Dante meninggalkan kamar Zera dengan langkah berat. Ia tahu bahwa jawaban yang ia cari tidak akan mudah didapatkan, tapi ia tidak bisa lagi menunggu dalam ketidakpastian. Langkahnya membawa dia ke bagian terpencil mansion, tempat sang paman, Alaric, tinggal. Alaric adalah pria tua yang berpengalaman dan sangat bijaksana—seseorang yang dulunya memiliki koneksi luas di dunia bawah, terutama dengan organisasi-organisasi rahasia.Saat Dante mengetuk pintu, suara berat Alaric terdengar dari dalam, mempersilakannya masuk. Alaric sedang duduk di belakang meja besar, memegang segelas bourbon, dan tatapannya segera tajam begitu melihat keponakannya."Ada apa, Dante? Apa yang membuatmu datang ke sini di jam seperti ini?" tanyanya dengan nada serius.Dante tidak berbasa-basi. Ia duduk di depan Alaric, mengeluarkan secarik kertas dengan gambar simbol yang sama dengan yang ada di tato Zera. "Aku butuh bantuanmu. Kau pasti mengenali ini."Alaric menatap simbol itu dengan pandangan mendalam. Wajahny
Dante duduk di samping tempat tidur Zera, menatap wajahnya yang pucat dalam diam. Malam telah berganti menjadi pagi, namun mata Dante tak kunjung terpejam. Dia telah menghabiskan beberapa hari terakhir mencari jawaban tentang Zera, dan meskipun banyak teka-teki yang mulai terkuak, Dante merasa ini bukan saatnya untuk membahasnya.Zera belum sepenuhnya sadar sejak pingsan tiba-tiba di ruang tamu. Dante tahu kondisinya lebih dari sekadar fisik—ada luka yang lebih dalam, yang tidak bisa disembuhkan dengan perawatan medis semata. Maka, ia menyingkirkan segala kekhawatiran dan informasi tentang tato itu, menguburnya sementara demi satu tujuan: melihat Zera pulih.Suara lembut dari angin yang menerpa tirai membuat suasana kamar terasa sunyi dan damai. Dante mengambil tangan Zera yang terkulai di samping tubuhnya, menggenggamnya dengan hati-hati, seolah takut menghancurkan sesuatu yang rapuh. “Zera,” bisiknya, meskipun tahu mungkin Zera tidak akan mendengarnya. “Aku di sini.”Dia tidak meng
Zera berdiri diam, menatap Dante yang menunggu di depannya. Udara malam terasa dingin, tetapi lebih dingin lagi keheningan yang menyelimuti mereka berdua. Perlahan, Zera menarik napas panjang, seolah mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara.“Ada banyak yang kau tak tahu tentangku, Dante,” ucap Zera dengan suara pelan namun penuh makna. Matanya beralih menatap langit malam yang dipenuhi bintang. “Dan… mungkin tak perlu kau ketahui semuanya.”Dante tetap diam, menunggu Zera melanjutkan, dengan sabar meski rasa ingin tahunya semakin kuat.Zera menggenggam pagar balkon dengan erat, seolah mengambil kekuatan dari dinginnya besi di tangannya. “Aku… bukan hanya seseorang yang dijual oleh keluarganya untuk melunasi utang, bukan hanya seseorang yang tersesat di dunia gelap ini. Aku…” dia terhenti sejenak, menelan ludah, “Aku adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang kelam.”Dante masih mendengarkan tanpa menginterupsi, hanya matanya yang menajam, mencoba menangkap setiap
