor. Dipannya nanti biar Bapak mampir ke rumah Pak Sasongko. Kemasilah pakaianmu dan milik anakmu! Kita tinggal sementara di rumah Bapak," ucapnya. Larasati segera mengemasi pakaian mereka berdua. Pak Mangun menggendong cucu kesayangan di punggung menuruni tangga, diikuti oleh anak perempuannya. "Bilang pada Agung, aku bawa pulang anak dan cucuku. Pesanku padanya sampaikan jika kacang sudah lupa dengan kulitnya maka bersiaplah menerimakarmanya," ucap laki-laki berambut putih itu kepada Ningrum saat berpapasan, wanita itu hanya diam saja tidak tahu bagaimana harus bersikap. "Seandainya karma itu benar ada, lalu karma apa yang dulu kujalani bersama rombongan harus berpindah-pindah tempat, sering kali kami menahan lapar manakala penduduk mulai jenuh dengan pementasan l

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-18
  • MISTERI RUMAH KONTRAKAN   Kehadirannya Mulai Terasa

    Ningrum dan Ki Lurah pulang dari pelesiran, sampai di pagar mereka mendapatkan Larasati dan Kirana asyik menanami halaman mereka dengan tanaman hias. Meskipun jelas suara kendaraan datang dan berhenti di depan rumah, tetapi wanita itu sedikitpun tidak melirik ataupun menoleh pada siapa yang datang. Sebaliknya lelaki beristri dua itu juga tidak hendak menyapa wanita yang telah memberikannya keturunan. Ki Lurah Agung menyadari sepenuhnya ada perang dingin antara dirinya dan Larasati. Ia ingin tahu seberapa lama istrinya itu bertahan mendiamkannya. Satu minggu lewat tanpa ada sepatah katapun di antara mereka berdua. Sampai suatu hari Pak Sasongko datang membawakan dipan yang dipesan. Ia dengan dibantu salah satu centeng Ki Lurah merangkai papan serta ukiran kayu jati menjadi sebuah ranjang tidur yang unik terkesan mewah.  

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-18
  • MISTERI RUMAH KONTRAKAN   Siapa yang Diganggu?

    Sejak kejadian sore yang memalukan tadi, Ningrum segera masuk kamar. Rasanya tidak ingin dirinya terlihat Larasati lagi, ia ingin lenyap sementara waktu sampai dilupakan oleh orang yang menyaksikan peristiwa jatuhnya. Di dalam kamar baru dengan dipan yang baru pula, ia berbaring menatap langit-langit kamar rumah ini. Teringat dibenaknya pertemuan di kebun teh dengan Kusuma satu minggu setelah pesta pernikahannya. Saat semua saudara sepaguyuban mulai bekerja di lahan teh miliknya. Mereka berdua duduk di pondok darurat yang sengaja dibangun di tiap hektar lahan, guna istirahat sejenak melepas lelah.***Waktu itu. "Adik Ningrum, maafkan pertanyaan Akang sebelumnya. Apakah kau bahagia bersamanya?" tanya Kusuma, matanya menatap gadis yang selalu menghiasi mimpi-mimpi akan masa depan yang ingin ia lalui. Menjalin rumah tangga, melalui

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-18
  • MISTERI RUMAH KONTRAKAN   Dendam Sinden

    Peristiwa pagi tadi membuat Ki Lurah tidak nyaman berada di kediamannya sendiri. Ia merasa sedang dimusuhi kedua istrinya. "Punya dua istri, tapi seperti tidak punya sama sekali, membuat kepalaku pusing saja." Ia menggerutu sambil menikmati secangkir kopi di bawah pohon belimbing, duduk di bangku panjang yang biasa dipakai oleh Larasati. Untungnya, meskipun Ningrum tidak bersikap seperti biasa, ia tetap mau meninggalkan secangkir kopi panas untuknya di dapur. Walaupun tidak menemani suaminya berbincang-bincang sebagai teman ngopi layaknya hari-hari sebelum kejadian pagi tadi. "Permisi, Tuan!" seorang laki-laki berperawakan tegap muncul di depan pagar rumahnya. Ki Lurah menoleh. "Sarto, ada apa?" tanyanya. "Ini, Tuan. Mau menyerahkan laporan penjualan daun teh," jawabnya. &

