"Kita harus secepatnya menikah, Lis. Kalau kamu tidak mau, aku akan mencari wanita lain," katanya seusai kami melakukan aktivitas yang sangat menggairahkan. Kembali Anwar mengungkit tentang pernikahan, sebuah pembahasan yang selalu membuatku jengah.
Saat ini lelaki itu sedang duduk di sofa, sepertinya dia sangat kelelahan setelah menuntaskan hasratnya. Aku yang sedang berdiri di depan meja pantry, hanya menatapnya sendu. Dia lelakiku, pujaan hatiku, kini telah dilanda dilema karena tuntutan untuk segera menikah oleh orang tuanya.
"Kenapa harus menikah sih, Dear? Bukankah begini lebih asyik? Kita bisa saling mencintai tanpa harus terikat satu sama lain," ujarku sambil mendekatinya, memberikan segelas jus jeruk.
"Papa dan Mama, mereka selalu mendesak agar aku lekas menikah, Lisa. Usiaku sudah 30 tahun, jadi ... kamu mau kan menikah denganku?" tanyanya sekaligus sebuah permintaan yang sangat sulit untuk terkabulkan. Dia mener
Setelah cukup lama berbincang, Papa Haris dan Mama Ana akhirnya berpamitan. Mereka berjanji akan sering-sering datang ke sini untuk menengok Bintang. Sebenarnya mereka sangat berat jika harus berpisah dengan cucunya ini. Namun, mereka tidak mau egois, Mama Ana paham kalau Bintang lebih membutuhkanku, ibunya.Mereka juga menawarkan agar Mbak Sari—baby sitter—yang selama ini mengasuh Bintang, untuk tinggal di sini. Namun, dengan sopan aku menolaknya."Semua akan baik-baik saja, Ma. InsyaAllah aku bisa merawat Bintang dengan baik. Terima kasih atas segala perhatianmu." Mama Ana menatapku kemudian tersenyum lembut sambil mengangguk."Aku percaya padamu, Rin. Seharusnya dari dulu kami melakukan ini, maaf," ucapnya. Aku pun hanya tersenyum menanggapi ucapanya.Sebelum mereka beranjak keluar rumah, Mama Ana memberikan sebuah amplop yang cukup tebal padaku, kembali dengan sopan aku menolaknya.
Ayo! Lekas padamkan apinya!" Teriakan itu terdengar diantara riuh suara orang-orang yang ada di sini, mereka bersorak kegirangan menyaksikan si jago merah yang sedang mengamuk membakar apa saja yang disentuhnya."Padamkan apinya!" Kembali suara itu terdengar. Seorang lelaki berhasil menembus kerumunan, samar-samar terlihat dia tengah membawa ember dan menyiramkan air pada api yang berkobar semakin besar.Beberapa warga yang menyaksikan lelaki itu tergerak ikut membantu. Mereka berlarian berhamburan mencari apa saja untuk mengambil air.Aku tidak begitu jelas melihat siapa lelaki itu, pandangan ini kabur tertutup oleh air mata. Seseorang telah memapah diri ini, hanya bisa pasrah kerena tubuh terasa lemas tak berdaya.Dengan tertatih aku terus melangkah sambil mendekap Bintangku, meninggalkan rumah yang ebtah bagaimana bentuknya. Dengan tegas aku menolak saat seseorang mencoba membatu dengan mengambil alih B
"Mungkin dia kangen denganku, Rin." Tanpa melihatnya, aku bahkan bisa tahu siapa pemilik suara itu. Seketika emosi menguasai hati ini. Berkali-kali aku mengucapkan istighfar, agar bisa mengendalikan diri. Jangan sampai aku kehilangan kendali, melupakan tentang sopan santun kepada orang lain.Aku masih menggendong Bintangku, tanpa sadar diri ini begitu erat mendekapnya, hingga balita itu meronta karena merasa kurang nyaman."Bagaimana pun juga aku adalah papanya, jadi wajar kalau dia merindukanku. Jadi berikan juniorku padaku." Dengan percaya diri lelaki itu menyebut dirinya papa. Aku sungguh tak bisa menahan lagi, ingin sekali melakukan apa yang seharusnya kulakukan sejak dulu.Lelaki yang pernah menjadi suamiku itu memegangi pipinya yang berwarna merah dan bergambar dengan lima jari sempurna, dia sedikit menggeram setelah tamparan yang cukup keras sudah kuhadiakan untuknya. Pemilik pipi itu nam
