Diana dan Daza bertemu di sebuah restoran yang sudah dipesan oleh Diana, khusus hanya untuk mereka berdua, tanpa ada seorang pun di sana. Sepertinya obrolannya sangatlah penting, sampai-sampai Diana mau dan mampu membuat Daza merasa sedikit gelisah.Diana tampak menikmati semua pesanan makanan yang dia tengah makan, seolah sengaja sedang mencoba memoroti Daza yang merasa perlu akan informasinya. Benar-benar wanita licik. Daza makin benci setelah tahu bagaimana dia memanfaatkan situasinya.“Awas saja kalau sampai apa yang kamu bicarakan itu tidak penting! Aku tidak akan mau bertemu lagi denganmu!” tegas Daza.“Kenapa? Tapi tidak masalah juga, setelahnya, kalau kamu perlu tahu apa yang dibicarakan di rumah, jangan cari aku, pikirkan saja sendiri,” balas Diana.Terdiam Daza seketika. Ia merasa tersindir dengan apa yang sudah dikatakan. Benar, apa yang dikatakan Diana adalah fakta yang tidak bisa dirinya hindari. Kalau tidak ada dia, mungkin Daza tidak tahu bagaimana pergerakan dari rumah
“Ya setidaknya bersihkan lah sedikit. Apa kamu bisa bernapas lega melihat banyak debu dimana-mana?” tanya Daza.“Astaga sayang, haha,” Lora tertawa saat membuatkan dirinya kopi, ia sedikit memutar badan melihat ke arah Daza, yang dimana dapur dan ruang tamunya jadi satu, “kamu seperti tidak pernah datang kemari saja,” tegurnya.Sambil menelan saliva, Daza menahan rasa risihnya pada tiap sudut rumah yang ia lihat dan juga tiap sisi yang ia temukan. Belum lagi debu di depan matanya, di atas meja itu seperti membuat Daza bergidih dari tempatnya duduk tersebut.Matanya melirik, ke arah gelas yang sedang dipegang oleh Lora. Wanita itu datang, sambil membawakan kopi yang ada di tangannya tersebut. Dihidangkannya kepada Daza, dengan perasaan yang penuh dengan gemerlap di matanya.“Diminum, sayang,” ucapnya.Mata Daza tak bisa lepas dari lirikan tajam. Debu pada gelas saja masih kelihatan di atasnya, bagaimana mungkin ia bisa meminumnya? Tak bisa dibiarkan, Daza merasa tidak tahan bahwa selam
Daza yang sudah merasa berat akan hari ini merasa sangat tidak tahu arah. Setelah mendengar dari Diana soal keputusan yang mungkin membuatnya kehilangan segala harta yang ada, ditambah dengan niat dari Lora yang tidak sengaja ia dengar, membuat Daza merasa tidak bersemangat. Ia kehilangan kepercayaan dirinya.Ia menyetir sampai di rumah. Ia benar-benar tidak punya tempat tujuan lebih jauh lagi selain rumahnya. Badannya terasa lemas sekali. Saat masuk ke dalam, ia tidak merasakan adanya kehidupan. Hanya kehampaan semata yang dirinya rasakan.“Sudah pulang? Kamu sudah makan?” Lavendra mendadak muncul di pintu masuk dengan tangan berada di pinggang.Mata Daza tak lepas memandang wanita tersebut. Wanita polos nan baik hati yang selama ini tidak pernah langsung melawan saat dirinya melawan. Wanita ini…, wanita yang membuat banyak puzzle kehidupannya seolah mulai terlihat jelas kembali.“Kalau kamu belum makan, aku baru saja buat sup. Malam begini lebih enak makan sup hangat. Kamu suka sayu
Lavendra hanya mencoba menerka saja. Meski ia berharap, tapi ia juga tidak memberikan kesimpulan. Mengingat bagaimana Daza mendewakan Lora yang baginya adalah seorang yang sangat dicintai. Ditambah dengan bagaimana selama ini Daza memperlakukannya, Lavendra hanya bisa mengira bahwa mereka sedang bertengkar.Dan lagi, sekarang Lavendra sedang tidak mau cari masalah, dengan menghalangi Lora masuk ke dalam sini. Bisa gawat kalau nanti Lora melabrak lagi. Apalagi, Lavendra yang merasa bahwa mereka belum menjalankan rencananya, membuat Lavendra merasa sedikit was-was.Bel kembali berbunyi, dan tidak berhenti sama sekali. Lavendra yang awalnya coba abai seperti apa yang dikatakan oleh Daza, malah merasa kesal sekali. Lora pasti mengeluarkan seluruh amarahnya hanya untuk menekan bel rumah mereka tersebut.“Buka kan saja sudah! Kamu tidak dengar ‘WANITA’mu itu seperti kesetanan di luar sana!” kesal dari Lavendra.Daza tidak peduli. Dia masih memeluk Lavendra dan tidak mau tahu soal apa yang s