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-18
  • MISTERI RUMAH KONTRAKAN   Misi Kusuma

    MISTERI RUMAH KONTRAKAN 16 Pagi sekali ketika azan subuh dilantunkan tidak ada anggota paguyuban terbangun selain Kusuma. Dengan membawa perbekalan ia pergi ke perbukitan gunung Anjasmara. Udara pagi yang dingin tidak menyurutkan langkahnya melalui jalan-jalan setapak dan melewati tujuh sungai serta lembah. Ia sampai pada sebuah desa terpencil dengan penduduk yang sedikit. Jarak rumah di situ berjauhan, mereka hidup dari beternak juga bercocok tanam. Ladang, sawah dan hutan jati luas terbentang sejauh mata memandang. Beberapa bunga liar menghiasi perbatasan jalan setapak. Seperti negeri peri yang menyimpan keelokan, sekaligus misteri. Kusuma berhenti di sebuah rumah terbuat dari papan-papan kayu jati dengan atap rumbia di sudut jalan desa. Diketuknya pintu yang memiliki tinggi hanya satu setengah meter. "Kulonuwun!" ucapnya. Seorang lelaki paruh baya berumur

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-15
  • MISTERI RUMAH KONTRAKAN   Tragedi

    Sepanjang perjalanan Kusuma merasa diikuti seseorang, tapi sesuai pesan Pamannya, sekalipun ia tidak berani menoleh ke belakang. "Padahal, waktu aku berangkat, perasaan biasa saja. Tempat yang biasa kulalui tidak pernah membuat bulu kuduk merinding. Apakah mungkin benda yang kubawa ini penyebabnya," pikir pemuda itu. Ia mempercepat langkah, setiap kali melewati hutan dan sungai, sayup-sayup terdengar seseorang bersuara berat memanggil-manggil namanya. Namun, ia pura-pura tidak mendengar apapun. Akhirnya Kusuma sampai pada sebuah bukit gundul yang dinamai oleh penduduk dengan sebutan gunung Kuncung. Dari situ, sudah terlihat dari kejauhan kebun teh membentang di desanya. Ia tersenyum. "Sudah dekat," gumamnya. Ia berlari-lari kecil menuruni bukit tersebut. Satu jam kemudian ia memasuki perbatasan desanya. &nbs

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-22

Bab terbaru

  • MISTERI RUMAH KONTRAKAN   Ending

    Kusuma memberikan bayi kekasihnya pada pimpinan paguyuban yang sedang duduk di depannya usai pemakaman Setya Ningrum.Pak Widjaya memciumi cucunya dengan penuh perasaan duka."Cucuku yang cantik semoga nasib baik menyertaimu. Jadilah gadis lembut," ucap Pak Wijaya sembari berdo'a penuh harap."Kusuma bisakah kau tambahkan nama Sofiya padanya? Aku ingin dia menjadi gadis yang lembut," pintanya."Njeh, Bapak," jawab Kusuma dengan tawaduk.Dua tahun setelah itu, Pak Widjaya menutup mata untuk selamanya. Anggota paguyuban pun bercerai berai. Kini tinggallah Kusuma hidup bersama Sofiya Harsa Sandra. Layaknya kasih sayang anak kandung. Kusuma mencari mata pencarian yang membuatnya tetap bisa mengawasi Sofiya.Pendidikan Kusuma yang hanya pernah masuk sekolah rakyat membuatnya kesulitan mencari mata pencarian yang layak. Sekolah Rakyat sendiri kini sudah berganti menjadi SD. Ia bertekad merantau ke kota Surabaya berbekal sisa-sisa harta penin

