“Matheo!”
Jelita merasa tak asing dengan orang yang tengah berjalan ke arahnya. Jelita pun memperhatikan seksama. Benar, kan tidak asing. Cewek itu yang tadi ditangani di ruang kesehatan sekolah.
“Lo kenal sama dia, Mat?”
“Enggak.”
Kini Shelka sudah berdiri di depan motor Matheo. Ia menampilkan senyum yang begitu manis. “Kak Matheo,” katanya.
“Ada apa?”
Shelka diam membisu. Kini ia merutuki dirinya yang kelepasan memanggil Matheo. Giliran sudah di depan orangnya malahan bingung sendiri. “Gapapa, Kak. Cuma mau bilang hati-hati.”
Matheo hanya menggelengkan kepalanya saja. Tak ingin membuang waktu percuma, Matheo langsung menarik gasnya. Matheo segera melajukkan motornya melewati Shelka.
Jelita menengok sekilas ke arah Matheo. Dapat Jelita lihat tatapan kesedihan yang dipancarkan oleh adik kelasnya itu. “Mat,” panggil Jelita sambil menepuk bahu Matheo.
“Apa, Ta?”
“Kayaknya cewek itu suka sama lo deh.”
“Jangan ngaco lo, Ta.”
“Nggak ngaco. Tapi kelihatan banget kalau dia suka sama lo. Lagipula dia juga cantik kok.”
“Gue nggak lihat cantiknya. Yang gue butuhin rasa nyaman.”
“Terserah lo dah!” Jelita merasa percuma saja jika menasihati seorang Matheo. Sikapnya sangat keras kepala juga sulit untuk dibantah.
Dalam perjalanan menuju ke arah rumah Jelita pun terjadi keheningan antara Matheo juga Jelita. Keduanya sama-sama tak mengeluarkan suara sedikit pun. Hingga akhirnya perjalanan mereka sampai.
Jelita langsung turun dari motor Matheo. Ia melepaskan helm serta menyerahkan ke arah Matheo dengan wajah yang dibilang sangat jutek. “Makasih, Mat.”
“Lo marah?”
“Enggak!”
“Tapi kelihatan lo marah.”
“Udah tahu tanya,” jawab Jelita dengan ketus.
“Maaf, Ta.”
“Nggak perlu. Udah sana lo pulang,” usir Jelita secara terang-terangan.
Matheo langsung menyalakan starter motornya. “Jaga diri lo.” Matheo segera menarik gasnya dan melaju begitu kencang.
Dalam perjalanan menuju ke arah rumah, Matheo dipepet oleh orang yang sangat ia hindari.
“Anak Mommy, woy,” seru Gilang yang disambut ketawa oleh teman-teman lainnya.
Matheo yang merasakan akan terjadi sesuatu yang nggak beres langsung mencoba menghindar dari Gilang dan teman-temannya itu. Matheo langsung menancapkan gasnya kencang hingga membuat Gilang kehilangan jejak Matheo.
“Gila tuh anak. Bukannya tobat udah kelas tiga malahan ngajakin nggak benar,” gumam Matheo bermonolog.
Matheo langsung melajukan motornya ke arah rumah. Setelah sampai, ia langsung memarkir, kan sepeda motornya.
“Siang, Mom.”
“Eh, Mamat. Sudah pulang, Nak. Tumben sekali cepat,” sambut Kaila.
“Nggak ada pelajaran jadi pulang cepat.” Matheo berjalan menuju ke arah Kaila yang tengah duduk sambil membuka-buka majalah. Matheo bersalaman kemudian pamit menuju kamarnya. Sebelum masuk ia merasa aneh dengan suasana rumah yang sepi. “Sasha mana?”
“Belum pulang.”
“Tumben.”
“Mungkin langsung mendapatkan pelajaran.”
“Oh, gitu.”
Matheo langsung melanjutkan berjalan ke arah kamar. Ia melempar tas ke arah meja. Matheo selalu teringat dengan Gilang yang memang memiliki perasaan dengan Jelita.
“Tidak bisa dibiarkan kalau begini,” gumam Matheo.
Matheo langsung menuju ke arah lemari untuk berganti pakaian. Selesai semua, ia kembali keluar kamar yang kebetulan berpapasan dengan Mommynya.