Di tengah keriuhan medan pertempuran, Zera tiba-tiba terhenti, tubuhnya terasa dingin seakan es menyusup ke dalam pembuluh darahnya. Napasnya tersengal, seperti ada sesuatu yang mencekik tenggorokannya. Matanya terbelalak saat pandangannya berputar, tak lagi fokus pada musuh di depannya. Suara-suara keras di sekitarnya mulai memudar, dan yang tersisa hanyalah dengungan pekat di kepalanya.Ingatan-ingatan kelam dari masa lalu yang telah lama dia pendam seolah menyeruak ke permukaan, menghantamnya tanpa ampun.“Zera!” Dante memanggilnya, nadanya penuh peringatan. Namun, Zera tak mampu mendengarnya. Tangannya gemetar, pandangannya liar. Tiba-tiba, tanpa ia sadari, tangannya meraih pistol yang tergantung di pinggangnya. Ia mengangkatnya, gemetar, matanya tak lagi melihat Dante sebagai seseorang yang dikenalnya. Di matanya, yang berdiri di depannya sekarang adalah sosok mengancam, seseorang dari masa lalu yang ingin menghancurkannya.“Jangan dekati aku!” Zera berteriak, suaranya penuh ke
Ketenangan yang baru saja tercipta terasa rapuh, seolah permukaan tenang air yang menyembunyikan badai besar di bawahnya. Zera masih merasakan detak jantungnya yang berdebar keras, namun pelukan hangat Dante memberinya rasa aman yang pelan-pelan menenangkan dirinya. Dia menyadari bahwa meskipun ketakutan dan kekacauan masih mengintai di balik pikirannya, ada kekuatan dalam kehadiran orang-orang di sekelilingnya.Zeus, yang telah terluka namun tetap berdiri dengan kokoh, memberi Zera dorongan yang tak terucap melalui tatapannya. Zera memandang Dante sejenak, lalu menundukkan kepala, bibirnya bergetar.“Aku tidak tahu bagaimana kalian bisa terus bersikap baik padaku...” gumam Zera lirih, matanya tertuju ke tanah. "Setelah apa yang kulakukan."Dante memeluknya lebih erat sejenak, lalu menatap langsung ke matanya. “Kau tidak sendirian dalam ini, Zera. Kau hanya butuh waktu, dan kami akan ada di sini untukmu, apa pun yang terjadi.”Namun, di balik kata-kata lembut dan pelukan yang menenan
Di ruangan kantornya yang remang, Dante duduk di belakang meja besar, memandang tumpukan berkas yang seolah menambah beban pikirannya. Setelah insiden sebelumnya dengan Zera, pikirannya tak pernah benar-benar tenang. Simbol tato di tubuh Zera masih menjadi misteri yang tak kunjung terpecahkan, dan dia tahu sesuatu yang jauh lebih besar sedang berlangsung di balik layar.Pintu ruangan terbuka pelan, memperlihatkan sosok Gael, tangan kanannya yang selalu bisa diandalkan. Raut wajahnya serius, tanda bahwa dia membawa kabar penting."Dante," Gael memulai dengan suara rendah dan tenang. "Aku punya informasi baru."Dante menegakkan duduknya, sorot matanya mengisyaratkan keseriusan. "Apa yang kau temukan?"Gael mendekat, meletakkan beberapa dokumen di atas meja, dan menarik napas dalam sebelum mulai menjelaskan. "Kami berhasil menemukan beberapa petunjuk terkait simbol tato di tubuh Zera. Ada keterkaitan kuat dengan organisasi yang dulunya dikenal melakukan eksperimen rahasia pada manusia."
