"Menyingkir dariku!""Aku suamimu, aku berhak melakukannya." Kali ini aku tidak mau mengalah. Naya menggeleng dan berusaha memberontak. Aku mencekal kedua tangannya menekan kuat-kuat di sisi kepalanya. Tidak peduli dia yang memelototiku, tetap melanjutkan kegiatanku di atas tubuhnya. Setiap penolakkannya membuatku bertambah semangat dan semakin dilenakan rasa. Sudah sejak lama aku mendambakannya. Tak kan kulepaskan ia. Hingga tenaganya melemah. Aku tidak ingin menjauh meski dia menangis dan memohon-mohon. Ingin benihku cepat tumbuh di rahimnya. "Maafkan aku, Nay." Berusaha menciuminya meski ia terus berpaling. ***Tetesan deras air shower biasanya terasa dingin sekali saat pagi-pagi buta, kali ini tidak. Aku senang membasahi tubuhku di bawahnya. Menikmati sensasi segar. Kedua tangan menyugar pelan rambut. Tubuh terasa ringan, hatiku lapang, rasa yang bercokol dongkol di dalamnya hilang. Kemudian bibir melengkung senyum dengan sendirinya. Ingat semalam. Meski bukan malam pertama yang
Gawai di meja berdering, aku mengambilnya. Telepon dari rumah. Siapa? Naya? Tidak mungkin. Lantas segera aku menerima panggilan itu."Hallo Tuan, ini simbok." "Ada apa?" "Maaf mengganggu di jam kerja. Habisnya simbok bingung.""Kenapa, Mbok?" "Non Naya nangis, jerit-jeritan, simbok khawatir.""Hah?! Dimana dia sekarang?""Di ruangan pribadinya. Pintunya dikunci. Takut kenapa-kenapa, Pak." Setelah dikabari hal itu aku jadi panik. Kuputuskan pulang dulu melihatnya. Bagaimana kalau dia sampai kenapa-napa? Aku menyetir pun tidak tenang rasanya. Kenapa lagi Naya?Langkah kaki memasuki rumah dengan tergesa-gesa. Disambut Mbok Rum yang mengikuti di belakang. "Sekarang bagaimana?" "Sekarang sudah tidak berisik, Tuan. Tadi selain tangisan dan jeritan suara barang-barang dilempar pun terdengar."Aku semakin cepat melangkah dengan degup jantung yang kencang. Bagaimana kalau Naya melakukan hal yang ... Tidak. Aku menggeleng."Non terus sebut-sebut nama Akbar dan terus-terusan bilang maaf."
Satu bulan berlalu menjalani kehidupan masing-masing dengan Naya. Aku pikir dia akan sedikit berbaik hati, nyatanya rasanya semakin berjarak dan aku tidak dianggap suaminya sama sekali. Naya seperti orang asing yang menumpang hidup di rumahku. Dia asik sendiri dengan kegiatannya mengoleksi baju dan aku sibuk dengan pekerjaan. Kami sudah jarang makan bersama. Apa-apaan? Selera makanku malam ini mendadak hilang diterpa kesepian untuk kesekian kalinya. Aku tidak mau terus sendiri begini. Aku sudah memberikan keringanan tidur pisah kamar. Setidaknya Naya mau menemaniku makan. Bukan malah semakin anteng dalam kesendiriannya. Sisa makanan di piring aku tinggalkan setelah meneguk minum. Langkah kaki membawaku pada kamar Naya yang tertutup rapat. Aku mengetuknya. "Naya?" Tidak ada sahutan, aku mengetuk lagi lebih keras. Saat mencoba membuka ternyata dikunci."Naya, buka!" Kesal sekali rasanya. Mau menemui istri sendiri saja kesulitan. Apalagi mengharap pelayanannya. "Kalau tidak aku dobrak
Dokter perempuan tengah memeriksa Naya yang sudah terbaring di tempat tidur. Mengukur tensi darah dari lengan tangan juga menekan-nekan stetoskop di dadanya. Aku berdiri resah tidak jauh dari mereka. Melihat jam di pergelangan tangan menyadari sudah terlambat ke kantor tapi juga hawatir dengan kondisi Naya. Telapak tangan kugosok-gosok guna menyingkirkan cemas. Bu dokter berdiri telah selesai melakukan pemeriksaan. Selimut Naya ia naikkan sedikit keperutnya. Aku menghampirinya. "Istri saya kenapa, Dok?""Dari gejala yang sudah disebutkan dan setelah saya melihat kondisinya, sepertinya istri Bapak hamil.""Hah? Hamil?!""Itu baru dugaan saya. Nanti bisa dicek lagi dengan tes urin dan hasil lab darah untuk lebih jelasnya. Bapak bisa membawa istri ke klinik atau rumah sakit." Dokter itu ramah menjelaskan. Dia melirik Naya seraya tersenyum. Aku juga meliriknya, tapi dengan keterkejutan. Benarkah?"Permisi, Tuan." Mbok Rum masuk ke ruangan. "Simbok menemukan ini di kamar mandi dapur. Sep
