Sesuai permintaan Karin tadi pagi, sore ini dia akan pergi mengunjungi panti. Tentu tidak hanya berdua saja dengan Kamal, tapi juga bersamaku. Meski dia sempat melarang, tapi aku bersikeras ikut. Kami pergi ke sana menggunakan taksi.
Sepanjang perjalanan, Karin hanya diam menatap keluar jendela. Sementara, aku bernyanyi-nyanyi kecil bersama Kamal yang berada di pangkuan. Sesekali aku menoleh saat mendengar helaan napasnya yang berat. Akan tetapi, saat ditanya kenapa, dia hanya menjawab dengan gelengan.
Mobil taksi berhenti tepat di depan panti tempat Karin dibesarkan. Aku berjalan tertatih untuk menyusulnya yang sudah masuk lebih dulu dengan menggendong Kamal. Dia berhenti, berdiri tertegun memandangi sekeliling panti ini.
Mungkinkah dia sedang mencoba mengingat-ngingat masa lalunya?
"Kenapa? Apa kamu sudah meng
Tak hanya aku yang terkejut, tapi begitu juga Ayu. Hanya saja, dia bukan terkejut karena melihatku, melainkan Karin. Dengan mulut yang sedikit terbuka, dia mendekat. Menelisik penampilan Karin dari ujung kepala sampai ujung kaki."Karin?" gumamnya tak percaya.Karin terlihat bingung. Dia menoleh padaku, sedangkan diri ini masih membeku."Mas, ini serius Karin?" Pertanyaan Ayu menyentakku dari kebekuan."Iya, ini Karin. Ayo kita pergi!" ajakku pada Karin."Tunggu, Mas!" Ayu menahan langkah kami dengan menghadang di depan. "Aku masih tidak percaya kalau ternyata dia masih hidup. Bagaimana bisa?""Sudahlah diam. Kami harus pulang," tukasku. Kesal dan takut bercampur menjadi satu. "Ayo, Karin. Jangan hiraukan dia!""Sebentar, Mas!" Lagi-lagi Ayu menahan langkahku.
Hatiku teriris perih, terasa diremas-remas melihat wajah Karin yang syok melihat foto-foto di ponsel itu. Dia diam terpaku dengan bulir-bulir kristal mulai menggenang di pelupuk matanya. Tak berselang lama, ponsel dari tangannya yang gemetar jatuh begitu saja. Karin berlari meninggalkan kami. Dengan cepat aku menyusul, tapi pintu kamarnya sudah lebih dulu ditutup. Aku masih sempat melihat wajahnya yang sudah bersimbah air mata. Langkah ini terhenti dengan kedua tangan mengepal kuat melihat pintu yang telah tertutup sempurna. Andaikan saja kamu tahu, Karin. Bukan hanya kamu yang sakit, tapi aku juga merasakan hal yang sama. Hati ini ingin berontak dan menolak kenyataan, tapi apa daya? Aku tak bisa melakukannya. Dengan langkah lesu, aku kembali menghampiri Malik dan temannya. Berkata jika Karin belum siap untuk dibawa pergi sekarang karena dia masih syok. Aku meminta wakt
Aku duduk gelisah di depan ruang pemeriksaan bersama Anthony. Cukup lama Karin diperiksa karena takut dia mengalami cedera di dalam akibat benturan. Anthony berusaha menenangkanku yang tidak bisa duduk dengan tenang. Tak berselang lama, Dokter Fandi yang tengah berlari mendekat membuat kami serempak menoleh. Untuk apa dia ke sini? "Bagaimana kondisi Karin?" tanyanya dengan napas terengah. Seperti orang yang habis berlari ratusan kilo saja. "Masih diperiksa," jawabku dingin. Aku tidak suka melihatnya di sini. Dia melanggar janjinya padaku yang berkata tidak akan pernah menunjukkan wajahnya lagi. "Apa yang terjadi dengannya? Bagaimana dia bisa terjatuh?" tanyanya khawatir.
