Farrel terus mengguncang tubuh Danang, tetapi pemuda sebayanya itu tidak juga membuka mata. Bu Halimah dan Pak Haji Imran yang terbangun hendak shalat tahajud saling pandang, saat mendengar suara anaknya dari arah depan.
"Nyet, bangun Nyet. Kamu kenapa kok pingsan begini Nyet, siapa yang sudah nyakitin kamu?" tanya Farrel panik."Rel, kamu kenapa to, Le, malam-malam bukannya tidur malah rame sendiri. Mana ada monyet?" tanya Bu Halimah sambil mengusap-usap matanya."Pak, Buk. Tolong, ini Danang tiba-tiba ambruk," jawabnya tanpa menoleh dan masih menepuk-nepuk pipi Danang.Pak Haji Imran dan Bu Halimah bergegas mendekat. Mereka mengamati tubuh pemuda yang terlihat memprihatinkan di depannya. Lalu, Pak Haji Imran dan Farrel segera menggotong tubuh Danang dan menidurkannya di sofa."Ambilkan air, Bu," titah Pak Haji Imran pada sang istri.Farrel segera mengganti baju Danang yang basah dengan baju miliknya. Setelah itu, Pak Imran meminta Farrel menunggu Danang, sementara dirinya shalat tahajud. Sekembali dari shalat tahajud, laki-laki paruh baya itu merasa heran ketika mengamati wajah Danang yang seperti orang ketakutan. Mata Danang terbuka tetapi mulut pemuda tersebut hanya bergerak-gerak dengan suara tidak jelas.Pak Haji Imran menyentuh kepala Danang dan bertanya lirih, "Nak Danang, apa yang terjadi?"Danang menggeleng sembari menunjuk ke arah luar. Mulutnya ingin mengucapkan banyak kata tetapi entah mengapa seperti orang tuna wicara. "Aa ... uuu ...," ucapnya berkali-kali. Farrel menatap sang ayah yang berkali-kali menarik napas panjang."Apa tadi, dia ada masalah sewaktu di tempat latihan, Rel?"Farrel menggeleng tegas. "Ng, nggak ada, Pak. Dia bisa bicara kok. Tadi juga, sebelum pingsan dia juga bicara kok. Woi Nang, jangan becanda kamu, Nyet. Kamu kenapa kok jadi bisu begini?""Rel," tegur sang ibu sambil menggelengkan kepala."Kita panggil dokter, Pak, atau kita bawa dia ke rumah sakit. Sekalian kabari Bu Ningsih."Farrel hendak bangkit tetapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh Danang sembari menggelengkan kepalanya."Ja ... a ... ngan," cegah Danang lagi dengan terbata. Dia mengambil handphone miliknya yang berada di saku celananya yang sedikit basah.Dengan tangan bergetar pemuda itupun berusaha menulis apa yang dia alami. "Jangan bawa aku ke mana-mana, Rel. Aku takut, orang itu tahu, aku sudah melihatnya." Farrel dan Pak Haji Imran saling pandang membaca tulisan dari Danang."Apa maksudnya kamu, Nang? Orang siapa?"Danang kembali mengetik dengan susah payah."Aku lihat Pak Duki di pinggir sawah, Rel. Dan lihat... tu-tuyul, di ru-mah...,"Glotak.Handphone milik Danang tiba-tiba terjatuh ke lantai bersamaan dengan Danang yang kembali pingsan.**"Sepertinya memang di desa kita ini ada yang mencari pesugihan, Pak Lurah. Sekarang anak saya tidur terus, nggak dapat bicara, tangannya juga tidak bisa digerakkan. Padahal, dia nggak sakit apa-apa sebelumnya."Seluruh ruangan balai desa hening. Tatapan-tatapan mengintimidasi terarah pada Bintang yang pagi itu ikut rapat di sana. Laki-laki itu mencoba untuk tenang walaupun bisik-bisik dari para warga yang setiap kali ditemuinya membuat telinganya memerah."Pak Bintang, mohon maaf untuk kenyamanan warga kami. Saya selaku Kepala Desa Karanglor, meminta Pak Bintang dan istri untuk pindah dari desa kami. Itu sudah menjadi keputusan yang kami musyawarahkan bersama."Bintang terdiam sesaat lalu dia mengangguk