Suara bel rumah terdengar saat aku sedang di ruang makan bersama Naya. Kami sama-sama diam menerka siapa yang datang.
"Biar simbok yang bukain." ART-ku itu lekas pergi setelah beres menuangkan air mineral pada gelas. Naya menunda sendok pada piring kemudian meneguk minum. Kulihat makanannya sudah habis. Aku sendiri menikmati suapan terakhir. Kami sudah selesai. "Assalamualaikum!" Naya lekas berdiri mengetahui siapa yang datang dan menjawab salamnya. Ia menyalami Mamaku. "Apa kabar, Nay?" "Alhamdulillah, baik. Mama sendiri bagaimana?" Naya bertanya balik."Alhamdulillah baik sekali." Mama menjawabnya ramah. "Hallo, Kak." Mela—adikku—menyapa Kakak Iparnya. Mama datang bersamanya. "Hai, Mela." "Wah, lagi makan ganggu nih berarti." Mela berujar kembali."Sudah selesai, kok. Ayo, Ma, Mel." Naya membawa keduanya pergi ke ruangan lain. Betapa hangat perempuan itu pada keluargaku. Aku senang Naya bisa bersikap ramah dan sopan pada mereka meski kepadaku sendiri belum bisa sebaik itu. Meski itu sekedar sandiwaranya, aku tetap suka. "Ini lho, Nay. Mama ada sesuatu buat kamu." Mama memberikan paverbag berukuran sedang pada Naya. "Apa ini?" "Buka aja, Kak." Mela memberitahunya untuk melihat sendiri.Naya menurut mengeluarkan isinya. Bibir istriku itu mengembang mendapat sebuah longdress dengan motif dan warna cerah. "Makasi, Ma.""Sama-sama." Mama menjawab sumringah. Ia senang melihat ekspresi menantunya yang sangat menerima pemberiannya. "Kemaren kita abis belanja. Yaudah beliin buat Kak Nay sekalian." Mela menjelaskan. "Iya, Mel. Bagus bajunya." Istriku memuji dan memperhatikan gaun di pangkuannya itu. Dia pandai membuat orang lain tidak curiga dan terkesan natural. "Kalo mau banyak Kakak bisa minta beliin ke Kak Sendy. Iya, kan Ma?"Mamaku mengangguk. "Tidak masalah." Aku yang diam saja menyimak dari kejauhan mendekat dan duduk di sisi Naya. "Untuk istriku apapun akan kuberikan." "Jangan ngomong doang lho, ya." Mela memperingatkanku. "Selama aku mampu aku akan mencukupi dengan baik semua kebutuhan Naya." Itu bukan sekedar ikrar, aku serius. "Percaya ...." Mama berkata seraya tersenyum. Dia tidak mempedulikan status Naya yang bukan gadis, toh aku juga bukan perjaka. Mama menyukai Naya dan sangat merestui hubungan kami. Sayangnya menantunya itu belum bisa menerimaku tanpa beliau tahu. Penampilan Naya dan Mama sama. Sama-sama berpakaian tertutup dan berhijab. Termasuk Mela adikku. Naya sedikit tersentak saat tanganku menyelinap ke belakang tubuhnya merangkul pundaknya. Meski begitu dia tetap diam. Di hadapan Mama dia tidak berani menolakku. Dalam hati bersyukur atas kedatangan Mama. Aku bisa lama-lama bersentuhan merasakan hangat tubuh Naya. "Semoga cepet dapat momongan. Naya jangan pake KB dulu ya." Naya menanggapi ucapan Mama dengan mengangguk kaku. "Mama pengen cepet gendong cucu." "Aku juga pengen gendong ponakan. Udah lama gak ada bayi di keluarga kita." Aku tersenyum mendengar celotehan Mama dan Mela. Tanganku yang satunya tergerak mengelusi perut rata Naya. Meski tidak berkenan, sekali lagi dia tidak bisa menghindar. "Doakan saja, mudah-mudahan dedek bayi cepet tumbuh di sini." Bukankah kata-kata bagian dari doa? Semoga yang aku katakan cepat terwujud, meski saat ini masih mustahil."Aamiin yaa Allah ...." Naya yang menunduk diam mencoba tersenyum menanggapi Mama. Setelahnya melirikku. Aku menaikkan sebelah alis dan tersenyum penuh kemenangan melihatnya yang tak berdaya menghindar. Belum puas aku meraih telapak tangan Naya menggenggamnya. Juga