Marina melihat mobil Wisnu masuk halaman segera menyambut pengantin baru itu. Dia segera menghampiri Amanda sementara Wisnu membawa buah yang tadi mereka beli di jalan ke dalam rumah.“Bagaimana malam pertamamu?” goda Marina“Apaan sih tante!”“Sudah belum?” Marina masih menggoda.“Mas Wisnu masih sibuk” Amanda tak memperpanjang pembahasan dan segera masuk ke dalam. Marina kecewa, harusnya dia bisa menggoda ponakannya itu.“Kebetulan Mama sudah masak, kita sarapan dulu” Moana menyambut mereka.“Ma, kan aku sudah bilang Mama gak boleh capek-capek!” Amanda protes.“Jangan terlalu berlebihan menghawatirkan Mama, aku baik-baik saja,” tukas Moana tersenyum menunjukan dirinya sehat.Wisnu memperhatikan wanita itu sambil berpikir apakah dia mengenalinya sebagai tantenya? Tapi ingatannya memang buruk. Mudah-mudahan Purwa hanya salah kira saja.“Sayang, aku ke kamar dulu,” ucap Amanda pada Wisnu.“Iya, aku akan bicara pada Mama sebentar,” tukas Wisnu dan Moana yang masih di tempat hanya tersen
Setelah menemani Moana, Amanda termenung sejenak di depan pintu kamar mamanya itu. ada banyak hal yang terlintas di kepalanya. Masa lalu orang tuanya dan juga hubungannya dengan Wisnu. dia tidak habis pikir apa yang terjadi selama ini ternyata relate dengan hubungan mereka. Perjuangan menebus liontin itu, kisah cintanya dengan Wisnu, dan sekarang mereka sudah menikah.Sekilas terbentik di kepalanya, akankah Purwa dan Moana kembali bersama? Amanda tahu, Purwa sangat mencintai istrinya, dan Amanda juga ingat, Moana sangat menjaga liontin itu sampai-sampai marah saat Amanda menghilangkannya. Bisa jadi keduanya memang masih saling mencintai.Lalu bagaimana dengan Dirja? Teringat tentang papanya yang hingga sekarang belum menemukan pendamping hidup, Amanda jadi kepikiran lagi. Ah, sudahlah. Biarkan saja semua berjalan sesuai takdir mereka.Amanda berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Melihat Wisnu yang berdiri di balkon, lalu menghampirinya.“Mama baik-baik saja?” tanya Wisnu saat Amand
Pagi itu Wisnu bangun dan melihat pemandangan yang indah dari atas balkon kamar Amanda. tinggal di daerah pegunungan memang sangat tenang. Jauh dari kebisingan dan polusi kota yang sering memicu stress.Di bawah sana, dia melihat Moana yang sepertinya hendak jalan-jalan pagi. Dia ingin banyak mengobrol dengan Moana. Karena itu dia pun bergegas turun dan mengikutinya.Moana tersenyum melihat menantunya berlari-lari menyusul di belakangnya. Sekarang dia melihatnya bukan hanya sekedar menantu, tapi juga keponakannya. Keponakan dari mantan suaminya dulu. Masih teringat, betapa anak ini sangat lucu dan menggemaskan saat kecilnya dulu. Sekarang sudah segede ini.Sembari berjalan-jalan, Moana menceritakan tentang banyak hal setelah berpisah dengan Purwa.“Saat itu aku sedang menemui seorang teman di kota lain, tiba-tiba ada berita tentang bencana tsunami. Sambungan komunikasi juga transportasi terhenti total. Aku bahkan tidak tahu bagaimana nasib keluargaku. Keesokan harinya aku baru mendapa