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Aku sudah rapi dengan memakai jas saat menikah kami dulu. Harusnya aku bahagia, bukan? Tapi kenapa air mata malah tak mau berhenti menetes di pipi sedari tadi."Mal."Aku terkesiap dan secepatnya menyeka air mata saat Anthony menepuk pundak dari belakang."Kenapa masih diam di sini? Ayo keluar! Penghulu sudah menunggu.""Apa Karin sudah turun?" tanyaku dengan suara sedikit serak."Belum," jawabnya, lalu menelisik wajahku, "kamu habis nangis? Kenapa? Ada yang kamu pikirkan?"Aku menggeleng sembari menahan air mata yang hampir kembali menetes."Ada apa, Malik?" tanyanya khawatir.Aku menunduk dan kembali terisak,
Sepanjang perjalanan, Karin seringkali menyeka air mata. Aku tahu hatinya yang lembut tengah dirundung gelisah. Dia takut Dokter Fandi sudah pergi. Jika itu terjadi, maka tidak ada harapan lagi untuk mereka bertemu. Kalaupun ada, entah kapan bisa terwujud. Kamal merengek, tapi Karin berusaha menenangkan. Bayi itu seolah mengerti kegelisahan mamanya.Apa yang harus aku lakukan seandainya Dokter Fandi sudah benar-benar pergi? Kesalahanku pada Karin semakin berlipat ganda jika aku kembali membuatnya terpuruk untuk yang kedua kali.Beri kesempatan untukku memperbaiki semuanya, Ya Allah. Beri aku kesempatan untuk membantu Karin meraih kebahagiaan."Yang mana rumahnya?" tanya Anthony setelah memasuki jalanan kampung di mana Dokter Fandi tinggal."Sebentar lagi, Mas. Gerbang hitam," jawab Karin."Yang itu?" Anthony menunjuk rumah yang terlihat l
"Mas Fandi ...," lirih Karin. Dokter Fandi mendekat dan langsung menggendong Kamal yang meronta-ronta dari gendongan Karin. Bayi lucu itu tersenyum dan tertawa saat wajahnya diciumi pria yang sebentar lagi akan menjadi Papa sambungnya. Bolehkah aku cemburu? Kamal darah dagingku, tapi kenapa dia seolah lebih dekat dengan Dokter Fandi? Aku menoleh pada Papa yang menepuk pundak, lalu tersenyum dan segera menyeka air mata. "Papa bangga padamu," ucapnya dengan mata berembun. Mendengar ucapan itu, aku langsung memeluk Papa. Aku butuh kekuatan agar bisa ikhlas dan kuat menerima kenyataan kalau dua orang yang kusayangi akan menjadi milik orang lain. "Kamu kuat, Mal. Kamu hebat
Semakin mendekati akad nikahku dengan Mas Malik, keraguan kembali hadir menggangu pikiran. Aku sampai tidak bisa tidur nyenyak hingga kesehatan menjadi terganggu. Aku merasa ada yang dia sembunyikan. Entahlah. Semakin dipikirkan, kepala ini malah semakin sakit. Terlebih lagi, aku tidak berani bertanya karena takut menyinggung perasaannya. Sakit kepalaku semakin menjadi sejak mimpi buruk kembali hadir mengusik ketenangan. Tak hanya itu, tapi sering muncul sekelebatan bayangan aku tengah bersama laki-laki, tapi tidak jelas seperti apa rupanya. Mungkinkah itu wajah Mas Fandi atau Mas Malik? Sayang, semakin mencoba mengingatnya, malah membuatku semakin tertekan dan stress. Aku frustasi sendiri. Terlebih lagi, Mas Fandi tak pernah sekali pun mengirim pesan atau menghubungi.
Sebulan telah berlalu sejak hari di mana terukir sejarah manis untuk Karin, tapi pahit untukku. Kini, wanita berhati lembut itu telah berbahagia dengan pasangan baru, sedangkan diri ini masih merana. Meratapi kebodohan yang membuatku harus kehilangan berlian indah. Sesal ini tak bertepi karena Karin takkan pernah kembali di hidupku. Kondisi kakiku sudah membaik. Akan tetapi, sesekali masih harus melakukan pengecekan dan terapi. Dokter juga melarang mengangkat beban berat yang mengharuskan bertumpu kuat pada kaki. Ekonomi semakin memburuk, sedangkan hidup harus terus berjalan. Aku berusaha mencari pekerjaan ke sana-kemari, tapi belum juga berhasil. Kemarin sempat pergi ke alamat kantor yang diberikan Anthony. Katanya, di sana sedang buka lowongan untuk staf baru. Sayang seribu sayang, aku ditolak karena saingan yang lebih tinggi pendidikannya dan lebih banyak pengalaman.
