Setelah semalam menangisi nasib hubungannya dengan Sakha yang telah kandas, pagi ini Tabitha bisa sedikit lebih rileks saat mengitari rumah yang selama beberapa bulan terakhir ini hanya menjadi tempat persinggahan sementara untuk dirinya. Meski masih ada rasa sesak jika mengingat-ingat lagi berbagai kenangan manis yang pernah ia bagi bersama Sakha di rumah itu, Tabitha lebih bisa mengontrolnya. Bosan dan lelah berkeliling rumah yang terasa sepi dan kosong, Tabitha pun menonton film di kamar ditemani sebaskom popcorn yang ia buat sendiri—Tabitha meminta Jona membelikan bahan-bahannya dan mengirimkannya lewat gosend. Tabitha merampungkan dua judul film saat matahari kembali ke peraduannya. Niatnya tadi Tabitha mau melanjutkan untuk menonton film ketiga, tetapi badannya yang terasa lengket karena keringat memaksa wanita untuk meninggalkan kamar sejenak dan mandi. Tak lupa, Tabitha mengantongi ponselnya sebelum beranjak ke kamar mandi. Tabitha teringat pesan Sakha supaya ia ke mana-ma
Tiga jam kemudian, Tabitha sudah kembali duduk nyaman dengan kedua kaki berselonjor di sofa ruang keluarga sembari menonton TV. Di rumah sakit tadi, Tabitha dan Sakha harus menunggu hampir dua jam karena dokter yang mengoperasi Tabitha beberapa hari lalu sedang ada jadwal operasi. Sebenarnya, perawat yang bertugas di rumah sakit tadi sudah menawarkan agar Tabitha bisa ditangani dokter lain tetapi Tabitha tidak mau dan bersikukuh menunggu dokternya yang kemarin kembali menjahit luka bekas jahitan di kaki Tabitha yang terbuka agar tidak terkena infeksi. Keadaan Tabitha cukup stabil sehingga tidak perlu rawat inap dan bisa langsung pulang setelah Sakha mengurus administrasi. Tabitha tidak diresepkan obat apa-apa karena obat sebelumnya masih belum habis dan juga karena tidak ada luka baru—selain memar di keningnya yang membiru, yang sudah dikompres dengan air dingin agar tidak bengkak esoknya. "Kamu nggak kabarin Mama kan, Kha?" Tabitha setengah berteriak karena Sakha sedang berada di da
Berdasarkan penjelasan singkat Sakha kepada Tabitha, laki-laki itu sedang mempersiapkan sebuah pameran tunggal di Jakarta. Itulah sebabnya, Sakha lebih banyak berada di luar rumah setelah kembali dari luar negeri beberapa minggu lalu. Sakha juga jadi sering datang ke kantor pusat NatGeo untuk meeting dengan Pramudya yang secara pribadi mensponsori pameran Sakha. Namun, karena sekarang Sakha juga punya tugas 'mengawasi' Tabitha atas inisiatifnya sendiri, Sakha seenak udelnya mengubah jadwal meeting di kantor menjadi meeting online agar Sakha tidak perlu meninggalkan rumah."Kenapa bukan kantor kamu yang kasih sponsor? Kan kamu udah mengabdi di sana bertahun-tahun, tuh," tanya Tabitha saat mereka mengobrol di sela-sela sarapan pagi tadi."Ada sponsor dari kantor juga kok. Tapi bosku lagi pengen buang-buang duit katanya. Soalnya bosku juga yang bujukin aku buat gelar pameran ini," jelas Sakha.Menyambut pagi pertama mereka tinggal bersama—sebagai dua orang asing yang tak terikat hubungan
