Ucapan frontal dari Farrel membuat kedua orang di depannya tampak terkejut. Farrel kembali tersenyum miring sekilas, pemuda bertubuh jangkung itu kembali bersuara dengan nada penuh penekanan. "Jangan asal fitnah, kalau kalian sendiri nggak ingin difitnah. Pak Bintang datang ke desa ini bukan atas kemauan sendiri. Dan Bapak, walaupun kalian nggak bekerja dengannya lagi, masih banyak yang bekerja untuk Bapak."
Keduanya masih terdiam dengan salah tingkah lalu meninggalkan Farrel. Farrel hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala menghadapi otak dangkal orang-orang tersebut.*Sejak kejadian pemakaman Pak Duki, yang diwarnai desas-desus jika kematian Pak Duki akibat menjadi tumbal pesugihan, maka Desa Karanglor seolah menjadi desa mati. Setiap ba'da isya para penduduk desa yang biasanya lebih banyak menghabiskan waktu di warung kopi, kini mereka memilih di dalam rumah masing-masing.Warung Bu Siti tak seramai dulu, kini hanya anak-anak muda yang masih setia nongkrong di sana. Seperti biasa, tidak di dalam warung, melainkan duduk di atas motor dan bangku panjang di depan warung. Di dalam warung hanya ada dua orang laki-laki yang asyik dengan rokok dan kopi mereka."Sekarang anaknya Fitri panas, dia sering menangis. Katanya melihat Kang Duki diikat anak kecil-kecil kakinya.""Halah, namanya juga anak-anak Kang, pasti dia tengah berhalusinasi.""Tapi masa iya sampai panas badannya to Pakdhe?" tanya Bu Siti menimpali pembicaraan kedua tamu di warungnya.Belum sempat mereka menjawab, sebuah motor berhenti di halaman warung. Sontak sang pemilik warung dengan bergegas menyingkirkan dagangannya ke dalam."Assalamu'alaikum, sudah mau tutup nggih, Budhe? Masih ada gorengannya?""Em, su-sudah habis, Mas Bin. Itu tadi tinggal pesanan orang, ngapunten nggih." Bu Siti menjawab dengan gugup.Bintang hanya mengangguk dan tersenyum kaku. Dia sempat melihat ke arah meja lain di mana masih banyak dagangan milik Bu Siti. Tak ingin berprasangka buruk, laki-laki itupun segera pamit."Oh, ya sudah Budhe, assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam, Mas Bin. Monggo."Bintang kembali ke motornya dengan hati sedikit kecewa. Iya, dia selalu menyempatkan membeli gorengan berupa pisang goreng dan bakwan yang menjadi kesukaan sang istri di rumah."Lha nggak jadi beli Pak?" tanya Farrel yang baru saja memarkirkan motor besarnya di samping motor Bintang.Bintang menggeleng sembari mengenakan helm full facenya. "Sudah habis Mas Rel, tinggal pesanan orang. Duluan, Mas Rel," pamitnya.Farrel mengangguk sopan. "Monggo Pak," jawabnya.Sebelum bergabung bersama teman-temannya, Farrel melongok ke arah dalam warung. Kening pemuda itu berkerut melihat masih banyak jajanan yang dijual di atas meja."Budhe, kopi. Lho, itu masih banyak kok, katanya habis, tadi Pak Bintang mau beli?""Em, itu Rel, tadi ada yang pesan tapi tiba-tiba nggak jadi diambil!" jawabnya gugup, tetapi Farrel hanya menanggapi dengan ucapan ''oh'' saja.Walaupun mata pemuda itu melihat jelas kegugupan di wajah Bu Siti.Beberapa saat kemudian, warung pun terlihat sepi. Setelah menghabiskan kopi dan sedikit gorengan, Farrel dan teman-temannya segera pergi dari situ.Bu Siti juga terpaksa menutup warungnya lebih cepat, padahal baru jam 11 malam. Biasanya, warung kopi itu tutup sampai jam 2 dini hari. Walaupun masih banyak dagangan yang belum habis, Bu Siti tak mau sendirian di warung pojok desa yang agak jauh dari rumah penduduk.Depan warung hanya ada lapangan sepakbola yang ramai jika siang hari saja. Juga hamparan sawah yang luas.Terdengar