Proyek yang dikerjakan Sakha dan timnya di beberapa negara selesai dalam kurun waktu lima bulan. Satu bulan lebih cepat dari batas waktu maksimal yang ditargetkan. Namun, Sakha tidak langsung kembali ke Indonesia. Negara yang terakhir dikunjungi adalah China. Meski jaraknya lebih dekat untuk ke Indonesia, Sakha memutuskan untuk ikut David kembali ke Washington DC sementara teman-teman satu timnya memilih untuk pulang ke negara masing-masing selama dua minggu. "Saya nggak biasa meninggalkan pekerjaan sebelum benar-benar selesai." Begitu alasan Sakha saat David bertanya kenapa ia tidak ikut pulang seperti teman-temannya yang lain. Setelah berkeliling di beberapa negara, pekerjaan tidak lantas selesai begitu saja. Mereka masih harus membuat laporan, mengedit hasil foto dan video sebelum nanti mendapat jatah untuk diunggah di sosial media, di chanel TV NatGeo, dan di website resmi. Sementara itu, film dokumenter pendek yang mereka buat hanya akan tayang di chanel TV NatGeo, dan juga saa
Setelah meninggalkan kantor, Sakha tidak langsung pulang ke rumah. Tiba-tiba saja ia ingin jalan-jalan sebentar. Meski Sakha meninggalkan Jakarta tidak terlalu lama, ternyata ia rindu juga bagaimana kebisingan kota yang biasanya membuat Sakha kesal. Menyusuri trotoar seorang diri, Sakha tidak bisa untuk tidak mengingat Tabitha, yang lagi-lagi gagal ia singkirkan dari kepala meski sudah ribuan kilometer jauhnya ia pergi selama berbulan-bulan kemarin. Parahnya lagi, jarak yang membentang itu malah semakin membuat Sakha terus-menerus memikirkan Tabitha dan kenangan yang mereka punya dulu saat masih menikah. Ah, postcard yang Sakha kirimkan itu pasti sudah diterima Tabitha. Sakha memang sempat merutuki kebodohannya yang dengan impulsif mengirimkan postcard dari beberapa negara yang Sakha kunjungi saat bekerja. Dulu, Sakha memang senang mengirimkan postcard setiap kali harus meninggalkan Tabitha sendirian di rumah.Itu sudah menjadi kebiasaan. Dan rupanya kebiasaan itu tidak lantas terlup
Seperti dejavu, Sakha ingat saat pertama kalinya ia berada dalam kondisi bingung dan kalang kabut saat Tabitha sakit. Sakha lupa tepatnya kapan, tetapi saat itu tengah malam ketika Tabitha merintih kesakitan dalam tidurnya, badannya panas dan berkeringat dingin. Dengan panik Sakha memeluk istrinya, lalu menggendongnya ke mobil dan membawanya ke rumah sakit. Setelah mendapat penanganan di IGD, rupanya Tabitha terkena usus buntu dan harus segera dioperasi. Tidak bisa dibayangkan bagaimana takutnya Sakha saat itu. Sakha sudah hampir menangis saat harus menghubungi Ibu dan juga mama mertuanya untuk mengabarkan keadaan Tabitha. Bahkan saat Tabitha sudah pulih dari operasi, Sakha masih tidak tenang. Banyak ketakutan yang mendera hingga laki-laki itu sendiri nyaris tumbang karena saking lelahnya dan terlalu banyak pikiran. "Hubungan Bapak dengan pasien?" tanya dokter pria yang baru saja mengecek kondisi Tabitha dan mengobati luka-luka yang tampak di mata. Pertanyaan itu membuat Sakha bung
