Elizabeth mendengar bahwa utusan Templar menemui Ayahandanya untuk melakukan pernikahan. Elizabeth merasa cemas dan bingung mendengar berita tersebut. Kedatangan utusan Templar mengindikasikan sesuatu yang besar, dan pengaturan pernikahan oleh Ayahandanya pasti melibatkan alasan politik atau strategis. Elizabeth bertanya-tanya siapa pasangan yang telah dipilih Ayahandanya untuknya. Apakah dia seorang ksatria Templar? Atau mungkin dia anggota keluarga kerajaan lainnya yang memiliki hubungan dengan Templar? Dia merasa tidak nyaman dengan gagasan pernikahan yang diatur, tetapi dia juga tahu bahwa sebagai seorang putri, dia mungkin harus menyerah pada keinginan Ayahandanya untuk kebaikan kerajaan. Namun, Elizabeth juga berpikir bahwa dia mungkin bisa menggunakan situasi ini untuk keuntungannya. Jika suaminya adalah seorang ksatria Templar atau memiliki hubungan erat dengan mereka, dia bisa memanfaatkan posisi itu untuk mendapatkan lebih banyak pengetahuan dan pengaruh dalam politik dan
Para pendengar, yang berjumlah sekitar dua lusin, memandang Vivienne dengan campuran rasa takjub dan takut. Mereka adalah sekelompok manusia dan vampir, yang semuanya berkumpul dengan tujuan yang sama: merubah dunia mereka. Ada cahaya di mata mereka, cahaya yang ditempa oleh ketakutan dan harapan, yang membuat Vivienne merasa bersemangat dan berani. Vivienne adalah seorang vampir baru, dicap oleh Tuan Muda Nocturnus sendiri, seorang pemimpin kuat dalam dunia vampir. Dengan pengaruhnya, ia yakin bahwa dia dapat membawa perubahan yang sangat dibutuhkan. Vivienne pernah menjadi pelayan pribadi Raja di istana Celeste, tempat dia diperlakukan tidak lebih baik daripada budak. Namun, sekarang, dengan memori Adelais yang telah dipindahkan oleh Zaberisk, dia memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan baru ini. Setelah beberapa detik menatap pendengar, Vivienne bergerak. Dengan langkah pasti dan percaya diri, dia memasuki istana, siap untuk melaksanakan r
Pangeran Lucius baru pulang dari peperangan. Namun ia tidak mengetahui bahwa Adelais menghilang lama. Saat ia pulang berperang, ia terkejut bahwa Desa Templar telah luluh lantak. Ia teringat akan Adelais dan langsung pergi mencarinya,namun tidak ada satupun jejak yang terdeteksi.Buatkan situasi dramatis.Tak ada satu pun nyala api yang terlihat, hanya bayangan hantu dari apa yang pernah menjadi Desa Templar. Semuanya terbakar menjadi abu dan debu, bangunan-bangunan yang dulunya berdiri megah kini telah menjadi puing-puing yang hancur lebur. Aroma hangus yang kuat memenuhi udara, sebuah peringatan tentang kekerasan yang baru saja terjadi.Pangeran Lucius, seorang prajurit yang baru pulang dari peperangan, memandangi puing-puing tersebut dengan rasa sakit dan ketakutan yang memenuhi hatinya. Betapa kejamnya perang yang baru saja ia tinggalkan, dan betapa kejamnya kehancuran yang menantinya di rumah.Tapi ada satu nama yang berteriak dalam benaknya, satu rasa takut yang lebih besar dari