suara serak dari samping Bu Siti. "Yu, kok wes tutup, ( Mbak, kok sudah tutup), haus Mbak, mau ngopi."Bu Siti yang hendak menutup pintu warung, menoleh ke sumber suara. Suara laki-laki yang sangat familiar karena memang menjadi pelanggan warungnya. Tetapi, itu dulu.Sekarang laki-laki itu...Sudah meninggal beberapa hari yang lalu.Mata Bu Siti membulat sempurna mendapati laki-laki yang berdiri di depan warungnya dengan wajah pucat pasi. Bibir laki-laki berpakaian lusuh, layaknya orang yang bekerja di kebun itu tersenyum kaku. Bibir pucat dan dengan sorot mata kosong, mata laki-laki berbadan kurus itu memerah."Kang ... Kang ... Du-Kiii, to-toloongg!"Bersamaan dengan itu, tubuh tambun Bu Siti ambruk di teras warungnya.Laki-laki kurus yang berdiri tak jauh dari Bu Siti yang pingsan hanya tersenyum penuh arti.*"Woi gerimis, pulang woi!""Tungguin dong Rell, aku suruh jalan begitu?" protes pemuda seumuran Farrel.Farrel hanya tertawa yang hampir melupakan temannya. Pemuda yang masih memakai seragam salah satu perguruan pencak silat itu menggaruk rambut nyentriknya. Dia menunggu temannya yang memang satu arah dengan rumahnya dengan sabar.Setelah itu, mereka pamit pada teman-temannya yang lain, yang juga bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing. Gerimis dari langit menjadi rintikan kecil.Sebuah motor lain melaju pelan di kawasan persawahan menuju ke Desa Karanglor. Sambil bersenandung, pemuda itu mengendarai motornya untuk mengusir udara dingin akibat gerimis kecil.Seragam silat yang dipakainya tak cukup menghangatkan badan. Sesekali dia menyilangkan tangan kirinya di depan dada, sedangkan tangan kanannya mengendalikan stang motor."Siapa tuh, jam segini mondar-mandir di tepi sawah, apa orang nyari kodok? Tapi, kok nggak bawa senter?" tanyanya retoris.Pemuda itu melambatkan motornya begitu mendapati laki-laki paruh baya tersebut duduk di pematang sawah tepat di pinggir jalan."Pak, lagi ngairi sawah ya?" tanyanya sopan. Laki-laki tersebut mendongak dan membuat pemuda yang berada di atas motor tersebut terkejut. "Lha, Pak Duki? Oh, setaaann!" teriaknya langsung melesatkan motornya dengan kecepatan tinggi.Dia mengumpat berulang kali sambil terus melajukan motornya menuju ke rumahnya. Pemuda itu sedikit bernafas lega saat motor yang dikendarainya telah memasuki perkampungan penduduk. Diapun memelankan laju motornya begitu telah sampai di gang kecil. Gang yang biasa dia lewati setiap pulang pergi berlatih pencak silat."Sialan, kempes lagi bannya," umpatnya untuk kesekian kali.Sambil menuntun motornya dia merutuk dalam hati. Sudah gerimis, bertemu hantu dan ban motornya kempes. Sedangkan, jarak rumahnya masih beberapa ratus meter lagi."Sialan benar malam ini," umpatnya lagi sambil melirik jam di pergelangan tangan kirinya.Pukul 02.15 WIB.Dia berhenti sejenak dan menyeka dahinya yang basah oleh keringat bercampur air hujan. Saat itulah, tanpa sengaja tatapan matanya menatap sesuatu yang janggal.Di halaman luas rumah bergaya joglo, seorang perempuan duduk di bawah pohon. Pemuda itu menajamkan penglihatannya dan matanya semakin membulat sempurna, begitu mengamati dengan seksama apa yang dilakukan perempuan tersebut di sana.Sangat tidak masuk akal, menjelang dini hari, dalam keadaan gerimis ada perempuan duduk di bawah pohon. Perempuan itu tampak menoleh kanan kiri memastikan situasi saat itu aman. Dan setelah itu, dia seperti merangkul dua makhluk kecil, makhluk seperti anak kecil dengan kepala tanpa rambut.Kedua anak itu tampak lahap menyusu, selayaknya bayi yang tengah menyusu