Selama Sakha mengobrol di telepon tadi, Tabitha tidak bisa untuk pura-pura tidak mendengar bagaimana luwesnya laki-laki itu menyebut "Mama" seperti ia dan Sakha tidak pernah berpisah saja. Sama seperti Tabitha yang tidak bisa menanggalkan panggilan "Ibu" kepada mantan ibu mertuanya.Jika dipikir-pikir lagi, bukannya Tabitha tak bisa mengubah panggilan kembali menjadi "Tante" kepada mantan ibu mertuanya seperti sebelum ia menikah dengan Sakha, pasti Sakha pun juga demikian, hanya saja Tabitha tidak mencoba untuk mengubahnya. Sebab, meski hubungannya dengan Sakha sudah kandas, meski hubungan Tabitha dengan mantan ibu mertuanya sudah tak sama lagi, Tabitha masih ingin mempertahankan setidaknya satu hal baik yang pernah ia miliki dulu. Ya, menjadi menantu Ibu adalah hal baik yang seolah tidak ingin Tabitha tinggalkan.Tabitha mengernyitkan dahi saat merasakan sedikit pusing menyerang kepala. Efek dari jatuh tadi, juga karena keberadaan Sakha di dekatnya membuat kepala Tabitha berdenyut-de
Haloooo~~~ maaf aku baru update lagi :') Semoga masih ada yang nungguin yaaa hihihi Selamat membaca^^ . . *** . . Sejak dulu Tabitha membenci bau rumah sakit. Ketika ia sedang sakit, bila belum benar-benar suda gawat, untuk minum obat saja seringkali Tabitha melewatkannya dan membiarkan sakit di tubuhnya hilang sendiri meski butuh waktu yang lebih lama. Namun, itu sekarang tidak sebanding dengan keberadaan Sakha yang masih tetap tinggal meski Mama sudah datang sejak satu jam yang lalu. Andai saja bisa memilih, Tabitha akan memilih untuk menetap di rumah sakit saja ketimbang harus berada di satu ruangan yang ada Sakha di dalamnya, bahkan hanya untuk beberapa jam ke depan. Bukan. Bukan berarti Tabitha membenci Sakha sedalam itu. Tentu saja tidak. Tak ada alasan untuk betul-beful membenci lelaki yang dulu sangat Tabitha cintai itu. Tabitha hanya tidak menyukai keadaan yang memaksanya harus ada di dekat Sakha, di saat fisiknya yang sedang tidak baik-baik saja bisa dengan mudah m
Terbangun setelah entah berapa jam tertidur, badan Tabitha rasanya sakit semua. Bukan Mama yang pertama Tabitha lihat saat sudah berhasil menyesuaikan pandangannya dengan cahaya yang masuk ke mata, tetapi punggung seorang laki-laki yang sedang menempelkan ponsel di telinga. Tabitha butuh waktu beberapa detik untuk tahu siapa sosok itu. Sakha. Ternyata, lagi-lagi laki-laki itu mengingkari ucapannya sendiri. “Saya lagi ada urusan keluarga yang penting., Bos. Saya ke kantor besok atau lusa, atau kapan-kapan lagi kalau urusan saya sudah beres,” kata Sakha dengan nada agak kesal. Tabitha nyaris mendengus. Urusan keluarga katanya? Bukankah Sakha sudah berjanji akan segera enyah dari hadapan Tabitha begitu wanita itu selesai dioperasi? Tetapi kenapa Sakha masih ada di sini dan malah membuat alasan tak masuk akal begitu saat bicara dengan bosnya? Atau sesungguhnya ada acara keluarga lain yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Tabitha? Sakha mendesah dan berkata lagi, “Ada kelu
Seperti yang sudah Tabitha duga, Sakha terus membuat bermacam-macam alasan untuk menggantikan Mama menemani Tabitha di rumah sakit hingga wanita itu dipulangkan. Tabitha tak punya argumen kuat yang bisa membuat Mama berpihak padanya. Dua hari yang lalu saat Sakha sedang pulang ke rumah, Tabitha berdebat dengan Mama soal keberadaan Sakha yang sangat mengganggunya. Tabitha ingin Sakha pergi, tetapi Mama malah senang-senang saja bertemu Sakha setiap hari. Sakha dan Mama seolah kembali pada masa-masa di mana Sakha masih menjadi menantu kesayangan Mama. “Sakha itu lebih telaten mengurus kamu daripada Mama. Mama ngomel sampai capek buat mendisiplinkan kamu waktu sakit aja kamu tetap nggak mau mendengarkan Mama. Tapi kalau ada Sakha kamu lebih nurut. Mama jadi nggak capek. Mama nggak perlu meninggalkan Papa di rumah cuma sama perawat untuk jaga kamu di rumah sakit. Lihat sekarang, kamu juga jadi lebih cepat pulih, kan?” omel Mama saat itu. “Iya, aku cepat pulih, tapi sekarang sakitnya pin