Wisnu mendapat panggilan dari Ujang yang menyampaikan mereka sudah ada di Surabaya. Rencananya mereka datang besok pagi-pagi, namun diluar perkiraan sore ini sudah tiba di Surabaya.Wisnu mencari istrinya untuk pamit karena harus segera menjemput Purwa. Lagi pula ada banyak hal yang harus dia bicarakan dulu dengan Purwa sebelum pria itu bertemu dengan Moana.“Bukannya Mas Wisnu bilang, Om Purwa datang besok?” tanya Amanda heran karena tiba-tiba saja mendengar Purwa sudah di Surabaya.“Mungkin, Om ambil penerbangan tercepat, tahu sendiri kan bagaimana dia kalau punya keinginan?”“Tunggu sebentar, aku ganti baju dulu.” Amanda bergegas membuka lemari untuk berganti baju.“Sayang, sebaiknya kamu di rumah saja. Biar aku saja yang menjemputnya. Kau temani mama saja” “Oh, begitu?”Amanda tahu Mamanya tentu kepikiran di detik-detik dia harus bertemu dengan mantan suaminya dulu. Amanda tidak boleh membiarkan Moana stress, karena itu dia menyetujui ucapan suaminya. Lagi pula pasti ada banyak
Amanda mengetuk kamar Moana sebelum masuk. Moana masih duduk termenung di tempat tidur. Dia bahkan belum menggenakan jilbabnya. Amanda jadi mencemaskannya. Dia duduk di samping Moana.“Ma, kalau Mama kurang enak badan, aku akan sampaikan pada Mas Wisnu. Kita bisa undur pertemuannya kok!”“Tidak, aku tidak apa-apa,” ujar Moana bangkit mengambil jilbab segiempat dan menggenakannya. Tanganya terlihat sedikit bergetar.“Sini, Ma. Aku pakaikan” Amanda menghampiri Mamanya dan membantunya menggenakan jilbab. Dia berusaha mengalihkan pikiran Moana yang tegang. “Mas Wisnu bilang, seharusnya aku seperti Mama, pakai hijab biar tidak mengumbar aurot.”Moana menatap wajah cantik putrinya itu, dia kemudian mengangguk membenarkan. “Iya, Suamimu benar,” hanya itu katanya.“Ma?” Amanda menatap Moana yang risau itu lalu memeluknya. “Aku akan bersama Mama terus, kalau ada yang membuat Mamaku sedih dia harus berhadapan denganku. Tidak peduli siapapun itu.”“Eh, kau ini! Mama tidak apa-apa, Mama hanya sed
Amanda merasa lega karena semua sudah selesai hari ini. Mamanya sudah pulang dan memintanya menginap saja di hotel menemani Wisnu yang saat ini ada kesibukan yang harus dikerjakannya dari hotel. Moana menyadari, bagaimanapun mereka sudah menjadi suami istri. Tidak baik jika sering terpisah di awal pernikahan mereka. “Mama yang tidak enak sama Wisnu, kalau kamu masih juga pulang bareng Mama,” tukas Moana saat Amanda keberatan Moana memilih pulang sendiri. “Kalau begitu aku anter Mama pulang, deh!” Amanda menawarkan, Moana menggeleng. “Tidak usah, tadi Pak Purwa menawarkan untuk anter pulang dan aku menolaknya. Kalau kamu harus anter Mama, jadi tidak enak kan nanti!” tolak Moana. “Semua baik-baik saja, kan, Ma?” Moana mengangguk dan tersenyum tapi sulit ditebak. Membuat Amanda jadi bertanya-tanya. “Ya sudah, Mama balik dulu.” Amanda tidak bisa membujuk Moana, akhirnya membiarkan saja Moana berlalu di ikuti Abim. Dia hanya menatap punggung Moana dengan harapan semua baik-baik saja.