pada ibunya. Dan ini bukan bayi biasa, karena tidak mungkin juga jika anak manusia dibiarkan telanjang begitu saja di tengah gerimis. Apalagi, menyusui anaknya di halaman malam-malam begini. Kecuali orang gila.Pemuda itu bergumam lirih, "Astaghfirullah hal adzim, menyusui tuyul?" Kemudian, dia memutuskan berbalik arah.Dia tidak peduli tubuhnya yang lelah basah oleh keringat dan air hujan. Langkahnya dipercepat sembari mendorong motornya."Rel, assalamu'alaikum, Rel buka pintunya!""Apaan sih, Nyet?" tanya Farrel dengan langkah gontai sambil membuka pintu."Rel, aku ti-tidur, di ..."Bruk. Pemuda itu pun ambruk di ambang pintu rumah Pak Haji Imran."Danang, woi bangun! Danang, hei monyet bangun woi!" Farrel mengguncang tubuh temannya dengan panik.* * *Farrel terus mengguncang tubuh Danang, tetapi pemuda sebayanya itu tidak juga membuka mata. Bu Halimah dan Pak Haji Imran yang terbangun hendak shalat tahajud saling pandang, saat mendengar suara anaknya dari arah depan."Nyet, bangun Nyet. Kamu kenapa kok pingsan begini Nyet, siapa yang sudah nyakitin kamu?" tanya Farrel panik."Rel, kamu kenapa to, Le, malam-malam bukannya tidur malah rame sendiri. Mana ada monyet?" tanya Bu Halimah sambil mengusap-usap matanya."Pak, Buk. Tolong, ini Danang tiba-tiba ambruk," jawabnya tanpa menoleh dan masih menepuk-nepuk pipi Danang. Pak Haji Imran dan Bu Halimah bergegas mendekat. Mereka mengamati tubuh pemuda yang terlihat memprihatinkan di depannya. Lalu, Pak Haji Imran dan Farrel segera menggotong tubuh Danang dan menidurkannya di sofa."Ambilkan air, Bu," titah Pak Haji Imran pada sang istri.Farrel segera mengganti baju Danang yang basah dengan baju miliknya. Setelah itu, Pak Imran meminta Farrel menunggu Danang, sementara dirinya shalat tah
"Farrel lagi, Farrel lagi! Bagaimana caranya menyingkirkan bocah ingusan itu? Apa Bintang tahu kalau kamu yang melakukan ini?" tanya laki-laki paruh baya itu dengan nada geram mendengar kegagalan yang dilakukan anak buahnya untuk memfitnah Bintang."Tidak Pak, mereka tidak tahu. Tapi, Farrel bisa saja buka mulut dan tahu siapa saya.""Goblok kamu, kenapa kamu mesti meladeni bocah itu? Dia itu jago beladiri!" bentaknya dengan suara menggelegar. Laki-laki di depannya sempat berjingkat kaget. Dia tak berani menatap wajah pria yang punya kuasa seperti itu. Yang bisa dia lakukan hanyalah menunduk. "Baiklah, kamu boleh pulang. Untuk sementara jangan muncul di desa ini dulu," ujarnya dengan intonasi suara lebih rendah.Laki-laki bayaran tadi mengangguk sekali lagi dan mengambil amplop coklat yang diberikan pria di depannya. Setelah itu dia undur diri."Farrel dan Bintang adalah batu yang harus disingkirkan. Tetapi, menyingkirkan Bintang sama saja aku cari mati. Farrel, iya ..., bagaimana ka
Farrel mengusap rambutnya kasar dengan perasaan tidak karuan. Dia menarik napas panjang dan menghembuskan pelan sebelum memutuskan menerima panggilan telepon dari tetangga baru yang mengontrak rumah orang tuanya itu."Assalamu'alaikum," sapanya sopan. Walaupun slengekan, pemuda itu tidak melupakan tata krama. Pemuda yang menjadi alumni dari sebuah universitas tinggi di kota Malang itu memang masih tersesat, jauh dari agama, tetapi tidak pernah melupakan sopan santun.Kedua orang tua Farrel yang notabene orang dengan latar belakang agama yang kuat tidak bisa memaksa sang anak untuk mengikuti jejak mereka. Walaupun sebenarnya mereka tidak pernah lelah dan bosan menasihati putera semata wayangnya untuk kembali pada jalan Allah.Akan tetapi, jika hati sang anak masih tertutup maka tidak ada seorang pun yang bisa memaksanya sebelum hidayah itu benar-benar menyentuhnya. Suara baritone milik Bintang menyentak Farrel dari lamunannya. "Waalaikumsalam Mas Farrel, ini Bintang. Mas Farrel di man
