Gryffindor menawarkan kepada ketiga anak muda yang baru saja melawan Elara untuk beristirahat sejenak di Pondok Celeste. Rufus tersenyum kecil. Alena melihat-lihat seluruh atap pondok Celeste,sementara Leo melihat ada beberapa buku magis milik Gryffindor. "Pedoman Lima Elemental Kehidupan, Buku Pengobatan Lima Alam-" gumam Leo Sanders yang terkesima. "Apakah Anda adalah Penjaga Suci Artefak yang menjadi legenda itu?" tanya Alena dengan sopan. Gryffindor menoleh pada Alena, matanya menunjukkan kilatan kebanggaan namun juga kesedihan. Pondok Celeste memang menyimpan banyak rahasia dan legenda, dan bahkan tidak banyak yang tahu tentang eksistensi Penjaga Suci Artefak. "Saya memang salah satu dari mereka," jawab Gryffindor dengan suara rendah. "Namun, menjadi penjaga bukanlah tugas yang mudah. Banyak dari kami yang telah hilang, berjuang melindungi artefak-artefak tersebut dari kekuatan jahat yang ingin menggunakannya untuk niat buruk." Leo, yang terus-menerus membaca judul buku, ter
Sementara itu Sang Putri kini telah tiada di antara debu dan abu yang dihasilkan Api Celeste yang membakar seluruh tubuh fananya. Namun memorinya tidaklah mati. Lucius Damien merasakan sengatan energi yang begitu kuat saat ia melihat layar yang berputar di hadapannya."Argh..." rintih sang detektif muda,"Di mana aku?" Ditengah kebingungannya, Lucius menyadari bahwa ia kini berada di suatu dimensi yang berbeda, sebuah dunia antara nyata dan mimpi. Semua di sekelilingnya terasa begitu asing, seolah-olah ia sedang berada dalam suatu mimpinya sendiri. Tak jauh dari tempat ia berdiri, terdapat sebuah portal dengan cahaya biru menyilaukan yang seolah memanggilnya. Di tepinya, terpahat tulisan kuno yang tak bisa ia mengerti. Namun, ada perasaan yang mendorong Lucius untuk mendekatinya. Ketika ia menyentuh portal itu, serangkaian gambar-gambar berkelebat di pikirannya. Ia melihat Sang Putri, senyuman manisnya, matanya yang berbinar, serta kenangan-kenangan manis yang mereka lalui bersam
Sang Pendeta Celeste mengangkat alisnya, tampak tertarik dengan pertanyaan tersebut. Ruang sekitar mereka, yang berkilauan dengan warna-warna tak familiar, tampaknya menghentikan denyutnya untuk sesaat. "Ah, Liontin Vampir," kata Pendeta Celeste, sambil mengelus jenggot putihnya yang panjang. "Itulah kunci yang membawamu ke dimensi ini. Kau berada di Antardimensi, sebuah tempat di antara realitas yang kita kenal. Di sini, konsep waktu dan ruang berbeda dari dunia asalmu. Itulah sebabnya jam tanganku tidak berfungsi di sini." Lucius tampak bingung, tetapi juga penuh rasa ingin tahu. "Wanita itu... dia memberiku liontin itu dan sebelum aku sadari, aku sudah berada di sini. Apa tujuannya? Dan bagaimana aku bisa kembali?" Sang Pendeta Celeste menarik napas dalam-dalam. "Wanita yang kau sebut mungkin adalah aseorang wanita biasa yang memiliki takdir yang tragis, atau mungkin entitas lain yang memiliki alasan tersendiri. Liontin Vampir bukanlah sekedar perhiasan. Itu adalah kunci yang dap
