“Baru pulang?”Suara Ethan yang duduk di ruang tamu saat Cliare baru kembali tampak begitu datar.Claire yang terkejut langsung menatap ke arah kakaknya, “Kakak, kau mengejutkanku.” Ucap Claire dengan tersenyum lalu berlari kecil untuk ikut duduk bersama pria itu.“Kakak menungguku pulang?”Ethan hanya mengangguk lalu menatap ke arah adiknya, “Semenjak hubunganmu semakin baik, kau jarang makan di rumah. Pria itu benar-benar kembali memanipulasimu.”Claire tertawa mendengar hal itu, “Apa sih kak, aku kan juga sibuk kerja dan kebetulan juga aku dan Leonidas berangkat dan pulang bersama, apa salahnya makan bersamanya?”Ethan menghela napas, lalu menatap Claire dengan sorot mata yang sulit ditebak. "Bukan itu maksudku, Claire. Aku hanya khawatir kalau kau terlalu banyak bergantung padanya lagi. Kau tahu, dulu Leonidas sempat meninggalkanmu, dan aku tidak ingin melihatmu terluka lagi."Claire tersenyum lembut, memahami kekhawatiran kakaknya. "Aku mengerti, Kak. Tapi Leonidas sudah berubah.
“Kau masih bekerja, Ethan?”Suara Ashilla yang lembut sambil memeluk Ethan, membuat pria itu terkejut dan tersenyum.“Sudah pulang? Bagaimana gaunnya, apakah cocok?” Tanya Ethan dengan lembut sambil memutar kursinya dan menarik tangan Ashilla untuk duduk di pangkuannya.Ashilla tersenyum, meletakkan kepalanya di bahu Ethan. "Iya, kami menemukan gaun yang sempurna. Claire benar-benar membantu memilih yang paling indah," jawabnya sambil memandangnya dengan penuh cinta.Ethan tersenyum lembut, menggenggam tangan Ashilla. "Aku senang mendengarnya. Claire selalu punya selera yang bagus. Apa kamu merasa lebih tenang sekarang setelah menemukan gaun itu?"Ashilla mengangguk. "Sangat. Tadi sempat gugup, tapi sekarang rasanya seperti sudah semakin dekat ke hari istimewa kita."Ethan mengusap punggung Ashilla dengan lembut, menatap matanya dengan penuh ketulusan. "Aku ingin hari itu menjadi hari paling membahagiakan untukmu, Shilla. Apa pun yang kamu inginkan, aku akan mewujudkannya."Ashilla me
TING! TONG!Suara bel pintu apartemen membuat James yang lembur di ruang kerjanya tampak mengernyit.“Sudah jam sebelas malam, siapa yang bertamu?” Gumamnya sambil melihat jam di atas dinding.Tapi bunyi bel itu kembali berbunyi, yang membuat rasa penasaran James semakin tinggi. Dengan berjalan menuju ke arah pintu, dia melihat ke monitor yang menghubungkan kamera di depan pintu untuk melihat siapa tamu yang datang.Begitu melihat Disya yang datang dengan keadaan yang jauh dari kata rapi, dia langsung bergegas membuka pintu.“Disya??!” Suaranya tercekat saat melihat keadaan gadis itu, tubuh basah kuyub dengan seragam sekolahnya dan tas kecil yang dia peluk erat seolah dia telah diusir dari rumah.Mata sembab Disya yang menatap James membuat pria itu tampak prihatin.James tanpa pikir panjang langsung menarik Disya masuk ke dalam apartemennya dan menutup pintu dengan cepat. "Disya, apa yang terjadi? Kenapa kau bisa sampai di sini dalam keadaan seperti ini?" tanyanya dengan nada cemas,
Saat sinar matahari mulai tampak tinggi, James yang terbangun dari tidurnya sedikit melirik ke arah jam di dinding. Melihat masih pukul tujuh pagi, dia berniat untuk tidur lagi.Namun suara seperti orang memasak di dapur membuatnya terbangun dan teringat jika Disya ada disini sejak semalam.“Bisa-bisanya aku melupakan itu.” Gumam James lalu pergi ke kamar mandi kemudian keluar setelah mengganti pakaian kerja dan melihat ke arah Disya yang sibuk memasak di dapur.“Kau memasak?” Tanya James sambil membuat kopi untuk dirinya sendiri.Disya yang elihat James sudah keluar dengan stelan rapi hanya tersenyum, “Iya kak, aku hanya masak nasi goreng. Di kulkas tak ada bahan lainnya, nanti aku beli bahan untuk memasak.” Ucap Disya ang terlihat lebih baik dibanding semalam.James melihat itu hanya mengangguk dan meminum kopinya, ditengah lamunannya dia teringat jika pagi ini dia tak merasakan mual seperti pagi-pagi sebelumnya.Tanpa sadar dia melirik ke arah Disya yang tampak bersenandung menyia
