Keduanya cepat menghampiri kami. Naya menunduk ditatap tajam mantan Ibu mertuanya.
"Bagus. Suami baru meninggal sudah menikah lagi.""Maafin Naya, Bu." "Jangan kasih maaf, Bu. Gampangnya pindah ke lain hati. Jangan-jangan mereka sudah selingkuh lebih dulu." "Jaga mulut kamu, ya!" Aku tidak suka ucapan adik Akbar. Itu fitnah. "Apa?!" Dia menantangku. "Puas kamu bikin Kak Akbar celaka terus ngambil istrinya?" Ingin kusumpal mulutnya sudah berkata-kata tidak sopan. Tanganku terkepal menahan geram. "Gak nyangka kalian bisa sekejam ini pada anakku." "Maafin Naya, Bu. Naya gak bisa menolak semua ini." Naya meraih tangan Ibu Akbar, menciuminya."Tidak sudi tanganku disentuh olehmu!" Dia mendorong Naya, aku bersigap menahannya dari belakang."Jangan kasar pada istriku!" "Istriku? Istri di dapet dari hasil maling," ejek gadis muda mantan ipar Naya."Perumpamaanmu sangat kotor. Naya sudah lepas masa iddah siapapun bisa menikahinya termasuk aku. Tidak ada salahnya semua itu." "Kamu teman Akbar, harusnya kamu bisa menjaga perasaannya." Aku tahu Ibu Akbar sangat kecewa. Tapi, dia tidak berhak melarangku. Aku sudah menyelamatkan kesulitan anaknya. "Jangan terus menghakimiku dan Naya jika anda sendiri berlepas tangan dengan urusan Akbar." "Apa maksudmu?""Jangan pura-pura tidak tahu. Ingat, Akbar yang memiliki sejumlah hutang padaku. Usaha, rumah, mobil, semua miliknya tidak ada sekarang. Naya kesulitan sendiri menghadapi itu semua. Anda tidak peduli itu. Aku menikahi Naya melindunginya sekaligus membebaskannya dari jerat hutang. Hingga Akbar bisa bebas dan tenang di alam sana.""Apapun, aku tetap tidak setuju kamu menikahi Naya." "Iya, dia sudah serakah, Bu." Anaknya menimpali. "Akbar berjuang untuknya, dia memang pantas menanggung hutang. Dan kamu teman Akbar paling buruk dan sombong." "Dasar egois!" Anak gadisnya tak kalah sinis. "Kalian yang egois." Tidak sudi aku terus dijelekkan. "Aku sudah membantu Akbar, kalian harusnya berterimakasih."Adik Akbar meludah ke bawah dan mencebikkan bibir. Tidak takutkah dia, ini di area pemakaman? "Puas kamu, perempuan mandul?" Ibu Akbar mencaci. "Naya tidak mandul. Aku pastikan akan segera memiliki keturunan darinya." Kugenggam erat tangan Naya. Istriku tak berdaya. Dia hanya diam meratapi semua peristiwa yang sudah dan yang sedang dilalui. "Silakan buktikan kalau bisa." Setelah menatapku tajam gantian dia memindai Naya, "Kamu tidak pantas datang menemui Akbar. Ikatanmu sudah putus dengannya. Adelia, ayo kita pergi dari sini.""Iya, Bu." Keduanya pergi meninggalkan kami melangkah lebar-lebar. Kulirik Naya yang masih diam saja. "Kamu gak apa-apa, Nay?" Naya melepaskan tanganku dengan sekali hentakkan. Tanpa menjawab ia berjalan ke pusara Akbar. Berjongkok mengelusi papan nisannya. "Maafin aku, Mas ...." ***"Ada tamu, Tuan." Mbok Rum menyambut kedatanganku dan Naya saat tiba di depan rumah seraya memberi tahu. "Di mana dia?""Ada, nunggu di dalam." Aku memperhatikan sebuah mobil bukan punya milikku yang terparkir di halaman. Senyum kecil terbit di sudut bibir. Kemudian masuk ke dalam rumah sembari menggamit Naya meski Ia enggan. Membiarkan Mbok Rum sendiri di luar. "Lepasin." Naya sangat tidak betah tangannya aku sentuh. "Diam dulu. Kamu