Di tengah gempuran, Gryffindor, pemimpin dari kelompok Pembasmi Vampir, melangkah maju dengan pisau panjang bercahaya yang dia genggam erat. Ia adalah seorang wanita dengan rambut panjang berwarna perak, mata biru es yang tajam, dan postur tubuh yang lincah dan kuat. Di belakangnya, anggota kelompok Pembasmi Vampir lainnya bersiap dengan senjata mereka masing-masing. "Sasaran kita adalah para pemimpin Nocturnus," teriak Gryffindor, memberi isyarat kepada timnya untuk mengikuti. Mereka bergerak cepat, melintasi medan perang dengan gerakan yang seolah tanpa cela, menghindari serangan musuh dan melukai mereka dengan tepat. Dekat pusat pertempuran, dua figur menonjol berdiri berhadapan. Seorang raja Nocturnus dengan mahkota bayangan dan jubah gelap, dan Flanders, dengan jubah putihnya yang bersinar. Keduanya saling pandang, dan seakan ruang dan waktu berhenti sejenak. Raja Nocturnus, dengan suara menggema, berkata, "Flanders, engkau mungkin kuat, tetapi Aradia akan jatuh. Kami akan mena
Selama masa istirahat Zaberisk, Klan Nocturnus mengalami perubahan-perubahan internal. Tanpa kepemimpinan yang kuat dari Zaberisk, beberapa anggota klan merasa ini adalah kesempatan untuk mengambil kekuasaan atau bahkan untuk membawa perubahan pada cara klan beroperasi. Lorena, seorang jenderal muda yang ambisius dari Klan Nocturnus, melihat ini sebagai kesempatan emas. Dengan charisma dan pandangan yang berbeda, ia mulai mengumpulkan pengikut. Lorena percaya bahwa agar Klan Nocturnus dapat bangkit kembali, mereka harus berdamai dengan Dimensi Aradia dan fokus pada musuh-musuh lain yang lebih besar di luar sana. Valthor, yang tetap setia kepada Zaberisk, merasa terancam dengan meningkatnya pengaruh Lorena. Ia mengumpulkan anggota klan yang masih setia kepada Zaberisk dan memulai strategi untuk menjaga keseimbangan kekuasaan di dalam klan. Namun, ketegangan meningkat saat kabar menyebar bahwa Lorena sedang merencanakan sebuah pertemuan rahasia dengan perwakilan dari Dimensi Aradia. V
Gryffindor mengatakan bahwa Zaberisk bangkit dari tidurnya setelah Liontin Vampir itu memanggil seorang pria. Liontin Vampir adalah sebuah benda berharga yang dimiliki oleh Sang Putri sebelum akhirnya Sang Putri dibakar Api Celeste.ChatGPTPondok Celeste adalah sebuah tempat tenang dengan lampu-lampu yang berkelap-kelip dari sinar bintang. Di luar jendela, angin berbisik lembut, menyampaikan cerita-cerita masa lalu yang telah lama terlupakan. Di ruangan utama pondok, Gryffindor duduk dengan nyaman di sisi perapian yang membara, sementara Alena, Leo, dan Rufus duduk mengelilinginya.Gryffindor, dengan matanya yang dalam, mulai bercerita, "Zaberisk bangkit dari tidurnya. Aku bisa merasakannya. Ia mendapat panggilan dari Liontin Vampir yang sekarang sedang mencari tuannya."Leo, dengan ekspresi wajah yang bingung, bertanya, "Liontin Vampir? Aku pikir itu hanya mitos."Alena menarik napas panjang, "Liontin Vampir adalah benda berharga milik Sang Putri. Sebelum tragedi Api Celeste, liont
Tiga orang kepercayaan Zaberisk melangkah memasuki istana Celeste dan membawa beberapa warga Celeste yang kini tengah didera ketakutan. Lorong-lorong istana begitu gelap dan mencekam. Berbagai ukiran khas Transylvannia tampak memantulkan bagaimana sayap kegelapan itu terbentang lebar. Seakan mendapatkan kekuatan baru, Sang Putri duduk di atas singgasananya. Pintu bangsal terbuka. Ada lima orang yang saat itu didera kebingungan yang luar biasa. "D-di mana kita?" tanya salah satu dari mereka. Sang Lady menatap mereka dalam kegelapan Celeste. "Tempat ini menyeramkan. Aku sangat takut, Demetria." Seorang penasihat vampir menyambut mereka,"Selamat datang, Tuan-tuan dan Nona-nona. Anda sekalian pasti sangat lelah dengan perjalanan panjang ini." Salah satu gadis yang mengetahui kejanggalan tempat itu segera memotong dengan cepat,"Lepaskan kami!" Sang penasihat vampir mencoba menenangkan mereka,"Jangan takut, tidak ada yang menyakiti kalian. Percayalah padaku." Demetria tampak gusar saat