Mendengar jawaban Bintang, sontak Alisha membekap mulutnya dengan mata membulat. "Hah, miring gimana Mas?" tanyanya dengan berbisik.Bintang memejamkan mata sejenak, kemudian kembali menjawab tanpa mengalihkan pandangannya pada sosok makhluk aneh di luar sana."Mulutnya memanjang ke atas. Nggak kayak kita," bisiknya.Alisha mengusap lengannya yang meremang. Wanita cantik itu juga beringsut, merapatkan tubuhnya pada tubuh sang suami. Sedangkan Bintang masih di posisi yang sama. Yakni, mengawasi gerak-gerik bocah kecil di pekarangan belakang rumah tetangganya.Bibir laki-laki itu tampak bergerak-gerak, dia sedang menggumamkan do'a. Ayam-ayam dan binatang peliharaan tetangga mereka tampak gaduh, bahkan beberapa ayam mengeluarkan suara-suara seperti rintihan. Bintang terus membaca do'a kemudian diikuti oleh sang istri. "Sudah pergi, Dik. Ayo kita shalat tahajud dulu sekalian nunggu shalat subuh," ajaknya."Aku takut Mas." Mendengar ucapan istrinya, Bintang tertawa lirih sambil mengusap p
"Sudah ya, Ibu-Ibu, saya duluan. Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam, terima kasih Pak Bin, Mbak Alisha sudah belanja," ucap Pak Tukang Sayur dengan senang karena Alisha membeli banyak dagangannya.Bu Sayuti melirik ke arah Alisha dengan tatapan sinis. Jangankan membalas salam Alisha, melihat saja seolah enggan. Entah mengapa, dirinya tidak menyukai Alisha yang menurutnya orang yang sangat menyebalkan.Padahal, selama tinggal di Desa Karanglor, baik Bintang maupun Alisha tidak pernah mengusik kehidupan mereka. Tetapi, apa pun alasannya jika di dalam dasar hati sudah tertanam rasa iri dengki maka apa pun yang dilakukan orang lain akan selalu salah di matanya.Tanpa sadar Bu Sayuti menarik napas kasar. Semenjak desas-desus Bintang dan Alisha akan membeli rumah baru, Bu Sayuti seperti terlihat ''kepanasan'' maka dia bertekad tidak mau kalah dari Alisha. Lagi, dia tersenyum satu sudut, namun hanya dalam satu detik. "Sudah diludahi belum Kang, itu duit dari Alisha? Jangan sampai lho uangmu
Selama 29 tahun hidupnya, Bintang kembali harus menghadapi kenyataan yang menurutnya konyol. Ide dari sang istri yang memintanya mencari kepiting atau yuyu adalah tantangan tersendiri baginya. Dia tadinya berpikir, jika ide dari wanita yang menjadi istrinya sejak setahun lalu itu, adalah dengan cara menggunakan alat digital. Namun, nyatanya jauh di luar dugaan Bintang.Laki-laki bertubuh tegap itu kembali menggaruk rambutnya. "Kamu yakin ini berhasil, Dik?" tanyanya memastikan.Alisha mengangguk pelan," InshaAllah Mas," jawabnya lirih. Alisha pernah mendengar cerita dari orang-orang kampung dulu, juga dari neneknya. Maka dia ingin mencoba menerapkan sendiri. Tidak ada salahnya mencoba, bukan? Jika berhasil maka seperti keinginan Bintang, dia juga ingin tahu siapa pemilik makhluk tak kasat mata tersebut."Terus bagaimana caranya?" tanya Bintang lagi untuk menuntaskan rasa penasarannya."Ya, kata Eyang dan orang-orang sih, tuh baskom dikasih air terus kepiting atau yuyu taruh saja di si