mengecup punggung tangan itu. "Kami selalu berusaha kok." Berbohong sekali demi kebaikan tak apa-apa kan? "Duh ... Romantisnya." Mela berucap seraya tersenyum, Mama juga. "Semoga keluarga kalian sakinah selamanya ya." "Iya, Ma." ***Kepergian Mama menyisakan aku yang melamun sendiri. Terngiang lagi ucapannya. "Mama pengen cepet gendong cucu." Aku tersenyum miris. Entah kapan Naya bersedia aku berikan nafkah batin? Tidak ada yang tahu kami belum membaur. Apa semua perempuan yang ditinggal mati suaminya seperti itu, sulit muve-on? Hhh. Aku mendesah dan menegapkan duduk. Meneguk minuman oranye sampai habis. Kutinggalkan gelas itu di meja setelahnya. Terdengar jeritan Naya saat aku masuk dalam kamar. "Kalau mau masuk kamar ketuk pintu dulu dong," ucapnya protes seraya membetulkan handuk yang melilit di tubuhnya. "Loh, kenapa? Ini kamarku. Biasanya juga gak apa-apa." Aku abaikan raut gelisahnya dan perlahan mendekat."Aku baru habis mandi dan belum pake baju." Naya mundur seraya menutup-nutupi bawah lehernya. "Gak usah ditutupi, gak dosa kok dilihat suami sendiri." Baru kali ini aku melihatnya seterbuka ini. Tubuhnya bagus. Dia membuatku terpana saat baru membuka pintu tadi."Keluar dulu gih.""Gak mau." "Sebentar aja." "Aku pengen tetap di sini. Ngeliatin kamu." Naya berdecak. Dia berbalik berjalan tergesa menuju lemari. Mengambil baju dan dengan cepat memakai long dress itu. Tubuhnya tertutup sekarang. "Kenapa, takut?" Naya tidak menjawab. Memilih menyisiri rambutnya, di ikat, setelahnya membungkusnya dengan hijab. Semua dilakukan dengan gerakan gesit seakan tak rela aku terlalu lama melihat tubuhnya. Naya lalu meninggalkanku begitu saja.Ketika malam menjelang larut. Aku masih belum bisa tidur. Dibenakku terbayang selalu Naya yang belum memakai baju. Rasanya sore tadi ingin aku berhambur memeluknya lalu meninggalkan banyak jejak di tubuhnya. Hingga saat ini keinginan itu masih kuat dan membuatku nelangsa sendiri. Berkali-kali aku embuskan napas dan mencoba menetralkan degup yang kencang. Tidak kunjung reda aku bangkit duduk melihat Naya yang sudah lelap. Tanganku terulur menyentuh pipinya menyingkirkan anak-anak rambut. Arah mataku lalu tertuju pada bibirnya yang mengatup. Perlahan wajah ini dicondongkan ke dekatnya. Naya mendadak membuka mata. Dia mendorongku, menghindar beringsut duduk. "Aku merindukanmu, Naya.""Jangan menyentuhku!" "Kamu istriku. Aku berhak atas tubuhmu." "Aku tidak mau ...." Naya terlihat ketakutan dan cemas.Aku menunduk, meresapi gejolak dalam diri yang terus mendesak. Haruskah aku memaksanya? Kuhembuskan napas kuat-kuat untuk lebih tenang. "Mas Akbar ...." Tetapi mendengar nama itu disebut, aku kembali meradang. Wajah kuangkat seketika. Menarik tubuh Naya sekaligus ke dekatku. Tak segan aku mencium bibirnya. Kedua tangannya yang memberontak kucekal kuat-kuat. Naya tidak lagi melakukan perlawanan. Aku membuka mata, mendapati pipinya yang basah. Seketika, aku melepaskannya. Aku beringsut ke tepi ranjang menurunkan sepasang kaki. Satu kali menyugar rambut frustrasi. "Tidurlah." Kulangkahkan kaki ini ke kamar mandi."Aku minta maaf soal semalam."Naya yang sedang membereskan seprai tempat tidur menoleh. Hanya sebentar dia kembali pada aktivitasnya itu. Aku menghela napas seperti biasanya saat ucapanku tidak ditimpali. Memilih melanjutkan mengancingkan seluruh kemeja. Jika tingkahku semalam menyakitinya hingga membuatnya meneteskan air mata, aku juga sama sakitnya menahan hal yang seharusnya aku dapatkan itu. "Kamu mau kan