Tabitha dan Jona sudah selesai makan dan mereka sedang bergosip tentang bos di kantor yang saat Sakha kembali ke kamar Tabitha. “Lama banget, Kha. Emang antre banyak di administrasi?” Jona mewakili Tabitha bertanya. Sakha memang pergi cukup lama sampai Tabitha mengira Sakha tidak akan kembali lagi karena lelah berdebat dengan dirinya tadi. “Nggak kok. Tadi gue ada urusan lain.” Sakha mendekat sembari memfokuskan tatapan pada Tabitha. “Bee, aku abis ngobrol lagi sama Mama tadi.” “Masih soal di mana aku harus tinggal selama aku belum senormal biasanya?” Tabitha membalas dengan agak nyinyir. “Jadi, kamu punya tiga pilihan. Dan kamu harus pilih salah satu, nggak boleh cari opsi lain. Harus di antara tiga itu. Ngerti?” Tabitha benar-benar geram karena Sakha tampak sangat bossy. “Aku udah nahan diri dari empat hari terakhir ini ya, Kha. Tapi makin didiamkan kenapa kamu makin nggak tahu diri, sih?” “Ini buat kebaikan kamu, Bee.” “Kamu nggak ada hak buat ngatur-ngatur aku! Kamu siapa,
[Yunani 2026] Tabitha terbangun dari tidurnya karena mendengar suara debur ombak yang menyapa telinga. Ketika kedua matanya telah sepenuhnya terbuka, wanita itu langsung dihadapkan pada pemandangan indah yang membuat senyum manisnya terukir. Yaitu punggung liat suaminya yang tak terbalut sehelai kain menjadi yang pertama Tabitha lihat. Laki-laki itu berdiri membelakanginya, dengan kedua tangan bersandar di pagar balkon kamar. Senyumnya melebar kala sang suami menyadari kalau ia telah bangun dan sosok itu berbalik untuk menatapnya. "Selamat pagi, Istriku." Sapaan itu membuat wajah Tabitha memerah. Gara-gara panggilan yang terdengar manis itu juga kemarin Tabitha berakhir telanjang di atas tempat tidur sesaat setelah mereka tiba di kamar dengan pemandangan menakjubkan itu. Mereka bergumul di atas ranjang hingga tengah malam, sama-sama banjir peluh dan kelelahan, tetapi banjir kenikmatan. Tanpa sempat menikmati pemandangan yang disuguhkan salah satu pulau di Yunani yang menjadi dest
Pada pernikahan pertamanya dengan Sakha, banyak tangis yang diam-diam Tabitha pendam setiap kali wanita itu kembali mendapatkan tamu bulanan. Pada saat memasuki tahun kedua pernikahan, Tabitha masih belum terlalu mempermasalahkannya. Ia masih bisa berpikir positif dan menganggap bahwa ia belum siap menjadi ibu. Bahwa ia masih diberi waktu oleh Tuhan untuk menyiapkan mental. Tabitha memilih menikmati hari demi harinya bersama Sakha. Merajut cinta yang terus bertumbuh seiring berjalannya waktu.Tabitha baru mulai khawatir saat tahun ketiga, sudah mulai ikut promil, tetapi malam-malam penuh cintanya bersama Sakha tak juga menghadirkan bayi di dalam perutnya. Terlebih mengetahui Sakha yang sudah sangat mengharapkan kehadiran anak, Tabitha jadi gundah gulana.Hati Tabitha remuk setiap kali Sakha mengecup perutnya dan membisikkan doa agar usahanya membuahkan hasil, tetapi esok harinya Tabitha mendapati bercak merah di celana dalamnya. Dan yang lebih menyakitkan adalah ketika Tabitha sudah t