Dante berjalan dengan langkah berat menuju ruangan di mana Zera berada. Pikiran tentang apa yang baru saja ia dengar dari Zeus masih berputar-putar di kepalanya. Ia tahu harus segera bicara dengan Zera, tapi setiap kali mencoba merangkai kata, hatinya menjerit ketakutan. Apa yang harus ia katakan? Bagaimana ia bisa mempertanyakan sesuatu yang begitu besar tanpa menghancurkan kepercayaan yang telah mereka bangun?Saat Dante memasuki ruangan, ia melihat Zera duduk di tepi ranjang, terlihat tenang, tapi ada sesuatu di matanya yang tak bisa ia sembunyikan. Ia tahu Dante membawa beban berat. Seolah membaca gelagat dari wajahnya, Zera menatapnya tanpa kata, senyum tipis tergambar di wajahnya.“Ada yang ingin kau tanyakan, kan?” suaranya lembut, seolah ia sudah siap menerima apapun yang akan keluar dari mulut Dante.Dante mendekat, tapi bibirnya tak kunjung terbuka. Kata-kata yang ingin ia sampaikan tersangkut di tenggorokannya. Bagaimana ia bisa menuduh seseorang yang telah banyak memberiny
Dante berbalik, siap melangkah kembali ke kamar, pikiran masih berputar tentang apa yang baru saja terjadi. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok Zera berdiri di ujung lorong. Wajahnya tampak pucat, matanya memancarkan tatapan yang sulit diartikan. Ada ketakutan, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam—seolah ia tengah berjuang dengan perasaannya sendiri.“Zera...” Dante memanggil lembut, suaranya bergetar sedikit. Ia berharap bisa menghiburnya, memberikan rasa aman setelah semua yang terjadi. Namun, saat ia melangkah mendekat, Zera mundur selangkah, jarak di antara mereka semakin melebar. Dante tidak menyadari betapa mengenaskannya penampilannya. Darah mengalir dari tangannya, membasahi pakaiannya, dan beberapa tetes mengotori rambutnya. Di tengah semua itu, Zera melihat sosok yang pernah ia kagumi, tapi juga sosok yang kini menyebarkan ketakutan dalam hatinya. Mungkin, dia adalah ketua organisasi mafia, namun Zera belum sepenuhnya menyadari betapa berbahayanya Dante seba
Zeus melangkah dengan tenang, tatapannya penuh perhatian ketika ia melihat Dante dan Zera berdiri berdekatan. Untuk sesaat, senyum lembut terukir di bibirnya, menyaksikan bagaimana Dante—yang biasanya keras dan dingin—begitu lembut saat berada di samping Zera. Namun, di balik senyum itu, hati Zeus penuh keraguan. Informasi yang baru saja ia dapatkan tentang Zera bisa mengguncang hubungan yang sedang berkembang di antara mereka.Zeus berhenti beberapa langkah dari pasangan itu. Matanya menangkap bayangan kehangatan di antara mereka, dan dia merasa berat untuk mengganggu momen ini. Tapi sebagai tangan kanan Dante, dia tidak bisa berbohong atau menahan informasi yang penting. Dengan napas dalam, dia memutuskan untuk memanggil Dante."Tuan..." suara Zeus pelan, nyaris seperti bisikan, namun cukup untuk membuat Dante menoleh ke arahnya.Dante, yang masih dalam dekapan Zera, menatap Zeus dengan alis yang sedikit terangkat, menyiratkan pertanyaan tanpa perlu kata-kata. Namun, sebelum Dante b