“Mau pergi ke mana kamu, Mat?”
“Mau ke rumah Lita, Mom. Pinjam mobil, ya.”
“Pakai aja. Lagian Daddy kamu juga sudah kasih itu mobil buat kamu, kan?”
Matheo hanya membalas perkataan mommynya dengan senyuman tipis. Ia segera cipika cipiki dengan Mommynya. “Matheo pergi, Mom,” pamitnya.
“Hati-hati sayang,” sahut Kaila yang melihat anaknya sudah tumbuh dewasa. Tanpa sadar senyum Kaila terbit dengan sendirinya. Ia menarik napas panjang ketika melihat anak-anaknya yang semakin hari semakin bertumbuh besar tanpa ia dasari.
Bentar lagi mereka menemukan pasangan hidup masing-masing, terus menikah. Padahal baru saja Mommy merasakan kalian berada di perut Mommy kemarin.
***
Matheo kini tengah menyetir mobil menuju ke arah rumah Jelita. Padahal baru saja ia mengantarkan Jelita pulang ke rumahnya tapi, sudah ingin bertemu kembali. Entahlah.
Dalam perjalanan pun, Matheo memutar musik kesukaannya. Jarinya ia ketuk-ketukan di setir mobil mengikuti irama musik. Tak berapa lama ponsel yang ia letakan di bangku penumpang bergetar hebat.
“Ya, halo, Ren. Ada apa?”
“Di mana lo? Bisa ke rumah gue nggak?”
“Nggak bisa, gue mau ke rumah Lita.”
Decak Rendi kesal. “Bentar doang anjir, ada cewek cantik banget. Lo pasti suka deh. Mana dia sok kenal sama gue. Dan, dia minta nomor hape lo.”
“Hah, jangan macam-macam lo, Ren. Atau, besok lo bakalan masuk rumah sakit.”
“Gapapa masuk rumah sakit, bisa dirawat sama bebeb Sasha nanti.”
“Shit!”
Matheo langsung mematikan sambungan teleponnya dengan sepihak. Ia segera menancapkan gasnya menuju ke arah rumah Rendi. Niat mau ke rumah Lita gagal total.
Dalam perjalanan pun, Matheo mengumpati temannya itu. Mana kalau diiming-iming kopi starbuck dia langsung luluh lantah pula.
Tak berapa lama akhirnya perjalanan seorang Matheo sampai. Ia langsung disambut oleh Rendi dengan senyuman khasnya itu.
“Wuih, Bro. Datang juga lo.”
“Shit! Jangan sampai lo sebarin nomor hape gue.”
“Aduh, sudah terlanjur gue kasih. Gimana dong.”
“Sial!”
Rendi langsung terkekeh. “Udah lah, lagipula Shelka itu cantik. Dia teman adik gue.”
Matheo memejamkan matanya. “Gue nggak kenal sama dia.”
“Makanya biar kalian kenal itu saling chatingan. Pasti kalian berdua lama-lama jatuh cinta deh. Mukanya mirip boneka barbie gitu si Shelka. Bego lo kalau nggak suka.”
Matheo diam. Ia lebih memilih mendengarkan ocehan Rendi tentang perempuan yang tak ia kenal sama sekali.
“Anaknya ada di dalam noh,” tambahnya.
“Shit!” umpat Matheo kembali. “Gue nggak peduli! Gue mendingan pulang.”
“Ets, tunggu dulu. Lagian udah sampai sini lo malahan pulang. Udah, lo tiap hari ketemu Lita juga. Kalau yang Ini cewek langka, Bro.”
“Gila lo, Ren. Lama-lama lo mirip mucikari tahu nggak, sih. Nawar-nawarin cewek begini.”
“Bukan begitu, Mat. Gue hanya ingin membantu supaya lo tidak jomlo seumur hidup aja.”
Merasa Matheo sudah mulai jinak. Rendi langsung menarik lengan Matheo agar segera masuk ke rumah. Di sana sudah ada dua wanita yang masih pakai seragam SMP sedang berdiskusi masalah kegiatan untuk masa orientasi sekolah.