"Kalau kamu datang ke sini hanya untuk berkencan dengan ponselmu, sebaiknya kamu pulang saja. Keberadaan kamu di sini cuma mengganggu," sindir Pramudya secara terang-terangan."Sorry, Bos." Sakha tersenyum tak enak hati terhadap Pramudya lalu memasukkan ponselnya ke saku jaket setelah untuk terakhir kalinya mengecek balasan dari Tabitha yang masih tak kunjung didapatkannya."Saya jadi nggak yakin lagi sebenarnya yang mau menggelar pameran itu kamu atau saya," dengus Pramudya.Wajar saja Pramudya kesal. Pria itu sengaja menyempatkan waktu demi anak buahnya yang hari ini membuat janji temu dengan pemilik gedung yang merupakan teman lama Pramudya.Untung saja, Dru Kalfani, si pemilik gedung sedang keluar sebentar untuk menerima telepon. Sehingga Sakha tidak malu karena terpergok fokus pada hal lain yang tak ada hubungannya dengan urusan mereka siang itu."Apa ada hal yang jauh lebih menarik dibandingkan dengan kesempatan langka untuk bertemu Dru Kalfani yang mau berbaik hati menyempatkan
"Aku setuju kita tinggal bareng bukan buat hal kayak gini ya, Kha," kesal Tabitha seraya memelototi Sakha.Tabitha merasa sangat tak enak hati kepada Haga yang tak lama kemudian pamit pergi karena suasana di rumah Tabitha mendadak canggung setelah kedatangan Sakha. Jika saja Sakha bisa menjaga sikap, dan setidaknya mau beramah tamah sedikit saja kepada Haga, pasti Tabitha tidak akan sekesal ini. Masalahnya, Sakha bersikap sangat kekanak-kanakan di depan Haga, mengusir Haga secara halus dengan mengatakan bahwa Tabitha harus banyak istirahat dan tidak boleh diganggu. Seperti sedang mengusir anak tetangga yang bermain sejak pagi hingga mengganggu waktu tidur siang. Benar-benar tidak masuk akal."Hal kayak gini? Apa sih maksudmu, Bee?" Sakha pura-pura bodoh seraya memutar tubuh untuk mengambil air minum dingin di dalam kulkas."Kamu sengaja ngusir Haga karena kamu nggak suka lihat dia ada di sini. Aku benar, kan?""Aku nggak ngusir," elak Sakha. "Bagus lah kalau dia tahu diri untuk langsu
"Lo... APA?!"Suara Albert terdengar begitu keras hingga membuat Sakha dan Alex refleks menutupi telinga."Minggu lalu Tabitha kecelakaan di depan mata gue dan selama seminggu terakhir ini gue nemenin dia di rumah sakit sampai dipulangkan," jelas Sakha lagi. "Gue udah jelasin lebih dari sekali tapi lo dari tadi kayak orang budeg," sewot laki-laki itu yang wajahnya tampak sangat kuyu.Pengusiran Tabitha dari rumahnya beberapa jam yang lalu karena Sakha bertingkah 'kurang menyenangkan' di hadapan tamu Tabitha membuat laki-laki itu sekarang terdampar di apartemen Albert. Sebelum menuju apartemen Albert tadi, Sakha lebih dulu merecoki Alex yang masih berada di kantor firma hukumnya itu. Dengan setengah memaksa, Sakha berhasil membuat Alex menunda pekerjaannya sejenak hanya karena Sakha beralasan sedang berada dalam masalah darurat yang harus segera diselesaikan dan laki-laki itu membutuhkan kedua sahabatnya untuk berdiskusi."Gue denger, Kha. Gue cuma kaget. Kenapa lo baru cerita, sih, Ba
"Sebelum kamu pergi, kamu bisa beresin semua barang-barang kamu yang udah kamu bawa ke sini semalam. Aku nggak butuh apa-apa dan aku nggak akan menghubungi kamu lagi."Dua kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Tabitha. Tabitha sudah sejak pukul sembilan tadi bergelung di balik selimut, tetapi matanya sama sekali tak bisa dipejamkan hingga kini waktu menunjukkan pukul setengah satu pagi.Sejak Sakha pergi beberapa jam yang lalu dan amarah Tabitha sudah mereda, Tabitha perlahan merasa bahwa perkataannya saat mengusir Sakha tadi keterlaluan. Padahal, ia bisa saja menanggapi dengan lebih santai, tetapi ia malah meledak-ledak. Seperti bukan dirinya yang biasanya.Karena rasa bersalah yang bercokol di dadanya, Tabitha sudah beberapa kali nyaris menghubungi Sakha dan menanyakan keberadaan laki-laki itu, tetapi selalu mengurungkan niatnya di detik-detik terakhir. Tabitha takut dengan respons Sakha yang mungkin sudah tidak bisa menoleransi setiap tindakan semena-mena Tabitha.'Bukankah