"Ajaklah Lisa datang bersamamu," pesanku saat berbicara di telepon dengannya, tak ada jawaban hanya hembusan napasnya saja yang kedengaran, sepertinya dia sedang menahan sesuatu. Hingga nafasnya terdengar memburu."Kamu mendengarkan aku kan, Pak? Hallo?! Dia hanya berdehem, kuputar mataku jengah, dari tadi cuma hamhem hamhem aja."Jangan lupa ajak istrimu itu, agar tak timbul fitnah. Apa kamu tahu, Pak? Kalau fitnah itu sangatlah kejam, bahkan lebih kejam dari pembunuhan."Pernyataanitu sengaja aku lontarkan padanya, agar dia mengingat apa yang pernah dilakukannya padaku dulu. Dia tetap diam tak bersuara, tiba-tiba saja panggilan terputus.Aku tersenyum membayangkan ekspresinya saat ini. Antara marah dan kesal menjadi satu. Marah? Mungkin, karena tadi aku meladeni setiap obrolannya dengan sangat manis. Namun, di akhir obrolan aku menyuruhnya datang bersama istrinya. Apalagi aku tadi juga sempat menyinggun
"B-Bu Rina?" Khoir terbata menyebut namaku. Tunggu bukankah putra bu Dewi bernama Irul? Jadi apa hubungan Khoir dan bu Dewi?"Nak Rin, kenal Irul?" tanya bu Dewi dan itu sudah menjawab kebingunganku."Iya, Bu. Bu Rina, ini dulu bosnya Irul." Khoir menjawab pertanyaan ibunya. Namun, Bu Dewi masih nampak kebingungan."Dulu itu, aku ini sopirnya suaminya Bu Rina, Bu. Namun, tugasku lebih sering mengantarkan Bu Rina ke mana-mana." Dengan lembut Khoir menjelaskan pada ibunya. Wanita yang sedang memakai gamis batik itu menganggukkan kepalanya, faham.*****Khoir dan beberapa temannya sedang membersihkan semak belukar yang ada di lahan bekas rumahku yang terbakar. Di lahan itu rencananya akan kudirikan sebuah taman pendidikan Al-Qur'an. Nanti aku akan membicarakan itu dengan Khoir.Mereka semua bekerja cukup cekatan, hanya dalam waktu beberapa jam saja, lahan itu sudah kelihatan
"Kenapa, kalian masih saja menunda-nunda?! Sudah jelas mereka ini pasangan selingkuh! Maling mana ada yang ngaku, sih?" Kembali Lisa berteriak kesal. Wanita itu begitu bersemangat agar aku segera dengan Khoir."Ibu, bisa tenang?!" hardik pak Husain pada Lisa. Wanita itu mendengus kesal karena ucapannya tak dihiraukan.Pak Husain dan yang lainnya hanya menggeleng menyaksikan kelakuan wanita yang sedari tadi tak bisa tenang.Semua kembali hening, aku masih terisak sambil terus mendekap Bintang. Balitaku ini sepertinya ketakutan, badannya gemetar dan tangannya begitu erat memelukku."Bagaimana, Rul? Apa kamu bersedia menikahi Nak Rina?" tanya pak Husain serius pada Khoir. Setelah beberapa saat Khoir terdiam, akhirnya dia mengangguk. Aku menutup mata ketika melihatnya mengangguk, apa tujuannya mau menyetujui pernikahan itu?Tak berselan
"innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un ... Bu Dewi." Suara parau terdengar di antara isak tangis. Para ibu-ibu kemudian menyibukkan diri, melakukan tugas masing-masing, seperti sudah terkomando mereka melakukan pekerjaan tanpa diperintah. Di perkampungan rasa persaudaraan masih terasa kental. Jika ada salah satu warga berduka, mereka akan segera membantu walaupun hanya sekedar tenaga."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un." Khoir berucap sambil mengusap wajah ibunya, lelaki itu sekuat tenaga menahan air matanya, terlihat dari ranghangnya yang mengeras dengan bibir yang mengatup rapat.kemudian dia membetulkan letak tangan ibunya dengan posisi sedekap. Semua orang berduka, kecuali mereka para manusia-manusia berhati ib**s yang membuat keonaran di sini tadi. Hanya diam menyaksikan tanpa kelihatan berduka.Semua orang sibuk, mereka cepat tanggap mengurus jenazah almarhumah bu Dewi. Sebagian warga ada yang pergi
Kemarin malam adalah tahlil terakhir untuk almarhumah bu Dewi. Itu berarti usia pernikahanku dengan Khoir juga sudah berjalan selama tujuh hari. Selama itu pula antara aku dan Khoir belum pernah melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh sepasang suami istri. Jangankan tidur bersama, bahkan ngobrol mesra pun kami masih segan, jadi berbicara hanya seperlunya saja.Aku juga tak pernah tahu di mana dan kapan Khoir pergi tidur, yang pasti dia tidak sekamar denganku. Kami akan bertemu di pagi hari ketika Khoir pulang dari masjid usai salat Subuh dan aku sedang membuat sarapan di dapur, selalu seperti itu selama tujuh hari ini.Berbeda dengan Bintang, balitaku itu cepat sekali akrab dengan Khoir. Bahkan aku sering mendengar Khoir mengajaknya berbicara dan mengajari Bintang untuk memanggilnya dengan sebutan ayah.Entah kenapa, kali ini Khoir agak lama berada di masjid. Sampai aku selesai m
Hari ini jadwalnya Khoir terapi, kubawa dia pergi ke tempat di mana dulu Bintang berobat. Sudah hampir setahun suamiku ini menjalani terapi di sini, Alhamdulillah hasilnya cukup memuaskan. Sedikit demi sedikit dia sudah bisa berjalan tanpa menggunakan struk.Saat kami sampai, ada sebuah mobilsedang terparkir di depan rumah dan kami sudah tahu siapa pemiliknya."Malas aku kalau Papa Anwar ke sini." Bintang mengeluh karena melihat siapa yang datang."Bintang gak boleh begitu, sama orang tua harus sopan ya, Nak," kata Khoir."Tapi, Yah. Bintang gak suka, dia suka ganggu Bunda," sahutnya sewot."Mangkanya tugas kamu untuk menjaga, Bunda." Khoir menjawab sambil mengelus rambut ikal Bintang.Khoir menatapku sekilas, entah apa yang dipikirkannya. Sepertinya ada sorot kekecewaan di matanya.Bintang lebih dulu turun dan langsung menghampiri papanya. Ba
"Mas, kenapa ada begitu banyak polisi di depan rumah?" tanyaku keheranan."Aku juga gak tahu, Dek. Semoga saja tidak terjadi sesuatu. Selama kita tidak merasa melakukan kesalahan, kamu gak usah khawatir, ya," sahutnya menenangkanku.Meskipun Khoir sudah memenangkan diri ini. Namun, masih saja ada perasaan takut, mengingat semua yang pernah kualami dulu.Aku bisa bernapas lega, setelah Khoir berbasa-basi, ternyata para polisi itu sedang menyelidiki kasus pencurian dan yang menjadi tersangka adalah putra tetanggaku. Astaghfirullah ...Lekas aku memohon perlindungan pada Yang Maha Berkehendak, semoga Allah menghendaki anak-anakku dengan akhlak yang terpuji."Ya Allah.. Berikan kebaikan yang banyak pada anak-anakku, jagalah mereka dan jangan kau celakakan mereka. Karuniakanlah kami ketaatan mereka..” Aamiin.Kejadian yang menimpa anak tetangga membuatku sedikit khawatir
