37Suara pintu yang diketuk, disusul seseorang yang masuk dan mengucap salam, membuat keduanya terjengkit kaget. Elsa gegas bangkit dan melepaskan diri dari pangkuan Abyasa. Kemudian merapikan kemeja dan rambutnya yang pasti berantakan.Abyasa juga bangkit dengan memasang wajah kecewa. Kemudian berjalan menghampiri wanita ber-rok pendek yang mematung dengan mulut menganga di depan pintu. Sungguh Abyasa tidak menyangka sekretarisnya akan masuk di saat yang tidak tepat.“Lain kali jangan dulu masuk sebelum aku persilakan,” ujarnya kemudian yang membuat Moza menunduk dan mengangguk.“Baik, Pak,” jawabnya tidak enak hati.“Ada apa? Jam kerja belum dimulai, aku bahkan baru mulai sarapan,” tanya Abyasa lagi saat tidak melihat Moza membawa dokumen apa pun. Hanya sebuah bungkusan di tangannya.Masih dengan menunduk, Moza menjawab, “saya ingin menyampaikan jika laporan dari department marketing sudah saya kirim ke e-mail anda.”“Baiklah.” Abyasa menjawab singkat. “Kau boleh kembali ke mejamu.”
38“Jahat banget,” ringis Abyasa seraya merapatkan kakinya seperti wanita.Elsa membuang pandangan dengan galak.“Sudahlah, ayo makan. Ini perintah!” ujar Abyasa lagi seraya berjalan kembali menuju meja. Kemudian duduk di salah satu kursi.Sementara Elsa walaupun dengan ragu dan tidak rela, akhinya menurut karena melihat wajah itu begitu serius dan tak terbantah. Terlebih Abyasa terlihat jinak dan tidak membahayakan lagi.Elsa memakan makanan yang dibawa sang bos, dalam diam. Kursi ia jauhkan untuk menghindari kejadian sama terulang. Entah lapar atau enak, yang pasti satu kotak bubur Manado tandas dalam waktu yang tidak lama. Abyasa selalu punya radar yang bisa tahu makanan yang sedang ingin disantapnya.Perut Elsa sebenarnya memang lapar. Sejak semalam tidak masuk makanan karena pikiran yang semrawut. Dan pagi tadi belum sempat ia menghabiskan rotinya, insiden badrun di pantry sudah terjadi. Bahkan segelas susu kental manis yang ia seduh belum sempat diminumnya.Elsa bersendawa tanpa
39Dengan wajah merah padam, Elsa membalikkan badan. Tatapannya bahkan menyala. Tanduk terasa keluar dari kepalanya. Namun, saat hendak melabrak lelaki itu, telepon di meja Abyasa berdering hingga ia urung melangkah.Abyasa sendiri bangkit dan menuju mejanya. Mengangkat panggilan dengan berdiri di samping meja.“Ya,” sapanya datar seperti biasa.“Maaf, Pak Bos. Pak Mahesa ingin ke ruangan anda.”“Shit!” Abyasa mengumpat seraya menutup panggilan. Kemudian berjalan menuju pintu, melewati tubuh Elsa yang menepi. Merogoh sakunya yang tadi bahkan sudah Elsa rancang akan merogoh paksa jika lelaki itu tidak mau menyerahkan anak kunci dengan baik-baik.Pintu terbuka. Diam-diam Elsa bersyukur ada telepon itu hingga akhirnya Abyasa membuka kuncinya sendiri.Siapa gerangan yang ingin bertamu sepagi ini? Atau mungkin Moza yang ingin masuk lagi? Ia tidak dapat mendengar dengan siapa Abyasa bicara di telepon barusan. Namun, mendengar umpatannya, ia yakin jika seseorang itu bukan tamu yang diharapka