menyetujui. "Baik, saya dan istri akan meninggalkan desa ini kalau memang kalian mencurigai kami. Tetapi, saya tegaskan sekali lagi, jika kami sudah pindah, tetapi kalian masih mengusik kehidupan kami maka saya tidak akan tinggal diam!" ucapnya tegas.Pak Haji Imran yang duduk tepat berhadapan dengan Bintang hanya bisa menggelengkan kepalanya. Dia menatap ke arah Pak Lurah yang tampak risih, ketika bertemu pandang dengan Pak Imran."Maaf kalau saya menyela keputusan ini Pak Lurah. Apa keputusan kalian semua, mengusir Mas Bintang dan Mbak Alisha itu atas dasar keputusan setiap warga atau atas dasar pergolongan?" tanya Pak Haji Imran dengan bahasa khasnya. Tenang dan berwibawa."Apa maksudnya, Pak Imran?" tanya Pak Lurah mulai terpancing emosi.Pak Haji Imran tersenyum sekilas kemudian menggeleng samar. "Pak Lurah, Anda dipilih warga untuk berada di posisi seperti saat ini. Jika Anda mengambil keputusan sepihak dengan mengatasnamakan musyawarah, musyawarah yang mana? Kenapa saya sebagai bagian dari pamong desa tidak dilibatkan? Dan musyawarah itu kapan, Pak, diadakan? Apa kalian lupa, Mas Bintang datang ke desa ini bukan atas keinginan sendiri tetapi atas nama tugas negara?"Hening.Suasana kembali hening, Bintang hendak berbicara tetapi Pak Imran mengangkat telapak tangannya sebentar. "Apa Anda juga sudah cukup bukti untuk menguatkan dugaan Anda sekalian, tentang adanya pesugihan yang melibatkan Mas Bintang?" tanya laki-laki paruh baya itu lagi.Seorang laki-laki muda mengangkat tangannya setelah Pak Haji Imran selesai bicara. "Ekhem ... Saya setuju dengan pernyataan Pak Haji Imran. Kita memang tidak boleh melakukan tindakan yang hanya berdasarkan 'katanya' satu dua orang yang berakhir jadi fitnah. Bagaimana kalau untuk membuktikan kebenaran dugaan kalian kita geledah setiap rumah satu persatu? Bagaimana Bapak-Bapak dan ibu-ibu sekalian?" tanya laki-laki yang diketahui sebagai sekretaris desa."Setuju!""Setuju, Pak!""Pak Agus, namanya pesugihan itu nggak kelihatan Pak, bagaimana kita bisa membuktikan?" tanya seorang laki-laki bertubuh kurus menyampaikan rasa keberatannya."Nah, kalau Pak Narso bilang begitu kenapa Pak Narso yakin sekali kalau Pak Bintang cari pesugihan, Pak?" sahut Pak Agus yang diangguki sebagian warga. Namun, sebagian yang lain menunjukkan wajah masam.**Malam harinya."Jadi, mereka ingin kita pergi dari kampung sini, Mas?" tanya Alisha dengan raut wajah gusar.Bintang hanya mengangguk lemah sambil menghempaskan tubuhnya di sofa. "Aku nggak nyangka Dik, semua akan jadi begini. Apa nggak sebaiknya kita jujur saja tentang pekerjaan kamu, Dik. Supaya nggak ada fitnah?""Jangan Mas," sahut Alisha tegas sambil menggelengkan kepala. "Aku malu Mas, tapi nanti pasti aku akan terbuka pada semua orang tentang pekerjaan aku. Percuma sekarang aku bicara, mereka nggak akan percaya karena dalam hati mereka masih diselimuti prasangka buruk. Allah nggak tidur kok, Mas."Bintang terdiam lalu menarik tubuh Alisha untuk merebah di dadanya. Laki-laki berwajah ganteng itu memeluk tubuh sang istri dan mengecup puncak kepala Alisha dengan sayang."Tapi aku khawatir terjadi sesuatu sama kamu selama aku di kantor."Alisha mendongak dan mencium sekilas bibir kemerahan suaminya. "Mas tenang saja, masih banyak orang yang baik di sekitar kita. Budhe Halimah contohnya dan beberapa ibu-ibu yang lain."Bintang kembali menatap sang istri, laki-laki itupun