“Ya ampun, apa itu?!”Amanda terkejut melihat noktah itu, dengan segera bangkit dan berlari ke kamar mandi mengunci pintunya. Dia memeriksa bagian bawahnya dan melenguh kecewa karena tamunya datang saat dia tidak ingin menerimanya.“Amanda, kau baik-baik saja?” terdengar Wisnu berteriak dari balik pintu.“Eng, I-iya Mas…!”“Buka pintunya dulu, jangan buat aku cemas!” masih Wisnu mengetuk pintu kamar mandi.Amanda mencari-cari pembalut di rak. Dia selalu membawa benda itu jika pergi kesuatu tempat karena tidak tahu kapan pastinya mesntruasi. Siklus bulanannya memang sering maju mundur.Selesai menggenakannya dia segera mengambil bathrobe di lemari.“Sayang?!” Wisnu sepertinya masih menunggunya, padahal dia sudah berusaha berlama-lama.Akhirnya dengan tidak enak Amanda beranjak membuka pintu. Jujur, dia masih malu sekali pada Wisnu. Dia bahkan tidak sanggup menampakkan wajahnya saat membuka pintu itu.“Ada apa?” Wisnu melihat Amanda menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.“Ma
Purwa berjalan-jalan di sekitar hotel dan terkenang dulu pertama kali dia datang ke kota ini untuk menghadiri undangan walikota—yang merupakan teman lamanya. Melihat kota sejuk dan indah ini, dia teringat istrinya yang berharap bisa menghabiskan masa tua di daerah pegunungan. Karena itu Purwa membangun hotel ini. Awalnya Hotel ini dinamakan sesuai nama istrinya—HAMIDA—tapi untuk beberapa alasan nama hotel ini berubah menjadi Hotel Esther. Purwa tidak berhenti keheranan, orang yang menjadi inspirasi di bangunnya hotel ini ternyata juga tinggal di kota yang sama. Jalan takdir itu memang unik. “Selamat pagi, Pak?” sapa seseorang dengan menunduk sopan. “Pagi? Siapa kamu?” “Saya Arik, manajer hotel ini. Maaf tidak bisa menyambut kehadiran Bapak kemarin karena masih ada meeting di Bandung” Purwa menatap dan menilai Arik, sepertinya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan. “Jadi kau tahu di mana Amanda tinggal?” Purwa bertanya pada Romi, salah seorang pegawai hotel yang diminta untuk men
Annisa banyak salah dan dosa pada Amanda. Anak itu sejak pertama sudah dibuat tidak menyukainya. Sekarang apa dia bisa begitu saja memaafkannya dan membiarkan papanya menyetujui hubungan mereka? Pundaknya mulai turun dan dia merasa tidak mungkin Amanda rela membiarkan Dirja menikah dengannya. Dia kembali melihat sosok Dirja yang masih dengan sabar mendengarkan kata-kata putrinya. Jikapun pria itu diminta memilih dia atau putrinya, sudah bisa dipastikan Dirja akan memilih putrinya daripada Annisa. Karma itu memang ada. Dulu dia sangat membenci Amanda dan selalu berusaha membuatnya terluka. Sekarang, di saat dirinya sudah sangat yakin bahwa hanya pria yang baik dan penuh perhatian itulah yang bisa menerima semua kekurangannya dan sanggup menjadi imamnya dalam mengarungi kehidupan barunya, dia harus juga dibenci oleh Amanda. “Ya sudahlah, mungkin ini hukmuna dari tuhan untukmu, Annisa!” gumam Annisa pada dirinya sendiri sambil mengusap air mata di sudut matanya. “Kalau Papa memang men
Amanda tidak bisa memejamkan matanya mengingat apa yang sudah di sampaikan Wisnu padanya tadi sore. Dia ingin menelpon mamanya, namun sudah larut malam waktu Milan. Artinya di Jakarta saat ini menjelang subuh. Tentu dia harus bersabar menunggu pagi agar bisa menghubungi mamanya.Keresahan Amanda tentu bisa dirasakan Wisnu karena beberapa kali harus mengganti posisi tidurnya. “Kau tidak bisa tidur?” tanyanya.“Oh, Maaf! Aku pasti mengganggu tidur, Mas Wisnu” ucap Amanda sedih.“Mana yang tidak nyaman, biar aku usap.” Wisnu memeriksa Amanda. Lalu dengan lembut dia mengusap punggung Amanda agar membuatnya lebih nyaman. “Katanya besok mau belanja di Galerria, tapi selarut ini kau belum tidur juga?”“Aku terus kepikiran papa, Mas!”“Kenapa?”Amanda tidak menyahut, Wisnu pasti juga tahu apa yang sedang dipikirkannya. Kemudian Wisnu mendekatkan tubuhnya dan memeluk Amanda. “Ya sudah jangan dipikirkan dulu, nanti malah bikin kamu stress. Gak bagus kan buat perkembangan baby kita!”“Papa itu s
