Setelah memarkir motornya di tempat tersembunyi, tak jauh dari pintu masuk menuju hutan, Ash berlari dengan tergesa –melesat menuju rute yang biasa ia dan Leona lalui menuju kabin. Tempat mereka menghabiskan waktu bersama.
Sesuai dugaan. Leona berada di depan kabin, duduk di tempat biasa. Anak tangga kedua selalu menjadi tempat favorit Leona. Kedua lengannya sengaja ia sandarkan sedikit pada anak tangga nomor empat, anak tangga paling atas yang menyatu dengan lantai depan kabin.
Gadis itu mengubah posisi duduknya saat menyadari keberadaan Ash di sana. Kedua alisnya terangkat naik, membuat pangkalnya nampak hampir menyatu. Bingung.
Sepertinya Leona tak menghubungi bahkan tak memberi tahu siapa pun bahwa ia akan datang ke kabin untuk menyendiri seperti sekarang ini. Bisa-bisanya Ash datang padanya dengan wajah sedikit di tekuk, seperti sedang mencemaskan sesuatu.
"Are you alright?" tanya As
"Apa kau tertarik untuk mendengar ceritanya, Ash?" tanya Leona dengan penekanan di tiga kata pertama. "I do." sahut Ash yakin. Leona menyempatkan diri menoleh, menatap ke dalam mata Ash, mencari kesungguhan dari kalimat yang diucapkannya tadi. "Bukankah perempuan selalu membutuhkan lelaki yang mau mendengar semua ceritanya?" tak ada keraguan sedikit pun dari pertanyaan Ash. Seolah kalimat itu cukup sering ia katakan, bahkan sepertinya ia tahu betul bagaimana caranya untuk membuat para gadis percaya dengan ucapannya. Termasuk Leona. Ia memberikan anggukan kecil sebagai jawaban. "Kalau begitu kita kesa–" "Melesat tidak termasuk kedalam hitungan jalan-jalan, Leona." potong Ash sembari merangkul pinggang Leona saat Leona hendak melesat. Gadis itu mendesah pasrah saat Ash berusaha menghentikannya. Lima detik setelahnya ia menurunkan pandangannya, memandangi tangan Ash yang masih melingkari pinggangnya dengan sorot tajamnya. Sorot it
"I-I.. Itu.. Di luar kuasaku." Leona terbata.Gadis itu memejamkan matanya selama beberapa saat, mencoba mengingat kembali beberapa moment yang pernah ia lewati bersama Damien. Leona menggeleng cepat sembari membuka katup matanya dalam sekali sentakan saat beberapa kejadian buruk terlintas begitu ia memikirkan semuanya. "Sudahlah. Itu adalah kesalahan terbesarku." lirih Leona. "Kau menyukainya?" "Siapa?" "Damien." "Itu adalah kesalahan terbesarku, Ash!" pekik Leona kesal. Hening. Baik Ash atau Leona, keduanya bungkam setelah pekikan tadi. Mereka hanya saling menatap dengan bola mata sedikit bergetar. "Jika terpaksa melakukannya sekali lagi. Apa kau akan kembali menyukainya?" lagi-lagi Ash tak bisa merahasiakan rasa penasarannya. Leona mengendikkan bahunya seiring dengan desahan pasrah yang lagi-lagi ia munculkan tanpa sengaja. Sungguh, gadis itu terlihat lelah terus menerus membahas masalah ini. Masal
Malia menatap kosong langit-langit kamar mandi yang berwarna serba putih itu. Sesekali ia memejamkan matanya, merasakan kehangatan yang mengaliri seluruh permukaan kulitnya.Aroma lavender dari beberapa buah lilin yang menyala di ruangan itu benar-benar terasa begitu menenangkan.Sesaat ia merasa begitu merindukan sosok mendiang ibu dan ayahnya. Biasanya kedua orangtuanya akan begitu panik saat ia terlalu lama berada di dalam kamar mandi apalagi sampai hampir tertidur di dalam bath tub seperti yang tengah ia lakukan saat ini.Ibu dan ayahnya akan berceramah panjang kali lebar setiap kali ia berlama-lama di dalam kamar mandi. Mereka bilang kalau kamar mandi itu adalah tempat favorit para makhluk tak kasat mata. Dan berlama-lama di dalam kamar mandi sangat tidak disarankan.Malia menenggelamkan kepalanya ke dalam air, berusaha melarutkan air matanya yang berjatuhan tanpa diminta. Sekelebat kenangan buruk pun ikut terlintas.Ia ingat betul kejadian bu
Pagi itu, beberapa jam setelah sarapan, Leona bersama sang ibu, Rosalie, juga Malia memutuskan untuk berkumpul di halaman belakang sekedar mengobrol sembari menikmati secangkir teh dengan aroma favorit masing-masing.Rosalie menyesap teh rosellanya sembari menutup matanya saat aroma harumnya menyeruak dan menguasai indera penciumannya. Teh rosella atau teh merah adalah salah satu minuman favorit Rosalie. Ah, tidak. Tampaknya semua minuman berwarna merah adalah minuman favorit Rosalie. Semua anggota keluarga Argent mengetahui itu. Termasuk Malia.Rosalie kembali membuka matanya sembari mengulas senyum saat ia merasa tubuhnya begitu segar setelah menyesap dan menghirup aroma teh tersebut.Rosalie meletakkan cangkir beningnya di atas meja, lalu mengalihkan seluruh atensinya pada kedua gadis yang tengah duduk bungkam sembari melamun dengan cangkir teh yang tergenggam sempurna di tangan masing-masing."So... Wanna talk with me?" Rosalie membuka obrolan.