Seminggu setelah penolakan lamaran itu, aku masih merasakan sedih dan kecewa. Namun, perasaan itu tidak kutunjukkan pada siapa pun termasuk pada Papa. Naila pun bekerja seperti biasa setelah sempat izin dua hari. Aku masih tidak menyerah mendekatinya. Dia masih sering kupanggil ke ruangan untuk mengerjakan tugas kecil hanya agar bisa melihatnya lebih leluasa.Hingga pada akhirnya, kesabaran dan doaku membuahkan hasil. Tiba-tiba Naila datang ke ruangan dan mengatakan sesuatu yang tidak diduga-duga. Dia menerima lamaranku yang membuat senyum bahagia langsung merekah menghiasi wajah ini. Papa dan kedua adikku pun turut senang dan dengan semangatnya membantu mempersiapkan pernikahan kami.Kami juga meminta alamat adik dari mendiang ayahnya, dan akan menjemput dia nanti untuk menjadi wali nikah."Ciee, yang sebentar lagi jadi peng
POV KAMAL🍁🍁🍁Semakin hari, ketertarikanku pada Naila semakin nyata. Diam-diam aku sering memperhatikan dari kejauhan. Bahkan terkadang memanggilnya ke ruangan hanya untuk alasan yang tidak terlalu penting. Beda hal dengan perasaanku pada Angelina yang semakin terkikis dan hilang begitu saja."Pak Kamal!"Aku yang sedang berjalan menuju parkiran pun, mau tak mau berhenti dan menoleh ketika Angelina mengejar, lalu berdiri di depanku."Ada apa?""Maaf, Pak. Boleh saya minta waktu sebentar? Ada sesuatu yang mau saya bicarakan."Aku melirik jam tangan, lalu mengangguk."Bicaralah." 
POV KAMAL 🍁🍁🍁 Hari ini aku berangkat lebih awal dari biasanya ke kantor. Faisal sendiri sedang pergi ke luar kota. Kami memang bergantian mengurus cabang perusahaan di sana. Sementara, akhir-akhir ini Papa yang sering jatuh sakit kami larang untuk ke kantor. Aku yang sedari tadi memandang keluar jendela mobil pun langsung menegakkan posisi duduk, ketika melihat gadis bernama Naila sedang berjalan kaki. Kalau dilihat dari data pribadi, usianya hanya berbeda satu tahun di atas Ayesha. "Pak Galih, tolong menepi sebentar," titahku pada sopir. "Iya Pak." Pak Galih memutar kemudi, dan menghentikan mobil tepat di bawah pohon. Melihat dia semakin mendekat ke mobil ini, akhirn
"Semua bekalnya sudah disiapkan, Bi?" tanya Ayesha seraya mendekati Bi Murti di meja makan."Sudah, Non. Ini sedang bibi masukin semua ke kotak.""Terima kasih, ya, Bi.""Sama-sama, Non Ayesha. Hati-hati."Ayesha mengangguk dan tersenyum, lalu mengambil kotak berukuran besar yang didalamnya terdapat banyak bekal."Ayo, Pah!" Dia merangkul lenganku, lalu kami berjalan bersama menuju pintu depan.Namun, baru maju beberapa langkah, aku sudah terhenti lagi seiring napas yang tertahan."Kenapa, Pah?" Ayesha menatap khawatir.Aku masih terdiam karena untuk menarik napas saja rasanya sakit."Pah?"Aku menoleh dan tersenyum."Papa tidak apa-apa," jawabku setelah rasa sakit di dada berangsur menghilang."Papa jangan bohong. Papa kenapa?" rengek