Mata Matheo langsung melotot tajam ketika melihat cewek yang tak asing bagi matanya. Ia menggaruk tengkuk yang tak gatal sama sekali.
“Halo, adik-adik manis. Babang Matheo datang nih.” Rendi dengan suara mirip toa masjid langsung menyodorkan Matheo ke arah Shelka.
Shelka sendiri langsung tersenyum senang. Ia segera berdiri dan merapikan pakaian seragamnya. Rambut yang Shelka gerai lurus pun langsung ia rapikan dengan sela-sela jari tangannya.
“Halo, Kak,” sapa Shelka.
“Ini, kan yang lo taksir?” tanya Rendi dengan mulut embernya.
Shelka langsung tersenyum malu-malu. Wajahnya ia tundukan menghadap ke arah bawah. Pipinya kini sudah merah seperti kepiting rebus.
Rendi sendiri yang melihat sikap Shelka jadi ikut gemas sendiri. “Kenalan dong kalian berdua. Biar akrab nantinya.”
Rendi mendorong tubuh Matheo lebih mendekat lagi. Hingga kini tubuh Matheo sudah berada di depan Shelka.
Matheo sendiri merutuki temannya itu, ia bersumpah besok akan memberi pelajaran kepada Rendi karena sudah berani membuatnya seperti ini.
“Hai, Kak, kenalin aku Shelka,” ujar Shelka sambil mengulurkan tangannya.
Matheo berdeham pelan. “Matheo.”
Shelka tersenyum lebar, tangan keduanya masih bertautan hingga membuat Rendi langsung menyindir keduanya. “Udah kali salamannya, lama banget kayak mau ijab qobul aja kalian berdua.”
Dengan cepat keduanya melepaskan tangan. Matheo ingin segera pergi namun langsung ditahan oleh Rendi.
“Ett, lo mau ke mana, sih?”
“Pulang.”
“Ya ampun, Mat. Gitu cara kenalan sama cewek? Gila, nggak ada romantisnya sekali.” Rendi menggelengkan kepalanya. Ia menatap Shelka yang masih saja terkagum-kagum dengan Matheo. “Dedek Shelka mendingan sama Abang Rendi aja, dari pada sama es batu begini.”
“Gapapa, aku siap mencairkan bekunya es batu itu.”
“Whoa, gila. Keren!” seru Rendi bersamaan dengan Dita.
Matheo sendiri hanya bisa menatap datar ke arah dua kakak beradik ini. Tak sengaja matanya beralih menatap ke arah Shelka. Tanpa diduga Shelka pun tengah menatap Matheo, hingga keduanya sama-sama tengah menatap satu sama lain dengan pandangan yang berbeda.
Matheo benar-benar sangat merutuki teman laknatnya itu. Gara-gara dia saat ini dirinya terjebak dengan Shelka di kondisi yang sangat akward.“Kak Matheo, mau minum?” tanya Shelka mencoba bersikap ramah tamah.Matheo hanya melirik sekilas tanpa menjawab pertanyaan Shelka sedikit pun. Ia langsung mengeluarkan ponselnya. Mengecek ada pesan masuk atau tidak. Padahal, tanpa dicek pun Matheo akan merasa ada getaran atau tidak pada ponselnya.Matheo berdecak. “Ren, gue balik, ya.”“Ya elah, baru juga duduk. Temenin Shelka dulu, lah. Nggak kasihan apa lo anak orang dicuekin begitu.” Rendi terus asyik bermain playstationnya tanpa mau menatap Matheo yang sudah sangat terlihat bosan. “Duduk dulu, lah.”“Gue ada urusan penting. Waktu gue nggak mau terbuang percuma seperti ini.” Matheo langsung bangkit dari tempat duduknya. Tanpa sadar tangan mungil Shelka sudah
