30“Hati-hati!”Abyasa menarik tubuh Elsa saat wanita itu hampir jatuh. Marah membuatnya pergi begitu saja dan setengah berlari keluar dengan tidak memperhatikan jalanan. Ia hampir terjatuh saat tak sengaja menyenggol meja.Abyasa harus berlari mengejarnya setelah sebelumnya meletakkan beberapa lembaran merah di meja. Ia tidak sempat memanggil waitress.Elsa melepaskan tangan Abyasa dan kembali berjalan dengan cepat. Ia benar-benar kesal saat menyadari jika ucapan Mahesa memang benar. Abyasa mengajaknya ke sana bukan untuk urusan pekerjaan. Buktinya sampai saat ini investor itu tidak kunjung datang.Elsa ingin berlari ke jalan dan meninggalkan laki-laki yang sudah membohonginya itu. Namun, ia bingung. Ia bahkan tidak tahu ini di mana. Pulang naik taxi? Itu akan membuat keuangannya semakin menipis karena harus ada pengeluaran tak terduga. Padahal ia sudah mengalokasikan sisa uangnya yang pas-pasan untuk kebutuhan primer. Dan harus cukup sampai gajian.Ah, ia menyasali kenapa harus perc
31Kecanggungan menyelimuti karena Abyasa terus saja menatap Elsa yang tengah mengemudi, dengan tatapan anehnya. Lelaki itu bahkan nyaris tak berkedip. Kapan lagi bisa menikmati kecantikan imut itu sedekat ini tanpa dilarang si empunya wajah?Elsa sendiri tetap menatap lurus jalanan dan pura-pura tidak tahu jika seseorang di kursi sebelah terus menatapnya, hingga suara dering ponsel Elsa berbunyi. Keduanya melirik ke belakang bersamaan di mana tas Elsa teronggok. Abyasa menyesali kenapa benda itu berbunyi dan mengacaukan imajinasinya. Diembusnya napas kasar.“Ternyata kau lebih sibuk dariku, ya. Ponselmu lebih sering berbunyi daripada punyaku.” Entah sindiran atau nyinyiran, yang pasti Abyasa berkata demikian seraya meraih tas Elsa yang sengaja ditaruh di bekalang.“Jangan!” Elsa berseru hingga tangan Abyasa hanya menggantung di udara. “Jangan diangkat!” lanjutnya.“Kenapa? Memangnya siapa yang menelepon? Buaya buntung lagi?” tanya Abyasa seraya meneruskan merogoh benda yang menyala d
32“Dicari bos!”Belum juga Elsa duduk di kursinya, sudah disambut dengan pemberitahuan yang membuatnya harus mengelus dada. Ia baru saja kembali dari pantry, dan di sana harus berurusan dengan orang aneh. Kini ia pikir bisa sedikit menarik napas dengan duduk di belakang meja. Nyatanya, langsung disambut perintah atasan yang dititipkan kepada Moza, dan disampaikan dengan ketus.Elsa menarik napas sebelum berjalan masuk ke ruangan itu.“Iya, Pak, ada yang harus saya kerjakan?” tanyanya langsung begitu tiba.Abyasa menoleh. Laki-laki itu sudah sibuk bekerja lagi. Padahal saat Elsa tinggal tadi masih meringis-ringis. Jidatnya masih lebam dan menonjol.“Kamu dari mana saja? Kenapa lama sekali?” tanyanya dengan raut wajah memelas.Elsa mengerakkan bola mata. Kalau masih sakit, kenapa pula sudah bekerja lagi, kenapa tidak istirahat saja. Elsa menggerutu, tentu hanya dalam hati.“Saya dari pantry, Pak. Ada apa? Apa yang harus saya kerjakan?” tanya Elsa lagi masih dengan berdiri di depan meja
34“Papa Aby, Vivi mau naik kuda.” Terdengar suara cadel Davina dari depan dengan sangat ceria dan bahagia. Tawa geli dan kesenangan pun memenuhi seisi rumah.Elsa memejamkan mata setelah menjatuhkan punggungnya di dipan kayu kamarnya. Tak dapat dipungkiri Davina sangat bahagia jika sudah bertemu Abyasa seperti ini. Bahkan lupa kepada ibunya sendiri. Namun, lagi-lagi itu bukan alasan yang tepat untuknya menerima lelaki itu kembali.Bahkan, kekesalannya selalu saja bertambah setiap waktu. Terlebih hari ini. Karenanya ia tidak ingin menemui lagi lelaki itu. Masa iya setelah seharian melihat wajah menyebalkannya, kini di rumah masih harus bertemu. Karenanya, begitu sampai di rumah, Elsa langsung ke kamar mandi dan dan mengunci dirinya di kamar.Ia masih sangat kesal dengan perilaku lelaki itu. Begitu lancang menyentuhnya. Ada banyak cara membangunkan orang yang ketiduran, tidak harus menepuk pipinya segala, bukan? Ah, Elsa menyesali kenapa harus tertidur di jam kerja. Kenapa harus tertid