harus tersenyum dan bersikap ramah." "Memangnya kenapa?" "Hei, Bro!" Belum aku menjawab, seseorang memanggil. Dia menghampiri kami meninggalkan sofa yang didudukinya. "Elo, Fir, udah lama dimari?" Namanya Firman, rekan kerja di kantor."Lumayan." Firman melihat pada Naya. Dia menscan penampilanya. Aku tahu Naya sedikit risih karenanya. "Jadi, ini istri lo?" "Iya. Namanya Naya." Aku meliriknya, "Nay, ini Firman temenku." "Oh, iya." Naya mencoba tersenyum meski kutahu sedikit dipaksakan. Firman mengulurkan tangan, tapi Naya tidak menerima jabatan tangan itu. Dia malah mengatupkan tangannya sendiri di dada. Melihat itu Firman tertawa kecil seraya menarik tangannya kembali. "Sorry." Firman mendekat dan berbisik padaku. "Sepertinya lo trauma dan udah bosen sama cewek cantik yang seksi dan memilih cewek tertutup kaya gini." "Diam lo." Aku menekan ucapanku tidak suka yang dikatakannya. "Jangan buat gaduh di rumah gue." Firman menjauhkan diri seraya terkekeh. Menyebalkan. Dia datang hanya untuk tahu siapa perempuan yang kunikahi. Naya mengeryit, semoga istriku tidak mendengar bisikannya. "Mau apa lo kemari?" "Silaturahmi aja, gak boleh emang?" Dia bertanya tetapi arah matanya tertuju pada Naya. Meski samar aku dapat menangkap gurat senyum di bibirnya. Untungnya istriku melengos. Ah, Naya, itu salah satu yang kusuka darimu. "Gue denger dia janda, masih gres gak saat lo coba?" Firman mendekat lagi dan berbicara pelan sekali. "Naya, kamu boleh istirahat. Mungkin Firman ada perlu denganku." Naya mengangguk kemudian pergi. Aku tidak ingin dia mendengar omongan-omongan Firman. "Katakan tujuan lo ke sini. Jangan ngomong macam-macam." Aku belum berhubungan intim dengan Naya. Pertanyaannya tidak akan kujawab. "Tapi, masih muda. Masih seperti gadis." Firman bergumam seraya memperhatikan langkah Naya yang pelan di depan sana. "Cepet katakan." "Sabar, Bro. Malam masih lama, lo gak perlu cepet-cepet nyuruh gue pergi.""Gue bukan nyuruh pergi." Kuhempaskan tubuh di sofa. Firman membalikkan tubuhnya menghadapku. "Gue ke sini cuma nganter seseorang." Hah? Aku lekas berdiri lagi. Melihat Naya tidak jadi pergi naik tangga, dia berhadapan dengan seorang perempuan tinggi berambut kemerah-merahkan. "Nesya." Aku mengenalinya. "Cewek itu kangen sama lo katanya. Doi marah pas gue kasih tau lo udah merit." Tidak kuhiraukan ucapan Firman aku melangkah menghampiri Naya. Nesya lebih dulu melihatku. "Hai, Sen, jadi ini perempuan yang kamu pilih?" Aku sejenak menaha napas. Naya melirikku dengan raut tak mengerti. "Kupikir lebih modis dari aku, ternyata nggak." Nesya melihat Naya dengan pandangan meremehkan. "Gara-gara kamu, Sendy ninggalin aku." "Nes, jangan bicara yang tidak-tidak." Kulirik Naya yang menghela napas. Dia melihatku sekilas. "Aku lebih cantik dari dia, tubuhku lebih bagus dan aku bukan janda. Kenapa kamu milih dia yang norak?" "Nesya!" Dia sedikit tersentak aku bernada tinggi menyebut namanya. Paling tidak suka terhadap orang yang suka menghina dan lisannya tidak dijaga. Ini salah satu alasan aku menjauhinya. "Selesaikan urusan kalian. Tapi, jangan berisik." Naya berucap dengan cuek. Setelahnya ia pergi menapaki anak-anak tangga. Nesya dan Firman terheran-heran melihat