SMA Nusa Bangsa.Pagi ini Matheo sudah berada di sekolahnya. Lebih tepatnya ia sudah ada di dalam kelas.“Mat, tumben lo udah sampai duluan,” sindir Rendi.Matheo berdecak kesal menatap wajah Rendi yang tengah tersenyum menatapnya. “Semua gara-gara lo. Rasanya ingin gue hajar wajah lo, Ren.”“Kenapa sih?” tanya Rendi pura-pura tak paham. “Cerita dong, Bro.”“Cewek itu telepon gue semalam.”“Maksud lo, Shelka?” tanya Rendi yang tidak percaya. Bagi Rendi pribadi, tak ada wanita yang mampu mendekati Matheo. Kalian tahu sendiri lah sikap Matheo yang ketus, dingin, dan tak bersahabat dengan kaum perempuan. Teman-teman Jelita saja suka pada lari ngibrit kalau ada Matheo. “Woy, malahan diam aja.”“Ya, siapa lagi.”“Hahaha, gila sih. Hebat lho dia. Bagi gue lo harus banyak bersyukur karena dia sangat gig
Matheo tak menjawab pertanyaan dari Jelita. Matheo lebih menatap pergerakan seorang Shelka yang berjalan masuk dan menghampiri ke arahnya.“Gimana nasi gorengnya, enak?”Matheo masih diam. Ia justru menoleh menatap ke arah Jelita yang tengah tersenyum menatapnya.“Gue, ke kantin dulu, ya,” bisik Jelita pelan sambil tersenyum serta mengedipkan salah satu matanya.Matheo berdeham pelan, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali.“Lo ngapain ke sini, sih?”“Mau ketemu sama Kakak.”Matheo berdecak pelan. “Tapi kedatangan lo ke sini bikin gosip baru tahu nggak sih.”Shelka yang paham sikap dingin Matheo hanya diam sambil tersenyum manis. “Gapapa, aku suka kalau digosipin sama Kak Matheo.”“Gue yang nggak suka. Dan, gue belum makan nasi gorengnya.”Terdapat raut kecewa di wajah Shelka. Namun, dengan cepat Shelka segera menampilk
“Hai, Mom,” sapa Matheo. Matheo langsung cipika cipiki kepada Kaila. Ia segera berjalan ke arah dalam rumah menuju ke kamarnya. Saat melewati ruang keluarga ternyata sudah ada Clarisa tengah cekikikan sendiri menatap layar ponselnya. Pokoknya adiknya itu sudah mirip orang nggak waras.“Kak Mamat, sini deh,” teriak Clarisa yang membuat Matheo terkejut sendiri.“Apa?”“Kak, sini.”Matheo mau nggak mau jalan menghampiri Clarisa. Clarisa menunjukkan layar ponsel ke arahnya. Dahi Matheo mengerut bingung, ia tak paham dengan tindakan Clarisa itu.“Belikan bando ini, ya,” pinta Clarisa dengan senyum manisnya yang sulit Matheo tolak.Matheo menghela napas kasar, ternyata dirinya dipanggil hanya untuk membelikan sebuah bando. Matheo udah mengira akan diberikan nomor cewek secantik Song Hye Kyo, tahunya ada udang dibalik bakwan.“Iya.”“Asik!” seru Claris
Pagi ini kota Jakarta diguyur hujan yang membuat siapa pun akan malas untuk melakukan aktifitas. Namun, tidak berlaku di keluarga Azekiel. Kaila pagi-pagi sudah membangunkan Clarisa juga Matheo yang sulit sekali bangkit dari tempat tidur. Menjadi seorang Ibu memanglah sangat tidak mudah. Harus bisa mengatur waktu dalam segalanya."Sha, bangun, Nak.""Euumm, ngantuk Mom.""Bangun sudah siang. Cepet!" Kaila langsung menyibak selimut yang membungkus tubuh mungil Clarisa. "Cepetan Sasha, itu Daddy udah rapi lho. Jangan sampai nanti Daddy marah.""Iya, Mom, iya."Kaila mengembuskan napas lega ketika melihat Clarisa sudah membuka matanya dan mau turun dari ranjang menuju ke arah kamar mandi. Sekarang giliran menuju ke arah kamar Matheo.Tok. Tok. Tok."Mat, Mamat, buka pintunya, bangun sudah siang," teriak Kaila dari depan pintu. Tangan Kaila pun tak segan-segan terus menggedor pintu yang terkunci dari dalam.