Hari masih pagi bahkan butiran embun masih bergelayut manja di kelopak bunga mawar. Setelah berkutat di dapur, aku sudah bersiap dengan sekeranjang pakaian kotor. Jangan ditanya di mana Khoir, ah suamiku itu sedang melantukan Kalamullah. Ada rasa damai jika aku mendengar suara merdunya saat membacanya."Sin, kubantu, Dek." Lelakiku ini sudah ada di sampingku. Alhamdulillah semoga panjang umur, baru saja diomongin udah muncul aja orangnya, tak ayal membuatku tersenyum."Loh, kok malah senyam-senyum ada apa sih?" tanyanya sok curiga, kembali aku tersenyum."Oh iya, Mas. Nanti jadi sowan ke Pak Kyai?" Aku balik bertanya sambil memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci."Gak bisa nanti, Dek. Tadi aku coba menghubungi beliau, tapi nomernya gak aktif. Akhirnya kuhubungi Kak Mujib, dia bilang kalau Pak Kyai sedang berada di luar kota," katanya menjelaskan.
"Dek!" Khoir masuk disusul oleh Hawa, bersamaan dengan Bintang yang menangis keluar dari kamar.Kami saling menatap, Khoir seolah meminta penjelasan padaku dan aku bingung bagaimana harus mengatakannya.*****Ketiga bocah itu duduk di bangku belakang kemudi, seolah mengerti kalau semua sedang tidak baik-baik saja, mereka semua bungkam termasuk Bintang. Balita yang biasanya riang itu ikut diam melihat saudara sepupunya yang juga bungkam.Begitu juga dengan kami yang sibuk dengan pikiran masing-masing.Menanyakan kepada Sang Maha Kuasa mengapa semua ini terjadi? Seolah diri ini adalah hamba yang tak beriman, karena masih meragukan takdirNya.Sesekali aku mengusap air mata yang menetes setiap kali berkedip. Tak bisa membayangkan bagaimana kehidupan mereka setelah semuanya ini. Sesekali Khoir menggenggam jemariku,
Setelah papa Haris dibawa ke rumah sakit. Khoir segera memesan mobil online, kami akan pulang ke rumahku berserta Adam dan Hawa.Kedua kakak beradik ini memaksa papinya supaya mengizinkan mereka ikut bersama kami. Mas Sanusi menolak, dia mengatakan kalau habis dari rumah sakit, dia janji akan langsung mengantar mereka pulang. Namun, kedua bocah itu tetap kekeuh ingin ikut pulang bersamaku."Gak pa-pa, Mas. Biar mereka ikut kami. Nanti mas jemput mereka dari sana." kataku mencoba memberikan jalan tengah karena mereka terus saja berdebat."Ya udah kalau gitu. Maaf ya, Rin, jadi ngrepotin kamu dan Khoir."Setelah berucap mas Sanusi menghampiri kedua anaknya "Adam, Hawa kalian jangan nakal ya," pesannya pada putra dan putrinya.Keduanya mengangguk serentak."Ok, Papi ke rumah sakit dulu." Mas Sanusi memandang kami sebentar sambil tersenyum kemudian beranjak masuk ke mobil dan pelan-pelan