"Mereka... mereka mati dengan cara apa?" tanya Lucius, suaranya hampir tak terdengar. "Mereka bersimbah darah, Tuan." Jawab Jenderal Templar dengan suara penuh penyesalan. "Mereka mati dengan gagah berani, melawan hingga napas terakhir." Lucius merasa seolah-olah pisau tajam menusuk jantungnya. Mereka bersimbah darah. Gambaran itu menari-nari dalam pikirannya, membuatnya merasa seolah-olah ia tenggelam dalam lautan kepedihan. Tetapi di tengah rasa sakit yang tak terperikan, ia merasakan sesuatu yang lain juga membara dalam dadanya. Amarah. Keinginan untuk balas dendam. "Kami akan membalas, Jenderal." Kata Lucius akhirnya, suaranya terdengar lebih kuat. "Kami akan membalas Ferrandus. Biarkan mereka merasakan apa yang telah mereka perbuat kepada kita." Walaupun penuh kesedihan dan kehilangan, dalam matanya terlihat api yang membara. Pangeran Lucius Damien akan membalas, dan bagi Ferrandus, badai akan segera datang. Dalam suasana yang berat, Jenderal Templar hanya bisa mengangguk, me
Vivienne menahan nafasnya, merasa tertekan oleh kekuatan kata-kata Zaberisk. Sebagai makhluk abadi, dia telah melihat banyak hal terjadi di depan matanya, tetapi konflik batin ini adalah salah satu yang paling sulit dia hadapi. Dengan suara yang bergetar, dia menjawab, "Zaberisk, kau tahu aku selalu menghormati dan mempercayaimu. Semua pengorbanan, pertempuran, dan kesulitan yang kita hadapi bersama-sama, itu adalah bagian dari sejarah kita. Tapi, seperti yang kau katakan, aku memiliki suara batin yang bergetar. Ada bagian dari diriku yang terbelah, antara keinginan untuk membalas dendam dan keinginan untuk mencari keadilan." Zaberisk mendengus, "Keadilan? Apa yang kau maksud?" Vivienne menarik napas dalam-dalam, "Ketika aku menyatu dengan Adelais, aku mendapatkan kenangan dan emosi yang kuat darinya. Kekerasan hatinya, keinginannya untuk membalas dendam, itu semua menggema di kepalaku. Tapi aku juga merasakan keadilan. Aku merasakan kebutuhan untuk melindungi yang tidak bersala
Seorang Bandit Vampir memberitahu pada Zaberisk jika rencana penyerangan mereka sudah siap. Bandit Vampir mendekati Zaberisk dengan langkah cepat dan hening lalu mengatakan, "Tuan Muda, rencana penyerangan kita sudah siap. Pasukan telah diposisikan dan kita dapat melancarkan serangan dalam waktu dekat." Zaberisk Nocturnus mengangkat alisnya, menunjukkan rasa tertarik,"Akhirnya saatnya tiba. Bagaimanakah detail penyerangannya, Bandit?" Bandit Vampir menimpali,"Kita akan menyerang dari tiga sisi. Pasukan utama akan masuk dari gerbang utama sambil menciptakan kekacauan. Sementara itu, pasukan lainnya akan mencoba menembus pertahanan mereka dari belakang dan sisi. Dengan kecepatan dan kekuatan kita sebagai vampir, kita seharusnya mampu mengatasi pertahanan mereka dengan cepat." "Hmm, dan apa yang telah kamu siapkan untuk menghadapi kemungkinan adanya tahanan magis atau perangkap yang mereka pasang?" "Kita telah menyiapkan beberapa vampir ahli sihir yang telah mempelajari cara mengatas
Putri Elizabeth memanggil Xavier, seorang pandai besi tua dan bijaksana, untuk memilih zirah emas terbaik. Mereka mencermati setiap detail, memastikan zirah itu cukup kuat untuk pertempuran tetapi tetap memungkinkan gerakan dengan bebas. Putri Elizabeth memanggil senjatai kerajaan, seorang pandai besi tua dan bijaksana, untuk memilih zirah emas terbaik. Mereka mencermati setiap detail, memastikan zirah itu cukup kuat untuk pertempuran tetapi tetap memungkinkan gerakan dengan bebas.Di sudut kerajaan yang tenang, sebuah bengkel pandai besi dikelilingi oleh bunga-bunga liar dan api yang membara. Kebisingan ketukan palu dan nyala api menjadi bagian dari ritme harian di tempat itu. Di sinilah senjatai kerajaan, Pak Damar, telah menghabiskan hampir seluruh hidupnya, menciptakan senjata dan zirah untuk para prajurit dan anggota kerajaan. Putri Elizabeth, dengan gaun biru muda yang mengalir, berjalan masuk dengan langkah pasti. Senyumnya memancarkan rasa hormat dan kekaguman pada sang