40Elsa memijat pelipis. Kepalanya pusing. Selama makan siang dengan Mahesa tadi, Abyasa terus saja menghubunginya. Tentu saja ia mengabaikannya. Bahkan tidak menyentuh dan melihat ponselnya sama sekali sejak tahu di panggilan pertama jika yang menghubunginya adalah Abyasa.Sikap macam apa itu? Bos adalah seseorang yang bisa mengaturnya saat jam kerja. Di luar itu, tidak punya hak apa pun kepada karyawannya.Sementara yang membuat kepalanya semakin pusing, adalah Mahesa. Pemuda itu membuat hidupnya semakin rumit. Tadi dengan posesif pemuda berkuncir memperlakukannya seolah seorang pasangan. Menarik kursi, mengambilkan makanan, menyuapinya. Semua dilakukan Mahesa secara berlebihan, hingga Elsa merasa risih.Endingnya Elsa tahu kenapa pemuda itu berlaku demikian. Hanya agar seseorang yang selama ini mengejarnya, mundur karena mengira Elsa kekasih pemuda itu.Abyasa dan Mahesa, dua kakak-beradik yang membuat kepalanya pusing dan hidupnya menjadi rumit.Bagaimana tidak? Abyasa membuat dir
40Elsa duduk dengan gelisah. Kedua tangannya menyatu. Jari-jemarinya saling memilin hingga buku-bukunya memutih. Hatinya cemas tiada tara. Di dalam sana Davina tengah ditangani dokter.Setelah Abyasa mengajaknya pulang tadi, degup jantungnya belum jua kembali normal. Mendapat kabar Davina semakin parah dan kini terkena sesak napas. Dada Elsa ikut sesak. Selama perjalanan dari kantor menuju rumah, hatinya terus gelisah. Karenanya saat sampai, ia langsung berlari dan malah meluruh saat melihat Davina yang mengkhawatirkan.Sementara Abyasa bergerak cepat dengan manggendong anak berusia tiga tahun itu dan membawanya ke mobil. Elsa menyusul walaupun dengan tubuh yang terasa melayang.Di sini ia sekarang. Di depan ruangan paling muka di rumah sakit. Di dalam sana Davina tengah ditangani dokter dan Abyasa menemaninya.Bukan sengaja memang jika Abyasa yang di dalam dan ia yang menunggu di sini. Tangan Davina mencengkeram kuat kemeja Abyasa yang menggendongnya dari mobil hingga IGD ini. Karen
41“Maukah Bapak menikahi saya?”Entah berbagai perasaan apa yang bergumul di dalam dada Elsa saat ia mengatakan kalimat itu. Bahkan mungkin Elsa merasa kakinya tidak menapak di lantai. Jiwanya terbang entah ke mana, dan dadanya terasa ingin meledak. Namun, ia sama sekali tidak peduli dengan dirinya sendiri. Yang terpenting baginya saat ini adalah kesehatan dan kenyamanan Davina.Ya, hanya karena Davina ia akhirnya menjilat ludahnya sendiri. Hanya karena anak semata wayangnya ia akhirnya menurunkan egonya, merendahkan dirinya, menjual harga dirinya dengan meminta dinikahi.Elsa hanya ingin Davina hidup layak dan nyaman. Juga memiliki tempat bersandar dan berlindung. Elsa sadar jika anak sekecil itu masih sangat merindukan figur seorang ayah. Mungkin Abyasa orang yang tepat untuk saat ini mengingat begitu kuat ikatan mereka. Dan begitu tulus apa yang laki-laki itu lakukan untuknya dan Davina.Biarlah ia mengalah. Mengesampingkan semua sakit hati dan luka akibat perbuatan Abyasa di masa
42“Apa jika jadi istriku nanti, kau akan selalu melakukan hal seperti ini setiap kali aku membangunkanmu?”Hah?Bola mata Elsa melebar. Bukan hanya kalimat Abyasa yang membuat tubuhnya tiba-tiba membeku, tetapi cara lelaki itu mengatakannya yang berbisik dan dengan bibirnya yang menyentuh daun telinga Elsa.Seluruh bulu di tubuhnya meremang. Jantungnya mendadak berhenti beberapa detik sebelum akhirnya bertalu cepat. Dada yang nemenpel satu sama lain, menjadi pemicunya.Bagai terhipnotis, tubuh Elsa benar-benar membeku. Tak ada gerakkan sama sekali selain jantungnya yang semakin bertalu. Bahkan matanya juga tak ingin berkedip. Terlebih saat Abyasa mulai menggerakkan wajahnya dari yang semula berada di sisi telinga, kini menjadi berhadapan dengan wajahnya dengan jarak sangat dekat.Tubuh Elsa benar-benar seolah patung. Bahkan saat Abyasa menempelkan bibir mereka dan mengecupnya singkat, Elsa masih saja di posisi sama. Diam membeku. Sepasang mata lelaki itu seolah memancarkan hipnotis y