"Bee, kamu kok malah bikin kopi bukannya tidur lagi? Ini jam dua pagi lho! Kamu mau ngapain?" tanya Sakah bertubi-tubi saat laki-laki itu muncul sekitar dua puluh menit kemudian. Suara itu kontan saja menyentak lamunan Tabitha yang tengah menyeduh kopi. Wanita itu mendongak untuk mendapati Sakha berdiri di depannya, terpisahkan oleh meja makan. Sakha mencangklong travel bag yang baru kemarin dibawanya ke rumah itu. "Kamu mau kopi juga?" Tabitha berusaha mengenyahkan rasa takut kehilangan yang tiba-tiba mencekiknya. Sakha mengernyitkan kening. Tampak bingung dengan sikap santai Tabitha. "Mau atau enggak?" tanya Tabitha lagi yang sudah akan langsung beranjak mengambil satu cangkir bersih. Sakha pun menggeleng. "Aku ke sini bukan untuk ngopi sama kamu." Tabitha membelalak. Terlalu kaget dengan jawaban yang dilontarkan laki-laki itu. Sakha sontak menyadari respons-nya agak ketus dan ia segera meralat, "Maksudku, aku sengaja datang jam segini biar nggak bikin kamu repot." Tabitha ti
[Yunani 2026] Tabitha terbangun dari tidurnya karena mendengar suara debur ombak yang menyapa telinga. Ketika kedua matanya telah sepenuhnya terbuka, wanita itu langsung dihadapkan pada pemandangan indah yang membuat senyum manisnya terukir. Yaitu punggung liat suaminya yang tak terbalut sehelai kain menjadi yang pertama Tabitha lihat. Laki-laki itu berdiri membelakanginya, dengan kedua tangan bersandar di pagar balkon kamar. Senyumnya melebar kala sang suami menyadari kalau ia telah bangun dan sosok itu berbalik untuk menatapnya. "Selamat pagi, Istriku." Sapaan itu membuat wajah Tabitha memerah. Gara-gara panggilan yang terdengar manis itu juga kemarin Tabitha berakhir telanjang di atas tempat tidur sesaat setelah mereka tiba di kamar dengan pemandangan menakjubkan itu. Mereka bergumul di atas ranjang hingga tengah malam, sama-sama banjir peluh dan kelelahan, tetapi banjir kenikmatan. Tanpa sempat menikmati pemandangan yang disuguhkan salah satu pulau di Yunani yang menjadi dest
Pada pernikahan pertamanya dengan Sakha, banyak tangis yang diam-diam Tabitha pendam setiap kali wanita itu kembali mendapatkan tamu bulanan. Pada saat memasuki tahun kedua pernikahan, Tabitha masih belum terlalu mempermasalahkannya. Ia masih bisa berpikir positif dan menganggap bahwa ia belum siap menjadi ibu. Bahwa ia masih diberi waktu oleh Tuhan untuk menyiapkan mental. Tabitha memilih menikmati hari demi harinya bersama Sakha. Merajut cinta yang terus bertumbuh seiring berjalannya waktu.Tabitha baru mulai khawatir saat tahun ketiga, sudah mulai ikut promil, tetapi malam-malam penuh cintanya bersama Sakha tak juga menghadirkan bayi di dalam perutnya. Terlebih mengetahui Sakha yang sudah sangat mengharapkan kehadiran anak, Tabitha jadi gundah gulana.Hati Tabitha remuk setiap kali Sakha mengecup perutnya dan membisikkan doa agar usahanya membuahkan hasil, tetapi esok harinya Tabitha mendapati bercak merah di celana dalamnya. Dan yang lebih menyakitkan adalah ketika Tabitha sudah t