Setengah berlari, Alisha menghampiri kerumunan. Dia membekap mulutnya dengan tatapan mata nanar melihat pemandangan di depannya."Innalilahi wa innailaihi roji'uun!" pekiknya.Perempuan paruh baya yang beberapa menit yang lalu masih tampak segar bugar, ketika bertemu dengannya di dalam supermarket.Kini dia tergeletak bersimbah darah, tubuh kurusnya meringkuk di dekat trotoar. Jilbab simpel yang dikenakannya sudah berlumuran darah. Sedangkan tak jauh darinya, sekotak susu formula tergeletak mengenaskan di antara belanjaan perempuan tersebut yang berhamburan di atas aspal.Terbayang jelas, bagaimana tadi dia sangat senang bisa membeli susu untuk cucunya. Dan melihat dari penampilannya, sepertinya dia bukanlah orang yang berkecukupan. Sehingga mungkin menemukan uang yang jumlahnya seratus ribu saja membuatnya begitu bahagia. Beberapa saat kemudian, petugas kepolisian datang mengevakusi tubuh perempuan tersebut yang mungkin sudah dalam keadaan meninggal dunia. Dengan dibantu beberapa ora
Bu Halimah dan Fitri mengikuti arah telunjuk Alisha. Akan tetapi, mereka tidak melihat apa pun kecuali rerimbunan pohon pisang yang tumbuh di pinggir jalan. Alisha mengerjap berkali-kali, meyakinkan bahwa tidak salah melihat.Pak Duki yang meninggal beberapa waktu lalu, kini berdiri kaku di depan mobilnya dengan tatapan mata kosong tertuju ke arah dalam mobil Alisha. Tepatnya ke arah Rafli yang tertidur di pangkuan Fitri dan Bu Halimah. Baju lelaki paruh baya berbadan kurus itu sangat lusuh, seperti terakhir dia mengenakan baju tersebut ketika bekerja memetik cengkeh di kebun Pak Haji Imran.Dan yang membuat Alisha semakin bergidik ngeri adalah keberadaan dua makhluk kecil di punggung Pak Duki. Makhluk aneh dengan mulut mereka yang memanjang ke atas. Persis seperti yang diceritakan suaminya tempo hari. Kedua makhluk yang memiliki bentuk tubuh mirip anak kecil kurus itu terlihat senang berada di gendongan Pak Duki."Astaghfirullah ya Allah, kami mau lewat. Ya Allah, lindungi kami semua
Sesampai di area pemakaman umum di belakang rumah sakit, Bintang dan ketiga temannya mendapati banyak kerumunan di situ. Mereka sibuk berbincang-bincang membicarakan orang yang tergantung di atas pohon randu. "Tadi sore dia ketemu aku lho, beli bunga buat nyekar, katanya. Terus dia cerita banyak banget. Katanya, dia itu kaya raya di Desa Karanglor. Tapi, kekayaannya dibawa mati istri dan anaknya." Ibu-ibu berdaster batik berceloteh, sedangkan yang lain mendengarkan dengan antusias. "Terus dia jadi miskin, nggak punya apa-apa. Aku tanya makam istri sama anaknya di sebelah mana? Eh, dia malah tertawa. Katanya, bunga itu akan dia bawa pulang nanti, mbuh apa maksudnya, Mbak?" Sang ibu mengakhiri ceritanya ketika mendengar suara sirine mobil ambulance mendekat."Astaghfirullah, Pak Narso. Innalillahi wa innailaihi roji'uun!""Kenal, Bin?" tanya salah seorang temannya pada Bintang.Bintang mengangguk. Dia menatap miris pada tubuh kurus yang sudah tidak bernyawa di atas sana. "Iya, dia tetan
"Mereka yang akan menutup kekacauan itu, Le. Karena sudah membuat perjanjian dengan Iblis Kukus. Para manusia serakah yang durhaka pada Gusti Allah itu sudah membuat banyak kekacauan. Jadi, yang bertanggung jawab ya mereka sendiri."Pak Abdul menatap Bagus sebentar sebelum melanjutkan ucapannya. Bagus lebih memilih diam dan tak bertanya karena dia sebenarnya tidak mengetahui orang-orang tersebut."Maka dari itu, lebih baik mereka menganggap kamu sudah hilang daripada hidupmu sengsara di luar sana. Sebelum waktunya, kamu tidak boleh keluar dari sini karena Bapak punya kepentingan lain denganmu, Le.""Jadi, ini maksudnya Pak Abdul itu? Budhe Sayuti termasuk orang-orang yang menutup kekacauan ini? Ya Allah, musibah apalagi setelah ini?" Tanpa sadar, Farrel bergumam. "Rel, ayo ikut shalat jenazah. Baunya amis banget, Rel." Farrel menoleh pada Danang dan mengangguk pelan. Kedua pemuda itu segera menuju ke ruang tengah di mana Bu Sayuti hendak dishalatkan.Semua orang menutup hidungnya men