(Ini adalah kisah cinta sejati yang terpisahkan oleh takdir yang menyakitkan bagi seorang bangsawan sepertiku.) Pada tahun 1460, Perang Konstantinopel memang pecah. Menyusul Perang Salib yang dipicu oleh konspirasi dari beberapa oknum pejabat kerajaan yang memiliki karakter bak Iblis Keserakahan. Para pasukan perang Salib berusaha keras mempertahankan wilayah. Meski begitu, banyaknya darah yang tercurah di tanah Kontantinopel juga tidak sedikit. Dari kekacauan, muncul seorang pahlawan wanita Transylvannia yang terkenal pemberani. Seorang Putri Muda Transylvannia dari Ordo Celeste, keturunan langsung dari Sang Jalan Lurus. Dia memang terlahir sebagai seorang Putri Mahkota dari Kerajaan Celeste. Memiliki takdir cinta yang cemerlang. Seorang pejuang wanita yang memiliki kemampuan perang yang mumpuni. Membuatnya menjadi sosok yang ditakuti oleh seluruh musuhnya. Demi tugas negara untuk penaklukkan Jazirah Raya, Sang Putri rela meninggalkan pengantinnya untuk menundukkan Jazirah Raya.
Setelah pertemuan dengan Lucius, situasi di rumah sakit jiwa St. Dymphna semakin tegang. Frank Flanders, meskipun sempat merasa lega karena telah menceritakan tentang liontin kepada Lucius, tetap dihantui oleh mimpi-mimpi buruk yang mengerikan setiap malam. Suara-suara yang berbisik dalam mimpinya semakin kuat, memerintahkannya untuk melakukan hal-hal yang tak terbayangkan.Suatu malam, saat petugas rumah sakit berpatroli di lorong-lorong yang sunyi, Frank tampak lebih tenang dari biasanya. Para petugas mengira obat penenang yang diberikan akhirnya bekerja. Namun, di dalam kamar isolasinya, Frank memandang sekeliling dengan mata yang gelap dan penuh keputusasaan. Di sudut ruangan, sebuah kain putih, bekas tirai yang telah disobek, tergeletak tak terpakai. Frank menghela napas dalam-dalam, merasakan beban berat di dadanya. Ia merasa tidak ada lagi jalan keluar dari mimpi-mimpi buruk ini. Dengan tangan gemetar, ia meraih kain tersebut dan mulai mengikatkan salah satu ujungn
Lucius merasa putus asa setelah pertemuannya dengan Adrian tidak membuahkan hasil. Liontin yang begitu penting baginya ternyata sudah dicuri oleh Frank Flanders, seorang pria yang kini dirundung mimpi buruk setiap malam. Mimpi-mimpi itu begitu mengerikan hingga membuat Frank kehilangan akal sehatnya dan akhirnya harus dirawat di rumah sakit jiwa. Di rumah sakit jiwa, Frank terus meracau tentang liontin yang memanggilnya dalam mimpi, meminta untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Kondisinya semakin memburuk, dan meskipun para dokter berusaha memahami keadaannya, mereka tidak dapat menghilangkan mimpi-mimpi buruk yang menghantuinya. Lucius, yang merasa bahwa liontin itu bukan hanya barang berharga tapi juga memiliki kekuatan mistis, sadar bahwa dia harus menemukan cara untuk mendapatkan kembali liontin itu. Dia tahu bahwa hanya dengan mengembalikan liontin kepada pemilik yang sah, kutukan ini dapat diakhiri. Namun, pertanyaannya adalah, bagaimana cara masuk ke rumah sakit
