Luca dimasukan ke dalam ruangan khusus. Ia menunduk lesu saat mengingat kembali kebodohan yang sebelumnya ia lakukan pada Malia.
Jika keluarganya telat datang dan bertindak, mungkin Malia sudah terbunuh. Ia bersyukur atas hal itu, dan di saat bersamaan ia merasa malu karena masih belum mampu mengendalikan dirinya dengan baik. Seperti kedua kakaknya, juga ibunya, Rosalie.
Satu persatu anggota Keluarga Argent meninggalkan ruang isolasi. Masing-masing dari mereka menutup ketiga lapis pintu yang menjadi pengaman ruangan itu. Namun tak lama seseorang kembali datang dan membuka satu persatu pintu tersebut. Menutupnya kembali dan berdiri tegak di hadapan Luca sambil melipat kedua tangannya.
"Ikut aku!" tegas Leona. "Aku tidak pernah setuju setiap kali kau minta untuk di kurung seperti ini." lanjutnya. "Kau harus berlatih, Luca!"
Luca mendongak, menatap sang kakak yang nampak begitu menjulang di hadapannya. Leona terlihat lebih serius dari biasanya. Gadis itu men
"Mau kuhajar atau bicara, hm?" ancam Leona sembari mencengkram salah satu bahu Luca. Leona melemparkan tatapan nyalangnya pada Luca, membuat sang adik bergidik ngeri saat beradu tatap dengannya. Segala kelembutan yang Leona tunjukan beberapa waktu lalu lenyap bersama dengan iris matanya yang berubah warna. Berevolusi. Tahap pertama iris mata Leona mulai menguning dengan tone yang lebih terang. Di tahap selanjutnya tampak terlihat seperti langit senja, jingga dengan sedikit tone kemerahan di sisi luarnya. Lalu warna merah yang menghiasi sisi luar itu menjalar, mengubah keseluruhan warna pada iris mata Leona. Merah semerah bulan darah saat mencapai puncaknya. Pada dasarnya semua vampire memiliki warna iris yang sama. Merah ketika tengah berada dalam jiwa mereka yang sesungguhnya. Dalam keadaan terancam, atau saat hampir-akan-dan sedang marah. Iris mereka berwarna merah. Namun hanya para purebloods yang memiliki iris merah menyala. Seperti Leona, ayahnya
"Truth or dare!" Seru Archie sembari mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.Ash, Gabe dan Lyla terperanjat kaget saat rungu mereka mendengar seruan Archie yang terdengar seperti sebuah ajakan perang.Bagaimana tidak? Saat itu mereka berempat tengah berkutat dengan setumpuk buku dan alat tulis masing-masing. Mereka sedang berada di tengah-tengah kegiatan belajar kelompok.Semua orang benar-benar fokus pada pekerjaannya masing-masing, dan Archie menjadi satu-satunya orang yang mulai terlihat bosan dengan keheningan yang mereka ciptakan sejak empat puluh lima menit yang lalu. Archie sudah berusaha keras menahan kantuk dan rasa bosannya. Tapi, sepertinya usahanya telah kalah dengan rahangnya yang berusaha keras mengajaknya untuk mengeluarkan sebuah uapan keras."Hoaaammmz!"Archie menguap sembari merentangkan kedua tangannya. Dan tanpa sengaja memukul kepala Ash dan Lyla yang saat
Setelah memarkir motornya di tempat tersembunyi, tak jauh dari pintu masuk menuju hutan, Ash berlari dengan tergesa –melesat menuju rute yang biasa ia dan Leona lalui menuju kabin. Tempat mereka menghabiskan waktu bersama.Sesuai dugaan. Leona berada di depan kabin, duduk di tempat biasa. Anak tangga kedua selalu menjadi tempat favorit Leona. Kedua lengannya sengaja ia sandarkan sedikit pada anak tangga nomor empat, anak tangga paling atas yang menyatu dengan lantai depan kabin.Gadis itu mengubah posisi duduknya saat menyadari keberadaan Ash di sana. Kedua alisnya terangkat naik, membuat pangkalnya nampak hampir menyatu. Bingung.Sepertinya Leona tak menghubungi bahkan tak memberi tahu siapa pun bahwa ia akan datang ke kabin untuk menyendiri seperti sekarang ini. Bisa-bisanya Ash datang padanya dengan wajah sedikit di tekuk, seperti sedang mencemaskan sesuatu."Are you alright?" tanya As
"Apa kau tertarik untuk mendengar ceritanya, Ash?" tanya Leona dengan penekanan di tiga kata pertama. "I do." sahut Ash yakin. Leona menyempatkan diri menoleh, menatap ke dalam mata Ash, mencari kesungguhan dari kalimat yang diucapkannya tadi. "Bukankah perempuan selalu membutuhkan lelaki yang mau mendengar semua ceritanya?" tak ada keraguan sedikit pun dari pertanyaan Ash. Seolah kalimat itu cukup sering ia katakan, bahkan sepertinya ia tahu betul bagaimana caranya untuk membuat para gadis percaya dengan ucapannya. Termasuk Leona. Ia memberikan anggukan kecil sebagai jawaban. "Kalau begitu kita kesa–" "Melesat tidak termasuk kedalam hitungan jalan-jalan, Leona." potong Ash sembari merangkul pinggang Leona saat Leona hendak melesat. Gadis itu mendesah pasrah saat Ash berusaha menghentikannya. Lima detik setelahnya ia menurunkan pandangannya, memandangi tangan Ash yang masih melingkari pinggangnya dengan sorot tajamnya. Sorot it