Teriakan di pagi buta itu, mengagetkan penduduk Desa Mojojati yang berbatasan langsung dengan Desa Karanglor. Mereka berhamburan keluar rumah menuju rumah kontrakan yang beberapa waktu lalu, dihuni pasangan suami istri dari Desa Karanglor.Begitu juga dengan beberapa laki-laki yang tadinya masih enggan beranjak dari teras mushala. Mereka kompak langsung mendekati sumber suara."Ada apa, Lek?""Ada apa, Yu?""To-looong, ada ketiwasan, Pak. Tolong!" teriaknya ketakutan.Kompak pandangan mereka tertuju pada tubuh Bu Sayuti yang masih bernapas lemah, tetapi kondisinya sangat mengenaskan. Mereka juga serempak menutup hidungnya karena bau anyir itu sangat menyengat."Astaghfirullah, ya Allah!" Mereka memekik ngeri.Pemandangan di depan mereka sangat memilukan. Yakni, tubuh Bu Sayuti yang setengah telungkup itu terus bergerak pelan. Mulutnya seperti mengucapkan sesuatu, tetapi tidak jelas. Kedua matanya melotot ke satu arah dengan tatapan ketakutan. Dari kedua payudaranya mengucurkan darah ta
Ketiga temannya yang ingin tahu, ikut melongokkan wajah mereka menatap ke arah rumah Pak Narso. Mereka sama-sama saling pandang dan saling mengangkat bahu tak acuh karena tidak melihat hal yang mencurigakan."Apaan sih, Ndul?" tanya Vio sambil melirik Farrel yang masih serius memperhatikan ke dalam sana. "Huaseuu!" Umpat pemuda berambut agak gondrong setengah biru itu. "Ternyata makhluk sialan itu masih ikut si Tua Bangka itu, rupanya." Farrel berucap lirih."Hah?!" Kompak ketiga sahabatnya terkejut.Rupanya, Farrel masih bisa melihat makhluk kecil yang berupa tuyul itu, sedangkan Vio dan Dino tak bisa melihat lagi. Farrel juga melihat, beberapa makhluk aneh berada di sekitar Pak Narso."Kamu masih bisa melihatnya, Ndul?" Kali ini Dino bersuara.Farrel mengangguk samar tanpa mengalihkan perhatian dari dalam sana, bahkan kedua tangannya terkepal di atas stang motor. Tatapan tajam Farrel mengikuti ke mana pergerakan tuyul itu. Tak lama kemudian, Pak Narso keluar dari rumahnya dan bersia
Alisha memperhatikan foto di dalam liontin kalung kuno itu dengan seksama. Matanya berkaca-kaca. Dia ingat cerita sang ayah dulu, sebelum kakeknya meninggal. Saat itu, Alisha masih duduk di bangku SMA.Alisha menatap ke arah Farrel yang juga masih belum mengerti sepenuhnya dengan apa yang dia alami. "Mas Farrel, bagaimana bisa kalung ini sama Mas Farrel?" tanyanya, mewakili pertanyaan di benak mereka semua.Farrel terdiam dan mengingat tentang semua kebaikan Pak Abdul yang menolongnya dari peristiwa malam itu.Farrel menceritakan semua dengan detail. Semua orang yang berada di ruangan itu, mendengarkan dengan merinding. "Tepat tiga hari tiga malam aku bersama Pak Abdul, lukaku sembuh," ucapnya, ketika Bu Halimah menyibak kaos Farrel yang robek di bagian perut. "Beliau mengobati lukaku setiap pagi dan malam menjelang tidur. Menurut penuturan beliau, Pak Abdul ditangkap oleh segerombolan PKI dan disiksa ketika hendak melarikan diri. Pak Abdul ingin mengobati orang sakit...""Le, Bapak t