35Hari ini Elsa bangun pagi-pagi sekali. Tujuannya tentu saja pergi ke kantor lebih pagi dari kemarin. Ia tidak ingin datang bersama Abyasa karena tidak mau semakin menjadi gunjingan. Karenanya, ia sudah memesan ojek sejak malam.Dengan ojek itulah ia berangkat. Semua sudah biasa Elsa lakukan. Karena ia bukan berasal dari keluarga kaya. Bahkan dulu, sebelum pernikahan pertamanya dengan Abyasa, ia seseorang yang sangat sengsara. Bukan hanya miskin, tetapi juga sempat menjadi buronan warga.Setelah diceraikan Abyasa, kehidupannya pun kembali ke titik nol, hanya saja saat itu ia punya skill hasil mengikuti kelas memasak hingga tidak terlalu sulit mejalani hari. Saat itu ia belum bertemu ibu kandungnya. Dan ayahnya masih bersatu dengan istri barunya. Ia hanya hidup seorang diri. Jadi, menjalani hidup seperti ini bukan perkara baru. Hidup nyaman dan bahagia hanya ketika menjadi istri Abyasa dan David. Jika dihitung lebih lama menjalani hidup sebagai orang miskin daripada hidup nyaman.Sed
36“Dan kalian akan aku pecat karena pagi-pagi sudah menggosipkan atasan!”Serta-merta Elsa dan Mahesa menoleh hingga mendapati wajah merah padam yang entah sejak kapan berdiri di sana. Keduanya menelan ludah dengan susah payah. Seolah punya radar, orang yang mereka bicarakan tahu-tahu sudah berada di sana tanpa mereka sadari.Elsa dan Mahesa saling lirik dengan gerakkan kaku. Seolah saling melemparkan tanya, apa orang itu mendengar semua yang mereka bicarakan?Keduanya kembali menghadap pintu saat seseorang yang menjadi momok menakutkan itu berdehem cukup keras. Lagi-lagi Elsa menelan ludah. Entahlah, wajah Abyasa saat ini terlihat sangat menakutkan.“Elsa, ke ruanganku!” perintah lelaki berwajah merah lagi tak terbantah. Namun, tubuh Elsa bahkan sulit untuk digerakkan.“Apa yang kau tunggu? Cepat ke ruanganku sekarang juga!” Abyasa mengulang perintah saat melihat Elsa malah membeku di tempatnya.Abyasa berjalan menghampiri dan ingin meraih tangan sang wanita, tetapi gegas Mahesa men
37Suara pintu yang diketuk, disusul seseorang yang masuk dan mengucap salam, membuat keduanya terjengkit kaget. Elsa gegas bangkit dan melepaskan diri dari pangkuan Abyasa. Kemudian merapikan kemeja dan rambutnya yang pasti berantakan.Abyasa juga bangkit dengan memasang wajah kecewa. Kemudian berjalan menghampiri wanita ber-rok pendek yang mematung dengan mulut menganga di depan pintu. Sungguh Abyasa tidak menyangka sekretarisnya akan masuk di saat yang tidak tepat.“Lain kali jangan dulu masuk sebelum aku persilakan,” ujarnya kemudian yang membuat Moza menunduk dan mengangguk.“Baik, Pak,” jawabnya tidak enak hati.“Ada apa? Jam kerja belum dimulai, aku bahkan baru mulai sarapan,” tanya Abyasa lagi saat tidak melihat Moza membawa dokumen apa pun. Hanya sebuah bungkusan di tangannya.Masih dengan menunduk, Moza menjawab, “saya ingin menyampaikan jika laporan dari department marketing sudah saya kirim ke e-mail anda.”“Baiklah.” Abyasa menjawab singkat. “Kau boleh kembali ke mejamu.”