tingkahnya yang biasa saja. Aku terdiam menatap kepergiannya. Di satu sisi merasa senang Naya tidak marah-marah, di sisi lainnya merasa sakit, itu artinya ia tidak peduli. "Istri lo kalem." Ocehan Firman tidak kutanggapi. Aku meninggalkan keluar dua orang di sini. Tidak kuhiraukan panggilan Nesya yang berulang. "Sendy!" "Sebaiknya kalian pulang." Kataku tanpa berbasa-basi lagi pada Nesya dan Firman. "Kamu jahat Sen, ninggalin aku dan menikah dengan orang lain tanpa sepengetahuanku." Nesya mengeluhkan isi hatinya."Kita tidak ada hubungan apa-apa, Nes. Aku sudah bilang kita hanya teman, jangan berharap lebih." "Tapi aku tidak. Aku selalu menunggumu." Aku melirik Firman yang diam. "Fir, bawa Nesya pergi dari sini. Lo bisa hibur dia." Lelaki itu menarik tangan Nesya mengajaknya pulang. "Oke, kita pulang.""Jahat kamu Sen." Walau enggan Nesya mengikuti masuk ke dalam mobil bersama Firman. Aku kembali dalam rumah. Naya tengah duduk di tepi tempat tidur. Aku menghampirinya yang membelakangiku. "Nesya hanya temanku Nay. Dia emang suka sama aku, tapi aku tidak. Aku sudah menyuruhnya pulang bersama Firman." Naya tidak menjawabku, bahkan dia terlihat tidak terusik sama sekali. Kepalanya menunduk. Aku semakin mendekatinya dan melihat jelas apa yang sedang ia lakukan. Jari-jarinya tengah mengusap lembut permukaan wajah dalam poto. Seketika hatiku rasanya terbakar dan langsung merebutnya. Tidak kupedulikan reaksi Naya yang terkejut. "Kalau suami bicara itu dengarkan dan jawab. Jangan mengalihkan pandangan pada orang lain." "Aku tidak peduli apa yang kamu katakan. Kembalikan poto suamiku!""Dia bukan suamimu lagi. Harus berapa kali aku menjelaskan itu, hah?!" Emosiku benar-benar tersulut. "Atau, kamu mau aku membakar poto ini?"Naya menggeleng cepat. "Jangan! Kumohon jangan lakukan itu." Amarahku seketika luruh melihatnya kini bersimpuh di kaki dan terisak-isak. "Ijinkan aku untuk tetap menyimpannya ...."Tubuhku ikut menyusut jongkok. Kuberikan lagi poto itu dan Naya mendengkapnya. Ia masih meratapi hal yang belum bisa dilupakan dan begitu nelangsa. Aku mengusap-usap kepalanya lembut. Aku tidak bisa membenci perempuan ini. Berikan aku kesabaran lebih untuk menghadapinya sampai ia benar-benar siap.Suara bel rumah terdengar saat aku sedang di ruang makan bersama Naya. Kami sama-sama diam menerka siapa yang datang."Biar simbok yang bukain." ART-ku itu lekas pergi setelah beres menuangkan air mineral pada gelas. Naya menunda sendok pada piring kemudian meneguk minum. Kulihat makanannya sudah habis. Aku sendiri menikmati suapan terakhir. Kami sudah selesai. "Assalamualaikum!" Naya lekas berdiri mengetahui siapa yang datang dan menjawab salamnya. Ia menyalami Mamaku. "Apa kabar, Nay?" "Alhamdulillah, baik. Mama sendiri bagaimana?" Naya bertanya balik."Alhamdulillah baik sekali." Mama menjawabnya ramah. "Hallo, Kak." Mela—adikku—menyapa Kakak Iparnya. Mama datang bersamanya. "Hai, Mela." "Wah, lagi makan ganggu nih berarti." Mela berujar kembali."Sudah selesai, kok. Ayo, Ma, Mel." Naya membawa keduanya pergi ke ruangan lain. Betapa hangat perempuan itu pada keluargaku. Aku senang Naya bisa bersikap ramah dan sopan pada mereka meski kepadaku sendiri belum bisa sebaik itu.