menemaniku sarapan?" Kuhampiri ia yang baru selesai merapikan bantal-bantal. Ada banyak harapan dalam diri ini darinya, salah satunya mengiyakan ajakanku. Namun, harapan itu harus pupus saat melihatnya diam saja. "Nay?" Aku berdiri dekat di hadapannya. Naya tidak bereaksi. "Naya, keluar kamu!" Mendengar suara keras itu, dia baru terusik. Aku juga. Naya bergegas ke luar kamar. Aku ikuti dia, melihatnya berlari-lari kecil menuruni anak tangga hingga di bawah. Berhenti di depan dua orang. "Jangan berbuat keributan di rumah majikan saya, Bu." Dari atas aku melihat bagaimana Mbok
"Tutup matanya." "Apa si?"Tidak menjawab, aku melingkarkan pita menutupi indra penglihatan Naya. "Diem aja dulu. Aku mau nunjukin kamu sesuatu." Kuperintahkan Mbok Rum membuka pintu ruangan di depan kami dengan isyarat mata. Wanita itu menurut membukakan pintu seraya tersenyum. Perlahan aku membawa Naya masuk merengkuh pelan bahunya. "Puas kamu tadi jalan-jalannya sama Mbok Rum?" Untuk menghilangkan ketegangan di hatinya aku mengajak bicara. Sengaja Naya terlebih dulu di bawa oleh Mbok Rum sementara aku menyiapkan sesuatu di rumah sesuai rencana. "Iya, sangat menghibur kegiatan di luar tadi." Kini Naya sudah ada tidak jauh dari surprise yang akan di dapatkannya. Semoga dia senang aku memberikan semua ini. Aku pun membuka ikatan pita merah di kepalanya. "Sekarang buka mata kamu." Kulihat Naya membuka perlahan kedua matanya. Dia termangu melihat apa yang terpampang di sekitarnya. "Biar gak kesal diam di rumah. Semoga kamu suka." Yang kuberikan adalah satu set mesin jahit dan mesi
Kulirik jam di tangan kemudian melihat dua orang perempuan di depan sana. Naya yang sedang memilih barang dan Mbok Rum yang mendorong trolly di belakangnya. Sudah satu jam lebih kami berkeliling di pusat berbelanjaan ini. Aku hanya mengikuti sambil melihat-lihat barang-barang di etalase. Istriku itu tampak akrab dengan pembantu di rumah kami. Seperti anak dan Ibu saja. Bersamanya Naya bisa ceria. Mungkin karena sesama perempuan dan mereka bisa berbagi satu sama lainnya. Jika bersamaku belum bisa sreg, tidak apa dia begitu dulu bersama simboknya.Aku melihat alat pencukur di dekatku lalu mengambilnya. Membawa benda itu pada Naya. Memasukkan dalam trolly. "Aku butuh ini." "Mbok sudah selesai kita ke kasir." Perempuan itu mengajak Mbok Rum pergi ketimbang menimpaliku. Aku sudah terbiasa rasanya dan membiarkannya pergi. Naya masuk ke salah satu barisan kasir. Antrian tidak panjang hanya ada satu orang di depannya. "Itu Naya, Bu!" Terdengar seruan seseorang. Aku melihat ke sumber suara
Firman masuk ke ruangan dan duduk di hadapanku begitu saja. Tangannya dilipat di atas meja. Aku menatapnya sekilas."Mau apa lo? Sembarangan masuk gitu aja." "Jadi, lo beneran mutasi Nesya ke tempat lain?""Kenapa? Lo kangen ma dia?" Lelaki itu menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Biasa aja.""Terus masalahnya apa?" "Cuma nanya aja kenapa sampe harus dipindah segala. Gue liat Nesya fine-fine aja di sini." "Dia buat masalah sama gue." Firman menegapkan duduknya. "Masalah? Oo ... Gue ngerti." Dia seperti menyadari sesuatu. "Nesya selalu ganggu gue." "Sekarang, lo udah bener-bener berubah ya." Firman bergumam seraya mengusap dagunya. Aku tersenyum sumir. Meninggalkan berkas di meja kemudian berjalan melempar pandangan ke luar gedung. "Gue pengen rumah tangga gue yang sekarang awet dan tentram. Gue cukup belajar dari kesalahan masa lalu." Bercampur getir aku mengatakan itu mengingat Naya yang masih membenciku. Tapi, itulah harapan terbesarku. "Wow, bijak." Firman menghampiri berdiri