"Naya hamil." Kukatakan itu pada Firman saat kami beres makan siang. Aku tidak mempedulikan dia yang sedikit terkejut. "Yang bener, lo?" "Ya. Kami sudah memeriksanya ke dokter." Firman tergelak kecil. "Tokcer, ya, lo, baru satu kali hubungan langsung jadi." "Mungkin saat itu dia lagi masa subur." "Selamat deh, lo bakal jadi bokap lagi." Aku tersenyum dan menyeruput minumanku. "Etapi, dia gak marahkan?" Wajahku datar mendengar itu. "Harusnya dia senang, stempel mandul yang selama ini diberikan orang-orang padanya hilang. Tapi, hanya gue yang bahagia banget." "Sudah gue duga. Yaah, namanya juga orang belum lama ditinggal mati suami, hatinya masih kacau. Mungkin dia ngerasa bersalah dan jadi semakin ngerasa bersalah." "Sepertinya begitu.""Banyak-banyak sabar aja, Bro. Gue doain, moga nanti lahirannya lancar, bayi dan Ibunya sehat.""Thank's."Firman menepuk pundakku satu kali menyemangati. Aku tertunduk memikirkan Naya di rumah. Apa dia baik-baik saja? Seharian di kantor sampai
Perut Naya yang rata tampak berisi. Usia kandungannya sudah menginjak enam bulan. Selama ini aku kerap memperhatikannya. Meski tidak bebas menyentuh. Dia tidak menolak susu pemberian dariku saja sudah cukup rasanya. Kami masih tidur masing-masing. Namun, diam-diam aku sering menyelinap dalam kamarnya. Mengelus sebentar perut gendut Naya saat dia sudah terlelap. Kemudian aku akan tidur di karpet bawah. Sebelum subuh sudah bangun untuk pindah ke kamar sendiri. Hingga Naya tidak mengetahuinya. Ketika ada Mama dan Mela berkunjung. Aku senang bukan main. Aku bisa mencari-cari kesempatan untuk bisa berdekatan dengan Naya. Tentu saja sambil berlama-lama menyentuh perutnya. Seperti hari weekend sekarang mereka datang berkunjung lagi. Membawa aneka buah segar dan dihidangkan di hadapan Naya. Istriku menatap tersenyum pada buah-buahan itu. Di depan mereka dia tak akan menunjukkan wajah datar atau cuek, aku hafal itu. "Makasi ya, Ma. Sudah datang ke sini dan membawakan Nay buah." "Sama-sama
"Apa nomor privat itu masih meneror menghubungimu?" "Tidak." "Syukurlah." Aku bernapas lega sambil menikmati udara sejuk sekitar. Kemudian membenarkan dasi di kerah. Memandang perempuan yang kebetulan sedang berada di luar bersamaku. "Aku berangkat dulu." Naya melihat pada tanganku yang terulur. Ingin dia meraihnya dan mengecup. Ritual seperti ini jarang terjadi. Ingin membiasakan. "Doakan aku, agar selamat di jalan, dimudahkan pekerjaan, sampai pulang kembali." Bibirnya tidak mengucap apapun, tapi aku senang dia akhirnya mau menerima uluran tanganku meski enggan. Aku membalas mengecup keningnya lalu sedikit membungkuk mengusap anak kami yang masih dalam kandungan. "Papa berangkat dulu, ya, sayang." Kutinggalkan dia setelah mengucapkan salam yang dijawabnya pelan. Memasuki mobil mengemudikannya ke luar halaman. Tidak ada kata maaf atas tindakan perempuan itu sudah membuatku sakit tempo hari. Dia tidak pernah membahas dan melupakan begitu saja. Baginya semua itu salahku sendiri