Tiga orang kepercayaan Zaberisk melangkah memasuki istana Celeste dan membawa beberapa warga Celeste yang kini tengah didera ketakutan. Lorong-lorong istana begitu gelap dan mencekam. Berbagai ukiran khas Transylvannia tampak memantulkan bagaimana sayap kegelapan itu terbentang lebar. Seakan mendapatkan kekuatan baru, Sang Putri duduk di atas singgasananya. Pintu bangsal terbuka. Ada lima orang yang saat itu didera kebingungan yang luar biasa. "D-di mana kita?" tanya salah satu dari mereka."Selamat datang di istana Celeste," suara lantang Sang Putri memecah keheningan. Cahaya redup dari lilin-lilin yang berada di sepanjang dinding ruangan menyoroti wajahnya yang pucat dan mata yang bersinar merah. Rambut hitam panjangnya terurai, dan gaun merah darahnya tampak menyeramkan. "S-siapa kau?" seorang warga Celeste lainnya bertanya dengan gemetaran. "Aku adalah Celestia, penguasa kastil ini. Kalian berada di tanah saya sekarang," jawab Sang Putri dengan nada yang tajam namun tetap berwiba
Setelah pertemuan dengan Lucius, situasi di rumah sakit jiwa St. Dymphna semakin tegang. Frank Flanders, meskipun sempat merasa lega karena telah menceritakan tentang liontin kepada Lucius, tetap dihantui oleh mimpi-mimpi buruk yang mengerikan setiap malam. Suara-suara yang berbisik dalam mimpinya semakin kuat, memerintahkannya untuk melakukan hal-hal yang tak terbayangkan.Suatu malam, saat petugas rumah sakit berpatroli di lorong-lorong yang sunyi, Frank tampak lebih tenang dari biasanya. Para petugas mengira obat penenang yang diberikan akhirnya bekerja. Namun, di dalam kamar isolasinya, Frank memandang sekeliling dengan mata yang gelap dan penuh keputusasaan. Di sudut ruangan, sebuah kain putih, bekas tirai yang telah disobek, tergeletak tak terpakai. Frank menghela napas dalam-dalam, merasakan beban berat di dadanya. Ia merasa tidak ada lagi jalan keluar dari mimpi-mimpi buruk ini. Dengan tangan gemetar, ia meraih kain tersebut dan mulai mengikatkan salah satu ujungn
Lucius merasa putus asa setelah pertemuannya dengan Adrian tidak membuahkan hasil. Liontin yang begitu penting baginya ternyata sudah dicuri oleh Frank Flanders, seorang pria yang kini dirundung mimpi buruk setiap malam. Mimpi-mimpi itu begitu mengerikan hingga membuat Frank kehilangan akal sehatnya dan akhirnya harus dirawat di rumah sakit jiwa. Di rumah sakit jiwa, Frank terus meracau tentang liontin yang memanggilnya dalam mimpi, meminta untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Kondisinya semakin memburuk, dan meskipun para dokter berusaha memahami keadaannya, mereka tidak dapat menghilangkan mimpi-mimpi buruk yang menghantuinya. Lucius, yang merasa bahwa liontin itu bukan hanya barang berharga tapi juga memiliki kekuatan mistis, sadar bahwa dia harus menemukan cara untuk mendapatkan kembali liontin itu. Dia tahu bahwa hanya dengan mengembalikan liontin kepada pemilik yang sah, kutukan ini dapat diakhiri. Namun, pertanyaannya adalah, bagaimana cara masuk ke rumah sakit
