Aku berdiri dengan gelisah di depan ruang perawatan. Ragu untuk masuk. Akan tetapi, memikirkan apa ucapan Mama dan Papa, membuatku akhirnya memberanikan diri menemui pria yang mengaku-ngaku sebagai suaminya Nayla.
Pria tersebut dan papanya serempak menoleh saat mendengar suaraku. Dengan senyuman ramah, aku berjalan menghampiri keduanya. Mengatakan kalau biaya rumah sakit akan ditanggung olehku dan itu membuat mereka terkejut.
Awalnya, pria bernama Malik ini bersikeras ingin mengganti, tapi kularang. Aku ikhlas membantunya. Toh, dia kecelakaan setelah berdebat dengan Nayla alias Karin. Bagaimanapun juga, aku akan ikut bertanggung jawab.
Semula kami hanya bicara basa-basi, lalu perlahan mulai berbicara mengenai Karin. Matanya berkaca-kaca saat kuberitahu Karin khawatir dan sempat panik. Dari raut wajah Malik, terlihat jelas dia sungguh mencintai is
Aku menepikan mobil, memandang kosong ke depan, lalu menunduk dan menumpukan kening di setir mobil. Teringat perlakuan dinginku pada Karin membuat hati sakit. Akan tetapi, ini kulakukan agar kami tak saling bergantung satu sama lain lagi. Sebentar lagi, sandiwara ini akan segera berakhir.Aku menengadahkan wajah sembari menghela napas panjang, lalu menghapus jejak air mata. Setelah merasa cukup tenang, mobil kembali melaju dengan kecepatan sedang.Entah mau ke mana tujuanku malam ini. Aku hanya ingin menenangkan diri. Melihat wajah Karin dan Kamal, hati ini perih tak terkira. Apalagi mengingat keduanya akan kembali pada Malik.Setelah berputar-putar tidak jelas, mobil melaju dan berhenti di sebuah pantai. Entah berapa lama aku hanya duduk termenung sendiri menatap gelapnya lautan lepas. Sesekali meremas rambut saat rasa frustasi kembali hadir.
Hari ketiga, aku diperbolehkan pulang. Papa berniat menjemput, tapi kularang. Biarkan saja Papa menjaga Mama. Lagipula, Marco berbaik hati akan datang ke sini sembari mengantarkan pesananku."Hey, Bro! Lama nunggu, ya?" sapa Marco saat masuk ke ruangan ini."Tidak juga.""Bagaimana kakimu?" tanyanya sembari berjalan mendekat."Tidak bisa dipakai jalan untuk beberapa minggu ke depan. Tapi aku harus tetap menggerakkan jari kaki dan lutut sedikit-sedikit supaya tidak kaku," jelasku sembari mengamati kaki yang digips."Lalu, aktivitas sehari-harimu bagaimana?""Aku bisa pakai tongkat penyangga. Kemarin sore Papa datang bawain itu." Aku menunjuk kruk yang disandarkan di dekat nakas. "Kamu bawa yang kubutuhkan, 'kan?"&n
"Karin!" panggilku dan Dokter Fandi bersamaan.Kami spontan saling berpandangan. Tanpa menunggu lama, Dokter Fandi langsung berjalan cepat menyusul Karin yang pergi dengan setengah berlari.Aku tertegun memandang kepergian mereka. Sesekali menyeka air mata yang masih menetes di pipi. Ada rasa perih tak terkira saat melihat tak ada lagi tatapan penuh cinta untukku darinya. Karin telah berubah. Apa ini karena kami sudah terlalu lama berpisah?"Sabar. Biarkan dia tenang dulu, Mal. Karin pasti sangat terkejut dengan semua ini," ucap Marco sembari menepuk pundak pelan."Aku tahu, Mar. Hal yang membuatku sakit bukan karena dia tidak percaya, tapi melihat matanya yang menatapku dingin. Tidak ada lagi tatapan lembut dan penuh cinta yang dulu selalu dia perlihatkan padaku," lirihku dengan hati berdenyut sakit."Wajar. Kalian berpisah cukup l