Tidak ada Naya di dekatku saat sarapan. Perempuan itu juga tidak ada di kamar. Aku pikir dia akan menghampiri dan duduk bersama menemani. Nyatanya aku hampir mau selesai dia tak kunjung menampakkan diri. "Naya di mana, Mbok?" Kutanyakan keberadaannya pada Mbok Rum yang lewat. "Apa ada di dapur? Tolong suruh ke sini.""Nggak ada, Tuan."Aku mengeryit. "Tapi, tadi simbok liat Non ke ruangan jahit." "Ruangan jahit?""Iya, pasti Non ada di sana." Aku meneguk minum dan langsung beranjak dari kursi. Benar, Naya ada di ruangan itu. Dia tengah menata baju di hanger. Juga membetulkan letak manequin berbusana muslim. Aku mendekatinya. Tempat ini sudah seperti mini butik. "Nay." Naya berbalik."Sudah sarapan?" Harusnya dia yang menanyakan itu, tapi aku mengalah. "Sudah," jawabnya singkat. "Kok gak ngajak aku, Nay?""Maaf." Dia menatapku sekilas dan tertuju pada bahan di mesin. Dia meraihnya memperhatikan bahan brokat itu. "Kamu mau menjahit? Sepagi ini?""Cuma siap-siap aja, biar agak s
Ruangan Firman aku buka begitu saja. Seorang perempuan yang duduk di mejanya langsung turun. Firman yang terhalangi kini terlihat. Dia membetulkan dasi dan ikut berdiri di sisi perempuan itu."Apa kalian kupekerjakan hanya untuk pacaran?" "Tidak, Boss." Firman menjawab. Aku meliriknya tak suka atas sikapnya yang sudah tertangkap basah tengah berduaan di jam kerja."Maafkan saya, Pak." Karyawan perempuan di sebelahnya takut-takut saat melihatku. Dia terus menunduk."Kembali bekerja ke ruanganmu sekarang." "Ya, Pak. Permisi." Dia buru-buru keluar.Aku mendekati Firman. Kesini-kesini aku dibuat kecewa dengan sikapnya. "Lo kok jadi bajingan gini sih?""Gue gak ngapa-ngapain, Sen. Tadi cuma ngobrol aja.""Lo udah bosen kerja sama gue?""Kerjaan gue baik-baik aja kok. Lo tenang aja." Firman duduk kembali. Tangannya menunjuk kursi di depannya. "Mari ngobrol sambil duduk."Aku pun duduk dengan bersedekap tangan. "Thank you sudah repot-repot datang kemari. Sepertinya ada sesuatu yang ingin d
"Menyingkir dariku!""Aku suamimu, aku berhak melakukannya." Kali ini aku tidak mau mengalah. Naya menggeleng dan berusaha memberontak. Aku mencekal kedua tangannya menekan kuat-kuat di sisi kepalanya. Tidak peduli dia yang memelototiku, tetap melanjutkan kegiatanku di atas tubuhnya. Setiap penolakkannya membuatku bertambah semangat dan semakin dilenakan rasa. Sudah sejak lama aku mendambakannya. Tak kan kulepaskan ia. Hingga tenaganya melemah. Aku tidak ingin menjauh meski dia menangis dan memohon-mohon. Ingin benihku cepat tumbuh di rahimnya. "Maafkan aku, Nay." Berusaha menciuminya meski ia terus berpaling. ***Tetesan deras air shower biasanya terasa dingin sekali saat pagi-pagi buta, kali ini tidak. Aku senang membasahi tubuhku di bawahnya. Menikmati sensasi segar. Kedua tangan menyugar pelan rambut. Tubuh terasa ringan, hatiku lapang, rasa yang bercokol dongkol di dalamnya hilang. Kemudian bibir melengkung senyum dengan sendirinya. Ingat semalam. Meski bukan malam pertama yang