"Aku minta maaf soal semalam."Naya yang sedang membereskan seprai tempat tidur menoleh. Hanya sebentar dia kembali pada aktivitasnya itu. Aku menghela napas seperti biasanya saat ucapanku tidak ditimpali. Memilih melanjutkan mengancingkan seluruh kemeja. Jika tingkahku semalam menyakitinya hingga membuatnya meneteskan air mata, aku juga sama sakitnya menahan hal yang seharusnya aku dapatkan itu. "Kamu mau kan menemaniku sarapan?" Kuhampiri ia yang baru selesai merapikan bantal-bantal. Ada banyak harapan dalam diri ini darinya, salah satunya mengiyakan ajakanku. Namun, harapan itu harus pupus saat melihatnya diam saja. "Nay?" Aku berdiri dekat di hadapannya. Naya tidak bereaksi. "Naya, keluar kamu!" Mendengar suara keras itu, dia baru terusik. Aku juga. Naya bergegas ke luar kamar. Aku ikuti dia, melihatnya berlari-lari kecil menuruni anak tangga hingga di bawah. Berhenti di depan dua orang. "Jangan berbuat keributan di rumah majikan saya, Bu." Dari atas aku melihat bagaimana Mbok
"Tutup matanya." "Apa si?"Tidak menjawab, aku melingkarkan pita menutupi indra penglihatan Naya. "Diem aja dulu. Aku mau nunjukin kamu sesuatu." Kuperintahkan Mbok Rum membuka pintu ruangan di depan kami dengan isyarat mata. Wanita itu menurut membukakan pintu seraya tersenyum. Perlahan aku membawa Naya masuk merengkuh pelan bahunya. "Puas kamu tadi jalan-jalannya sama Mbok Rum?" Untuk menghilangkan ketegangan di hatinya aku mengajak bicara. Sengaja Naya terlebih dulu di bawa oleh Mbok Rum sementara aku menyiapkan sesuatu di rumah sesuai rencana. "Iya, sangat menghibur kegiatan di luar tadi." Kini Naya sudah ada tidak jauh dari surprise yang akan di dapatkannya. Semoga dia senang aku memberikan semua ini. Aku pun membuka ikatan pita merah di kepalanya. "Sekarang buka mata kamu." Kulihat Naya membuka perlahan kedua matanya. Dia termangu melihat apa yang terpampang di sekitarnya. "Biar gak kesal diam di rumah. Semoga kamu suka." Yang kuberikan adalah satu set mesin jahit dan mesi
Kulirik jam di tangan kemudian melihat dua orang perempuan di depan sana. Naya yang sedang memilih barang dan Mbok Rum yang mendorong trolly di belakangnya. Sudah satu jam lebih kami berkeliling di pusat berbelanjaan ini. Aku hanya mengikuti sambil melihat-lihat barang-barang di etalase. Istriku itu tampak akrab dengan pembantu di rumah kami. Seperti anak dan Ibu saja. Bersamanya Naya bisa ceria. Mungkin karena sesama perempuan dan mereka bisa berbagi satu sama lainnya. Jika bersamaku belum bisa sreg, tidak apa dia begitu dulu bersama simboknya.Aku melihat alat pencukur di dekatku lalu mengambilnya. Membawa benda itu pada Naya. Memasukkan dalam trolly. "Aku butuh ini." "Mbok sudah selesai kita ke kasir." Perempuan itu mengajak Mbok Rum pergi ketimbang menimpaliku. Aku sudah terbiasa rasanya dan membiarkannya pergi. Naya masuk ke salah satu barisan kasir. Antrian tidak panjang hanya ada satu orang di depannya. "Itu Naya, Bu!" Terdengar seruan seseorang. Aku melihat ke sumber suara