38“Jahat banget,” ringis Abyasa seraya merapatkan kakinya seperti wanita.Elsa membuang pandangan dengan galak.“Sudahlah, ayo makan. Ini perintah!” ujar Abyasa lagi seraya berjalan kembali menuju meja. Kemudian duduk di salah satu kursi.Sementara Elsa walaupun dengan ragu dan tidak rela, akhinya menurut karena melihat wajah itu begitu serius dan tak terbantah. Terlebih Abyasa terlihat jinak dan tidak membahayakan lagi.Elsa memakan makanan yang dibawa sang bos, dalam diam. Kursi ia jauhkan untuk menghindari kejadian sama terulang. Entah lapar atau enak, yang pasti satu kotak bubur Manado tandas dalam waktu yang tidak lama. Abyasa selalu punya radar yang bisa tahu makanan yang sedang ingin disantapnya.Perut Elsa sebenarnya memang lapar. Sejak semalam tidak masuk makanan karena pikiran yang semrawut. Dan pagi tadi belum sempat ia menghabiskan rotinya, insiden badrun di pantry sudah terjadi. Bahkan segelas susu kental manis yang ia seduh belum sempat diminumnya.Elsa bersendawa tanpa
138“Ka-mu beneran mau sama dia?” Elsa bertanya ragu dengan telunjuk menunjuk rendah Mahesa. Tatapan sangsi ia lemparkan antara Mahesa dan Nadia berganti-gantian.“Hei, pertanyaanmu itu, Kakak ipar. Memangnya kenapa denganku? Aku ini ganteng, lebih ganteng dari suamimu. Aku juga masih muda, paling tidak lebih muda dari suamimu. Aku juga punya pekerjaan mapan, walaupun tidak lebih tinggi jabatannya dari suamimu. Wanita yang aku pilih akan menjadi wanita yang sangat beruntung karena di luar sana ada banyak wanita yang aku tolak. Lalu, kenapa kalau wanita cantik ini juga memilihku?”Mahesa bertolak pinggang. Terlihat raut tersinggung yang sengaja dibuat-buat. Sejatinya ia tidak bisa marah terhadap Elsa walaupun cintanya berkali-kali ditolak wanita itu. Ia bahkan rela bermusuhan dengan kakaknya sendiri dan menghancurkan nama baiknya sendiri untuk melindungi Elsa. Namun, Mahesa menyadari jika perasaan tidak bisa dipaksakan, sebaik apa pun ia terhadap Elsa, tidak dapat membuat wanita itu ja
137“Vivi mengganggu saja,” omel Elsa pelan seraya menyusupkan wajah di sisi leher Abyasa.Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan panas malam ini saat pintu kamar diketuk dan pengasuh mengantar Davina yang menangis mencari ayah sambungnya. Untung saja mereka telah selesai hingga walaupun lelah dan sedikit terganggu, setidaknya tidak ada lagi yang mengganjal.Abyasa tersenyum. Tangannya mengusap kepala Elsa yang terbenam di salah satu sisi lehernya. Sementara yang sebelah lagi memeluk tubuh Davina yang juga memeluknya. Bahkan cegukan sisa isaknya masih terdengar sesekali.Tadi pengasuh mengantar Davina ke sana dalam kondisi nangis kejer. Mungkin sudah nangis lama akibat dilarang ke kamar orang tuanya.“Sabar, nanti kalau Vivi sudah pulas lagi kita lanjut babak dua, ya.” Abyasa berbisik nakal. Sesuangguhnya ia pun masih ingin mengulang lagi dan lagi. Bayangkan, selama bertahun-tahun hasrat itu terkubur karena trauma mendalam, kini setelah kembali masih harus ditahan.Mengh