Rachel Kalila Ramadhani."Halo, anak Ayah."Sakha memandangi bayi mungil yang masih merah dari balik kaca dengan mata yang berkaca-kaca. Sudah sejak berpuluh-puluh menit ia berdiri di sana. Ia sangat bahagia karena akhirnya bisa menyambut buah cintanya bersama Tabitha, tetapi juga teramat patah hati karena tidak bisa langsung merengkuh anak gadisnya yang masih harus mendapatkan beberapa penanganan medis khusus.Karena sudah harus lahir beberapa minggu sebelum HPL, berat badannya saat ini hanya 2,4 kilogram. Laju pernapasannya masih belum teratur sehingga harus dibantu alat pernapasan yang terpasang di hidungnya. Istrinya saat ini sedang beristirahat di kamar inap setelah operasi caesar yang harus dilaluinya karena kondisi medis darurat.Tadi, saat harus mendengar berita itu disampaikan oleh dokter dan istrinya menangis karena mengkhawatirkan kondisi bayinya, Sakha nyaris ikut meneteskan air mata. Ia benar-benar tidak tega melihat sang istri yang menahan sakit di perut sekaligus terte
"Lho, Bee? Kok belum ganti baju?" Sakha mengernyit bingung melihat istrinya belum selesai bersiap-siap. Istrinya masih mengenakan jubah mandi seperti satu jam yang lalu. Bedanya, wajahnya sekarang sudah full make-up. Menambah kesan cantik yang memikat Sakha meski hanya melihat wajah istrinya dari samping. "Aku bingung mau pakai baju apa," gumam Tabitha. Masih betah memandangi deretan gaun di dalam lemari yang pintunya telah terbuka lebar-lebar. "Semalam bukannya udah kamu siapin sama baju aku sekalian, Bee?" Tidak hanya itu. Sebenarnya sudah sejak jauh-jauh hari Tabitha membeli gaun--yang serasi dengan batik yang dikenakan Sakha sekarang--untuk dipakai saat resepsi pernikahan Haga dan Meg. Sakha mendekat kepada istrinya dan ikut melongok ke dalam lemari lalu meraih gaun berwarna salem yang langsung terlihat di matanya. "Pakai ini, kan?" Tabitha merengut saat melihat ke arah suaminya. "Aku kelihatan makin gendut kalau pakai ini. Mau pakai yang lain tapi bingung. Semua baju yang
Mata Tabitha mulai berkaca-kaca karena tidak bisa menahan rasa haru yang mengisi dadanya karena dua nama yang sarat makna indah yang sudah disiapkan oleh suaminya itu. Saat menyinggung soal nama anak tadi dan mendengar fakta kalau suaminya telah menyiapkan dua nama untuk calon anak mereka, Tabitha sama sekali tidak berekspektasi tinggi. Tetapi begitu mendengar Sakha mengucapkan dua nama itu dengan tatapan penuh cinta, bahkan sampai menjelaskan arti namanya masing-masing, Tabitha langsung tahu bahwa Sakha telah mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh. Tidak asal mencomot nama dari internet karena tampak bagus dipadu-padankan. Dan hal itu membuat Tabitha semakin tak bisa menahan air matanya. "Bee, kok nangis? Kamu nggak suka, ya?" Sakha mendadak panik. Tampak rasa khawatir yang pekat membayangi wajahnya. Ia langsung mencerocos panjang lebar. "Aku nggak akan maksa kamu pakai nama itu kalau nama yang aku siapin nggak sesuai harapan kamu kok. Maaf, Bee. Udah ya? Jangan nangis lagi. Kala
"Kalian kenapa lebay banget, sih? Gue nggak papa kali!" keluh Albert yang sama sekali tidak terlihat baik-baik saja, seperti yang diucapkannya barusan.Laki-laki itu masih telungkup di atas tempat tidur, hanya mengenakan celana pendek dan singlet. Aroma tidak sedap karena sisa-sisa alkohol memenuhi kamarnya yang terang benderang karena cahaya dari lampu."Lo nggak inget semalem nelepon gue sampai nyaris dua jam? Kuping gue sampai panas denger lo ngomong sambil kumur-kumur!" cibir Ranis seraya membuka gorden dan jendela.Sementara Tabitha menyingkirkan pakaian-pakaian kotor milik Albert yang bertebaran di lantai. Memasukkannya ke dalam keranjang kotor yang ada di dekat pintu kamar mandi.Bukannya merasa bersalah, Albert malah cengengesan. "Masa, sih?""Lo bikin gue kurang tidur gara-gara nungguin Sakha nggak balik-balik tau nggak!" omel Tabitha menimpali keluhan Ranis yang diganggu malam-malam oleh curhatan Albert di telepon. "Kenapa jadi gue yang salah? Sakha yang inisiatif nemenin g