Firman masuk ke ruangan dan duduk di hadapanku begitu saja. Tangannya dilipat di atas meja. Aku menatapnya sekilas."Mau apa lo? Sembarangan masuk gitu aja." "Jadi, lo beneran mutasi Nesya ke tempat lain?""Kenapa? Lo kangen ma dia?" Lelaki itu menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Biasa aja.""Terus masalahnya apa?" "Cuma nanya aja kenapa sampe harus dipindah segala. Gue liat Nesya fine-fine aja di sini." "Dia buat masalah sama gue." Firman menegapkan duduknya. "Masalah? Oo ... Gue ngerti." Dia seperti menyadari sesuatu. "Nesya selalu ganggu gue." "Sekarang, lo udah bener-bener berubah ya." Firman bergumam seraya mengusap dagunya. Aku tersenyum sumir. Meninggalkan berkas di meja kemudian berjalan melempar pandangan ke luar gedung. "Gue pengen rumah tangga gue yang sekarang awet dan tentram. Gue cukup belajar dari kesalahan masa lalu." Bercampur getir aku mengatakan itu mengingat Naya yang masih membenciku. Tapi, itulah harapan terbesarku. "Wow, bijak." Firman menghampiri berdiri
Tidak ada Naya di dekatku saat sarapan. Perempuan itu juga tidak ada di kamar. Aku pikir dia akan menghampiri dan duduk bersama menemani. Nyatanya aku hampir mau selesai dia tak kunjung menampakkan diri. "Naya di mana, Mbok?" Kutanyakan keberadaannya pada Mbok Rum yang lewat. "Apa ada di dapur? Tolong suruh ke sini.""Nggak ada, Tuan."Aku mengeryit. "Tapi, tadi simbok liat Non ke ruangan jahit." "Ruangan jahit?""Iya, pasti Non ada di sana." Aku meneguk minum dan langsung beranjak dari kursi. Benar, Naya ada di ruangan itu. Dia tengah menata baju di hanger. Juga membetulkan letak manequin berbusana muslim. Aku mendekatinya. Tempat ini sudah seperti mini butik. "Nay." Naya berbalik."Sudah sarapan?" Harusnya dia yang menanyakan itu, tapi aku mengalah. "Sudah," jawabnya singkat. "Kok gak ngajak aku, Nay?""Maaf." Dia menatapku sekilas dan tertuju pada bahan di mesin. Dia meraihnya memperhatikan bahan brokat itu. "Kamu mau menjahit? Sepagi ini?""Cuma siap-siap aja, biar agak s
Ruangan Firman aku buka begitu saja. Seorang perempuan yang duduk di mejanya langsung turun. Firman yang terhalangi kini terlihat. Dia membetulkan dasi dan ikut berdiri di sisi perempuan itu."Apa kalian kupekerjakan hanya untuk pacaran?" "Tidak, Boss." Firman menjawab. Aku meliriknya tak suka atas sikapnya yang sudah tertangkap basah tengah berduaan di jam kerja."Maafkan saya, Pak." Karyawan perempuan di sebelahnya takut-takut saat melihatku. Dia terus menunduk."Kembali bekerja ke ruanganmu sekarang." "Ya, Pak. Permisi." Dia buru-buru keluar.Aku mendekati Firman. Kesini-kesini aku dibuat kecewa dengan sikapnya. "Lo kok jadi bajingan gini sih?""Gue gak ngapa-ngapain, Sen. Tadi cuma ngobrol aja.""Lo udah bosen kerja sama gue?""Kerjaan gue baik-baik aja kok. Lo tenang aja." Firman duduk kembali. Tangannya menunjuk kursi di depannya. "Mari ngobrol sambil duduk."Aku pun duduk dengan bersedekap tangan. "Thank you sudah repot-repot datang kemari. Sepertinya ada sesuatu yang ingin d
"Menyingkir dariku!""Aku suamimu, aku berhak melakukannya." Kali ini aku tidak mau mengalah. Naya menggeleng dan berusaha memberontak. Aku mencekal kedua tangannya menekan kuat-kuat di sisi kepalanya. Tidak peduli dia yang memelototiku, tetap melanjutkan kegiatanku di atas tubuhnya. Setiap penolakkannya membuatku bertambah semangat dan semakin dilenakan rasa. Sudah sejak lama aku mendambakannya. Tak kan kulepaskan ia. Hingga tenaganya melemah. Aku tidak ingin menjauh meski dia menangis dan memohon-mohon. Ingin benihku cepat tumbuh di rahimnya. "Maafkan aku, Nay." Berusaha menciuminya meski ia terus berpaling. ***Tetesan deras air shower biasanya terasa dingin sekali saat pagi-pagi buta, kali ini tidak. Aku senang membasahi tubuhku di bawahnya. Menikmati sensasi segar. Kedua tangan menyugar pelan rambut. Tubuh terasa ringan, hatiku lapang, rasa yang bercokol dongkol di dalamnya hilang. Kemudian bibir melengkung senyum dengan sendirinya. Ingat semalam. Meski bukan malam pertama yang