Dirja sebenarnya juga akan memberikan kejutan pada putri dan menantunya itu tentang rencana mengakhiri masa sendirinya. Tapi dia juga dibuat kecewa lantaran Wisnu dan Amanda tidak di rumah.Dia sudah memikirkan betul keputusannya. Beberapa bulan dekat dengan Annisa dan merasa wanita itu sepertinya memiliki hati untuknya, Dirja kemudian memikirkan pendapat Marina dan Moana agar dirinya menikah lagi. Jika dulu dia masih betah sendiri karena menghargai perasaan Moana dan Amanda, sekarang semuanya sudah berjalan baik. Moana sudah menikah lagi, dan putrinya bahkan sebentar lagi akan memberinya cucu. Tidak ada alasan baginya untuk sendiri terus.Mirzha tentu sudah mengenal Dirja sebagai ayah Amanda karena datang dan berbincang langsung dengan Dirja saat pernikahan Wisnu. Mirzha mengakui Dirja memang sosok yang matang dan juga mapan. Tentu itu adalah hal yang penting untuk putrinya yang bisa dibilang terkadang labil itu. Annisa memang membutuhkan sosok yang dewasa, matang dan bisa membimbi
Amanda menjadi sedih karena Wisnu menolak keinginanya. Suasana hatinya mulai buruk dan dia bangkit sambil mendorong beberapa map hingga jatuh berserakan ke lantai. Dengan langkah kasar keluar dari ruang kerja Wisnu.Wisnu menghela napas dan menutup laptopnya. Lalu bergegas membuntuti istrinya yang sedang ngambek.Pintu kamar tertutup dengan kasar.“Sayang, kondisimu masih lemah, aku takut malah menyakitimu dan baby kita,” Wisnu mencoba menjelaskan meski pintu tertutup.“Iya, aku udah jelek, gendut, Mas Wisnu udah gak bergairah lagi!” Amanda berteriak sebal.“Ya udah, buka dulu! Gak enak kan di dengar orang ngobrol sambil teriak-teriak.”“Gak mau! Udah sana pergi ke kantor, ketemu sama cewek-cewek cantik, gak usah mikirin wanita yang gendut dan jelek ini!”“Siapa yang gendut dan jelek? Kamu cantik kok!”Sesaat tidak terdengar suara dari dalam. Wisnu berpikir Amanda akan membukakan pintu untuknya. Pintu memang terbuka, tapi karena Amanda ingin melepar bantal dan selimut.“Tidur saja di
Wisnu sudah datang dan sangat tergesa langsung menuju kamar untuk bisa melihat kondisi istrinya. Saat masuk kamar, Marina mengingatkan Wisnu untuk membersihkan diri dulu. Banyak virus di tempat umum, tidak baik untuk ibu hamil.Amanda sebenarnya menolak pergi ke rumah sakit. Bau disinfektan sangat membuatnya pusing. Bisa-bisa dia malah muntah-muntah hebat lagi. Tapi melihat kondisi istrinya yang lemas, Wisnu tidak mau ambil resiko. Dia langsung menggendongnya ke mobil dan meminta Abduh menyupir ke rumah sakit.Setelah dipasang infus, Amanda mulai terlihat segar lagi. Dia mungkin saja mengalami dehidrasi karena banyak cairan yang keluar tapi tidak bisa memasukan makanan atau minuman ke dalam tubuhnya. Wisnu nampak sangat cemas.“Masih istirahat, Bu Amanda?” tanya dokter Ririn, spesialis obgyn, yang diminta Wisnu menjadi dokter pribadi istrinya.“Apa ada masalah dengan kehamilannya, dokter? Kenapa dia mengalami mual dan muntah yang hebat?” Wisnu tak sabar menanyakan tentang kesehatan is