Tabitha sudah berniat memanjangkan durasi marahnya kepada Sakha, tetapi kemarahannya dengan ajaib menguap saat ia bangun pagi. Menatap wajah sang suami yang masih lelap dalam tidur damainya membuat senyum wanita itu terkembang lebar. Tidak adanya bau alkohol atau bau rokok yang tersisa seperti saat semalam laki-laki itu pulang semakin melebarkan senyum di wajahnya. "Ganteng banget sih laki gue," gumam wanita itu setelah mengecup pipi Sakha yang agak kasar karena jambang ttipisnya yang sudah mulai tumbuh. Sakha tidak terganggu sama sekali dengan tindakan Tabitha barusan, membuat Tabitha gemas lalu mencubit hidung mancung suaminya pelan. Dan detik kemudian wanita hamil itu tertawa kecil karena tingkah lakunya sendiri. Belakangan ini, Tabitha punya lebih banyak alasan untuk bersyukur setiap menemukan sosok Sakha ada di sampingnya ketika membuka mata. Dari mulai hal-hal sederhana seperti bisa menyantap sarapan bersama, berangkat ke kantor diantar sang suami sembari mengobrolkan agenda h
Wajah merah padam Tabitha menjadi pemandangan pertama saat Sakha muncul di rumah pada pukul sebelas malam. "Sayang, kok belum tidur?" Sakha tetap memangkas jarak meski sang istri menunjukkan gelagat tidak ingin berdekatan dengannya, yang telat pulang ke rumah itu. Sebenarnya, ekspresi Tabitha tidak tampak menakutkan. Pipi gembil yang semakin menonjol karena rambut pendeknya dan perut buncitnya yang terbalut daster selutut itu membuat wanita itu malah tampak manis dan memesona. Namun, tentu saja Sakha tidak akan mengucapkannya terang-terangan di saat sang istri sedang marah. Itu cari mati namanya. "Bee—" "Nggak usah pegang-pegang!" Tabitha berkacak pinggang. Dasternya terangkat naik dan kedua sisi daster di pinggangnya sedikit tertarik oleh kedua tangan, semakin menunjukkan perut bulatnya yang berisi calon bayi mereka. Sakha batal merengkuh sang istri dalam pelukan. "Aku beliin kamu sate Padang. Tadi kamu katanya pengen—" "Kamu pikir aku bakal nggak marah lagi cuma dengan sogokan
"Kenapa, Sayang?" Sakha menolehkan kepala, menatap sang istri yang baru saja menyuarakan pertanyaan setelah lima belas menit perjalanan pulang dari restoran. "Kenapa?" Dan ia malah mengulang pertanyaan itu. Tabitha mengendikkan bahu. "Kamu kelihatan nggak fokus gitu. Ada yang mengganggu kamu soal hubungan Haga sama Meggie?" "It's not like that," balas Sakha. Ia mendesah kecil. "Rasanya aneh aja memikirkan bagaimana takdir bekerja." Tawa ringan Tabitha memenuhi mobil. "It's kinda surprising, right?" Sakha mengangguk setuju. Menilik pada kisah cintanya dengan Tabitha, yang sempat runtuh dan terpisah. Lalu, suatu waktu, mereka dipertemukan oleh takdir di saat keduanya sudah berusaha keras untuk bangkit di jalan masing-masing. Hingga di satu titik mereka dipersatukan kembali dalam keadaan yang utuh dan saling melengkapi. Sakha tidak akan pernah bisa berhenti takjub pada bagaimana semesta mengejutkannya. "More than that, aku beneran syok lihat Haga ternyata bisa sebucin itu," gumam T