Gawai di meja berdering, aku mengambilnya. Telepon dari rumah. Siapa? Naya? Tidak mungkin. Lantas segera aku menerima panggilan itu."Hallo Tuan, ini simbok." "Ada apa?" "Maaf mengganggu di jam kerja. Habisnya simbok bingung.""Kenapa, Mbok?" "Non Naya nangis, jerit-jeritan, simbok khawatir.""Hah?! Dimana dia sekarang?""Di ruangan pribadinya. Pintunya dikunci. Takut kenapa-kenapa, Pak." Setelah dikabari hal itu aku jadi panik. Kuputuskan pulang dulu melihatnya. Bagaimana kalau dia sampai kenapa-napa? Aku menyetir pun tidak tenang rasanya. Kenapa lagi Naya?Langkah kaki memasuki rumah dengan tergesa-gesa. Disambut Mbok Rum yang mengikuti di belakang. "Sekarang bagaimana?" "Sekarang sudah tidak berisik, Tuan. Tadi selain tangisan dan jeritan suara barang-barang dilempar pun terdengar."Aku semakin cepat melangkah dengan degup jantung yang kencang. Bagaimana kalau Naya melakukan hal yang ... Tidak. Aku menggeleng."Non terus sebut-sebut nama Akbar dan terus-terusan bilang maaf."
Suaranya ...."Evelyn?" "Ya, sayang. Ini aku." Keterkejutanku berusaha dinetralkan. Bukankah ini yang ditunggu-tunggu? Dia akhirnya menghubungiku juga. Aku berdehem pelan, sebisa mungkin tenang. "Ada apa?" "Tumben gak marah atau ngelarang saat kutelfon?" Sengaja kutanya baik-baik. "Ada perlu apa, Eve?" Kuulangi lagi pertanyaan itu ketimbang menanggapi keheranannya."Cuma kangen." "Mau ketemu?" "Ap-appa?" Dia tergagap pelan seperti tak menyangka. "Kalau gak mau yaudah." "Mau dong!" Sudut bibirku tersenyum miring. Perempuan itu perlu sedikit dibaiki. Memang maunya bertemu.Kami memutuskan dinner privat room. Hanya aku berdua dengannya. Evelyn tampak sumringah. Dia makan dengan lahap. Sedikit aneh, bukankah perempuan hamil di trimester pertama tidak selera makan? Aku tidak mau mempedulikan itu, mencoba tersenyum sambil mengiris steak sapi dan memakannya perlahan. "Kamu kangen juga sama aku kan?" Evelyn meminum air di gelas ramping berkaki satu. Makanannya sudah tandas. Kemudi
Aku dan mama mengintip dari balik pintu yang membuka sedikit, melihat Naya bersama seorang psikolog perempuan. Mereka duduk berhadapan. Entah mendapat pertanyaan apa, istriku menggeleng pelan sambil menunduk dalam. "Sudah, biarkan saja." Mama mengajak pergi. Aku mengikutinya. "Semoga konsultasi sama psikolog itu bisa membantu." Aku pun berharap begitu. Kami duduk tidak jauh dari kamar Naya berada. Menanti Psikolog itu selesai. Ingin mengetahui bagaimana hasilnya. "Semalam kamu habis dari mana, pulang malam sekali?""Ada perlu." "Kamu jangan lama-lama meninggalkan istrimu.""Untuk kebaikan Naya kok." Aku tersenyum ingat wajah takut Firman. Tidak mungkin aku senekat itu untuk melukai. Ternyata baru digertak begitu saja dia sudah kalah. "Gue belum kawin. Lo jangan apa-apain otong guee." Dia terus merengek saat aku tidak lantas menjauh dari bawahnya. "Gue bilang gue bakal ngaku!" Ingin menyemburkan tawa, tapi kutahan. Tetap memasang wajah serius, guna bisa mendapatkan info dariny
"Ya ampun, Tuan. Wajah Tuan kenapa?" Mbok Rum tampak panik saat membukakan pintu rumah."Awas, Mbok." Tidak menjawabnya langsung menerobos masuk membawa Naya digendongan tanganku."Ya ampun, Non Naya." Dia mengikut di belakang. Tangis Gathan terdengar, seakan ingin menyambut kedatangan mamanya. Tangis bahagia atau sedih, entah. Mungkin dua-duanya. "Urusi Gathan.""Ya, Tuan." Langkah Simbok yang ingin memasuki kamar bersamaku berputar arah. Di tempat tidur kubaringkan Naya langsung menyelimutinya. Meraba keningnya yang hangat. Dia demam. "Nay?" Dia tidak terusik. Apa aku harus hubungi dokter? Terdiam sejenak mempertimbangkan. Baiknya dikompres saja dulu mengingat waktu yang tidak memungkinkan. Aku keluar lagi untuk menyiapkan kompresan. Gathan sudah tidak rewel di tangan Simbok. Kembali ke kamar membawa wadah berisi air dan handuk kecil. Kain itu kuperas menempelkannya di kening Naya. Dia harus makan dan minum obat saat sudah bangun. Aku terdiam sesudahnya. Sudut bibirku perih.