"Karin ...."Dia hanya diam menatapku."Boleh kami masuk?" tanya Dokter Fandi yang berdiri di belakangnya."Tentu, Dokter. Tentu. Silakan masuk," jawab Papa karena aku diam, memandang bingung Karin yang terlihat tak bahagia."Ayo!" ajak Dokter Fandi.Tanpa menoleh pada Dokter Fandi, Karin melangkah perlahan. Pandangannya menyapu ke sekeliling ruangan yang telah dihias pita dan foto-foto kebersamaan kami yang digantung. Karin berhenti melangkah. Satu tangan terulur ke atas meraih foto pernikahan kami yang berukuran kecil, lalu mencabutnya. Mengamati sebentar masih dengan ekspresi datarnya."Mari, Nak," ajak Papa dan berhasil membuat Karin kembali melangkah dengan foto itu di tangannya.Karin duduk di sofa panjang, sedangkan Dokter Fandi duduk di sofa single dengan Kamal berada di pa
Karin terus melangkah tanpa peduli denganku di sini. Meski sedikit kecewa, akhirnya aku kembali ke dalam. Kami masih ingin berbincang dan bermain dengan Kamal, tapi Karin bilang lelah.Papa mengantarnya ke kamar, sedangkan aku hanya bisa memandangnya dari bawah sini. Ingin sekali ikut naik ke sana, bercerita banyak tentang kenangan manis kami di kamar itu, tapi kondisi kaki tidak mendukung.Namun, tidak mengapa. Karin pasti bisa melihat sendiri banyaknya foto yang tertempel di dinding. Foto di mana aku selalu berbicara sendiri seperti orang tidak waras, seolah tengah mengajak Karin berbicara."Mal."Aku menoleh. Anthony menghampiriku dengan kedua tangannya yang masuk ke saku celana."Ada apa?""Kita harus bicara.""Ya sudah, bicara saja.""Kita bicara d
Aku tersentak dari lamunan karena Papa menepuk pundak, lalu berdehem pelan sembari kembali menatapnya gugup."Apa kamu sudah lama di sini?" ulangku.Karin masih diam yang membuat telapak tanganku terasa lembab. Akan tetapi, tak berselang lama dia menggeleng."Baru saja, kok. Aku hanya mau mengajak Mas sarapan," jawab Karin pada akhirnya.Syukurlah. Aku pikir dia mendengar semua percakapan kami tadi."Iya. Ini juga baru mau ke sana. Ayo!" ajakku yang dijawabnya dengan anggukan, lalu pergi lebih dulu sambil menggendong Kamal."Apa papa bilang. Kita tidak akan bisa tenang dengan terus membohonginya seperti ini, Malik. Coba pikirkan kembali sebelum terlambat," ucap Papa pelan."Tidak ada yang perlu dipikirkan lagi, Pah. Aku sudah yakin dengan semua ini," sahutku, lalu mulai melangkah m
Sesuai permintaan Karin tadi pagi, sore ini dia akan pergi mengunjungi panti. Tentu tidak hanya berdua saja dengan Kamal, tapi juga bersamaku. Meski dia sempat melarang, tapi aku bersikeras ikut. Kami pergi ke sana menggunakan taksi.Sepanjang perjalanan, Karin hanya diam menatap keluar jendela. Sementara, aku bernyanyi-nyanyi kecil bersama Kamal yang berada di pangkuan. Sesekali aku menoleh saat mendengar helaan napasnya yang berat. Akan tetapi, saat ditanya kenapa, dia hanya menjawab dengan gelengan.Mobil taksi berhenti tepat di depan panti tempat Karin dibesarkan. Aku berjalan tertatih untuk menyusulnya yang sudah masuk lebih dulu dengan menggendong Kamal. Dia berhenti, berdiri tertegun memandangi sekeliling panti ini.Mungkinkah dia sedang mencoba mengingat-ngingat masa lalunya?"Kenapa? Apa kamu sudah meng
Tak hanya aku yang terkejut, tapi begitu juga Ayu. Hanya saja, dia bukan terkejut karena melihatku, melainkan Karin. Dengan mulut yang sedikit terbuka, dia mendekat. Menelisik penampilan Karin dari ujung kepala sampai ujung kaki."Karin?" gumamnya tak percaya.Karin terlihat bingung. Dia menoleh padaku, sedangkan diri ini masih membeku."Mas, ini serius Karin?" Pertanyaan Ayu menyentakku dari kebekuan."Iya, ini Karin. Ayo kita pergi!" ajakku pada Karin."Tunggu, Mas!" Ayu menahan langkah kami dengan menghadang di depan. "Aku masih tidak percaya kalau ternyata dia masih hidup. Bagaimana bisa?""Sudahlah diam. Kami harus pulang," tukasku. Kesal dan takut bercampur menjadi satu. "Ayo, Karin. Jangan hiraukan dia!""Sebentar, Mas!" Lagi-lagi Ayu menahan langkahku.