43“Nyaman tidak?” tanya Abyasa setelah sekian lama mengamati Elsa dari atas hingga bawah berulang-ulang.“Apanya yang nyaman?” Mata Elsa melotot. Wanita yang sudah terlihat segar dan baru saja keluar dari kamar mandi bertolak pinggang. Jangan bilang pikiran lelaki itu sedang mesum.“Pakaianmu.” Abyasa menjawab pelan seraya membuang pandangan. Ia tidak ingin membuat Elsa berpersepsi lain.Elsa memejam, sebenarnya ia salut Abyasa masih mengingat segala sesuatu yang berkaitan dengan dirinya. Bahkan ukuran dalaman dan merek pembalut yang biasa dipakainya.Mungkin karena bentuk tubuhnya yang tidak banyak berubah dengan saat masih menjadi istrinya dulu, karenanya pakaian yang dibelikannya semua sangat pas.Namun, lagi-lagi itu bukanlah alasan untuknya dapat memaafkan lelaki itu.Elsa mengembus napas sebelum mengelurakan sesuatu dari kantong yang dipegangnya, kemudian menyerahkan sesuatu itu ke telapak tangan Abyasa. Bahkan dikepalkan di sana.“Ini, saya kembalikan, Pak. Saya sedang tidak d
138“Ka-mu beneran mau sama dia?” Elsa bertanya ragu dengan telunjuk menunjuk rendah Mahesa. Tatapan sangsi ia lemparkan antara Mahesa dan Nadia berganti-gantian.“Hei, pertanyaanmu itu, Kakak ipar. Memangnya kenapa denganku? Aku ini ganteng, lebih ganteng dari suamimu. Aku juga masih muda, paling tidak lebih muda dari suamimu. Aku juga punya pekerjaan mapan, walaupun tidak lebih tinggi jabatannya dari suamimu. Wanita yang aku pilih akan menjadi wanita yang sangat beruntung karena di luar sana ada banyak wanita yang aku tolak. Lalu, kenapa kalau wanita cantik ini juga memilihku?”Mahesa bertolak pinggang. Terlihat raut tersinggung yang sengaja dibuat-buat. Sejatinya ia tidak bisa marah terhadap Elsa walaupun cintanya berkali-kali ditolak wanita itu. Ia bahkan rela bermusuhan dengan kakaknya sendiri dan menghancurkan nama baiknya sendiri untuk melindungi Elsa. Namun, Mahesa menyadari jika perasaan tidak bisa dipaksakan, sebaik apa pun ia terhadap Elsa, tidak dapat membuat wanita itu ja
137“Vivi mengganggu saja,” omel Elsa pelan seraya menyusupkan wajah di sisi leher Abyasa.Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan panas malam ini saat pintu kamar diketuk dan pengasuh mengantar Davina yang menangis mencari ayah sambungnya. Untung saja mereka telah selesai hingga walaupun lelah dan sedikit terganggu, setidaknya tidak ada lagi yang mengganjal.Abyasa tersenyum. Tangannya mengusap kepala Elsa yang terbenam di salah satu sisi lehernya. Sementara yang sebelah lagi memeluk tubuh Davina yang juga memeluknya. Bahkan cegukan sisa isaknya masih terdengar sesekali.Tadi pengasuh mengantar Davina ke sana dalam kondisi nangis kejer. Mungkin sudah nangis lama akibat dilarang ke kamar orang tuanya.“Sabar, nanti kalau Vivi sudah pulas lagi kita lanjut babak dua, ya.” Abyasa berbisik nakal. Sesuangguhnya ia pun masih ingin mengulang lagi dan lagi. Bayangkan, selama bertahun-tahun hasrat itu terkubur karena trauma mendalam, kini setelah kembali masih harus ditahan.Mengh