Zeus mendengarkan dengan tenang, angin malam membawa aroma dedaunan yang segar, namun suasana terasa berat. Zera mengusap wajahnya, menatap langit seolah berharap menemukan jawaban di antara bintang-bintang yang tersebar di sana. “Aku merasa... kosong,” gumamnya, suaranya nyaris terserap angin. Zeus tidak segera merespons, membiarkan keheningan mengambil alih untuk sejenak. Ia menunggu, memberikan Zera ruang untuk berbicara lebih banyak jika ia mau. Ketika kata-kata itu tidak datang, Zeus akhirnya bersandar ke belakang, menatap dedaunan yang berayun di atas mereka.“Kosong seperti apa?” tanya Zeus akhirnya, suaranya rendah namun penuh perhatian.Zera menggigit bibirnya, matanya terpaku pada tangan yang kini menggenggam erat tepi bangku kayu. “Seperti... seolah aku kehilangan diriku. Sejak Dante masuk ke hidupku, aku terus berjuang melawan ketakutan. Aku tahu siapa dia. Aku tahu apa yang dia lakukan. Tapi entah kenapa, meski aku ingin menjauh, aku tak bisa...” Matanya mulai berkaca-ka
Dante berbalik, siap melangkah kembali ke kamar, pikiran masih berputar tentang apa yang baru saja terjadi. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok Zera berdiri di ujung lorong. Wajahnya tampak pucat, matanya memancarkan tatapan yang sulit diartikan. Ada ketakutan, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam—seolah ia tengah berjuang dengan perasaannya sendiri.“Zera...” Dante memanggil lembut, suaranya bergetar sedikit. Ia berharap bisa menghiburnya, memberikan rasa aman setelah semua yang terjadi. Namun, saat ia melangkah mendekat, Zera mundur selangkah, jarak di antara mereka semakin melebar. Dante tidak menyadari betapa mengenaskannya penampilannya. Darah mengalir dari tangannya, membasahi pakaiannya, dan beberapa tetes mengotori rambutnya. Di tengah semua itu, Zera melihat sosok yang pernah ia kagumi, tapi juga sosok yang kini menyebarkan ketakutan dalam hatinya. Mungkin, dia adalah ketua organisasi mafia, namun Zera belum sepenuhnya menyadari betapa berbahayanya Dante seba
Dante berjalan dengan langkah berat menuju ruangan di mana Zera berada. Pikiran tentang apa yang baru saja ia dengar dari Zeus masih berputar-putar di kepalanya. Ia tahu harus segera bicara dengan Zera, tapi setiap kali mencoba merangkai kata, hatinya menjerit ketakutan. Apa yang harus ia katakan? Bagaimana ia bisa mempertanyakan sesuatu yang begitu besar tanpa menghancurkan kepercayaan yang telah mereka bangun?Saat Dante memasuki ruangan, ia melihat Zera duduk di tepi ranjang, terlihat tenang, tapi ada sesuatu di matanya yang tak bisa ia sembunyikan. Ia tahu Dante membawa beban berat. Seolah membaca gelagat dari wajahnya, Zera menatapnya tanpa kata, senyum tipis tergambar di wajahnya.“Ada yang ingin kau tanyakan, kan?” suaranya lembut, seolah ia sudah siap menerima apapun yang akan keluar dari mulut Dante.Dante mendekat, tapi bibirnya tak kunjung terbuka. Kata-kata yang ingin ia sampaikan tersangkut di tenggorokannya. Bagaimana ia bisa menuduh seseorang yang telah banyak memberiny
Di ruangan kantornya yang remang, Dante duduk di belakang meja besar, memandang tumpukan berkas yang seolah menambah beban pikirannya. Setelah insiden sebelumnya dengan Zera, pikirannya tak pernah benar-benar tenang. Simbol tato di tubuh Zera masih menjadi misteri yang tak kunjung terpecahkan, dan dia tahu sesuatu yang jauh lebih besar sedang berlangsung di balik layar.Pintu ruangan terbuka pelan, memperlihatkan sosok Gael, tangan kanannya yang selalu bisa diandalkan. Raut wajahnya serius, tanda bahwa dia membawa kabar penting."Dante," Gael memulai dengan suara rendah dan tenang. "Aku punya informasi baru."Dante menegakkan duduknya, sorot matanya mengisyaratkan keseriusan. "Apa yang kau temukan?"Gael mendekat, meletakkan beberapa dokumen di atas meja, dan menarik napas dalam sebelum mulai menjelaskan. "Kami berhasil menemukan beberapa petunjuk terkait simbol tato di tubuh Zera. Ada keterkaitan kuat dengan organisasi yang dulunya dikenal melakukan eksperimen rahasia pada manusia."