POV MALIK🍁🍁🍁"Papa."Aku yang baru selesai meminum obat pun menoleh pada Kamal yang berjalan mendekat."Sudah pulang, Nak. Ada masalah di kantor?""Tidak ada, Pah. Semua baik-baik saja," ujarnya, lalu duduk sampingku. "Papa katanya sesak napas.""Sudah tidak, kok.""Pasti Papa kepikiran Mama lagi, kan?"Aku diam menunduk."Pah ...." Kamal menyentuh pundakku. "Mama sudah lama pergi, Pah. Mama sudah tenang. Jangan terus diratapi.""Papa hanya rindu." Mataku memanas saat mengatakan itu.Kamal merangkul dan mengusap lenganku."Kita semua juga rindu, Pah," lirih Kamal, "tapi Papa harus tetap sehat. Mama juga pasti sedih kalau Papa sakit karena memikirkan Mama terus."Aku mengangguk. "Maafkan Papa. Papa sulit mengont
POV KAMAL🍁🍁🍁"Ayo, Bang, pulang!" Faisal menemuiku di ruangan.Aku mengangguk, membereskan berkas di meja, lalu menyambar tas dan berjalan menghampirinya."Mampir ke toko kue dulu, ya. Beli bolu kesukaan Papa."Faisal mengangguk dan kami pun berjalan menuju lift."Ada urusan apa kamu sama gadis itu?""Gadis yang mana?""Naila, OB baru di kantor kita itu.""Oh ... aku hanya kasih amanah dari Papa.""Amanah apaan? Kok, aku tidak diberitahu?""Papa lupa kali.""Amanahnya apa memang?""Uan
POV KAMAL🍁🍁🍁"Permisi, Pak."Aku yang tengah menunduk memeriksa berkas-berkas pun mengangkat wajah mendengar seseorang masuk ke ruangan."Masuk!"Angelina—gadis berambut ikal sebahu itu tersenyum dan mengangguk, lalu mendekat ke sini. Diam-diam aku memiliki ketertarikan padanya. Bukan hanya karena cantik, tapi juga pintar."Ada apa?""Ini, Pak. Ada berkas yang harus Bapak tanda tangani." Angelina menyodorkan beberapa map di mejaku.Kuperiksa sebentar, lalu membubuhkan tanda tangan di sana dan memberikannya lagi."Ada lagi?""Tidak ada, Pak.""Ya sudah. Kamu bisa kembali ke ruanganmu.""Pak."Aku yang baru akan fokus dengan laptop pun mau tak mau menoleh lagi ketika dia memanggil.
"Di mana Ayesha, Bi?" tanyaku yang baru pulang dari kantor bersama Kamal."Di kamarnya, Tuan. Tadi, sih, sepertinya nangis.""Nangis kenapa?""Uhm— anu ... bibi kurang tahu. Tapi tadi Non Ayesha pas keluar dari kamar Den Faisal sudah nangis."Aku dan Kamal saling melempar pandang."Biar aku yang tanya ke mereka, Pah. Mungkin bertengkar lagi.""Tidak usah, Mal. Biar papa saja. Kamu mandi dan istirahat," kataku, lalu pergi ke kamar Ayesha yang berada di lantai atas juga, sama seperti kamar Faisal."Ayesha," panggilku seraya mengetuk pintu kamarnya.Masih belum ada jawaban."Buka pintunya dulu, Nak. Ayesha?""Sebentar, Pah!" sahutnya dari dalam.Tak berselang lama, Ayesha sudah berdiri di depanku sambil tersenyum manis seperti biasa. Jejak air mata di w
Hari demi hari telah berlalu. Kini, Ayesha sudah bukan lagi anak remaja. Tahun ini dia mulai masuk kuliah. Sementara, Kamal dan Faisal fokus mengurus perusahaan. Mereka mampu bekerjasama mengelola dengan baik beberapa perusahaan yang kubangun dari nol.Bahkan satu pun dari mereka belum ada yang menikah. Aku sudah mencoba mengajak bicara, tapi keduanya kompak berkata belum siap dan belum menemukan calon yang cocok.Aku bangga pada Karin. Dia benar-benar berhasil mendidik Kamal dan Faisal dengan sangat baik. Keduanya berpegang teguh pada nasehat mamanya yang melarang pacaran. Meski aku tahu, sudah lama Kamal diam-diam menaruh hati pada karyawan di kantor yaitu Angelina."Permisi, Pak."Aku yang tengah fokus pada layar laptop pun menoleh ketika Pak Lukman mengetuk pintu dan melongokkan kepalanya."Masuklah."Sudah dua hari aku menggantikan Kamal yang sejak kemar