“Selamat sayang, kau berhasil mendapatkan gelar spesialis bedah umum mu di usia dua puluh empat tahun. Ini hadiah dari kakak.” Ucap Ethan dengan penuh kasih pada adiknya yang baru menerima gelarnya yang baru.Claire tersenyum, lalu mencium pipi kakaknya dengan singkat. “Terima kasih kakak, tapi aku lebih suka mobil baru, hehe.”Ethan yang mendengar itu mencubit hidung adiknya dengan gemas, semenjak mereka hidup berdua di Jerman dan jauh dari ayah ibu, mereka tampak lebih akrab dan saling bergantung satu sama lain.Bahkan demi sang adik bisa aman, Ethan rela memindahkan kantor perusahaannya ke Jerman meskipun menghabiskan dana yang cukup besar. Tapi demi keselamatan dan keamanan putri tunggal Filbert, Ethan rela menghabiskan segalanya.“Ayah ibu tidak bisa datang?” Tanya Claire sambil melihat ke kanan dan ke kiri melihat apakah ada orang tuanya disana.“Ayah ibu baru bisa terbang besok, ada badai yang membuat penerbangan harus diundur.” Jawab Ethan dengan lembut.Claire mengangguk, tak
“Cepat bawa dia langsung menuju ke ruang operasi setelah sampai di rumah sakit. Aku lihat ada pendarahan hebat di kepalanya.” Ucap Claire dengan serius pada perawat yang datang dengan ambulans yang kebetulan mereka bekerja di rumah sakit yang sama.“Baik dokter Claire, apa anda juga langsung ke rumah sakit bersama kami?”Claire melihat ke arah polisi yang sedang memeriksa kejadian, dia sepertinya harus mengurus urusan ini lebih dulu.“Aku akan menyusul, minta dokter Flo untuk menanganinya dahulu. Aku akan menghubunginya sekarang.” Ucap Claire.Mereka mengangguk dan segera membawa pria itu ke rumah sakit, sedangkan Claire mendekati polisi.“Apa anda pemilik mobil BMW ini, nona?”Claire mengangguk, “Maafkan saya, saya terlah membuat kekacauan besar. Tapi saya akan mengikuti proses hukum, tapi tolong jangan cegah aku untuk pergi saat ini.” Ucap Claire sambil menunjukkan kartu identitasnya.“Saya seorang dokter bedah di Hamburg. Saat ini korban membutuhkan saya untuk melakukan operasi kar
"Sweety, kenapa kamu melamun, hm?" tanya Dariel dengan lembut, melihat putrinya yang tampak melamun saat mereka tengah makan malam bersama. Makanan di piring Claire masih utuh dan sudah mulai dingin.Claire terkejut dari lamunannya dan memaksakan senyum. "Oh, tidak ada, Ayah. Aku hanya lelah," jawabnya sambil mencoba menyuapkan makanan ke mulutnya. Tapi, rasa makanannya seolah tidak ada di lidahnya. Pikirannya terus berputar memikirkan pernikahan dadakannya dengan pria yang dia tabrak pagi ini.Lucia, yang duduk di seberang meja, melihat putrinya dengan penuh perhatian. "Sayang, kau terlihat sangat khawatir. Apakah ada sesuatu yang ingin kamu ceritakan kepada kami?"Claire menggigit bibirnya, merasa beban rahasia ini terlalu berat untuk dipikul sendiri. Tapi menceritakan sekarang bukanlah waktu yang tepat."Benar-benar tidak ada apa-apa, Ibu," kata Claire dengan suara pelan. "Aku hanya perlu waktu untuk menyesuaikan diri dengan semua perubahan ini."Ethan, yang duduk di sebelah Claire
"Pisau bedah," titah Claire sambil mengulurkan tangannya. Perawat segera menyerahkan instrumen itu kepadanya.Dengan pakaian serba tertutup dan tangan yang mantap, Claire memulai operasi pada kakek buyutnya. Tekanan sangat besar, tapi dia tahu bahwa setiap tindakan harus dilakukan dengan hati-hati dan presisi. Dia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuat sayatan pertama"Berikan aku suction," pintanya lagi, perawat dengan sigap memberikannya alat tersebut.Claire bekerja dengan teliti, membuka jalan menuju area pendarahan yang perlu diperbaiki. Suasana di ruang operasi sangat tenang, hanya terdengar suara instruksi Claire dan respons cepat dari tim medisnya. Waktu terasa melambat saat Claire melakukan setiap langkah dengan hati-hati, memastikan tidak ada kesalahan yang terjadi."Clamp," ucapnya, dan instrumen berikutnya diserahkan kepadanya.Dia berhasil menemukan sumber pendarahan—sebuah pembuluh darah yang pecah. Dengan tangan yang stabil, Claire memperb