tersenyum. Kemudian Bintang mengajak istrinya menuju ke kamar. Tak berapa lama, keduanya telah hanyut dalam permainan panas yang menggebu.Bintang menjatuhkan dirinya di samping Alisha dengan napasnya yang masih memburu. "I love you my wife," bisiknya lirih sambil mengecup lama kening Alisha yang lembab.Alisha melingkarkan tangannya di bahu tegap sang suami. "I love you too, Mas," balasnya, lalu menenggelamkan wajahnya di dada bidang Bintang yang berkeringat dengan mata mulai terpejam.Lelaki tampan itu mengusap pelan rambut sang istri yang tergerai berantakan.Bintang mengerutkan kening ketika telinganya yang terlatih itu, mendengar sesuatu yang mencurigakan."Dik, pakai bajumu," bisiknya pada sang istri yang mulai tertidur."Apaan sih, hmmph ...,"Bintang membekap mulut Alisha dengan telapak tangannya. Sembari kembali berbisik. "Ssst, kamu tetap di sini, kunci pintunya," titahnya lirih."Ada apa Mas?" tanya Alisha sambil berbisik dan memakai baju tidurnya dengan cepat.Bintang segera mengenakan pakaiannya dan mengambil sesuatu dari laci nakas dan menyelipkan di pinggangnya. "Kunci pintunya, Sayang. Kalau bukan aku yang minta buka, jangan buka, ya!"Setelah berkata begitu, Bintang segera keluar dari dalam kamar dengan mengendap waspada."Bangsat," bisik seorang pemuda dengan tubuh jangkung sambil menyerang tubuh lelaki yang mengenakan penutup wajah.Kemudian keduanya kembali melanjutkan adu pukul. Tetapi rupanya, laki-laki bertubuh jangkung yang tak lain adalah Farrel itu, jago bela diri maka tidak mudah bagi lawan untuk melumpuhkannya.Farrel hendak menarik penutup kepala lelaki yang tadi beradu pukul dengannya, tepat bersamaan pintu depan rumah Bintang terbuka.Farrel menoleh ke arah pintu dan rupanya, hal itu dimanfaatkan oleh lawannya dengan menendang perut Farrel. Pemuda itupun terhuyung dan jatuh ke tanah. Sedangkan laki-laki yang bertubuh tinggi dengan penutup kepala tadi segera melompat ke arah motor RX King dan akhirnya motor itu melaju kencang meninggalkan Farrel yang berusaha untuk bangkit."Bangsat, jangan lari woi!" teriak Farrel dengan geram.Farrel mendekat ke sebuah benda yang tadi sengaja dilemparkan laki-laki yang memakai penutup kepala."Mas Farrel," Bintang mengamati Farrel yang berjongkok menatap benda yang tergeletak di tanah."Pak Bin, ini," ucap Farrel dengan mata menyipit. Bintang mendekat dan mengamati benda yang terbungkus kain berwarna putih."Astaghfirullah, sebentar Mas."Dengan hati-hati Bintang membuka bungkusan kain berwarna putih di depannya. Mereka saling pandang, kemudian sama-sama mengamati benda di depan mereka."Beras kuning dan darah, apa maksudnya ini Mas Farrel?"Farrel menggeleng kuat karena tidak tahu, maksudnya orang tadi mengirimkan benda tersebut. "Saya juga kurang tahu Pak, tadi saya pulang dari rumah Danang dan lihat ada orang yang mengendap di pekarangan rumah Pak Bintang," jawabnya.Bintang mengangguk samar. "Iya, tadi aku juga dengar, Mas. Aku juga dengar ada suara tawa anak kecil.""Anak kecil?" tanya Farrel dengan kening berkerut.Bintang mengangguk, dia memang mendengar suara laki-laki dewasa dan anak-anak seperti tengah berbisik-bisik."Sebelum aku keluar rumah dengar suara anak kecil berbisik-bisik dengan orang dewasa. Pas aku keluar, lihat Mas Farrel berantem. Mas tahu, siapa kira-kira orang tadi?" tanya Bintang."Saya curiga dengan postur tubuhnya, Pak.""Siapa kira-kira Mas?"Farrel mendesah kasar kemudian berbisik lirih yang membuat Bintang membulatkan matanya."Pak Agus?''