136“Mas, kasihan ya, Mbak Lina. Dia dicerai saat mengandung hanya gara-gara Bang Adrian cemburu buta.”Malam ini Elsa menyandarkan kepalanya di dada sang suami. Mereka menikmati malam yang mengembuskan udara hangat di balkon kamar. Davina sudah lama terlelap berbantalkan salah satu paha Abyasa. Sementara di sisi lainnya, Elsa menempelinya dengan posesif.Tangan sang wanita sejak tadi tak diam. Terus saja memainkan bulu-bulu yang tumbuh di sepanjang rahang sang suami. Bulu-bulu yang rasanya baru kemarin ia cukur, kini sudah mulai mengintip lagi melalui posri-pori kulit sang suami.Sesuatu yang paling disukainya sejak dulu. Bahkan di hari pertama pernikahan pura-pura mereka, ia tidak tahan untuk tidak menyentuh bagian tubuh Abyasa yang satu itu. Dulu, bahkan Abyasa sampai mengamuk karena kelancangannya.“Bang Adrian memang keterlaluan. Menceraikan setelah sebelumnya menuduh dengan keji. Dipisahkan dari anaknya selama enam tahun memang hukuman yang paling pantas. Karena akhirnya ia meny
135“Maaf, Elsa. Sebenarnya Abang datang ke sini, untuk menyerahkan ini.” Adrian bicara setelah mendapat kesempatan. Tangannya menyodorkan sebuah map di atas meja.Mata Elsa yang masih nyalang, mengikuti gerakkan tangan Adrian hingga pupil matanya terfokus di map yang sangat familier baginya.“Ini milik Vivi, dan selamanya akan menjadi milik Vivi,” ujar Adrian lagi.Elsa mengalihkan pandangan dari map ke wajah lelaki yang sangat berbeda dengan kemarin. Jika kemarin penuh emosi dan meluap-luap. Tidak mau kalah setiap kali berdebat, bahkan terus saja bersitegang dengannya dan Abyasa. Namun kini terlihat sangat tenang dan teduh. Ia bahkan menunggu Elsa selesai meluapkan amarahnya. Ia hanya diam menyimak sampai Elsa lelah sendiri.“Maaf, seharusnya Abang melakukan ini sejak dulu. Seharusnya Abang tidak membiarkan kamu dan Vivi keluar dari rumah kalian. Rumah peninggalan David adalah hak Vivi, hak kamu juga. Tidak seharusnya kalian terlunta-lunta di luar sana sebelum kamu kembali menikah k
134Elsa mengusap sudut bibir Abyasa dengan tisu. Ia baru saja selesai menyuapi pria yang lagi-lagi sikap manjanya berlipat-lipat jika sedang sakit. Namun, tidak apa. Kali ini Elsa melayaninya dengan Ikhlas. Diurusnya lelaki itu dengan segenap hati walaupun ia jadi seperti mengurus dua bayi.Untunglah Davina tidak terlalu rewel. Meski harus mendapat perhatian lebih karena jiwanya masih terguncang atas semua peristiwa yang menimpanya. Namun, Davina termasuk anteng dan tidak banyak menuntut. Lebih sering berbaring memeluk Abyasa bahkan hingga tertidur. Seolah meminta perlindungan, gadis kecil itu sering berteriak jika tengah teringat kejadian kemarin. Dengan memeluk sang ayah sambung, ia seolah merasa tenang.Kebiasaan barunya saat akan tidur adalah memeluk ayah sambungnya itu, Abyasa tidak akan meninggalkannya hingga ia terlelap. Walaupun tubuhnya pun belum sepenuhnya pulih, Abyasa akan merelakan dirinya dan mengutamakan kenyamanan Davina.Keduanya melirik pintu kamar karena seseorang
133Kengerian tercipta saat mobil Porsche putih yang melesat cepat itu akhirnya melanggar tubuh kecil Irma dan menerbangkannya cukup jauh hingga mendarat di sebuah pot bunga besar setelah sebelumnya juga menghantam pohon palm di halaman.Elsa bahkan hanya bisa melebarkan mata dengan kedua tangan menutupi telinganya. Mulutnya tidak dapat mengeluarkan suara sedikit pun saking tidak percaya dengan yang baru saja terjadi di depan matanya.Tubuhnya lemas bagai dilolosi tulangnya, ambruk bersamaan tubuh Irma yang juga mendarat di paving. Elsa tidak tahu lagi apa yang ia rasakan saat ini. Dunia terasa berputar di matanya. Jungkir balik dan melayang-layang. Semua abu-abu dan hampir gelap saat teriakkan nyaring dari suara yang dikenalnya menyapa telinga.“Mama ….”Elsa menggelengkan kepala dengan kuat demi mendengar suara yang sumpah demi apa pun sangat dirindukannya. Segenap kesadaran yang beberapa detik lalu hampir terbang karena tak percaya dengan pandangannya, kini berusaha ia hadirkan lag