Rachel Kalila Ramadhani."Halo, anak Ayah."Sakha memandangi bayi mungil yang masih merah dari balik kaca dengan mata yang berkaca-kaca. Sudah sejak berpuluh-puluh menit ia berdiri di sana. Ia sangat bahagia karena akhirnya bisa menyambut buah cintanya bersama Tabitha, tetapi juga teramat patah hati karena tidak bisa langsung merengkuh anak gadisnya yang masih harus mendapatkan beberapa penanganan medis khusus.Karena sudah harus lahir beberapa minggu sebelum HPL, berat badannya saat ini hanya 2,4 kilogram. Laju pernapasannya masih belum teratur sehingga harus dibantu alat pernapasan yang terpasang di hidungnya. Istrinya saat ini sedang beristirahat di kamar inap setelah operasi caesar yang harus dilaluinya karena kondisi medis darurat.Tadi, saat harus mendengar berita itu disampaikan oleh dokter dan istrinya menangis karena mengkhawatirkan kondisi bayinya, Sakha nyaris ikut meneteskan air mata. Ia benar-benar tidak tega melihat sang istri yang menahan sakit di perut sekaligus terte
"Lho, Bee? Kok belum ganti baju?" Sakha mengernyit bingung melihat istrinya belum selesai bersiap-siap. Istrinya masih mengenakan jubah mandi seperti satu jam yang lalu. Bedanya, wajahnya sekarang sudah full make-up. Menambah kesan cantik yang memikat Sakha meski hanya melihat wajah istrinya dari samping. "Aku bingung mau pakai baju apa," gumam Tabitha. Masih betah memandangi deretan gaun di dalam lemari yang pintunya telah terbuka lebar-lebar. "Semalam bukannya udah kamu siapin sama baju aku sekalian, Bee?" Tidak hanya itu. Sebenarnya sudah sejak jauh-jauh hari Tabitha membeli gaun--yang serasi dengan batik yang dikenakan Sakha sekarang--untuk dipakai saat resepsi pernikahan Haga dan Meg. Sakha mendekat kepada istrinya dan ikut melongok ke dalam lemari lalu meraih gaun berwarna salem yang langsung terlihat di matanya. "Pakai ini, kan?" Tabitha merengut saat melihat ke arah suaminya. "Aku kelihatan makin gendut kalau pakai ini. Mau pakai yang lain tapi bingung. Semua baju yang
Mata Tabitha mulai berkaca-kaca karena tidak bisa menahan rasa haru yang mengisi dadanya karena dua nama yang sarat makna indah yang sudah disiapkan oleh suaminya itu. Saat menyinggung soal nama anak tadi dan mendengar fakta kalau suaminya telah menyiapkan dua nama untuk calon anak mereka, Tabitha sama sekali tidak berekspektasi tinggi. Tetapi begitu mendengar Sakha mengucapkan dua nama itu dengan tatapan penuh cinta, bahkan sampai menjelaskan arti namanya masing-masing, Tabitha langsung tahu bahwa Sakha telah mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh. Tidak asal mencomot nama dari internet karena tampak bagus dipadu-padankan. Dan hal itu membuat Tabitha semakin tak bisa menahan air matanya. "Bee, kok nangis? Kamu nggak suka, ya?" Sakha mendadak panik. Tampak rasa khawatir yang pekat membayangi wajahnya. Ia langsung mencerocos panjang lebar. "Aku nggak akan maksa kamu pakai nama itu kalau nama yang aku siapin nggak sesuai harapan kamu kok. Maaf, Bee. Udah ya? Jangan nangis lagi. Kala
"Kalian kenapa lebay banget, sih? Gue nggak papa kali!" keluh Albert yang sama sekali tidak terlihat baik-baik saja, seperti yang diucapkannya barusan.Laki-laki itu masih telungkup di atas tempat tidur, hanya mengenakan celana pendek dan singlet. Aroma tidak sedap karena sisa-sisa alkohol memenuhi kamarnya yang terang benderang karena cahaya dari lampu."Lo nggak inget semalem nelepon gue sampai nyaris dua jam? Kuping gue sampai panas denger lo ngomong sambil kumur-kumur!" cibir Ranis seraya membuka gorden dan jendela.Sementara Tabitha menyingkirkan pakaian-pakaian kotor milik Albert yang bertebaran di lantai. Memasukkannya ke dalam keranjang kotor yang ada di dekat pintu kamar mandi.Bukannya merasa bersalah, Albert malah cengengesan. "Masa, sih?""Lo bikin gue kurang tidur gara-gara nungguin Sakha nggak balik-balik tau nggak!" omel Tabitha menimpali keluhan Ranis yang diganggu malam-malam oleh curhatan Albert di telepon. "Kenapa jadi gue yang salah? Sakha yang inisiatif nemenin g