Lucius meninggalkan rumah Elara dengan berbagai pikiran berkecamuk di benaknya. Perpustakaan tua itu menjadi tujuan berikutnya. Mengemudi melalui jalan-jalan kota yang mulai sepi, ia berusaha mengingat setiap detail yang telah didapatkan sejauh ini. Perpustakaan tua itu terletak di ujung jalan yang jarang dilalui orang. Bangunan batu dengan jendela-jendela tinggi dan pintu kayu besar tampak berdiri megah di bawah cahaya bulan. Lucius memasuki perpustakaan, di dalamnya suasana tenang dan berdebu terasa menyelimutinya. Rak-rak buku yang tinggi dan lampu redup menciptakan suasana yang hampir magis.Di belakang meja kayu besar di tengah ruangan, seorang pria tua dengan rambut abu-abu pendek dan kacamata bundar sedang membaca sebuah buku tebal. Lucius mendekatinya dengan hati-hati. "Victor?" tanya Lucius dengan suara rendah agar tidak mengganggu keheningan perpustakaan. Pria tua itu mengangkat pandangannya dan tersenyum tipis. "Ya, saya Victor. Ada yang bisa saya bantu?" Lucius
Setelah mengucapkan terima kasih kepada pria tua itu, Lucius bergerak dengan tujuan yang lebih jelas. Dia memindai kerumunan di bar sekali lagi, mencoba menemukan wanita bernama Alicia. Ia memutuskan untuk bertanya pada bartender, yang mungkin lebih mengenal para pelanggan tetap di sana.Lucius mendekati bar dan memanggil perhatian bartender, seorang pria dengan kumis tebal dan tatapan tajam. "Permisi, apakah Anda tahu di mana aku bisa menemukan seorang wanita bernama Alicia? Aku diberitahu bahwa dia sering berada di sini." Bartender itu menatap Lucius sejenak sebelum menjawab, "Alicia, ya? Dia ada di sini tadi. Sepertinya dia sedang duduk di pojok sana, di dekat jendela." Lucius mengikuti arah pandangan bartender dan melihat seorang wanita muda dengan rambut hitam panjang dan mata tajam yang duduk sendirian. Dia sedang menatap keluar jendela, tampaknya tenggelam dalam pikirannya sendiri.Dengan langkah mantap, Lucius mendekati meja Alicia dan memberanikan diri untuk berbicara.
Lucius menatap layar ponselnya sejenak setelah mengirim pesan balasan kepada Alena. Keheningan jalanan malam yang terhampar di sekitar Knockturn Alley menambah suasana misterius di sekitarnya. Cahaya lampu jalan yang redup menyala samar-samar di antara bangunan-bangunan kuno yang menjulang tinggi, memberi sentuhan dramatis pada suasana malam itu.Ia menarik napas dalam-dalam saat melangkah keluar dari gedung penyelidikan. Udara dingin malam London menusuk tulang, membuatnya lebih berhati-hati saat berjalan di sepanjang trotoar yang gelap. Langkahnya mantap meskipun hatinya dipenuhi dengan rasa was-was dan antisipasi akan apa yang akan dihadapinya dalam perjalanan ini.Dengan kunci mobilnya yang digenggam erat, Lucius melangkah menuju kendaraannya. Cahaya lampu mobil menyinari jalanan yang sepi saat ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Sejenak, ia duduk di dalam mobilnya, membiarkan dirinya meresapi ketenangan sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Setelah memastikan bahw
[Marcus:]"Hai Lucius, ada waktu untuk ngobrol sebentar?"[Lucius:]"Halo Marcus, tentu. Ada apa?"[Marcus:]"Aku turut berduka cita atas kematian atasan kita,Tuan Grissham Bell. Bisa ketemu sebentar di tempat biasa?"[Lucius:]"Bisa. Ada masalah apa?"[Marcus:]"Aku ingin mendiskusikan proyek baru. Ada beberapa hal yang perlu dipecahkan."[Lucius:]"Baiklah, aku akan ke sana dalam 15 menit."[Marcus:]"Terima kasih, Lucius. Sampai nanti."[Lucius:]"Sampai nanti, Marcus."Lucius kemudian bangkit dari peraduannya lalu pergi membersihkan dirinya. Dia sadar bobot tubuhnya sudah menurun sedikit namun perut abs-nya tetap terbentuk sempurna. Setelah berpakaian rapi, Lucius keluar dari rumahnya dan menuju tempat pertemuan yang biasa mereka gunakan, sebuah kafe kecil di sudut kota yang tenang.[Kafe Kecil di Sudut Kota]Marcus sudah duduk di meja sudut, menatap ke luar jendela dengan secangkir kopi di tangannya. Ketika melihat Lucius masuk, dia melambaikan tangan dan tersenyum tipis."Lucius,