Abim menemani Wisnu mengunjungi kantor perusahaan di Surabaya. Dia bertemu Annisa yang sedang mengerjakan sesuatu di ruangannya. Lalu Abim memberanikan diri menghampirinya.“Eh, Abim! Kok tiba-tiba Ke Surabaya?” Annisa sedikit terkejut melihat Abim.“Ada sedikit urusan, kau betah pindah kerja di sini?” Abim senang melihat Annisa yang terlihat ramah itu. Sama seperti dulu saat pertama dia kerja di kantor Jakarta.Mereka sudah duduk dan menikmati minuman sambil berbincang-bincang.“Apa kabar Naira?” tanya Annisa.“Baik,” jawab Abim.“Kau tampak lebih bahagia di sini?”“Ya iyalah, kerjaan di sini tidak seruwet di Jakarta. Lagi pula Pak Dirja baik sekali. Aku jadi betah kerja di Surabaya”“Baguslah! Aku senang melihatmu lebih baik!” ucap Abim menatap Annisa dengan tatapan yang sulit dimengerti.“Terima kasih, Abim! Aku minta maaf ya, kalau sering buat kamu sakit hati!”Abim sedikit terkejut mendengar permintaan maaf Annisa. Artinya dia memang serius ingin berubah. Seperti yang dikatakanny
Amanda tampak melamun dan tidak bernapsu makan, sejak tadi hanya mempermainkan sumpit di atas mangkuk yang berisi cah kangkung yang sudah disiapkan atas keinginanya. Sejak Amanda masih bekerja di rumah ini dulu, dia yang menyusun menu makan selama seminggu dan Titik yang bagian mengeksekusinya bersama Amanda. Di minggu berikutnya Amanda akan membuat daftar menu baru lagi. Semua itu dilakukan untuk mendukung program diet sehat Purwa yang waktu itu sedang sakit. Agar Purwa tidak merasa sedang diet dan tidak tergoda makanan kurang sehat, maka semua orang di rumah pun memakan menu yang sama.“Kenapa melamun?” Wisnu yang sedang makan terganggu dengan wajah melamun istrinya.Amanda hanya bergeming sedikit lalu mengambil cah kangkung untuk dipindah ke dalam piringnya. “Apa bimbinganmu bermasalah?”“Tidak” jawab Amanda tak bersemangat.“Lalu apa?”“Gak ada apa-apa”“Jangan bohong!”“Ya udahlah, gak usah dibahas juga!” Amanda mencoba memasukan makanan ke mulutnya.“Kalau kau tidak bilang, ak
Saat itu Wisnu baru selesai mengadakan pertemuan dengan beberapa pejabat penting grup Bramastya terkait kerjasama keduanya. Dia berbesar hati untuk melonggarkan persaingan di antara mereka. Tentu saja setelah Purwa yang menelpon sendiri dan menasehati Wisnu agar tidak terlalu keras dalam berbisnis. Purwa waktu itu ditemui langsung Bramastya di Jerman demi mengembalikan hubungan baik kedua perusahaan yang sebelumnya juga saling bekerja sama itu. Bram tahu, Wisnu hanya bisa mendengar ucapan pamannya. Peristiwa penculikan itu sama sekali tidak tersinggung di permukaan. Hanya mereka yang terlibatlah yang tahu. Seperti sebuah kode etik satu sama lain untuk saling merahasiakan agar tidak ada pihak hukum yang ikut campur urusan sesama mereka sendiri. Keduanya sudah menyepakati banyak hal setelah penculikan itu. “Anda yakin untuk melakukan semua ini?” Tio asisten yang lebih fokus urusan ke dalam perusahaan memastikan sekali lagi. karena dalam pemikirannya, yang sangat diuntungkan adalah pih
Tadinya Annisa mencoba mengejar Abim setelah sedikit perdebatannya di kantor mengenai beberapa data perusahaan yang dicurigai bocor. Abim benar-benar marah pada Annisa dan dengan terang-terangan menuduhnya sengaja membocorkan. Annisa tidak terima dan malah menuduh Abim tidak objektif dengan menuduhnya.“Kau hanya sedang sakit hati padaku! Karena itu kau mencari-cari kesalahanku untuk melampiaskan kekesalanmu,” ujar Annisa pada Abim waktu masih di kantor.“HHG, KAMU SAKIT ANNISA!” tukas Abim tersenyum miring pada Annisa. “Aku sarankan padamu, buatlah janji dengan psikiater, kau perlu mengisi ulang otakmu yang tinggal separuh itu!”“Kau hanya iri denganku, Abim!”“Teruslah dengan delusimu. Tapi jangan menghalangi kewajibanku!”“Pak Wisnu tidak akan percaya padamu, dia akan percaya padaku?”“Bagaimana kau bisa seyakin itu? Apa kau pikir Pak Wisnu mencintaimu?”“Kau tidak perlu ikut campur urusan kami, perasaanku dan dia hanya kami yang tahu.”“GILA!” “Kamu yang gila! Kamu gila karena ak