Evelyn. Pasti dari dia. Mencoba menghubungi tapi nomornya sudah tidak aktif. Jika tahu akan ada pesan masuk darinya, tidak akan diberikan pada Naya. Akan kuperiksa lebih dulu. Ceroboh lagi. "Astaghfirullah, ya Allah ...." Naya luruh di lantai. Memegangi dada tersedu-sedu. "Sakit sekali."Aku harus bagaimana? "Nay?" Terpaksa mendekati dia lagi. "Aku bersumpah itu bukan anakku." "Tapi kamu sudah berzina dengannya."Kupeluk dirinya. Dia terus tersedu-sedu. Wajahnya kuangkat menyeka linangan air mata wujud sakit hati yang kembali menggelora. Mata indah itu terpejam tapi terus mengeluarkan cairan. "Akan aku buktikan semuanya." Membenamkan wajah itu kembali di dada. Menangislah sepuas hatimu. Mau memukulku juga tidak apa. Aku siap. Pantas menerima itu. Entah lelah atau terlalu larut dalam kesedihan Naya diam saja. Masih dalam keadaan terisak aku menggendongnya memindahkan di tempat tidur. Bantal yang berserak kuambil meletakkan di bawah kepalanya. Juga menutupi dengan selimut. Dia me
"Aku gak ngapa-ngapain kamu.""Pergi!""Tenang, Naya."Dia terus menggeleng-geleng sambil mempertahankan selimut menutupi dadanya. "Pergi, kamu." Dia melempar bantal. Dada yang tertutup melorot lagi. Aku memungut benda itu di lantai setelah mengenaiku. Meletakkan kembali di kasur. Naya beranjak turun membawa selimut. "Kamu mau ke mana, jangan pergi, Nay!" "Enggaa!" Dia berjalan tergesa menuju pintu. Aku mengejar. Dia keburu sudah membukanya. Tertegun saat didapatinya mama berdiri di depan."Ada apa?" Mama bertanya panik. Naya terisak. "Kenapa Naya?""Dia mau memperkosaku ...." Tangannya menunjuk ke belakang. Ke arahku. Mama seketika melotot padaku. Aku menggeleng tersudut. Istriku menyusut duduk di lantai. Selimutnya sedikit melorot menampakan separuh dada. Mama melihat itu. "Sendy." Mama bergumam geram. "Sudah mama peringatkan kenapa begitu lagi?!" "Salah paham, Ma.""Salah paham apa? Pasti kamu yang sudah buka bajunya, iya?!" "Engga, Ma." "Tidak ada gunanya menyangkal."