Suaranya ...."Evelyn?" "Ya, sayang. Ini aku." Keterkejutanku berusaha dinetralkan. Bukankah ini yang ditunggu-tunggu? Dia akhirnya menghubungiku juga. Aku berdehem pelan, sebisa mungkin tenang. "Ada apa?" "Tumben gak marah atau ngelarang saat kutelfon?" Sengaja kutanya baik-baik. "Ada perlu apa, Eve?" Kuulangi lagi pertanyaan itu ketimbang menanggapi keheranannya."Cuma kangen." "Mau ketemu?" "Ap-appa?" Dia tergagap pelan seperti tak menyangka. "Kalau gak mau yaudah." "Mau dong!" Sudut bibirku tersenyum miring. Perempuan itu perlu sedikit dibaiki. Memang maunya bertemu.Kami memutuskan dinner privat room. Hanya aku berdua dengannya. Evelyn tampak sumringah. Dia makan dengan lahap. Sedikit aneh, bukankah perempuan hamil di trimester pertama tidak selera makan? Aku tidak mau mempedulikan itu, mencoba tersenyum sambil mengiris steak sapi dan memakannya perlahan. "Kamu kangen juga sama aku kan?" Evelyn meminum air di gelas ramping berkaki satu. Makanannya sudah tandas. Kemudi
Aku dan mama mengintip dari balik pintu yang membuka sedikit, melihat Naya bersama seorang psikolog perempuan. Mereka duduk berhadapan. Entah mendapat pertanyaan apa, istriku menggeleng pelan sambil menunduk dalam. "Sudah, biarkan saja." Mama mengajak pergi. Aku mengikutinya. "Semoga konsultasi sama psikolog itu bisa membantu." Aku pun berharap begitu. Kami duduk tidak jauh dari kamar Naya berada. Menanti Psikolog itu selesai. Ingin mengetahui bagaimana hasilnya. "Semalam kamu habis dari mana, pulang malam sekali?""Ada perlu." "Kamu jangan lama-lama meninggalkan istrimu.""Untuk kebaikan Naya kok." Aku tersenyum ingat wajah takut Firman. Tidak mungkin aku senekat itu untuk melukai. Ternyata baru digertak begitu saja dia sudah kalah. "Gue belum kawin. Lo jangan apa-apain otong guee." Dia terus merengek saat aku tidak lantas menjauh dari bawahnya. "Gue bilang gue bakal ngaku!" Ingin menyemburkan tawa, tapi kutahan. Tetap memasang wajah serius, guna bisa mendapatkan info dariny
"Ya ampun, Tuan. Wajah Tuan kenapa?" Mbok Rum tampak panik saat membukakan pintu rumah."Awas, Mbok." Tidak menjawabnya langsung menerobos masuk membawa Naya digendongan tanganku."Ya ampun, Non Naya." Dia mengikut di belakang. Tangis Gathan terdengar, seakan ingin menyambut kedatangan mamanya. Tangis bahagia atau sedih, entah. Mungkin dua-duanya. "Urusi Gathan.""Ya, Tuan." Langkah Simbok yang ingin memasuki kamar bersamaku berputar arah. Di tempat tidur kubaringkan Naya langsung menyelimutinya. Meraba keningnya yang hangat. Dia demam. "Nay?" Dia tidak terusik. Apa aku harus hubungi dokter? Terdiam sejenak mempertimbangkan. Baiknya dikompres saja dulu mengingat waktu yang tidak memungkinkan. Aku keluar lagi untuk menyiapkan kompresan. Gathan sudah tidak rewel di tangan Simbok. Kembali ke kamar membawa wadah berisi air dan handuk kecil. Kain itu kuperas menempelkannya di kening Naya. Dia harus makan dan minum obat saat sudah bangun. Aku terdiam sesudahnya. Sudut bibirku perih.