* * *"Farrel lagi, Farrel lagi! Bagaimana caranya menyingkirkan bocah ingusan itu? Apa Bintang tahu kalau kamu yang melakukan ini?" tanya laki-laki paruh baya itu dengan nada geram mendengar kegagalan yang dilakukan anak buahnya untuk memfitnah Bintang."Tidak Pak, mereka tidak tahu. Tapi, Farrel bisa saja buka mulut dan tahu siapa saya.""Goblok kamu, kenapa kamu mesti meladeni bocah itu? Dia itu jago beladiri!" bentaknya dengan suara menggelegar. Laki-laki di depannya sempat berjingkat kaget. Dia tak berani menatap wajah pria yang punya kuasa seperti itu. Yang bisa dia lakukan hanyalah menunduk. "Baiklah, kamu boleh pulang. Untuk sementara jangan muncul di desa ini dulu," ujarnya dengan intonasi suara lebih rendah.Laki-laki bayaran tadi mengangguk sekali lagi dan mengambil amplop coklat yang diberikan pria di depannya. Setelah itu dia undur diri."Farrel dan Bintang adalah batu yang harus disingkirkan. Tetapi, menyingkirkan Bintang sama saja aku cari mati. Farrel, iya ..., bagaimana ka
Farrel mengusap rambutnya kasar dengan perasaan tidak karuan. Dia menarik napas panjang dan menghembuskan pelan sebelum memutuskan menerima panggilan telepon dari tetangga baru yang mengontrak rumah orang tuanya itu."Assalamu'alaikum," sapanya sopan. Walaupun slengekan, pemuda itu tidak melupakan tata krama. Pemuda yang menjadi alumni dari sebuah universitas tinggi di kota Malang itu memang masih tersesat, jauh dari agama, tetapi tidak pernah melupakan sopan santun.Kedua orang tua Farrel yang notabene orang dengan latar belakang agama yang kuat tidak bisa memaksa sang anak untuk mengikuti jejak mereka. Walaupun sebenarnya mereka tidak pernah lelah dan bosan menasihati putera semata wayangnya untuk kembali pada jalan Allah.Akan tetapi, jika hati sang anak masih tertutup maka tidak ada seorang pun yang bisa memaksanya sebelum hidayah itu benar-benar menyentuhnya. Suara baritone milik Bintang menyentak Farrel dari lamunannya. "Waalaikumsalam Mas Farrel, ini Bintang. Mas Farrel di man
Mendengar jawaban Bintang, sontak Alisha membekap mulutnya dengan mata membulat. "Hah, miring gimana Mas?" tanyanya dengan berbisik.Bintang memejamkan mata sejenak, kemudian kembali menjawab tanpa mengalihkan pandangannya pada sosok makhluk aneh di luar sana."Mulutnya memanjang ke atas. Nggak kayak kita," bisiknya.Alisha mengusap lengannya yang meremang. Wanita cantik itu juga beringsut, merapatkan tubuhnya pada tubuh sang suami. Sedangkan Bintang masih di posisi yang sama. Yakni, mengawasi gerak-gerik bocah kecil di pekarangan belakang rumah tetangganya.Bibir laki-laki itu tampak bergerak-gerak, dia sedang menggumamkan do'a. Ayam-ayam dan binatang peliharaan tetangga mereka tampak gaduh, bahkan beberapa ayam mengeluarkan suara-suara seperti rintihan. Bintang terus membaca do'a kemudian diikuti oleh sang istri. "Sudah pergi, Dik. Ayo kita shalat tahajud dulu sekalian nunggu shalat subuh," ajaknya."Aku takut Mas." Mendengar ucapan istrinya, Bintang tertawa lirih sambil mengusap p