"Tolong ke sini, Ma.""Naya sudah sadar?""Mama cepat ke sini.""Iya, iya, mama akan segera ke sana. Lagi kasih Gathan susu ini.""Kasih ke Mbok Rum.""Iyaa."Telepon bersama mama kumatikan. Mengusap wajah gusar sesudahnya. Naya bersama perawat sedang ditenangkan di dalam. Dia menjerit dan marah-marah. Sama sekali tidak mau kudekati. "Enggaa. Bajingan. Biadab. Pergi kamuu!" Dia mengusirku saat mengajaknya ke luar dari kamar mandi. Melemparkan apa yang ada di dekatnya. Aku terpaksa membiarkannya dulu. Memanggil perawat melalui interkom yang ada. Tidak lama perawat perempuan datang menghampiri Naya membujuknya. Sedangkan aku diperintahkan ke luar dulu. Aku hanya diam di luar tidak berani masuk juga tidak ingin pergi. "Kenapa, Sen?" "Ma." Aku lekas berdiri setelah menunggunya cukup lama. "Naya sudah sadar?""Iya, sudah lumayan lama.""Kok baru kasih tau mama.""Maaf." "Kok kamu gak menemani, kenapa dibiarkan sendiri?""Naya gak mau kutemani. Dia marah tau apa yang kulakukan padany
Tamparan keras mendarat di pipiku. Mama melakukannya sangat kencang. Dia marah mengetahui Naya melukai diri sendiri, mengetahui Evelyn datang ke rumah membawa kabar burung, dan tahu bekas merah di leher. Aku terus didesak hingga mengakui semuanya termasuk menyetubuhi Naya sebelum di bawa ke sini. "Kurang ajar kamu, Sen." Deru napas mama memburu. Tatapannya tajam melihatku.Pandanganku terlempar pada Naya yang belum membuka mata. "Maafin Sendy, Ma." "Bagaimana kalau Naya menyadari itu? Dia akan semakin terluka, Nak.""Sendy, nyesel.""Kamu memang dari dulu agak susah menahan hawa nafsu. Sampai terjerumus pergaulan bebas.""Tapi itu dulu, Ma. Sekarang engga. Aku hanya mencintai Naya.""Kalau cinta kamu tidak akan melakukan hubungan sepihak. Apalagi dalam keadaannya yang sedang nifas dan kacau." "Itu tidak akan terulang lagi." Mama mendengus. Kemudian melihat Naya menatap Iba. "Perempuan belum lama melahirkan itu sensitif. Dia sudah mendapat kabar sangat buruk di fase ini. Bisa mama
Tidurku terjaga saat mendengar tangis Gathan. Lekas duduk. Bayi itu menjerit-jerit di balik selimut. Aku melihat ke sampingnya, tidak ada Naya. Ke mana dia? Gathan pasti ingin minum susu lagi. Aku meraih botol susunya yang kosong. "Tunggu, Papa buatkan dulu." Beranjak ke nakas. Di sana sengaja sudah kusediakan dus susu dan termos mini. Jaga-jaga saat butuh tidak perlu ke luar ruangan. Dengan gerakan cepat aku menyeduh susu, dicampur air mineral dingin sedikit supaya tidak terlalu panas. Bisa hangat dan pas untuk diminumnya. "Ini, Sayang. Cup, jangan nangis lagi." Susu kuberikan. Gathan menyedotnya lahap. Aku mende-sah lelah sambil terus memegangi botol, menunggu dia kenyang dan tidur kembali. "Maafin kecerobohan Papa. Kamu jadi jauh dari Mama." Kukecup pipinya pelan saat dia sudah lelap. Membenarkan selimutnya sebentar, lalu meninggalkan keluar. "Gathan baik-baik aja kan, Tuan?" Mbok Rum berdiri resah di depan pintu. Sejak kapan dia di situ? "Mbok gak tidur?""Simbok denger." Di
"Pergi!""Aku tidak akan pergi dulu, apalagi suamimu baru datang." Evelyn menoleh ke arahku. "Kasian, baru pulang kerja kena lemparan barang. Untung aku menghindar. Aku jadi tidak berdarah seperti itu." Vas bunga itu hendak dilemparkan padanya tapi mengenaiku. Entah apa yang sudah dia katakan pada Naya hingga membuatnya lepas kendali. Tak peduli darah menetes, kuhampiri perempuan itu. "Untuk apa kamu ke sini? Beraninya!" "Memberitahu sesuatu." Kedua tanganku terkepal. Evelyn, jahanam! Perlahan melirik Naya. Pandangannya tak lagi sama. Menatapku murka .... "Nay?" "Jangan mendekat!" Dia mencegah aku yang ingin mendekatinya. "Dia bukan temanmu. Kamu sudah berbohong sama aku. Kalian juga masih ada hubungan.""Aku dan Evelyn sudah putus kontak sejak lama, Nay.""Aku sudah tahu semuanya.""Nay, maafkan aku. Dia memang mantan istriku, tapi kami--" "Kamu lupa kejadian di kantor?" Evelyn menyela. Aku meliriknya sinis. "Jangan ngarang kamu.""Benar kan? kita sudah bermesraan di ruang