Matheo terus mengikuti Jelita menuju ke arah parkiran sekolah. Seharian ini moodnya benar-benar naik turun tidak jelas. Mana perintah dari mommy yang menyuruh Jelita ke rumah belum sempat ia sampaikan pula.“Kak Matheo.”Matheo langsung berhenti ketika melihat cewek bernama Shelka tengah memanggil dan tersenyum begitu manis ke arahnya. Mata Matheo pun tetap mengawasi pergerakan Jelita yang sudah berjalan jauh dengan Prita juga Siena.“Kak,” sapanya.“Ada apa?”“Aku nggak dijemput sama sopir, boleh nebeng nggak?” tanya Shelka sambil harap-harap cemas menunggu jawaban Matheo.“Hmm.”“Apa nih? Hmm itu tandanya boleh, ya?” tanya Shelka yang merasa girang sendiri.“Iya.”Shelka langsung tersenyum begitu lebar. “Makasih banyak, Kak.”“Hmm.”Matheo langsung berjalan b
Terkadang cinta itu bisa membuat orang menjadi gila tanpa disadarinya.-Matheo Demonte Azekiel-Suasana makan malam di keluarga Azekiel terlihat begitu tenang seperti malam-malam biasanya. Tapi, malam ini ada yang sangat terlihat berbeda dari sikap Matheo yang tidak mengeluarkan suara sekata pun meski sudah dipancing Clarisa berulang kali. Yang dilakukan oleh Matheo hanya mengangguk dan menggeleng saja.“Daddy dapat undangan pernikahan dari rekan bisnis Daddy, tapi sepertinya Daddy nggak bisa hadir, tolong nanti kamu gantikan Daddy, ya, Mat.” Melviano mulai membuka pembicaraan serius kali ini.Matheo sendiri langsung menghentikan suapan di sendoknya yang menggantung dengan sempurna.“Undangan dari siapa, Mel?” tanya Kaila—sang istri.“Dari Barra.”“Whoa, Kak Rere nikah, Dad?” tanya Clarisa sangat begitu antusias juga langsung melirik ke arah
Satu minggu kemudian.Sudah satu minggu ini Matheo begitu dekat dengan Shelka. Bahkan mereka berdua sudah sering berangkat dan pulang bersama ke sekolah. Semua itu tak luput dari pantauan Jelita. Melihat sahabatnya sudah bisa tersenyum kembali membuat Jelita ikut bahagia. Hubungan Jelita dengan Matheo pun sudah membaik. Mareka berdua sudah mulai menegur dan berbicara satu sama lain. Tapi, ada yang berbeda dengan Jelita yang sedikit cuek dengan Matheo.“Ta, lo mau temenin gue kondangan nggak nanti malam?"“Kondangan ke mana? Emang temen kita ada yang nikahan?”“Bukan temen kita, sih, tapi mantan gue.”Jelita yang sedang menyeruput jus alpukat langsung tersedak begitu hebat hingga menimbulkan batuk-batuk kecil sampai membuat dirinya memegangi dada yang terasa sakit. Dengan gerakan cepat, Matheo menyodorkan air mineral di depannya. Jelita menerima dan meminumnya cepat.“Maksud lo yang nikahan Rere?” tan
Jelita, sahabatku.Terima kasih sudah menjadi sahabat gue selama ini. Terima kasih karena lo selalu ada di saat kondisi gue terpuruk, bahkan patah hati karena diputusin cewek untuk pertama kali. Lo benar-benar tak pernah lelah hibur gue, bahkan mencarikan cewek baru buat gue supaya cepat move on. Tapi ... dunia kadang lucu banget, ya, Ta. Gue malahan jatuh cinta sama lo saat ini. Kocak banget nggak, sih.Jelita tersenyum, pikirannya langsung melayang di mana kala Matheo galau karena diputusin cewek untuk pertama kali, lebih parahnya dia hanya pacaran seminggu aja. Bego.Tapi, lagi-lagi kisah percintaan gue nggak seindah acara FTV yang sering tayang itu, nggak pernah mulus. Entah diputusin, atau gue yang kayak bajingan nyakitin cewek. Tapi, ini lebih parahnya ditolak, sih.Lo tahukan siap
Beberapa bulan kemudian.Setelah melewati banyak drama sekolah yang dimulai dari bolos jam pelajaran, nggak mengerjakan PR, hingga digembleng untuk materi tambahan selama semester dua. Bahkan tak lupa banyak pelajaran hidup yang bisa diambil di dalamnya. Mulai suka sama teman nggak berani tembak, suka sama teman tapi yang disukai udah pacaran sama orang lain, bahkan sudah sama-sama dekat tapi nggak jadian, ada juga yang saling suka hingga jadian seminggu, sebulan, setahun doang habis itu putus. Tak hanya soal cinta saja yang kita dapat semasa SMA. Ada banyak hal yang kita dapat. Kita mengerti artinya persahabatan, saling memahami antara teman sekelas, sebangku bahkan satu sekolah. Masa SMA digunakan sebagai ajang pencarian jati diri bahkan sering sekali hal yang dilarang justru membuat rasa penasaran yang menggebu-gebu hingga terkadang terdapat rasa penyesalan di kemudian hari. Semua itu kita dapat saat masa SMA. Masa di mana semua orang mengan