Tabitha sudah berniat memanjangkan durasi marahnya kepada Sakha, tetapi kemarahannya dengan ajaib menguap saat ia bangun pagi. Menatap wajah sang suami yang masih lelap dalam tidur damainya membuat senyum wanita itu terkembang lebar. Tidak adanya bau alkohol atau bau rokok yang tersisa seperti saat semalam laki-laki itu pulang semakin melebarkan senyum di wajahnya. "Ganteng banget sih laki gue," gumam wanita itu setelah mengecup pipi Sakha yang agak kasar karena jambang ttipisnya yang sudah mulai tumbuh. Sakha tidak terganggu sama sekali dengan tindakan Tabitha barusan, membuat Tabitha gemas lalu mencubit hidung mancung suaminya pelan. Dan detik kemudian wanita hamil itu tertawa kecil karena tingkah lakunya sendiri. Belakangan ini, Tabitha punya lebih banyak alasan untuk bersyukur setiap menemukan sosok Sakha ada di sampingnya ketika membuka mata. Dari mulai hal-hal sederhana seperti bisa menyantap sarapan bersama, berangkat ke kantor diantar sang suami sembari mengobrolkan agenda h
Wajah merah padam Tabitha menjadi pemandangan pertama saat Sakha muncul di rumah pada pukul sebelas malam. "Sayang, kok belum tidur?" Sakha tetap memangkas jarak meski sang istri menunjukkan gelagat tidak ingin berdekatan dengannya, yang telat pulang ke rumah itu. Sebenarnya, ekspresi Tabitha tidak tampak menakutkan. Pipi gembil yang semakin menonjol karena rambut pendeknya dan perut buncitnya yang terbalut daster selutut itu membuat wanita itu malah tampak manis dan memesona. Namun, tentu saja Sakha tidak akan mengucapkannya terang-terangan di saat sang istri sedang marah. Itu cari mati namanya. "Bee—" "Nggak usah pegang-pegang!" Tabitha berkacak pinggang. Dasternya terangkat naik dan kedua sisi daster di pinggangnya sedikit tertarik oleh kedua tangan, semakin menunjukkan perut bulatnya yang berisi calon bayi mereka. Sakha batal merengkuh sang istri dalam pelukan. "Aku beliin kamu sate Padang. Tadi kamu katanya pengen—" "Kamu pikir aku bakal nggak marah lagi cuma dengan sogokan
"Kenapa, Sayang?" Sakha menolehkan kepala, menatap sang istri yang baru saja menyuarakan pertanyaan setelah lima belas menit perjalanan pulang dari restoran. "Kenapa?" Dan ia malah mengulang pertanyaan itu. Tabitha mengendikkan bahu. "Kamu kelihatan nggak fokus gitu. Ada yang mengganggu kamu soal hubungan Haga sama Meggie?" "It's not like that," balas Sakha. Ia mendesah kecil. "Rasanya aneh aja memikirkan bagaimana takdir bekerja." Tawa ringan Tabitha memenuhi mobil. "It's kinda surprising, right?" Sakha mengangguk setuju. Menilik pada kisah cintanya dengan Tabitha, yang sempat runtuh dan terpisah. Lalu, suatu waktu, mereka dipertemukan oleh takdir di saat keduanya sudah berusaha keras untuk bangkit di jalan masing-masing. Hingga di satu titik mereka dipersatukan kembali dalam keadaan yang utuh dan saling melengkapi. Sakha tidak akan pernah bisa berhenti takjub pada bagaimana semesta mengejutkannya. "More than that, aku beneran syok lihat Haga ternyata bisa sebucin itu," gumam T