Lavendra sendiri terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh orang ini. Kakek dan papa juga sama tidak percayanya. Tidak mungkin juga Daza berubah dalam semalam saja. Sudah pasti ada sesuatu yang terjadi kepadanya. Tatapan Daza tetap melihat ke arahnya, menunggu jawaban dari Lavendra.“Sayang?” panggilnya sekali lagi.“O- OH, apa?” kejut Lavendra yang merasa benar-benar bingung sekali.Daza tidak bergeming seperti sudah biasa melakukannya kepada orang selain Lora, “Aku memanggilmu, kamu tidak dengar?” tanya Daza.“Bukan, bukan tidak dengar, hanya, hanya aku…, aku kaget saja,” jawab Lavendra dengan gelagapan dan juga merasakan dengan jelas bahwa wajahnya merah padam karena panasnya bukan main.“Bagus, bagus, kalian harus lebih sering seperti ini,” ungkap kakek yang kelihatan senang sekali.Sementara papa melihat ke arah Lavendra, ia mencoba memastikan sikap anaknya sendiri pada menantunya tersebut. Dengan menggelengkan kepala pelan dan juga mengangkat bahu, Lavendra memberitahukan bahwa
Pertemuan mendadak antara mereka bertiga benar-benar tidak direncanakan oleh Lavendra. Daza dan Riko yang saling memandang sudah membuat Lavendra merasa panik. Ia takut akan terjadi kesalahpahaman di antara mereka yang bisa membuatnya tidak tahu harus melakukan apa lagi.Lavendra segera bangun dan mencoba mengajak Daza untuk segera menjauh dari sana. Namun, Daza tampak tidak bergerak dari posisinya. Dan itu lah yang menyebalkan bagi dirinya ini.“Ayo kita pergi. Kamu sudah selesai periksa, kan? Ayo,” ajak Lavendra.Daza memegang Lavendra, dan memintanya untuk minggir. Riko ikut berdiri menghadapi Daza yang sudah memandang dengan sangat dingin ke arah mereka yang ada di sana. Suasananya benar-benar mencengkam sampai Lavendra merasa bingung.“Kamu yang di kafe waktu itu?”“Kamu ingat. Haha, terima kasih. Sepertinya kamu menyimpan bagaimana wajahku dengan baik ya,” Riko menjawab dengan sedikit bercanda.Namun, tampaknya Daza tidak senang dengan candaan yang dilontarkan oleh Riko tersebut
Lavendra sudah muak menahan dirinya dan menjaga harga dirinya. Ia merasa sudah sakit hati setelah dipermainkan sepersekian lamanya oleh Daza. Pria ini tidak akan berubah sama sekali. Dia hanya akan memakai topeng lainnya untuk mendapatkan apa yang dia mau.Tangan Lavendra sudah gemetar dari tadi, dia merasa tidak mampu menahan emosinya lagi. Berhadapan langsung dengan Daza membuatnya merasa takut dan juga jatuh. Ia kehilangan harga dirinya sendiri.“Tidak! Aku tidak merencanakan apa pun!” Daza mencoba membela dirinya sendiri.“Haha, omong kosong! Bahkan aku melihat dengan mata dan kepalaku sendiri bagaimana dirimu! Haha,” tawa Lavendra terdengar menyakitkan.Air matanya mulai menetes membasahi pipinya. Ia merasa benar-benar muak sekali. Ia ingin sekali berteriak untuk membuat hatinya sendiri merasa lega. Namun ia segera menahan mengingat bahwa ia bukan lah orang bodoh yang bisa menangis seenaknya saja.Daza terbelalak melihatnya menangis. Air hujan yang menutupi tangisannya ternyata t
Ibu tampak diam sejenak. Seolah sudah mengetahui jawaban dan perkara yang tengah Lavendra rasakan. Lavendra merasa sedkit ragu sambil menelan ludahnya. ia benar-benar seperti akan mendapatkan jawaban yang memang seharusnya ia dapatkan, namun tidak mau ia dengarkan.Sayup-sayup tatapan ibunya menunjukkan bahwa sebenarnya ada yang coba disembunyikan, namun tidak bisa sama sekali. Lavendra menyiapkan hatinya untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh ibunya tersebut.Ibu duduk di sebelahnya. Tangannya memegang tangan Lavendra sambil mengusap punggung tangannya. “Ibu…, awalnya tak setuju saat ayah mengatakan kamu akan dilamar oleh anak temannya,” ujarnya.Lavendra tidak kaget. Ia tahu perkara hal tersebut karena orang tuanya untuk pertama kalinya ribut di depan mata Lavendra dengan terang-terangan. Mereka yang biasanya ribut hanya akan saling mendiamkan, waktu itu memilih mengeluarkan suara.“Meski ibu tahu teman ayahmu adalah orang baik, tetapi tidak mungkin sifat itu akan dibawa ju