Evelyn. Pasti dari dia. Mencoba menghubungi tapi nomornya sudah tidak aktif. Jika tahu akan ada pesan masuk darinya, tidak akan diberikan pada Naya. Akan kuperiksa lebih dulu. Ceroboh lagi. "Astaghfirullah, ya Allah ...." Naya luruh di lantai. Memegangi dada tersedu-sedu. "Sakit sekali."Aku harus bagaimana? "Nay?" Terpaksa mendekati dia lagi. "Aku bersumpah itu bukan anakku." "Tapi kamu sudah berzina dengannya."Kupeluk dirinya. Dia terus tersedu-sedu. Wajahnya kuangkat menyeka linangan air mata wujud sakit hati yang kembali menggelora. Mata indah itu terpejam tapi terus mengeluarkan cairan. "Akan aku buktikan semuanya." Membenamkan wajah itu kembali di dada. Menangislah sepuas hatimu. Mau memukulku juga tidak apa. Aku siap. Pantas menerima itu. Entah lelah atau terlalu larut dalam kesedihan Naya diam saja. Masih dalam keadaan terisak aku menggendongnya memindahkan di tempat tidur. Bantal yang berserak kuambil meletakkan di bawah kepalanya. Juga menutupi dengan selimut. Dia me
"Aku gak ngapa-ngapain kamu.""Pergi!""Tenang, Naya."Dia terus menggeleng-geleng sambil mempertahankan selimut menutupi dadanya. "Pergi, kamu." Dia melempar bantal. Dada yang tertutup melorot lagi. Aku memungut benda itu di lantai setelah mengenaiku. Meletakkan kembali di kasur. Naya beranjak turun membawa selimut. "Kamu mau ke mana, jangan pergi, Nay!" "Enggaa!" Dia berjalan tergesa menuju pintu. Aku mengejar. Dia keburu sudah membukanya. Tertegun saat didapatinya mama berdiri di depan."Ada apa?" Mama bertanya panik. Naya terisak. "Kenapa Naya?""Dia mau memperkosaku ...." Tangannya menunjuk ke belakang. Ke arahku. Mama seketika melotot padaku. Aku menggeleng tersudut. Istriku menyusut duduk di lantai. Selimutnya sedikit melorot menampakan separuh dada. Mama melihat itu. "Sendy." Mama bergumam geram. "Sudah mama peringatkan kenapa begitu lagi?!" "Salah paham, Ma.""Salah paham apa? Pasti kamu yang sudah buka bajunya, iya?!" "Engga, Ma." "Tidak ada gunanya menyangkal."