"Sudah ya, Ibu-Ibu, saya duluan. Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam, terima kasih Pak Bin, Mbak Alisha sudah belanja," ucap Pak Tukang Sayur dengan senang karena Alisha membeli banyak dagangannya.Bu Sayuti melirik ke arah Alisha dengan tatapan sinis. Jangankan membalas salam Alisha, melihat saja seolah enggan. Entah mengapa, dirinya tidak menyukai Alisha yang menurutnya orang yang sangat menyebalkan.Padahal, selama tinggal di Desa Karanglor, baik Bintang maupun Alisha tidak pernah mengusik kehidupan mereka. Tetapi, apa pun alasannya jika di dalam dasar hati sudah tertanam rasa iri dengki maka apa pun yang dilakukan orang lain akan selalu salah di matanya.Tanpa sadar Bu Sayuti menarik napas kasar. Semenjak desas-desus Bintang dan Alisha akan membeli rumah baru, Bu Sayuti seperti terlihat ''kepanasan'' maka dia bertekad tidak mau kalah dari Alisha. Lagi, dia tersenyum satu sudut, namun hanya dalam satu detik. "Sudah diludahi belum Kang, itu duit dari Alisha? Jangan sampai lho uangmu
Selama 29 tahun hidupnya, Bintang kembali harus menghadapi kenyataan yang menurutnya konyol. Ide dari sang istri yang memintanya mencari kepiting atau yuyu adalah tantangan tersendiri baginya. Dia tadinya berpikir, jika ide dari wanita yang menjadi istrinya sejak setahun lalu itu, adalah dengan cara menggunakan alat digital. Namun, nyatanya jauh di luar dugaan Bintang.Laki-laki bertubuh tegap itu kembali menggaruk rambutnya. "Kamu yakin ini berhasil, Dik?" tanyanya memastikan.Alisha mengangguk pelan," InshaAllah Mas," jawabnya lirih. Alisha pernah mendengar cerita dari orang-orang kampung dulu, juga dari neneknya. Maka dia ingin mencoba menerapkan sendiri. Tidak ada salahnya mencoba, bukan? Jika berhasil maka seperti keinginan Bintang, dia juga ingin tahu siapa pemilik makhluk tak kasat mata tersebut."Terus bagaimana caranya?" tanya Bintang lagi untuk menuntaskan rasa penasarannya."Ya, kata Eyang dan orang-orang sih, tuh baskom dikasih air terus kepiting atau yuyu taruh saja di si
Setengah berlari, Alisha menghampiri kerumunan. Dia membekap mulutnya dengan tatapan mata nanar melihat pemandangan di depannya."Innalilahi wa innailaihi roji'uun!" pekiknya.Perempuan paruh baya yang beberapa menit yang lalu masih tampak segar bugar, ketika bertemu dengannya di dalam supermarket.Kini dia tergeletak bersimbah darah, tubuh kurusnya meringkuk di dekat trotoar. Jilbab simpel yang dikenakannya sudah berlumuran darah. Sedangkan tak jauh darinya, sekotak susu formula tergeletak mengenaskan di antara belanjaan perempuan tersebut yang berhamburan di atas aspal.Terbayang jelas, bagaimana tadi dia sangat senang bisa membeli susu untuk cucunya. Dan melihat dari penampilannya, sepertinya dia bukanlah orang yang berkecukupan. Sehingga mungkin menemukan uang yang jumlahnya seratus ribu saja membuatnya begitu bahagia. Beberapa saat kemudian, petugas kepolisian datang mengevakusi tubuh perempuan tersebut yang mungkin sudah dalam keadaan meninggal dunia. Dengan dibantu beberapa ora
Bu Halimah dan Fitri mengikuti arah telunjuk Alisha. Akan tetapi, mereka tidak melihat apa pun kecuali rerimbunan pohon pisang yang tumbuh di pinggir jalan. Alisha mengerjap berkali-kali, meyakinkan bahwa tidak salah melihat.Pak Duki yang meninggal beberapa waktu lalu, kini berdiri kaku di depan mobilnya dengan tatapan mata kosong tertuju ke arah dalam mobil Alisha. Tepatnya ke arah Rafli yang tertidur di pangkuan Fitri dan Bu Halimah. Baju lelaki paruh baya berbadan kurus itu sangat lusuh, seperti terakhir dia mengenakan baju tersebut ketika bekerja memetik cengkeh di kebun Pak Haji Imran.Dan yang membuat Alisha semakin bergidik ngeri adalah keberadaan dua makhluk kecil di punggung Pak Duki. Makhluk aneh dengan mulut mereka yang memanjang ke atas. Persis seperti yang diceritakan suaminya tempo hari. Kedua makhluk yang memiliki bentuk tubuh mirip anak kecil kurus itu terlihat senang berada di gendongan Pak Duki."Astaghfirullah ya Allah, kami mau lewat. Ya Allah, lindungi kami semua