Dua minggu kemudian.Waktu liburan sekolah telah usai, kini semua anak-anak siswa SMA Nusa Bangsa kembali ke aktifitas seperti biasa. Menerima pelajaran dari Bapak/Ibu guru seperti biasanya. Namun, berbeda untuk anak-anak kelas 12 yang menerima jam tambahan hingga membuat pulang sedikit sore.Suasana kelas 12IPA1 kini sangatlah kondusif. Semua siswanya benar-benar tengah memperhatikan materi dengan begitu serius.Apalagi materi kali ini membahas ulang materi kelas sepuluh dan sebelas.Waktu terus berjalan hingga tak terasa sudah sore hari. Kini tiba saatnya kelas 12 mengakhiri jam tambahan pelajaran. Suara sorak-sorak siswa sangat menggema di setiap kelas ketika bel dibunyikan.“Horeee ... akhirnya balik juga, kepala udah mau botak begini,” seru Rendi yang mendapat pelototan dari Pak Kartono.Pak Kartono sendiri hanya bisa menghela napas lelah, ia memperhatikan anak didiknya yang sebentar lagi akan m
Dua minggu kemudian.Satu minggu sudah siswa SMA Nusa Bangsa melakukan ulangan semester, ditambah waktu seminggu untuk remidial bagi siswa yang belum memenuhi nilai KKM. Dan, tepat hari ini pula semua orangtua/wali murid menerima hasil rapor atas pembelajaran anaknya selama satu semester.“Udah lama nggak ketemu, Jeng Kaila,” sapa Marinka.“Iya Jeng, lama saya tidak ke butik.”Kini Marinka dan Kaila justru mengobrol sendiri tentang kehidupan orang dewasa. Marinka sedikit bercerita tentang butiknya yang sedikit sepi. Tak lupa juga Marinka memiliki keniatan ingin pindah ke kampung halamannya—Yogyakarta.“Terus nanti Lita gimana sekolahnya?”“Palingan nunggu Lita lulus dulu, kemudian saya ingin pindah saja.”“Memangnya suami—““Saya sudah bercerai. Dia lebih memilih wanita lain dibanding saya sama Lita,” tuturnya. Ta
Kurang lebih dua puluh menitan Shelka dan Matheo duduk di kafe setelah persoalan mereka selesai. Kini Shelka langsung berdiri untuk bersiap-siap keluar kafe.“Mau ke mana?”“Kakak aku udah sampai, dia nunggu depan.”“Suruh masuk aja dulu, minum.”“Katanya langsung pulang aja, gitu.”“Yaudah, aku bayar dulu. Kamu tunggu.”Matheo langsung menuju ke arah kasir untuk membayar lemon tea yang sudah dipesan barusan. Selesai membayar mereka berdua langsung menuju keluar kafe. Lebih tepatnya Matheo mengantar Shelka untuk bertemu kakaknya itu.Matheo merasa tak asing dengan mobil yang dituju oleh Shelka, ia merasa familiar dengan mobil itu. Baru saja otaknya berpikir mengingat mobil di depannya, sang pemilik mobil keluar yang membuat keduanya sama-sama terkejut.“Mamat.”“Mas Shaqu.”“Kalian
Jelita menoleh sambil tersenyum begitu canggung. Matanya menatap ke arah empat cowok yang tengah berjalan mendekat.“Lo ngapain di sini, Ta?” tanya Rizal.“Gue—““Nguping lo, ya,” tuding Rendi tepat sasaran.“Ih, jangan nuduh sembarangan lo, Ren,” sangkal Jelita cepat.“Ta, tumben naik ke rooftop? Ada perlu apa?” tanya Bagus begitu lembut.Matheo hanya diam memperhatikan makhluk ciptaan Tuhan yang paling indah itu dengan sudut bibir terangkat sebelah. Kalau dipikir-pikir melihat Jelita gugup seperti ini sangat begitu lucu. Apalagi bibirnya yang tipis manyun ke depan bikin pikiran nakal Matheo meronta.Jelita langsung menyingkir ke samping saat Rizal berjalan menuju ke arah pintu. Matanya membola sempurna ketika melihat Rizal dengan gampang membuka pintu. Mulutnya melongo tanpa disadarinya.“Kenapa, Ta?” tanya Bagus.