Seminggu setelah penolakan lamaran itu, aku masih merasakan sedih dan kecewa. Namun, perasaan itu tidak kutunjukkan pada siapa pun termasuk pada Papa. Naila pun bekerja seperti biasa setelah sempat izin dua hari. Aku masih tidak menyerah mendekatinya. Dia masih sering kupanggil ke ruangan untuk mengerjakan tugas kecil hanya agar bisa melihatnya lebih leluasa.Hingga pada akhirnya, kesabaran dan doaku membuahkan hasil. Tiba-tiba Naila datang ke ruangan dan mengatakan sesuatu yang tidak diduga-duga. Dia menerima lamaranku yang membuat senyum bahagia langsung merekah menghiasi wajah ini. Papa dan kedua adikku pun turut senang dan dengan semangatnya membantu mempersiapkan pernikahan kami.Kami juga meminta alamat adik dari mendiang ayahnya, dan akan menjemput dia nanti untuk menjadi wali nikah."Ciee, yang sebentar lagi jadi peng
POV KAMAL🍁🍁🍁Semakin hari, ketertarikanku pada Naila semakin nyata. Diam-diam aku sering memperhatikan dari kejauhan. Bahkan terkadang memanggilnya ke ruangan hanya untuk alasan yang tidak terlalu penting. Beda hal dengan perasaanku pada Angelina yang semakin terkikis dan hilang begitu saja."Pak Kamal!"Aku yang sedang berjalan menuju parkiran pun, mau tak mau berhenti dan menoleh ketika Angelina mengejar, lalu berdiri di depanku."Ada apa?""Maaf, Pak. Boleh saya minta waktu sebentar? Ada sesuatu yang mau saya bicarakan."Aku melirik jam tangan, lalu mengangguk."Bicaralah." 
POV KAMAL 🍁🍁🍁 Hari ini aku berangkat lebih awal dari biasanya ke kantor. Faisal sendiri sedang pergi ke luar kota. Kami memang bergantian mengurus cabang perusahaan di sana. Sementara, akhir-akhir ini Papa yang sering jatuh sakit kami larang untuk ke kantor. Aku yang sedari tadi memandang keluar jendela mobil pun langsung menegakkan posisi duduk, ketika melihat gadis bernama Naila sedang berjalan kaki. Kalau dilihat dari data pribadi, usianya hanya berbeda satu tahun di atas Ayesha. "Pak Galih, tolong menepi sebentar," titahku pada sopir. "Iya Pak." Pak Galih memutar kemudi, dan menghentikan mobil tepat di bawah pohon. Melihat dia semakin mendekat ke mobil ini, akhirn
"Semua bekalnya sudah disiapkan, Bi?" tanya Ayesha seraya mendekati Bi Murti di meja makan."Sudah, Non. Ini sedang bibi masukin semua ke kotak.""Terima kasih, ya, Bi.""Sama-sama, Non Ayesha. Hati-hati."Ayesha mengangguk dan tersenyum, lalu mengambil kotak berukuran besar yang didalamnya terdapat banyak bekal."Ayo, Pah!" Dia merangkul lenganku, lalu kami berjalan bersama menuju pintu depan.Namun, baru maju beberapa langkah, aku sudah terhenti lagi seiring napas yang tertahan."Kenapa, Pah?" Ayesha menatap khawatir.Aku masih terdiam karena untuk menarik napas saja rasanya sakit."Pah?"Aku menoleh dan tersenyum."Papa tidak apa-apa," jawabku setelah rasa sakit di dada berangsur menghilang."Papa jangan bohong. Papa kenapa?" rengek