  • MISTERI RUMAH KONTRAKAN   Setya Ningrum Melahirkan

    MISTERI RUMAH KONTRAKAN 20 Para anggota Paguyuban Kencono Alam tidak mampu berbuat banyak menyaksikan adik tersayang mereka dibawa polisi. Mereka terlambat datang ke rumah duka, sehingga hanya melihat sebentar mobil yang membawanya saat sedang melaju. Selepas magrib Pak Wijaya dan Pak Wardoyo pergi ke kantor polisi menanyakan bisakah anaknya dibebaskan. Mereka menjawab bahwa untuk sementara akan menyelidiki dugaannya terkait dengan kematian Kirana. Di dalam sel, Ningrum sendiri bertingkah aneh seperti tertawa sendiri, menggeram-geram dengan mata mendelik, kadang marah dengan mengumpat Larasati. Hal itu membuat sipir melaporkan pada atasannya bahwa ia mengalami dugaan gangguan jiwa. Untuk memastikaan hal tersebut dipanggillah Psikiater demi tegaknya diagnosa pada Ningrum. Akhirnya Ningrum dibebaskan karena dinyatakan kejiwaannya tidak se

  • MISTERI RUMAH KONTRAKAN   Siapa Sasongko?

    Pelayan yang mengantarkan hidangan untuk makan siang melihat Larasati yang menangisi Kirana pada pangkuan Kakeknya. Dalam waktu sekejap berita lelayu meninggalnya anak almarhum Ki Lurah menyebar cepat lewat mulut para pelayan. Kembali penduduk berduyun-duyun mendatangi rumah duka. "Kasihan Bu Laras, baru saja suaminya meninggal. Eh, hari ini anaknya menyusul," ucap salah seorang warga. "Iya, sejak kedatangan sinden itu. Musibah beruntun menimpa Bu Laras." Warga lain ikut menimpali. Sementara Larasati menunduk lesu menatap jenazah putrinya. Ia tidak peduli dengan sekitar, sesekali ia menangis sesenggukkan, lalu menunduk diam lama, lalu menangis lagi. Rasa bersalah membiarkan anaknya keluar rumah menyeruak dalam hatinya, dada terasa sesak seolah ada batu besar menghimpit jantung. Disampingnya, Pak Mangun menepuk-nepuk punggung

  • MISTERI RUMAH KONTRAKAN   Sinden dan Kirana

    Para anggota paguyuban yang perempuan masih menemani Setya Ningrum di rumah duka. Tatkala pukul sebelas malam barulah satu persatu pulang. Tinggallah hanya mereka bertiga yaitu Larasati, Kirana dan Ningrum. Larasati dan Kirana meninggalkan ruang tengah menuju peraduan mereka di atas. Sedang Ningrum punya rencana. Ini malam purnama. Gadis sinden itu mulai melakukan ritual yang sudah diajarkan oleh Kusuma siang tadi. Ia masuk ke kamar mandi membuka dua bungkusan. Satu berisi bunga tujuh warna, kembang serai dan garam Kasamba yang didapat oleh Kusuma saat perjalanan pulang. Satunya lagi ramuan entah apa dari Pamannya. Kedua ramuan itu ia tuangkan pada bak mandi. Ketika ia mulai mengguyurkan ke tubuhnya hawa kamar mandi berubah sangat dingin. Anehnya dari dalam tubuh justru memanas, sedikit bergetar seperti ada aliran listrik menjalar

  • MISTERI RUMAH KONTRAKAN   Tragedi

    Sepanjang perjalanan Kusuma merasa diikuti seseorang, tapi sesuai pesan Pamannya, sekalipun ia tidak berani menoleh ke belakang. "Padahal, waktu aku berangkat, perasaan biasa saja. Tempat yang biasa kulalui tidak pernah membuat bulu kuduk merinding. Apakah mungkin benda yang kubawa ini penyebabnya," pikir pemuda itu. Ia mempercepat langkah, setiap kali melewati hutan dan sungai, sayup-sayup terdengar seseorang bersuara berat memanggil-manggil namanya. Namun, ia pura-pura tidak mendengar apapun. Akhirnya Kusuma sampai pada sebuah bukit gundul yang dinamai oleh penduduk dengan sebutan gunung Kuncung. Dari situ, sudah terlihat dari kejauhan kebun teh membentang di desanya. Ia tersenyum. "Sudah dekat," gumamnya. Ia berlari-lari kecil menuruni bukit tersebut. Satu jam kemudian ia memasuki perbatasan desanya. &nbs