"Kak Irul! Kak! Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Mbak Rina," seru Nisa di balik pintu kamar."Iya sebentar, Nisa," jawab Khoir.Lelakiku ini kembali menatapku "Siapa malam-malam gini mau menemuimu, Dek?" tanya Khoir yang masih mengurungku dalam pelukannya."Ya, mana aku tahu! Mangkanya lepas," sahutku sambil berusaha mengurai pelukannya."Boleh, tapi ada syaratnya," godanya sambil mengedipkan sebelah matanya."Apa'an sih?" tanyaku ketus. Khoir tidak menjawab pertanyaanku, tangannya meraih sesuatu yang ada di belakangku, lalu memakaikan sesuatu di kepalaku."MasyaAllah ... cantiknya istriku," puji Khoir setelah dia merapikan jilbab instan yang sekarang telah menutupi rambutku.Aku tersipu malu, Astaghfirullah ... apa yang aku pikirkan tadi? Ish! Malu malu malu. Aku tersenyum sendiri karena sempat berfikir yang iya-iya.Bintang menyon
Setelah kami selesai melaksanakan kewajiban pada Sang Pencipta, aku langsung membersihkan rumah. Menyapu membereskan mainan Bintang dan menyiapkan masakan untuk makan malam."Assalamualaikum." Mendengar ada yang mengucapkan salam, aku pun bergegas keluar. Sedangkan Khoir dan Bintang sedang bersepeda sore, putar-putar kampung, Bintang sangat menyukainya.Dari dalam rumah kulihat ada seorang perempuan sedang berdiri di pinggir pintu."Wa'alaykumussalam." Aku menjawab ketika sudah berada dekatnya. Seorang wanita berwajah manis memakai jilbab ungu, menggunakan rok panjang bermotif bunga dipadukan dengan kaos lengan panjang berwarna hitam sedang tersenyum manis padaku."Kak Irulnya ada, Mbak?" tanyanya sopan setelah kami sudah berhadapan."Gak ada, Dek. Ada perlu apa ya? Mungkin, nanti bisa kusampaikan." Aku menawarkan diri sebagai perantara pesannya."Mbak ini siapanya Kak Iru
Kemarin malam adalah tahlil terakhir untuk almarhumah bu Dewi. Itu berarti usia pernikahanku dengan Khoir juga sudah berjalan selama tujuh hari. Selama itu pula antara aku dan Khoir belum pernah melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh sepasang suami istri. Jangankan tidur bersama, bahkan ngobrol mesra pun kami masih segan, jadi berbicara hanya seperlunya saja.Aku juga tak pernah tahu di mana dan kapan Khoir pergi tidur, yang pasti dia tidak sekamar denganku. Kami akan bertemu di pagi hari ketika Khoir pulang dari masjid usai salat Subuh dan aku sedang membuat sarapan di dapur, selalu seperti itu selama tujuh hari ini.Berbeda dengan Bintang, balitaku itu cepat sekali akrab dengan Khoir. Bahkan aku sering mendengar Khoir mengajaknya berbicara dan mengajari Bintang untuk memanggilnya dengan sebutan ayah.Entah kenapa, kali ini Khoir agak lama berada di masjid. Sampai aku selesai m
"innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un ... Bu Dewi." Suara parau terdengar di antara isak tangis. Para ibu-ibu kemudian menyibukkan diri, melakukan tugas masing-masing, seperti sudah terkomando mereka melakukan pekerjaan tanpa diperintah. Di perkampungan rasa persaudaraan masih terasa kental. Jika ada salah satu warga berduka, mereka akan segera membantu walaupun hanya sekedar tenaga."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un." Khoir berucap sambil mengusap wajah ibunya, lelaki itu sekuat tenaga menahan air matanya, terlihat dari ranghangnya yang mengeras dengan bibir yang mengatup rapat.kemudian dia membetulkan letak tangan ibunya dengan posisi sedekap. Semua orang berduka, kecuali mereka para manusia-manusia berhati ib**s yang membuat keonaran di sini tadi. Hanya diam menyaksikan tanpa kelihatan berduka.Semua orang sibuk, mereka cepat tanggap mengurus jenazah almarhumah bu Dewi. Sebagian warga ada yang pergi