Firman menyingkirkan tanganku dengan sekali hentakan kencang, kemudian berdiri. Aku ikut bangkit mensejajari tinggi tubuhnya. Dada ini bergemuruh naik-turun masih tak terima. "Tadi Naya pusing. Tubuhnya hampir limbung. Gue bantu dia duduk di sofa." Satu pukulan aku lemparkan lagi di wajahnya tanpa sempat dia mengelak. "Udah tau istri gue hamil besar dan rentan, lo mau nambah-nambah beban? Gak ada alasan yang lebih brillian lagi atas kedatangan lo ke sini? Lo cuma pengen ganggu Naya, ngaku aja!" Firman menghindar tatapanku. Dia melirik Naya yang duduk miring bersandar. Aku juga. Perempuan itu memejam seperti meredam pening. Dia memang ada anemia dalam masa kehamilannya. Harusnya aku tak boleh membiarkannya berkutat dengan mesin meski itu kesenangan untuknya. Dia harus bedres. Kembali kualihkan tatapan pada Firman. "Sentuhan lo berlebihan. Lo sengaja meluk." "Gak.""Lo pikir mata gue rabun? Jelas gue lihat.""Gue minta maaf."Aku memandangnya aneh. Merasa ada yang tidak beres deng
Suaranya ...."Evelyn?" "Ya, sayang. Ini aku." Keterkejutanku berusaha dinetralkan. Bukankah ini yang ditunggu-tunggu? Dia akhirnya menghubungiku juga. Aku berdehem pelan, sebisa mungkin tenang. "Ada apa?" "Tumben gak marah atau ngelarang saat kutelfon?" Sengaja kutanya baik-baik. "Ada perlu apa, Eve?" Kuulangi lagi pertanyaan itu ketimbang menanggapi keheranannya."Cuma kangen." "Mau ketemu?" "Ap-appa?" Dia tergagap pelan seperti tak menyangka. "Kalau gak mau yaudah." "Mau dong!" Sudut bibirku tersenyum miring. Perempuan itu perlu sedikit dibaiki. Memang maunya bertemu.Kami memutuskan dinner privat room. Hanya aku berdua dengannya. Evelyn tampak sumringah. Dia makan dengan lahap. Sedikit aneh, bukankah perempuan hamil di trimester pertama tidak selera makan? Aku tidak mau mempedulikan itu, mencoba tersenyum sambil mengiris steak sapi dan memakannya perlahan. "Kamu kangen juga sama aku kan?" Evelyn meminum air di gelas ramping berkaki satu. Makanannya sudah tandas. Kemudi
Aku dan mama mengintip dari balik pintu yang membuka sedikit, melihat Naya bersama seorang psikolog perempuan. Mereka duduk berhadapan. Entah mendapat pertanyaan apa, istriku menggeleng pelan sambil menunduk dalam. "Sudah, biarkan saja." Mama mengajak pergi. Aku mengikutinya. "Semoga konsultasi sama psikolog itu bisa membantu." Aku pun berharap begitu. Kami duduk tidak jauh dari kamar Naya berada. Menanti Psikolog itu selesai. Ingin mengetahui bagaimana hasilnya. "Semalam kamu habis dari mana, pulang malam sekali?""Ada perlu." "Kamu jangan lama-lama meninggalkan istrimu.""Untuk kebaikan Naya kok." Aku tersenyum ingat wajah takut Firman. Tidak mungkin aku senekat itu untuk melukai. Ternyata baru digertak begitu saja dia sudah kalah. "Gue belum kawin. Lo jangan apa-apain otong guee." Dia terus merengek saat aku tidak lantas menjauh dari bawahnya. "Gue bilang gue bakal ngaku!" Ingin menyemburkan tawa, tapi kutahan. Tetap memasang wajah serius, guna bisa mendapatkan info dariny
"Ya ampun, Tuan. Wajah Tuan kenapa?" Mbok Rum tampak panik saat membukakan pintu rumah."Awas, Mbok." Tidak menjawabnya langsung menerobos masuk membawa Naya digendongan tanganku."Ya ampun, Non Naya." Dia mengikut di belakang. Tangis Gathan terdengar, seakan ingin menyambut kedatangan mamanya. Tangis bahagia atau sedih, entah. Mungkin dua-duanya. "Urusi Gathan.""Ya, Tuan." Langkah Simbok yang ingin memasuki kamar bersamaku berputar arah. Di tempat tidur kubaringkan Naya langsung menyelimutinya. Meraba keningnya yang hangat. Dia demam. "Nay?" Dia tidak terusik. Apa aku harus hubungi dokter? Terdiam sejenak mempertimbangkan. Baiknya dikompres saja dulu mengingat waktu yang tidak memungkinkan. Aku keluar lagi untuk menyiapkan kompresan. Gathan sudah tidak rewel di tangan Simbok. Kembali ke kamar membawa wadah berisi air dan handuk kecil. Kain itu kuperas menempelkannya di kening Naya. Dia harus makan dan minum obat saat sudah bangun. Aku terdiam sesudahnya. Sudut bibirku perih.