132“Ayo kita kembali ke rumah itu.” Abyasa berusaha bangkit, tapi gegas Elsa menahan. Sang suami masih terlihat kesakitan.“Kamu masih harus istirahat, Mas.” Elsa menggeleng sembari menahan tangan sang suami. Tatapan nanar bercampur haru berpendar di mata basahnya.“Elsa, keselamatan Vivi jauh lebih penting dari kesehatanku. Ayo kita kembali ke sana.”“Tidak, Mas. Kamu istirahat saja dulu, aku yang akan ke sana.”“Kamu?”“Iya. Ada ibu, sopir dan orangnya Pak Sudradjat yang menemani.”Abyasa menggeleng seraya tetap bangkit. “Kita pergi sama-sama. Di sini pun aku tidak akan bisa istirahat. Selain mengkhawarirkan Vivi, aku juga akan mengkhawatirkanmu, Elsa.”Elsa menggigit bibirnya. Sungguh ia tidak tahu apa yang harus dipikirkannya saat ini, tidak tega membiarkan Abyasa harus pergi di saat terluka, tapi juga keselematan Vivi sangat penting. Ia takut terjadi sesuatu dengan anak itu mengingat cerita sang ibu yang menyebut sang anak dikuasai anak majikannya yang autis.Akhirnya walaupun d
131Kening Elsa berkerut dalam, matanya memicing tajam. Ditatapnya tak percaya wanita yang memiliki garis wajah sama dengannya itu. Serius. Tidak terlihat gurat canda atau sedang berbohong.“Apa maksud Ibu? Jangan bercanda, Bu. Jangan membuat kepalaku semakin mendidih. Ibu tahu kan, kalau saat ini aku sedang sangat down.”“Ibu tidak bercanda, Elsa. Ibu memang yang membawa Vivi dari kolam renang kemarin.”Hening. Baik Elsa atau Irma tidak bersuara pasca kalimat Irma yang diucapkan dengan sangat serius barusan. Untuk beberapa lama Elsa larut dalam berbagai perasaan yang tak dapat digambarkan bahkan oleh dirinya sendiri.Apa ia harus percaya dengan kalimat sang ibu barusan? Tapi jika dipikir-pikir, bagaimana ibunya tahu Davina hilang sedangkan mereka baru saja bertemu lagi. Jika memang benar sang ibu melakukannya, kenapa? Apa motifnya?Benar dugaannya, kemuncukan Irma di sini disertai banyak misteri.Perlahan Irma yang sedari tadi hanya menatap kosong ke depan, mengalihkan pandangan ke a
130“Ibu?” Elsa bergumam lirih dengan tatapan memicing tak percaya melihat sosok wanita paruh baya berpostur mungil yang tengah berdebat dengan laki-laki yang seharian ini terus membuntuti dirinya dan Abyasa.Untuk beberapa lama ia mematung di tempatnya. Mencoba mencerna apa yang tengah terjadi hingga saat ia bisa menguasai dirinya, kakinya gegas mendekat.Sebelum Elsa tiba, wanita yang masih berdebat sudah menyadari kehadirannya, hingga ia yang menyongsong.“Elsa ….” Pekiknya seraya menghambur memeluk tubuh Elsa dengan kuat hingga nyaris terseret mundur beberapa langkah.Elsa mengerjap bingung. Sungguh, ia merindukan sang ibu yang sebenarnya sejak kecil mereka tidak hidup bersama dan baru bertemu saat ia menjadi istri David. Namun, entah kenapa saat dipertemukan dalam keadaan seperti ini, ia malah bingung seolah tidak suka bertemu lagi. Baginya, ada banyak misteri di balik pertemuan tak terduga ini.“Elsa, aku yakin jika ibumu ini yang sudah membawa Vivi. Buktinya ia tiba-tiba saja d