"Tolong ke sini, Ma.""Naya sudah sadar?""Mama cepat ke sini.""Iya, iya, mama akan segera ke sana. Lagi kasih Gathan susu ini.""Kasih ke Mbok Rum.""Iyaa."Telepon bersama mama kumatikan. Mengusap wajah gusar sesudahnya. Naya bersama perawat sedang ditenangkan di dalam. Dia menjerit dan marah-marah. Sama sekali tidak mau kudekati. "Enggaa. Bajingan. Biadab. Pergi kamuu!" Dia mengusirku saat mengajaknya ke luar dari kamar mandi. Melemparkan apa yang ada di dekatnya. Aku terpaksa membiarkannya dulu. Memanggil perawat melalui interkom yang ada. Tidak lama perawat perempuan datang menghampiri Naya membujuknya. Sedangkan aku diperintahkan ke luar dulu. Aku hanya diam di luar tidak berani masuk juga tidak ingin pergi. "Kenapa, Sen?" "Ma." Aku lekas berdiri setelah menunggunya cukup lama. "Naya sudah sadar?""Iya, sudah lumayan lama.""Kok baru kasih tau mama.""Maaf." "Kok kamu gak menemani, kenapa dibiarkan sendiri?""Naya gak mau kutemani. Dia marah tau apa yang kulakukan padany
Tamparan keras mendarat di pipiku. Mama melakukannya sangat kencang. Dia marah mengetahui Naya melukai diri sendiri, mengetahui Evelyn datang ke rumah membawa kabar burung, dan tahu bekas merah di leher. Aku terus didesak hingga mengakui semuanya termasuk menyetubuhi Naya sebelum di bawa ke sini. "Kurang ajar kamu, Sen." Deru napas mama memburu. Tatapannya tajam melihatku.Pandanganku terlempar pada Naya yang belum membuka mata. "Maafin Sendy, Ma." "Bagaimana kalau Naya menyadari itu? Dia akan semakin terluka, Nak.""Sendy, nyesel.""Kamu memang dari dulu agak susah menahan hawa nafsu. Sampai terjerumus pergaulan bebas.""Tapi itu dulu, Ma. Sekarang engga. Aku hanya mencintai Naya.""Kalau cinta kamu tidak akan melakukan hubungan sepihak. Apalagi dalam keadaannya yang sedang nifas dan kacau." "Itu tidak akan terulang lagi." Mama mendengus. Kemudian melihat Naya menatap Iba. "Perempuan belum lama melahirkan itu sensitif. Dia sudah mendapat kabar sangat buruk di fase ini. Bisa mama
Tidurku terjaga saat mendengar tangis Gathan. Lekas duduk. Bayi itu menjerit-jerit di balik selimut. Aku melihat ke sampingnya, tidak ada Naya. Ke mana dia? Gathan pasti ingin minum susu lagi. Aku meraih botol susunya yang kosong. "Tunggu, Papa buatkan dulu." Beranjak ke nakas. Di sana sengaja sudah kusediakan dus susu dan termos mini. Jaga-jaga saat butuh tidak perlu ke luar ruangan. Dengan gerakan cepat aku menyeduh susu, dicampur air mineral dingin sedikit supaya tidak terlalu panas. Bisa hangat dan pas untuk diminumnya. "Ini, Sayang. Cup, jangan nangis lagi." Susu kuberikan. Gathan menyedotnya lahap. Aku mende-sah lelah sambil terus memegangi botol, menunggu dia kenyang dan tidur kembali. "Maafin kecerobohan Papa. Kamu jadi jauh dari Mama." Kukecup pipinya pelan saat dia sudah lelap. Membenarkan selimutnya sebentar, lalu meninggalkan keluar. "Gathan baik-baik aja kan, Tuan?" Mbok Rum berdiri resah di depan pintu. Sejak kapan dia di situ? "Mbok gak tidur?""Simbok denger." Di
"Pergi!""Aku tidak akan pergi dulu, apalagi suamimu baru datang." Evelyn menoleh ke arahku. "Kasian, baru pulang kerja kena lemparan barang. Untung aku menghindar. Aku jadi tidak berdarah seperti itu." Vas bunga itu hendak dilemparkan padanya tapi mengenaiku. Entah apa yang sudah dia katakan pada Naya hingga membuatnya lepas kendali. Tak peduli darah menetes, kuhampiri perempuan itu. "Untuk apa kamu ke sini? Beraninya!" "Memberitahu sesuatu." Kedua tanganku terkepal. Evelyn, jahanam! Perlahan melirik Naya. Pandangannya tak lagi sama. Menatapku murka .... "Nay?" "Jangan mendekat!" Dia mencegah aku yang ingin mendekatinya. "Dia bukan temanmu. Kamu sudah berbohong sama aku. Kalian juga masih ada hubungan.""Aku dan Evelyn sudah putus kontak sejak lama, Nay.""Aku sudah tahu semuanya.""Nay, maafkan aku. Dia memang mantan istriku, tapi kami--" "Kamu lupa kejadian di kantor?" Evelyn menyela. Aku meliriknya sinis. "Jangan ngarang kamu.""Benar kan? kita sudah bermesraan di ruang