Lucius meninggalkan rumah Elara dengan berbagai pikiran berkecamuk di benaknya. Perpustakaan tua itu menjadi tujuan berikutnya. Mengemudi melalui jalan-jalan kota yang mulai sepi, ia berusaha mengingat setiap detail yang telah didapatkan sejauh ini. Perpustakaan tua itu terletak di ujung jalan yang jarang dilalui orang. Bangunan batu dengan jendela-jendela tinggi dan pintu kayu besar tampak berdiri megah di bawah cahaya bulan. Lucius memasuki perpustakaan, di dalamnya suasana tenang dan berdebu terasa menyelimutinya. Rak-rak buku yang tinggi dan lampu redup menciptakan suasana yang hampir magis.Di belakang meja kayu besar di tengah ruangan, seorang pria tua dengan rambut abu-abu pendek dan kacamata bundar sedang membaca sebuah buku tebal. Lucius mendekatinya dengan hati-hati. "Victor?" tanya Lucius dengan suara rendah agar tidak mengganggu keheningan perpustakaan. Pria tua itu mengangkat pandangannya dan tersenyum tipis. "Ya, saya Victor. Ada yang bisa saya bantu?" Lucius
Setelah mengucapkan terima kasih kepada pria tua itu, Lucius bergerak dengan tujuan yang lebih jelas. Dia memindai kerumunan di bar sekali lagi, mencoba menemukan wanita bernama Alicia. Ia memutuskan untuk bertanya pada bartender, yang mungkin lebih mengenal para pelanggan tetap di sana.Lucius mendekati bar dan memanggil perhatian bartender, seorang pria dengan kumis tebal dan tatapan tajam. "Permisi, apakah Anda tahu di mana aku bisa menemukan seorang wanita bernama Alicia? Aku diberitahu bahwa dia sering berada di sini." Bartender itu menatap Lucius sejenak sebelum menjawab, "Alicia, ya? Dia ada di sini tadi. Sepertinya dia sedang duduk di pojok sana, di dekat jendela." Lucius mengikuti arah pandangan bartender dan melihat seorang wanita muda dengan rambut hitam panjang dan mata tajam yang duduk sendirian. Dia sedang menatap keluar jendela, tampaknya tenggelam dalam pikirannya sendiri.Dengan langkah mantap, Lucius mendekati meja Alicia dan memberanikan diri untuk berbicara.
Lucius menatap layar ponselnya sejenak setelah mengirim pesan balasan kepada Alena. Keheningan jalanan malam yang terhampar di sekitar Knockturn Alley menambah suasana misterius di sekitarnya. Cahaya lampu jalan yang redup menyala samar-samar di antara bangunan-bangunan kuno yang menjulang tinggi, memberi sentuhan dramatis pada suasana malam itu.Ia menarik napas dalam-dalam saat melangkah keluar dari gedung penyelidikan. Udara dingin malam London menusuk tulang, membuatnya lebih berhati-hati saat berjalan di sepanjang trotoar yang gelap. Langkahnya mantap meskipun hatinya dipenuhi dengan rasa was-was dan antisipasi akan apa yang akan dihadapinya dalam perjalanan ini.Dengan kunci mobilnya yang digenggam erat, Lucius melangkah menuju kendaraannya. Cahaya lampu mobil menyinari jalanan yang sepi saat ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Sejenak, ia duduk di dalam mobilnya, membiarkan dirinya meresapi ketenangan sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Setelah memastikan bahw
[Marcus:]"Hai Lucius, ada waktu untuk ngobrol sebentar?"[Lucius:]"Halo Marcus, tentu. Ada apa?"[Marcus:]"Aku turut berduka cita atas kematian atasan kita,Tuan Grissham Bell. Bisa ketemu sebentar di tempat biasa?"[Lucius:]"Bisa. Ada masalah apa?"[Marcus:]"Aku ingin mendiskusikan proyek baru. Ada beberapa hal yang perlu dipecahkan."[Lucius:]"Baiklah, aku akan ke sana dalam 15 menit."[Marcus:]"Terima kasih, Lucius. Sampai nanti."[Lucius:]"Sampai nanti, Marcus."Lucius kemudian bangkit dari peraduannya lalu pergi membersihkan dirinya. Dia sadar bobot tubuhnya sudah menurun sedikit namun perut abs-nya tetap terbentuk sempurna. Setelah berpakaian rapi, Lucius keluar dari rumahnya dan menuju tempat pertemuan yang biasa mereka gunakan, sebuah kafe kecil di sudut kota yang tenang.[Kafe Kecil di Sudut Kota]Marcus sudah duduk di meja sudut, menatap ke luar jendela dengan secangkir kopi di tangannya. Ketika melihat Lucius masuk, dia melambaikan tangan dan tersenyum tipis."Lucius,