POV MALIK🍁🍁🍁"Papa."Aku yang baru selesai meminum obat pun menoleh pada Kamal yang berjalan mendekat."Sudah pulang, Nak. Ada masalah di kantor?""Tidak ada, Pah. Semua baik-baik saja," ujarnya, lalu duduk sampingku. "Papa katanya sesak napas.""Sudah tidak, kok.""Pasti Papa kepikiran Mama lagi, kan?"Aku diam menunduk."Pah ...." Kamal menyentuh pundakku. "Mama sudah lama pergi, Pah. Mama sudah tenang. Jangan terus diratapi.""Papa hanya rindu." Mataku memanas saat mengatakan itu.Kamal merangkul dan mengusap lenganku."Kita semua juga rindu, Pah," lirih Kamal, "tapi Papa harus tetap sehat. Mama juga pasti sedih kalau Papa sakit karena memikirkan Mama terus."Aku mengangguk. "Maafkan Papa. Papa sulit mengont
POV KAMAL🍁🍁🍁"Ayo, Bang, pulang!" Faisal menemuiku di ruangan.Aku mengangguk, membereskan berkas di meja, lalu menyambar tas dan berjalan menghampirinya."Mampir ke toko kue dulu, ya. Beli bolu kesukaan Papa."Faisal mengangguk dan kami pun berjalan menuju lift."Ada urusan apa kamu sama gadis itu?""Gadis yang mana?""Naila, OB baru di kantor kita itu.""Oh ... aku hanya kasih amanah dari Papa.""Amanah apaan? Kok, aku tidak diberitahu?""Papa lupa kali.""Amanahnya apa memang?""Uan
POV KAMAL🍁🍁🍁"Permisi, Pak."Aku yang tengah menunduk memeriksa berkas-berkas pun mengangkat wajah mendengar seseorang masuk ke ruangan."Masuk!"Angelina—gadis berambut ikal sebahu itu tersenyum dan mengangguk, lalu mendekat ke sini. Diam-diam aku memiliki ketertarikan padanya. Bukan hanya karena cantik, tapi juga pintar."Ada apa?""Ini, Pak. Ada berkas yang harus Bapak tanda tangani." Angelina menyodorkan beberapa map di mejaku.Kuperiksa sebentar, lalu membubuhkan tanda tangan di sana dan memberikannya lagi."Ada lagi?""Tidak ada, Pak.""Ya sudah. Kamu bisa kembali ke ruanganmu.""Pak."Aku yang baru akan fokus dengan laptop pun mau tak mau menoleh lagi ketika dia memanggil.
"Di mana Ayesha, Bi?" tanyaku yang baru pulang dari kantor bersama Kamal."Di kamarnya, Tuan. Tadi, sih, sepertinya nangis.""Nangis kenapa?""Uhm— anu ... bibi kurang tahu. Tapi tadi Non Ayesha pas keluar dari kamar Den Faisal sudah nangis."Aku dan Kamal saling melempar pandang."Biar aku yang tanya ke mereka, Pah. Mungkin bertengkar lagi.""Tidak usah, Mal. Biar papa saja. Kamu mandi dan istirahat," kataku, lalu pergi ke kamar Ayesha yang berada di lantai atas juga, sama seperti kamar Faisal."Ayesha," panggilku seraya mengetuk pintu kamarnya.Masih belum ada jawaban."Buka pintunya dulu, Nak. Ayesha?""Sebentar, Pah!" sahutnya dari dalam.Tak berselang lama, Ayesha sudah berdiri di depanku sambil tersenyum manis seperti biasa. Jejak air mata di w
Hari demi hari telah berlalu. Kini, Ayesha sudah bukan lagi anak remaja. Tahun ini dia mulai masuk kuliah. Sementara, Kamal dan Faisal fokus mengurus perusahaan. Mereka mampu bekerjasama mengelola dengan baik beberapa perusahaan yang kubangun dari nol.Bahkan satu pun dari mereka belum ada yang menikah. Aku sudah mencoba mengajak bicara, tapi keduanya kompak berkata belum siap dan belum menemukan calon yang cocok.Aku bangga pada Karin. Dia benar-benar berhasil mendidik Kamal dan Faisal dengan sangat baik. Keduanya berpegang teguh pada nasehat mamanya yang melarang pacaran. Meski aku tahu, sudah lama Kamal diam-diam menaruh hati pada karyawan di kantor yaitu Angelina."Permisi, Pak."Aku yang tengah fokus pada layar laptop pun menoleh ketika Pak Lukman mengetuk pintu dan melongokkan kepalanya."Masuklah."Sudah dua hari aku menggantikan Kamal yang sejak kemar