Evelyn. Pasti dari dia. Mencoba menghubungi tapi nomornya sudah tidak aktif. Jika tahu akan ada pesan masuk darinya, tidak akan diberikan pada Naya. Akan kuperiksa lebih dulu. Ceroboh lagi. "Astaghfirullah, ya Allah ...." Naya luruh di lantai. Memegangi dada tersedu-sedu. "Sakit sekali."Aku harus bagaimana? "Nay?" Terpaksa mendekati dia lagi. "Aku bersumpah itu bukan anakku." "Tapi kamu sudah berzina dengannya."Kupeluk dirinya. Dia terus tersedu-sedu. Wajahnya kuangkat menyeka linangan air mata wujud sakit hati yang kembali menggelora. Mata indah itu terpejam tapi terus mengeluarkan cairan. "Akan aku buktikan semuanya." Membenamkan wajah itu kembali di dada. Menangislah sepuas hatimu. Mau memukulku juga tidak apa. Aku siap. Pantas menerima itu. Entah lelah atau terlalu larut dalam kesedihan Naya diam saja. Masih dalam keadaan terisak aku menggendongnya memindahkan di tempat tidur. Bantal yang berserak kuambil meletakkan di bawah kepalanya. Juga menutupi dengan selimut. Dia me
"Aku gak ngapa-ngapain kamu.""Pergi!""Tenang, Naya."Dia terus menggeleng-geleng sambil mempertahankan selimut menutupi dadanya. "Pergi, kamu." Dia melempar bantal. Dada yang tertutup melorot lagi. Aku memungut benda itu di lantai setelah mengenaiku. Meletakkan kembali di kasur. Naya beranjak turun membawa selimut. "Kamu mau ke mana, jangan pergi, Nay!" "Enggaa!" Dia berjalan tergesa menuju pintu. Aku mengejar. Dia keburu sudah membukanya. Tertegun saat didapatinya mama berdiri di depan."Ada apa?" Mama bertanya panik. Naya terisak. "Kenapa Naya?""Dia mau memperkosaku ...." Tangannya menunjuk ke belakang. Ke arahku. Mama seketika melotot padaku. Aku menggeleng tersudut. Istriku menyusut duduk di lantai. Selimutnya sedikit melorot menampakan separuh dada. Mama melihat itu. "Sendy." Mama bergumam geram. "Sudah mama peringatkan kenapa begitu lagi?!" "Salah paham, Ma.""Salah paham apa? Pasti kamu yang sudah buka bajunya, iya?!" "Engga, Ma." "Tidak ada gunanya menyangkal."