Pagi ini sekolah Nusa Bangsa tengah mengadakan ulangan semester. Semua siswa pun tengah fokus mengerjakan soal-soal ulangan dengan khusyuk. Guru pengawas terus memperhatikan gerak-gerik siswa yang mencurigakan.“Wawan, sedang apa kamu nengok ke belakang?”“Emm, ini Bu mau pinjam tip-ex.”“Yang ketahuan mencontek akan Ibu keluarkan dari kelas, dan sudah pasti akan langsung remidial.”Semuanya langsung menunduk menatap soal ulangan. Semuanya benar-benar nggak berani menoleh ke arah kanan kiri. Nasib nilainya yang menjadi taruhan nanti. Mereka semua nggak mau remidial yang kadang bikin pusing.Waktu terus berjalan hingga suara bel terdengar begitu nyaring yang mempertandakan kalau waktu mengerjakan ulangan telah usai. Mereka disuruh istirahat selama sepuluh menit yang kemudian dilanjut untuk mengerjakan ulangan berikutnya.“Sumpah sih mikir matematika bikin kepala mau bot
Setelah mengantar Shelka pulang ke rumah. Kini Matheo sudah berada di ruang kerja daddynya. Matheo tengah duduk di sofa sambil ditatap kedua orangtuanya. Ada gurat kecewa di mata keduanya. Matheo benar-benar menyesal tidak mendengarkan nasihat daddynya untuk fokus sekolah semasa SMA.“Daddy kecewa sama kamu, Matheo.”“Maaf, Dad.”“Daddy nggak tahu harus bilang apa sama kamu. Daddy juga nggak bisa mencegah perasaan kamu untuk jatuh cinta dengan siapa karena Daddy juga dulu seperti itu. Nggak ada bayangan untuk mencintai Mommy kamu ini. Karena dia buka tipe wanita Daddy, tapi entah kenapa hati Daddy dibuat jatuhcinta sama dia.”Kaila yang mendengar sanjungan dari suaminya langsung tersenyum malu-malu layaknya seorang ABG sedang kasmaran.“Setelah ini apa yang ingin kamu lakukan? Besok bukannya sudah ulangan semester?”“Pertama mau menegaskan kepada Shel
Kini Matheo terdiam seribu bahasa di depan orangtuanya. Entah kenapa sekarang urusan menjadi sangat rumit. Padahal ia masih SMA bukan orang dewasa yang akan nikah.Matheo menoleh ke arah Shelka dan Jelita bergantian. Dapat Matheo lihat kalau keduanya sama-sama habis menangis. Matheo benar-benar bingung sekali saat ini.“Masih mau diam saja?”“Enggak, Dad.”“Ya sudah cepat jelaskan.”Matheo meremas kedua tangannya, ia mengepal kuat untuk mengumpulkan keberanian berbicara di depan daddynya itu. Matheo menoleh kembali menatap ke arah Shelka yang sangat terlihat begitu rapuh.“Aku pacaran sama Shelka, Dad,” ucapnya lirih.“Lalu?”“Tapi, aku nggak mencintai dia,” katanya sembari menunduk merasa bersalah.Kaila yang mendengar langsung tampak terkejut, Clarisa sendiri tersenyum senang karena merasa menang, Melviano sendiri ha