Makhluk menyeramkan bertubuh tinggi besar dengan taring panjang bahkan melewati batang lehernya itu, menyeringai mengerikan. Dia membuka mulut dan menjulurkan lidahnya yang panjang mencapai laki-laki di depannya. Lidah itu menjilat kepala ayam kemudian membelit leher ayam malang tersebut. Tubuh ayam cemani betina itu terangkat ke atas, terlepas dari gendongan laki-laki paruh baya tadi. Kemudian dengan kejamnya, makhluk aneh itu membanting ayam yang tak berdaya tersebut ke bebatuan. Sehingga langsung bergerak-gerak tak karuan. Menggelepar seperti ayam yang baru saja disembelih. Laki-laki paruh baya itu terbelalak kaget, melihat kondisi ayam yang digunakan sebagai persembahan. Perwujudan dari seorang perempuan yang telah dia jadikan tumbal itu, sekarang dalam keadaan menyedihkan.Tak berapa, lama ayam itu mengalami sakaratul maut, tiba-tiba terdengar denguran layaknya manusia yang berada di ujung ajal.Makhluk aneh tersebut tertawa puas melihat persembahan yang dibawa laki-laki yang te
Sesampai di area pemakaman umum di belakang rumah sakit, Bintang dan ketiga temannya mendapati banyak kerumunan di situ. Mereka sibuk berbincang-bincang membicarakan orang yang tergantung di atas pohon randu. "Tadi sore dia ketemu aku lho, beli bunga buat nyekar, katanya. Terus dia cerita banyak banget. Katanya, dia itu kaya raya di Desa Karanglor. Tapi, kekayaannya dibawa mati istri dan anaknya." Ibu-ibu berdaster batik berceloteh, sedangkan yang lain mendengarkan dengan antusias. "Terus dia jadi miskin, nggak punya apa-apa. Aku tanya makam istri sama anaknya di sebelah mana? Eh, dia malah tertawa. Katanya, bunga itu akan dia bawa pulang nanti, mbuh apa maksudnya, Mbak?" Sang ibu mengakhiri ceritanya ketika mendengar suara sirine mobil ambulance mendekat."Astaghfirullah, Pak Narso. Innalillahi wa innailaihi roji'uun!""Kenal, Bin?" tanya salah seorang temannya pada Bintang.Bintang mengangguk. Dia menatap miris pada tubuh kurus yang sudah tidak bernyawa di atas sana. "Iya, dia tetan
"Mereka yang akan menutup kekacauan itu, Le. Karena sudah membuat perjanjian dengan Iblis Kukus. Para manusia serakah yang durhaka pada Gusti Allah itu sudah membuat banyak kekacauan. Jadi, yang bertanggung jawab ya mereka sendiri."Pak Abdul menatap Bagus sebentar sebelum melanjutkan ucapannya. Bagus lebih memilih diam dan tak bertanya karena dia sebenarnya tidak mengetahui orang-orang tersebut."Maka dari itu, lebih baik mereka menganggap kamu sudah hilang daripada hidupmu sengsara di luar sana. Sebelum waktunya, kamu tidak boleh keluar dari sini karena Bapak punya kepentingan lain denganmu, Le.""Jadi, ini maksudnya Pak Abdul itu? Budhe Sayuti termasuk orang-orang yang menutup kekacauan ini? Ya Allah, musibah apalagi setelah ini?" Tanpa sadar, Farrel bergumam. "Rel, ayo ikut shalat jenazah. Baunya amis banget, Rel." Farrel menoleh pada Danang dan mengangguk pelan. Kedua pemuda itu segera menuju ke ruang tengah di mana Bu Sayuti hendak dishalatkan.Semua orang menutup hidungnya men