Ketenangan yang baru saja tercipta terasa rapuh, seolah permukaan tenang air yang menyembunyikan badai besar di bawahnya. Zera masih merasakan detak jantungnya yang berdebar keras, namun pelukan hangat Dante memberinya rasa aman yang pelan-pelan menenangkan dirinya. Dia menyadari bahwa meskipun ketakutan dan kekacauan masih mengintai di balik pikirannya, ada kekuatan dalam kehadiran orang-orang di sekelilingnya.Zeus, yang telah terluka namun tetap berdiri dengan kokoh, memberi Zera dorongan yang tak terucap melalui tatapannya. Zera memandang Dante sejenak, lalu menundukkan kepala, bibirnya bergetar.“Aku tidak tahu bagaimana kalian bisa terus bersikap baik padaku...” gumam Zera lirih, matanya tertuju ke tanah. "Setelah apa yang kulakukan."Dante memeluknya lebih erat sejenak, lalu menatap langsung ke matanya. “Kau tidak sendirian dalam ini, Zera. Kau hanya butuh waktu, dan kami akan ada di sini untukmu, apa pun yang terjadi.”Namun, di balik kata-kata lembut dan pelukan yang menenan
Di tengah keriuhan medan pertempuran, Zera tiba-tiba terhenti, tubuhnya terasa dingin seakan es menyusup ke dalam pembuluh darahnya. Napasnya tersengal, seperti ada sesuatu yang mencekik tenggorokannya. Matanya terbelalak saat pandangannya berputar, tak lagi fokus pada musuh di depannya. Suara-suara keras di sekitarnya mulai memudar, dan yang tersisa hanyalah dengungan pekat di kepalanya.Ingatan-ingatan kelam dari masa lalu yang telah lama dia pendam seolah menyeruak ke permukaan, menghantamnya tanpa ampun.“Zera!” Dante memanggilnya, nadanya penuh peringatan. Namun, Zera tak mampu mendengarnya. Tangannya gemetar, pandangannya liar. Tiba-tiba, tanpa ia sadari, tangannya meraih pistol yang tergantung di pinggangnya. Ia mengangkatnya, gemetar, matanya tak lagi melihat Dante sebagai seseorang yang dikenalnya. Di matanya, yang berdiri di depannya sekarang adalah sosok mengancam, seseorang dari masa lalu yang ingin menghancurkannya.“Jangan dekati aku!” Zera berteriak, suaranya penuh ke
Zera berdiri diam, menatap Dante yang menunggu di depannya. Udara malam terasa dingin, tetapi lebih dingin lagi keheningan yang menyelimuti mereka berdua. Perlahan, Zera menarik napas panjang, seolah mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara.“Ada banyak yang kau tak tahu tentangku, Dante,” ucap Zera dengan suara pelan namun penuh makna. Matanya beralih menatap langit malam yang dipenuhi bintang. “Dan… mungkin tak perlu kau ketahui semuanya.”Dante tetap diam, menunggu Zera melanjutkan, dengan sabar meski rasa ingin tahunya semakin kuat.Zera menggenggam pagar balkon dengan erat, seolah mengambil kekuatan dari dinginnya besi di tangannya. “Aku… bukan hanya seseorang yang dijual oleh keluarganya untuk melunasi utang, bukan hanya seseorang yang tersesat di dunia gelap ini. Aku…” dia terhenti sejenak, menelan ludah, “Aku adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang kelam.”Dante masih mendengarkan tanpa menginterupsi, hanya matanya yang menajam, mencoba menangkap setiap
Dante duduk di samping tempat tidur Zera, menatap wajahnya yang pucat dalam diam. Malam telah berganti menjadi pagi, namun mata Dante tak kunjung terpejam. Dia telah menghabiskan beberapa hari terakhir mencari jawaban tentang Zera, dan meskipun banyak teka-teki yang mulai terkuak, Dante merasa ini bukan saatnya untuk membahasnya.Zera belum sepenuhnya sadar sejak pingsan tiba-tiba di ruang tamu. Dante tahu kondisinya lebih dari sekadar fisik—ada luka yang lebih dalam, yang tidak bisa disembuhkan dengan perawatan medis semata. Maka, ia menyingkirkan segala kekhawatiran dan informasi tentang tato itu, menguburnya sementara demi satu tujuan: melihat Zera pulih.Suara lembut dari angin yang menerpa tirai membuat suasana kamar terasa sunyi dan damai. Dante mengambil tangan Zera yang terkulai di samping tubuhnya, menggenggamnya dengan hati-hati, seolah takut menghancurkan sesuatu yang rapuh. “Zera,” bisiknya, meskipun tahu mungkin Zera tidak akan mendengarnya. “Aku di sini.”Dia tidak meng