"Sepertinya kau dan Ash telah melakukan sesuatu di hutan semalam suntuk. Benar, 'kan?" ucap Malia pada Leona. Malia berusaha membalik keadaan.Ucapannya terdengar mengintimidasi dalam rungu Leona, membuat Leona bergidik saat manik hazelnya beradu tatap dengan milik Malia. Sepertinya gadis polos ini sudah berubah menjadi gadis psycho. Pikirnya."Jangan menggodaku!" pekik Leona.Malia terbahak di ikuti Rosalie setelahnya."Sudah jam makan siang. Kita belum membuat makanan apapun untukmu, Malia." Rosalie menengahi.Sebagai ibu, Rosalie tahu betul perubahan suasana hati anak perempuannya itu. Leona sudah malas untuk digoda atau pun menggoda. Semuanya mulai menjurus ke arah yang lebih pribadi. Malia tengah berusaha memancing Leona agar mengungkap perasaannya, namun Leona selalu enggan jika diminta atau dipancing untuk membahas hal itu.Malia pun sadar dengan perbuatannya. Sebelum Leona mengamuk atau menghindarinya, Malia bersegra merangkul Leona
"Biar aku dan Luca yang menyusul Leona." sergah Loui saat Rosalie hendak beranjak, meninggalkan Malia yang sedang berusaha meraih cangkir tehnya.Tanpa menunggu konfirmasi dari Rosalie, Loui melesat menyusul Luca yang telah jauh di depan sana. Loui tahu, Rosalie akan mempercayakan semua padanya juga Luca.Tak butuh waktu lama bagi keduanya untuk menemui Leona. Gadis itu tengah duduk bersandar pada sebuah pohon besar sembari memeluk lututnya."Pulanglah."Perintah singkat Loui berhasil mengaburkan lamunan Leona. Gadis itu menoleh lalu menatap kedua laki-laki yang tengah berdiri di hadapannya secara bergantian. Raut wajah Loui nampak segar seperti biasanya, berbeda dengan Luca yang terlihat terlalu pucat; tidak seperti biasanya."Ayo, kita pulang!" ajak Leona pada keduanya.Terdengar sedikit getaran pada kalimat ajakan tersebut. Bagaimana tidak, Leona nampak khawatir saat melihat wajah Luca yang terlihat begitu pucat. Terlalu pucat. Leona meng
"Kau bilang kita ini berbeda." sahut Ash"Maksudmu?" balas Loui bingung."Kau vampire dan aku serigala" jawab Ash polos. "Berbeda, bukan?"Loui mendesah pasrah sembari mengusap wajahnya. "Kau ini polos atau bagaimana?" keluhnya.Ash mengernyit bingung. Ia memiringkan kepalanya ke sisi kanan, menatap Loui yang mulai terlihat kesal di sebrang sana. "Aku hanya berbicara apa adanya. Kenapa kau kelihatannya kesal?" Ash masih terlihat bingung dengan ucapan dan ekspresi Loui yang nampak bertolak belakang."Sudahlah. Lupakan semua yang kukatakan tadi." anjur Loui pasrah.Meski masih tidak paham dengan situasi sebenarnya, Ash hanya bisa memberi anggukkan dan menuruti perintah Loui. "Hhmmm. Baiklah." jawabnya sepakat.Loui menggeleng, benar-benar tak paham dengan sikap yang ditunjukkan sang Alpha. "Apa kau belum pernah berkencan sampai seumur 18 tahun ini?" se
Leona segera menepis lengan Ash kasar seraya memalingkan wajahnya yang tampak bersemu. "Diam kau! Jangan bersikap manis padaku."Ash mengeleng pelan. "Aku hanya bersikap baik. Bukan bersikap manis seperti anggapanmu." jawabnya.Leona menangkup kedua pipinya sembari menurunkan pandangannya. Malu sekali sudah salah paham seperti ini.Di detik berikutnya Leona memutar tubuhnya –hendak melesat. Namun dengan sigap Ash menahannya karena tempat tersebut cukup ramai pengunjung."Tunggu aku." pintanya seraya merangkul pinggang Leona —membawa Leona menuju bangunan restaurant.Ingin menolak, namun sudah terlanjur malu. Akhirnya ia membiarkan lengan Ash melingkar sempurna di pinggangnya.Hangat. Lengan besar Ash terasa begitu hangat. Sepersekian detik berikutnya Leona menangkap tangan besar Ash, memegangnya erat. Lalu menoleh dan menatapnya lamat-lamat.Ash menghentikan langkahnya lalu menoleh. "Ada apa?" tembak Ash. "Aku hanya berusa