Teriakan di pagi buta itu, mengagetkan penduduk Desa Mojojati yang berbatasan langsung dengan Desa Karanglor. Mereka berhamburan keluar rumah menuju rumah kontrakan yang beberapa waktu lalu, dihuni pasangan suami istri dari Desa Karanglor.Begitu juga dengan beberapa laki-laki yang tadinya masih enggan beranjak dari teras mushala. Mereka kompak langsung mendekati sumber suara."Ada apa, Lek?""Ada apa, Yu?""To-looong, ada ketiwasan, Pak. Tolong!" teriaknya ketakutan.Kompak pandangan mereka tertuju pada tubuh Bu Sayuti yang masih bernapas lemah, tetapi kondisinya sangat mengenaskan. Mereka juga serempak menutup hidungnya karena bau anyir itu sangat menyengat."Astaghfirullah, ya Allah!" Mereka memekik ngeri.Pemandangan di depan mereka sangat memilukan. Yakni, tubuh Bu Sayuti yang setengah telungkup itu terus bergerak pelan. Mulutnya seperti mengucapkan sesuatu, tetapi tidak jelas. Kedua matanya melotot ke satu arah dengan tatapan ketakutan. Dari kedua payudaranya mengucurkan darah ta
Ketiga temannya yang ingin tahu, ikut melongokkan wajah mereka menatap ke arah rumah Pak Narso. Mereka sama-sama saling pandang dan saling mengangkat bahu tak acuh karena tidak melihat hal yang mencurigakan."Apaan sih, Ndul?" tanya Vio sambil melirik Farrel yang masih serius memperhatikan ke dalam sana. "Huaseuu!" Umpat pemuda berambut agak gondrong setengah biru itu. "Ternyata makhluk sialan itu masih ikut si Tua Bangka itu, rupanya." Farrel berucap lirih."Hah?!" Kompak ketiga sahabatnya terkejut.Rupanya, Farrel masih bisa melihat makhluk kecil yang berupa tuyul itu, sedangkan Vio dan Dino tak bisa melihat lagi. Farrel juga melihat, beberapa makhluk aneh berada di sekitar Pak Narso."Kamu masih bisa melihatnya, Ndul?" Kali ini Dino bersuara.Farrel mengangguk samar tanpa mengalihkan perhatian dari dalam sana, bahkan kedua tangannya terkepal di atas stang motor. Tatapan tajam Farrel mengikuti ke mana pergerakan tuyul itu. Tak lama kemudian, Pak Narso keluar dari rumahnya dan bersia
Alisha memperhatikan foto di dalam liontin kalung kuno itu dengan seksama. Matanya berkaca-kaca. Dia ingat cerita sang ayah dulu, sebelum kakeknya meninggal. Saat itu, Alisha masih duduk di bangku SMA.Alisha menatap ke arah Farrel yang juga masih belum mengerti sepenuhnya dengan apa yang dia alami. "Mas Farrel, bagaimana bisa kalung ini sama Mas Farrel?" tanyanya, mewakili pertanyaan di benak mereka semua.Farrel terdiam dan mengingat tentang semua kebaikan Pak Abdul yang menolongnya dari peristiwa malam itu.Farrel menceritakan semua dengan detail. Semua orang yang berada di ruangan itu, mendengarkan dengan merinding. "Tepat tiga hari tiga malam aku bersama Pak Abdul, lukaku sembuh," ucapnya, ketika Bu Halimah menyibak kaos Farrel yang robek di bagian perut. "Beliau mengobati lukaku setiap pagi dan malam menjelang tidur. Menurut penuturan beliau, Pak Abdul ditangkap oleh segerombolan PKI dan disiksa ketika hendak melarikan diri. Pak Abdul ingin mengobati orang sakit...""Le, Bapak t
"Orang gila ... orang gila!" Mereka terus berteriak sambil bernyanyi dan berhamburan menuju ke tepi jalan. "Leee! Gio, Arfan! Pulang!" Ibu-ibu berteriak dari atas jembatan, ketika melihat kelima anak itu berlarian menjauh dari sungai."Buuk! Ada orang gila tidur di sungai, Buk!" balas salah satu di antara mereka sembari menunjuk ke arah sungai."Lha, makanya pulang, nanti kamu digondol orang gila, lho. Pulang, sudah mau Maghrib. Pada mandi sana!" teriak sang ibu memberi perintah. Dengan napas sama-sama terengah, kelimanya berdiri di atas jembatan di samping ibu itu."Itu Buk! Dia mati kayaknya, Buk!" teriak salah seorang sembari mengelap keringat di dahinya yang coklat.Si Ibu ikut menatap ke arah tengah sungai. Memang benar, di sana ada sesosok tubuh tidak bergerak dalam keadaan tidur miring. Lengannya menutupi wajah. "Astaghfirullah, benar. Kalian pulang, Ibuk panggil Pak RT!" titahnya pada mereka. Tetapi, kelimanya masih bergeming di tempat. "Itu ada mobil! Kita minta tolong sam