"Tolong ke sini, Ma.""Naya sudah sadar?""Mama cepat ke sini.""Iya, iya, mama akan segera ke sana. Lagi kasih Gathan susu ini.""Kasih ke Mbok Rum.""Iyaa."Telepon bersama mama kumatikan. Mengusap wajah gusar sesudahnya. Naya bersama perawat sedang ditenangkan di dalam. Dia menjerit dan marah-marah. Sama sekali tidak mau kudekati. "Enggaa. Bajingan. Biadab. Pergi kamuu!" Dia mengusirku saat mengajaknya ke luar dari kamar mandi. Melemparkan apa yang ada di dekatnya. Aku terpaksa membiarkannya dulu. Memanggil perawat melalui interkom yang ada. Tidak lama perawat perempuan datang menghampiri Naya membujuknya. Sedangkan aku diperintahkan ke luar dulu. Aku hanya diam di luar tidak berani masuk juga tidak ingin pergi. "Kenapa, Sen?" "Ma." Aku lekas berdiri setelah menunggunya cukup lama. "Naya sudah sadar?""Iya, sudah lumayan lama.""Kok baru kasih tau mama.""Maaf." "Kok kamu gak menemani, kenapa dibiarkan sendiri?""Naya gak mau kutemani. Dia marah tau apa yang kulakukan padany
Tamparan keras mendarat di pipiku. Mama melakukannya sangat kencang. Dia marah mengetahui Naya melukai diri sendiri, mengetahui Evelyn datang ke rumah membawa kabar burung, dan tahu bekas merah di leher. Aku terus didesak hingga mengakui semuanya termasuk menyetubuhi Naya sebelum di bawa ke sini. "Kurang ajar kamu, Sen." Deru napas mama memburu. Tatapannya tajam melihatku.Pandanganku terlempar pada Naya yang belum membuka mata. "Maafin Sendy, Ma." "Bagaimana kalau Naya menyadari itu? Dia akan semakin terluka, Nak.""Sendy, nyesel.""Kamu memang dari dulu agak susah menahan hawa nafsu. Sampai terjerumus pergaulan bebas.""Tapi itu dulu, Ma. Sekarang engga. Aku hanya mencintai Naya.""Kalau cinta kamu tidak akan melakukan hubungan sepihak. Apalagi dalam keadaannya yang sedang nifas dan kacau." "Itu tidak akan terulang lagi." Mama mendengus. Kemudian melihat Naya menatap Iba. "Perempuan belum lama melahirkan itu sensitif. Dia sudah mendapat kabar sangat buruk di fase ini. Bisa mama
Tidurku terjaga saat mendengar tangis Gathan. Lekas duduk. Bayi itu menjerit-jerit di balik selimut. Aku melihat ke sampingnya, tidak ada Naya. Ke mana dia? Gathan pasti ingin minum susu lagi. Aku meraih botol susunya yang kosong. "Tunggu, Papa buatkan dulu." Beranjak ke nakas. Di sana sengaja sudah kusediakan dus susu dan termos mini. Jaga-jaga saat butuh tidak perlu ke luar ruangan. Dengan gerakan cepat aku menyeduh susu, dicampur air mineral dingin sedikit supaya tidak terlalu panas. Bisa hangat dan pas untuk diminumnya. "Ini, Sayang. Cup, jangan nangis lagi." Susu kuberikan. Gathan menyedotnya lahap. Aku mende-sah lelah sambil terus memegangi botol, menunggu dia kenyang dan tidur kembali. "Maafin kecerobohan Papa. Kamu jadi jauh dari Mama." Kukecup pipinya pelan saat dia sudah lelap. Membenarkan selimutnya sebentar, lalu meninggalkan keluar. "Gathan baik-baik aja kan, Tuan?" Mbok Rum berdiri resah di depan pintu. Sejak kapan dia di situ? "Mbok gak tidur?""Simbok denger." Di
"Pergi!""Aku tidak akan pergi dulu, apalagi suamimu baru datang." Evelyn menoleh ke arahku. "Kasian, baru pulang kerja kena lemparan barang. Untung aku menghindar. Aku jadi tidak berdarah seperti itu." Vas bunga itu hendak dilemparkan padanya tapi mengenaiku. Entah apa yang sudah dia katakan pada Naya hingga membuatnya lepas kendali. Tak peduli darah menetes, kuhampiri perempuan itu. "Untuk apa kamu ke sini? Beraninya!" "Memberitahu sesuatu." Kedua tanganku terkepal. Evelyn, jahanam! Perlahan melirik Naya. Pandangannya tak lagi sama. Menatapku murka .... "Nay?" "Jangan mendekat!" Dia mencegah aku yang ingin mendekatinya. "Dia bukan temanmu. Kamu sudah berbohong sama aku. Kalian juga masih ada hubungan.""Aku dan Evelyn sudah putus kontak sejak lama, Nay.""Aku sudah tahu semuanya.""Nay, maafkan aku. Dia memang mantan istriku, tapi kami--" "Kamu lupa kejadian di kantor?" Evelyn menyela. Aku meliriknya sinis. "Jangan ngarang kamu.""Benar kan? kita sudah bermesraan di ruang