"Orang gila ... orang gila!" Mereka terus berteriak sambil bernyanyi dan berhamburan menuju ke tepi jalan. "Leee! Gio, Arfan! Pulang!" Ibu-ibu berteriak dari atas jembatan, ketika melihat kelima anak itu berlarian menjauh dari sungai."Buuk! Ada orang gila tidur di sungai, Buk!" balas salah satu di antara mereka sembari menunjuk ke arah sungai."Lha, makanya pulang, nanti kamu digondol orang gila, lho. Pulang, sudah mau Maghrib. Pada mandi sana!" teriak sang ibu memberi perintah. Dengan napas sama-sama terengah, kelimanya berdiri di atas jembatan di samping ibu itu."Itu Buk! Dia mati kayaknya, Buk!" teriak salah seorang sembari mengelap keringat di dahinya yang coklat.Si Ibu ikut menatap ke arah tengah sungai. Memang benar, di sana ada sesosok tubuh tidak bergerak dalam keadaan tidur miring. Lengannya menutupi wajah. "Astaghfirullah, benar. Kalian pulang, Ibuk panggil Pak RT!" titahnya pada mereka. Tetapi, kelimanya masih bergeming di tempat. "Itu ada mobil! Kita minta tolong sam
Sekali lagi, Bagus memperhatikan, dan membandingkan penampilannya sendiri dengan penampilan Pak Abdul. Selama tiga hari tinggal bersama Pak Abdul, Bagus baru menyadari jika Pak Abdul memakai pakaian yang sama. Melihat kebingungan di wajah pemuda tersebut, Pak Abdul mengulurkan tangan mengusap bahu Bagus. "Ini yang ingin Bapak ceritakan, Le. Bapak tidak tahu, takdir apa yang Gusti Allah gariskan sehingga secara kebetulan kamu bertemu dengan Bapak. Malam itu, Bapak tiba-tiba membelokkan langkah Bapak mampir ke pasar. Padahal Bapak selanjutnya tidak membeli apa-apa..," ucapnya terjeda. Bagus menanti cerita laki-laki paruh baya itu dengan sabar. Pak Abdul menarik napas panjang kemudian memejamkan matanya. "Bapak tidak pernah lewat jalan itu karena jalan itu masuk wilayah kekuasaan Iblis Kukus. Bangsa kami tidak ada yang berani sengaja masuk ke sana, begitu juga anak keturunannya Kukus. Mereka tidak berani masuk wilayah kami, kalau mereka melanggar akibatnya fatal. Gunung Kemukus itu ak
Senyum gadis cantik itu sangat menawan. Bagus tertegun melihatnya. Belum pernah dia melihat gadis secantik itu. "Kang, ayamnya Paklek kamu, tarung sama ayamku!" serunya membuyarkan lamunan Bagus.Bagus terkesiap, bukan hanya wajahnya yang sangat cantik. Akan tetapi, suaranya juga sangat merdu. Bagus menoleh kanan kiri, melihat jikalau Pak Abdul sudah kembali. Sepi. Pak Abdul belum menampakkan batang hidungnya. Bagus tersenyum canggung dan melangkah mendekati ayam yang masih bertarung di dekat kaki gadis itu.Sejenak, Bagus melupakan larangan dari Pak Abdul supaya tidak berkenalan dengan gadis tersebut. Dengan gugup, Bagus mengangkat ayam milik Pak Abdul dan membopongnya. Dia mengusap-usap kepala ayam jago yang terluka di beberapa bagian. Sesekali dia melirik ke arah gadis yang masih berdiri di tempatnya. Tentunya, masih menyunggingkan senyum memikat."Kakang, siapa namanya?" tanya gadis tersebut memutus kecanggungan."A-aku? Namaku Bagus," jawab Bagus gugup.Gadis itu mengangguk da
Pemuda itu mengambil tempat duduk di samping laki-laki tersebut. Dia menyunggingkan senyum, ketika laki-laki itu mengambilkan dua potong singkong rebus dan meletakkan di piring seng dengan motif-motif kehijauan."Makan dulu, setelah ini Bapak mau nyari kayu bakar," ucapnya sembari menyodorkan piring ke pangkuan sang pemuda.Pemuda tampan itu mengangguk santun. "Terima kasih ya, Pak. Bapak juga sarapan. Nanti saya ikut cari kayu bakar ya, Pak," ucapnya meminta izin. "Boleh, kalau kamu mau. Tapi, anak kota sepertimu apa nggak takut kena duri? Kulitmu halus dan bersih begitu." Laki-laki itu terkekeh. Diamatinya penampilan pemuda tersebut. "Bagaimana lukamu, masih sakit?" tanyanya kemudian.Sang pemuda menunduk. Menyingkap kaosnya dan meraba bagian perutnya, kemudian tersenyum. "Sudah kering, Pak. Sudah nggak sakit." Dia menjawab dengan senang.Laki-laki di depannya mengangguk kemudian menghela napas panjang. Ada kesedihan tergambar di wajahnya yang mulai keriput.Dia sempat menggeleng sa