  • MISTERI RUMAH KONTRAKAN   Misi Kusuma

    MISTERI RUMAH KONTRAKAN 16 Pagi sekali ketika azan subuh dilantunkan tidak ada anggota paguyuban terbangun selain Kusuma. Dengan membawa perbekalan ia pergi ke perbukitan gunung Anjasmara. Udara pagi yang dingin tidak menyurutkan langkahnya melalui jalan-jalan setapak dan melewati tujuh sungai serta lembah. Ia sampai pada sebuah desa terpencil dengan penduduk yang sedikit. Jarak rumah di situ berjauhan, mereka hidup dari beternak juga bercocok tanam. Ladang, sawah dan hutan jati luas terbentang sejauh mata memandang. Beberapa bunga liar menghiasi perbatasan jalan setapak. Seperti negeri peri yang menyimpan keelokan, sekaligus misteri. Kusuma berhenti di sebuah rumah terbuat dari papan-papan kayu jati dengan atap rumbia di sudut jalan desa. Diketuknya pintu yang memiliki tinggi hanya satu setengah meter. "Kulonuwun!" ucapnya. Seorang lelaki paruh baya berumur

  • MISTERI RUMAH KONTRAKAN   Dendam Sinden

    Peristiwa pagi tadi membuat Ki Lurah tidak nyaman berada di kediamannya sendiri. Ia merasa sedang dimusuhi kedua istrinya. "Punya dua istri, tapi seperti tidak punya sama sekali, membuat kepalaku pusing saja." Ia menggerutu sambil menikmati secangkir kopi di bawah pohon belimbing, duduk di bangku panjang yang biasa dipakai oleh Larasati. Untungnya, meskipun Ningrum tidak bersikap seperti biasa, ia tetap mau meninggalkan secangkir kopi panas untuknya di dapur. Walaupun tidak menemani suaminya berbincang-bincang sebagai teman ngopi layaknya hari-hari sebelum kejadian pagi tadi. "Permisi, Tuan!" seorang laki-laki berperawakan tegap muncul di depan pagar rumahnya. Ki Lurah menoleh. "Sarto, ada apa?" tanyanya. "Ini, Tuan. Mau menyerahkan laporan penjualan daun teh," jawabnya. &

  • MISTERI RUMAH KONTRAKAN   Siapa yang Diganggu?

    Sejak kejadian sore yang memalukan tadi, Ningrum segera masuk kamar. Rasanya tidak ingin dirinya terlihat Larasati lagi, ia ingin lenyap sementara waktu sampai dilupakan oleh orang yang menyaksikan peristiwa jatuhnya. Di dalam kamar baru dengan dipan yang baru pula, ia berbaring menatap langit-langit kamar rumah ini. Teringat dibenaknya pertemuan di kebun teh dengan Kusuma satu minggu setelah pesta pernikahannya. Saat semua saudara sepaguyuban mulai bekerja di lahan teh miliknya. Mereka berdua duduk di pondok darurat yang sengaja dibangun di tiap hektar lahan, guna istirahat sejenak melepas lelah.***Waktu itu. "Adik Ningrum, maafkan pertanyaan Akang sebelumnya. Apakah kau bahagia bersamanya?" tanya Kusuma, matanya menatap gadis yang selalu menghiasi mimpi-mimpi akan masa depan yang ingin ia lalui. Menjalin rumah tangga, melalui

  • MISTERI RUMAH KONTRAKAN   Kehadirannya Mulai Terasa

    Ningrum dan Ki Lurah pulang dari pelesiran, sampai di pagar mereka mendapatkan Larasati dan Kirana asyik menanami halaman mereka dengan tanaman hias. Meskipun jelas suara kendaraan datang dan berhenti di depan rumah, tetapi wanita itu sedikitpun tidak melirik ataupun menoleh pada siapa yang datang. Sebaliknya lelaki beristri dua itu juga tidak hendak menyapa wanita yang telah memberikannya keturunan. Ki Lurah Agung menyadari sepenuhnya ada perang dingin antara dirinya dan Larasati. Ia ingin tahu seberapa lama istrinya itu bertahan mendiamkannya. Satu minggu lewat tanpa ada sepatah katapun di antara mereka berdua. Sampai suatu hari Pak Sasongko datang membawakan dipan yang dipesan. Ia dengan dibantu salah satu centeng Ki Lurah merangkai papan serta ukiran kayu jati menjadi sebuah ranjang tidur yang unik terkesan mewah.  

DMCA.com Protection Status