Bandara Diagon Alley kini dalam kondisi siaga satu. Petugas keamanan dikerahkan ke setiap sudut, memastikan tidak ada celah bagi pelarian. Kabar tentang hilangnya liontin vampir dari museum membuat situasi semakin tegang. Setiap penumpang yang hendak berangkat maupun baru tiba diperiksa dengan ketat, tidak ada yang luput dari pengawasan.Di tengah keramaian yang penuh dengan ketegangan, terdengar bunyi langkah berat dari sepatu-sepatu bot militer yang menggetarkan lantai bandara. Kepolisian Diagon Alley, yang kini menjalankan operasi militer, menyusuri setiap sudut dengan senjata terhunus. Kapten Marcus, pemimpin operasi, memberikan instruksi tegas kepada timnya melalui radio:"Semua unit, pastikan setiap titik keluar dijaga ketat. Tidak ada yang masuk atau keluar tanpa izin saya. Siapkan pemeriksaan intensif di semua pintu gerbang dan terminal."Frank Flanders, yang baru saja mendengar instruksi melalui radio seluler yang diselundupkan, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Dia meny
"Oliver yang malang, mengapa kau tidak memunculkan batang hidungmu di depanku?" dengus pria parlente itu.Frank Flanders duduk sendiri di ruang gelap, merenungi kegagalannya. Walaupun penuh dengan keyakinan awalnya, dia akhirnya tersadar bahwa dia sendirian dalam pencarian Oliver. Dalam kesendirian dan keputusasaan, dia terus mencari dengan tekad yang semakin melemah. Namun, hasilnya tetap nihil. Kegagalan itu menghancurkan semangatnya, meninggalkan dia dalam kesedihan dan penyesalan yang mendalam.Mendengar Oliver Brown tertangkap oleh Kepolisian Diagon Alley, pria gempal itu kemudian bersiap-siap untuk mengambil jalur Britania Raya untuk melarikan diri dari masalah yang diperbuat oleh Oliver Brown. Namun tak disangka, seluruh satuan Kepolisian Diagon Alley telah mencium keberadaannya."CH, sial!" geramnya, menggertakkan giginya dengan frustrasi. Ia tahu bahwa pelarian kali ini akan lebih sulit dari yang pernah dibayangkannya. Dengan setiap langkah yang diambil, bayang-bayang kegelapa
Lucius melangkah keluar dari kamar tidurnya, meninggalkan kehangatan selimut untuk menghadapi hawa dingin malam. Ia menuju ruang kerjanya yang penuh dengan buku-buku tua dan artefak berdebu, peninggalan dari berbagai penelitian yang pernah ia lakukan. Di sudut ruangan, sebuah sakel rusak yang disebutkan dalam mimpinya tergeletak di atas meja, setengah terkubur di bawah tumpukan dokumen.Dengan hati-hati, Lucius membersihkan permukaan sakel, memperhatikan ukiran-ukiran halus yang menghiasi permukaannya. Ia mencoba mengingat setiap detail dari mimpi tadi, berharap menemukan petunjuk yang bisa membantunya membuka sakel ini dalam dunia nyata.(Tidak mungkin ini hanya kebetulan,) pikirnya. (Mimpi itu pasti ada artinya.)Lucius kemudian mengingatkan dirinya pada satu nama: Profesor Aldric, seorang ahli sejarah yang pernah ia temui dalam salah satu konferensi. Profesor Aldric dikenal sebagai seorang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang artefak kuno. Dengan cepat, Lucius memutuskan untu