"I-I.. Itu.. Di luar kuasaku." Leona terbata.Gadis itu memejamkan matanya selama beberapa saat, mencoba mengingat kembali beberapa moment yang pernah ia lewati bersama Damien. Leona menggeleng cepat sembari membuka katup matanya dalam sekali sentakan saat beberapa kejadian buruk terlintas begitu ia memikirkan semuanya. "Sudahlah. Itu adalah kesalahan terbesarku." lirih Leona. "Kau menyukainya?" "Siapa?" "Damien." "Itu adalah kesalahan terbesarku, Ash!" pekik Leona kesal. Hening. Baik Ash atau Leona, keduanya bungkam setelah pekikan tadi. Mereka hanya saling menatap dengan bola mata sedikit bergetar. "Jika terpaksa melakukannya sekali lagi. Apa kau akan kembali menyukainya?" lagi-lagi Ash tak bisa merahasiakan rasa penasarannya. Leona mengendikkan bahunya seiring dengan desahan pasrah yang lagi-lagi ia munculkan tanpa sengaja. Sungguh, gadis itu terlihat lelah terus menerus membahas masalah ini. Masal
Malia menatap kosong langit-langit kamar mandi yang berwarna serba putih itu. Sesekali ia memejamkan matanya, merasakan kehangatan yang mengaliri seluruh permukaan kulitnya.Aroma lavender dari beberapa buah lilin yang menyala di ruangan itu benar-benar terasa begitu menenangkan.Sesaat ia merasa begitu merindukan sosok mendiang ibu dan ayahnya. Biasanya kedua orangtuanya akan begitu panik saat ia terlalu lama berada di dalam kamar mandi apalagi sampai hampir tertidur di dalam bath tub seperti yang tengah ia lakukan saat ini.Ibu dan ayahnya akan berceramah panjang kali lebar setiap kali ia berlama-lama di dalam kamar mandi. Mereka bilang kalau kamar mandi itu adalah tempat favorit para makhluk tak kasat mata. Dan berlama-lama di dalam kamar mandi sangat tidak disarankan.Malia menenggelamkan kepalanya ke dalam air, berusaha melarutkan air matanya yang berjatuhan tanpa diminta. Sekelebat kenangan buruk pun ikut terlintas.Ia ingat betul kejadian bu
Pagi itu, beberapa jam setelah sarapan, Leona bersama sang ibu, Rosalie, juga Malia memutuskan untuk berkumpul di halaman belakang sekedar mengobrol sembari menikmati secangkir teh dengan aroma favorit masing-masing.Rosalie menyesap teh rosellanya sembari menutup matanya saat aroma harumnya menyeruak dan menguasai indera penciumannya. Teh rosella atau teh merah adalah salah satu minuman favorit Rosalie. Ah, tidak. Tampaknya semua minuman berwarna merah adalah minuman favorit Rosalie. Semua anggota keluarga Argent mengetahui itu. Termasuk Malia.Rosalie kembali membuka matanya sembari mengulas senyum saat ia merasa tubuhnya begitu segar setelah menyesap dan menghirup aroma teh tersebut.Rosalie meletakkan cangkir beningnya di atas meja, lalu mengalihkan seluruh atensinya pada kedua gadis yang tengah duduk bungkam sembari melamun dengan cangkir teh yang tergenggam sempurna di tangan masing-masing."So... Wanna talk with me?" Rosalie membuka obrolan.
"Sepertinya kau dan Ash telah melakukan sesuatu di hutan semalam suntuk. Benar, 'kan?" ucap Malia pada Leona. Malia berusaha membalik keadaan.Ucapannya terdengar mengintimidasi dalam rungu Leona, membuat Leona bergidik saat manik hazelnya beradu tatap dengan milik Malia. Sepertinya gadis polos ini sudah berubah menjadi gadis psycho. Pikirnya."Jangan menggodaku!" pekik Leona.Malia terbahak di ikuti Rosalie setelahnya."Sudah jam makan siang. Kita belum membuat makanan apapun untukmu, Malia." Rosalie menengahi.Sebagai ibu, Rosalie tahu betul perubahan suasana hati anak perempuannya itu. Leona sudah malas untuk digoda atau pun menggoda. Semuanya mulai menjurus ke arah yang lebih pribadi. Malia tengah berusaha memancing Leona agar mengungkap perasaannya, namun Leona selalu enggan jika diminta atau dipancing untuk membahas hal itu.Malia pun sadar dengan perbuatannya. Sebelum Leona mengamuk atau menghindarinya, Malia bersegra merangkul Leona