Bandara Diagon Alley kini dalam kondisi siaga satu. Petugas keamanan dikerahkan ke setiap sudut, memastikan tidak ada celah bagi pelarian. Kabar tentang hilangnya liontin vampir dari museum membuat situasi semakin tegang. Setiap penumpang yang hendak berangkat maupun baru tiba diperiksa dengan ketat, tidak ada yang luput dari pengawasan.Di tengah keramaian yang penuh dengan ketegangan, terdengar bunyi langkah berat dari sepatu-sepatu bot militer yang menggetarkan lantai bandara. Kepolisian Diagon Alley, yang kini menjalankan operasi militer, menyusuri setiap sudut dengan senjata terhunus. Kapten Marcus, pemimpin operasi, memberikan instruksi tegas kepada timnya melalui radio:"Semua unit, pastikan setiap titik keluar dijaga ketat. Tidak ada yang masuk atau keluar tanpa izin saya. Siapkan pemeriksaan intensif di semua pintu gerbang dan terminal."Frank Flanders, yang baru saja mendengar instruksi melalui radio seluler yang diselundupkan, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Dia meny
"Oliver yang malang, mengapa kau tidak memunculkan batang hidungmu di depanku?" dengus pria parlente itu.Frank Flanders duduk sendiri di ruang gelap, merenungi kegagalannya. Walaupun penuh dengan keyakinan awalnya, dia akhirnya tersadar bahwa dia sendirian dalam pencarian Oliver. Dalam kesendirian dan keputusasaan, dia terus mencari dengan tekad yang semakin melemah. Namun, hasilnya tetap nihil. Kegagalan itu menghancurkan semangatnya, meninggalkan dia dalam kesedihan dan penyesalan yang mendalam.Mendengar Oliver Brown tertangkap oleh Kepolisian Diagon Alley, pria gempal itu kemudian bersiap-siap untuk mengambil jalur Britania Raya untuk melarikan diri dari masalah yang diperbuat oleh Oliver Brown. Namun tak disangka, seluruh satuan Kepolisian Diagon Alley telah mencium keberadaannya."CH, sial!" geramnya, menggertakkan giginya dengan frustrasi. Ia tahu bahwa pelarian kali ini akan lebih sulit dari yang pernah dibayangkannya. Dengan setiap langkah yang diambil, bayang-bayang kegelapa
Lucius melangkah keluar dari kamar tidurnya, meninggalkan kehangatan selimut untuk menghadapi hawa dingin malam. Ia menuju ruang kerjanya yang penuh dengan buku-buku tua dan artefak berdebu, peninggalan dari berbagai penelitian yang pernah ia lakukan. Di sudut ruangan, sebuah sakel rusak yang disebutkan dalam mimpinya tergeletak di atas meja, setengah terkubur di bawah tumpukan dokumen.Dengan hati-hati, Lucius membersihkan permukaan sakel, memperhatikan ukiran-ukiran halus yang menghiasi permukaannya. Ia mencoba mengingat setiap detail dari mimpi tadi, berharap menemukan petunjuk yang bisa membantunya membuka sakel ini dalam dunia nyata.(Tidak mungkin ini hanya kebetulan,) pikirnya. (Mimpi itu pasti ada artinya.)Lucius kemudian mengingatkan dirinya pada satu nama: Profesor Aldric, seorang ahli sejarah yang pernah ia temui dalam salah satu konferensi. Profesor Aldric dikenal sebagai seorang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang artefak kuno. Dengan cepat, Lucius memutuskan untu