Sekali lagi, Bagus memperhatikan, dan membandingkan penampilannya sendiri dengan penampilan Pak Abdul. Selama tiga hari tinggal bersama Pak Abdul, Bagus baru menyadari jika Pak Abdul memakai pakaian yang sama. Melihat kebingungan di wajah pemuda tersebut, Pak Abdul mengulurkan tangan mengusap bahu Bagus. "Ini yang ingin Bapak ceritakan, Le. Bapak tidak tahu, takdir apa yang Gusti Allah gariskan sehingga secara kebetulan kamu bertemu dengan Bapak. Malam itu, Bapak tiba-tiba membelokkan langkah Bapak mampir ke pasar. Padahal Bapak selanjutnya tidak membeli apa-apa..," ucapnya terjeda. Bagus menanti cerita laki-laki paruh baya itu dengan sabar. Pak Abdul menarik napas panjang kemudian memejamkan matanya. "Bapak tidak pernah lewat jalan itu karena jalan itu masuk wilayah kekuasaan Iblis Kukus. Bangsa kami tidak ada yang berani sengaja masuk ke sana, begitu juga anak keturunannya Kukus. Mereka tidak berani masuk wilayah kami, kalau mereka melanggar akibatnya fatal. Gunung Kemukus itu ak
Senyum gadis cantik itu sangat menawan. Bagus tertegun melihatnya. Belum pernah dia melihat gadis secantik itu. "Kang, ayamnya Paklek kamu, tarung sama ayamku!" serunya membuyarkan lamunan Bagus.Bagus terkesiap, bukan hanya wajahnya yang sangat cantik. Akan tetapi, suaranya juga sangat merdu. Bagus menoleh kanan kiri, melihat jikalau Pak Abdul sudah kembali. Sepi. Pak Abdul belum menampakkan batang hidungnya. Bagus tersenyum canggung dan melangkah mendekati ayam yang masih bertarung di dekat kaki gadis itu.Sejenak, Bagus melupakan larangan dari Pak Abdul supaya tidak berkenalan dengan gadis tersebut. Dengan gugup, Bagus mengangkat ayam milik Pak Abdul dan membopongnya. Dia mengusap-usap kepala ayam jago yang terluka di beberapa bagian. Sesekali dia melirik ke arah gadis yang masih berdiri di tempatnya. Tentunya, masih menyunggingkan senyum memikat."Kakang, siapa namanya?" tanya gadis tersebut memutus kecanggungan."A-aku? Namaku Bagus," jawab Bagus gugup.Gadis itu mengangguk da
Pemuda itu mengambil tempat duduk di samping laki-laki tersebut. Dia menyunggingkan senyum, ketika laki-laki itu mengambilkan dua potong singkong rebus dan meletakkan di piring seng dengan motif-motif kehijauan."Makan dulu, setelah ini Bapak mau nyari kayu bakar," ucapnya sembari menyodorkan piring ke pangkuan sang pemuda.Pemuda tampan itu mengangguk santun. "Terima kasih ya, Pak. Bapak juga sarapan. Nanti saya ikut cari kayu bakar ya, Pak," ucapnya meminta izin. "Boleh, kalau kamu mau. Tapi, anak kota sepertimu apa nggak takut kena duri? Kulitmu halus dan bersih begitu." Laki-laki itu terkekeh. Diamatinya penampilan pemuda tersebut. "Bagaimana lukamu, masih sakit?" tanyanya kemudian.Sang pemuda menunduk. Menyingkap kaosnya dan meraba bagian perutnya, kemudian tersenyum. "Sudah kering, Pak. Sudah nggak sakit." Dia menjawab dengan senang.Laki-laki di depannya mengangguk kemudian menghela napas panjang. Ada kesedihan tergambar di wajahnya yang mulai keriput.Dia sempat menggeleng sa