136“Mas, kasihan ya, Mbak Lina. Dia dicerai saat mengandung hanya gara-gara Bang Adrian cemburu buta.”Malam ini Elsa menyandarkan kepalanya di dada sang suami. Mereka menikmati malam yang mengembuskan udara hangat di balkon kamar. Davina sudah lama terlelap berbantalkan salah satu paha Abyasa. Sementara di sisi lainnya, Elsa menempelinya dengan posesif.Tangan sang wanita sejak tadi tak diam. Terus saja memainkan bulu-bulu yang tumbuh di sepanjang rahang sang suami. Bulu-bulu yang rasanya baru kemarin ia cukur, kini sudah mulai mengintip lagi melalui posri-pori kulit sang suami.Sesuatu yang paling disukainya sejak dulu. Bahkan di hari pertama pernikahan pura-pura mereka, ia tidak tahan untuk tidak menyentuh bagian tubuh Abyasa yang satu itu. Dulu, bahkan Abyasa sampai mengamuk karena kelancangannya.“Bang Adrian memang keterlaluan. Menceraikan setelah sebelumnya menuduh dengan keji. Dipisahkan dari anaknya selama enam tahun memang hukuman yang paling pantas. Karena akhirnya ia meny
135“Maaf, Elsa. Sebenarnya Abang datang ke sini, untuk menyerahkan ini.” Adrian bicara setelah mendapat kesempatan. Tangannya menyodorkan sebuah map di atas meja.Mata Elsa yang masih nyalang, mengikuti gerakkan tangan Adrian hingga pupil matanya terfokus di map yang sangat familier baginya.“Ini milik Vivi, dan selamanya akan menjadi milik Vivi,” ujar Adrian lagi.Elsa mengalihkan pandangan dari map ke wajah lelaki yang sangat berbeda dengan kemarin. Jika kemarin penuh emosi dan meluap-luap. Tidak mau kalah setiap kali berdebat, bahkan terus saja bersitegang dengannya dan Abyasa. Namun kini terlihat sangat tenang dan teduh. Ia bahkan menunggu Elsa selesai meluapkan amarahnya. Ia hanya diam menyimak sampai Elsa lelah sendiri.“Maaf, seharusnya Abang melakukan ini sejak dulu. Seharusnya Abang tidak membiarkan kamu dan Vivi keluar dari rumah kalian. Rumah peninggalan David adalah hak Vivi, hak kamu juga. Tidak seharusnya kalian terlunta-lunta di luar sana sebelum kamu kembali menikah k
134Elsa mengusap sudut bibir Abyasa dengan tisu. Ia baru saja selesai menyuapi pria yang lagi-lagi sikap manjanya berlipat-lipat jika sedang sakit. Namun, tidak apa. Kali ini Elsa melayaninya dengan Ikhlas. Diurusnya lelaki itu dengan segenap hati walaupun ia jadi seperti mengurus dua bayi.Untunglah Davina tidak terlalu rewel. Meski harus mendapat perhatian lebih karena jiwanya masih terguncang atas semua peristiwa yang menimpanya. Namun, Davina termasuk anteng dan tidak banyak menuntut. Lebih sering berbaring memeluk Abyasa bahkan hingga tertidur. Seolah meminta perlindungan, gadis kecil itu sering berteriak jika tengah teringat kejadian kemarin. Dengan memeluk sang ayah sambung, ia seolah merasa tenang.Kebiasaan barunya saat akan tidur adalah memeluk ayah sambungnya itu, Abyasa tidak akan meninggalkannya hingga ia terlelap. Walaupun tubuhnya pun belum sepenuhnya pulih, Abyasa akan merelakan dirinya dan mengutamakan kenyamanan Davina.Keduanya melirik pintu kamar karena seseorang
133Kengerian tercipta saat mobil Porsche putih yang melesat cepat itu akhirnya melanggar tubuh kecil Irma dan menerbangkannya cukup jauh hingga mendarat di sebuah pot bunga besar setelah sebelumnya juga menghantam pohon palm di halaman.Elsa bahkan hanya bisa melebarkan mata dengan kedua tangan menutupi telinganya. Mulutnya tidak dapat mengeluarkan suara sedikit pun saking tidak percaya dengan yang baru saja terjadi di depan matanya.Tubuhnya lemas bagai dilolosi tulangnya, ambruk bersamaan tubuh Irma yang juga mendarat di paving. Elsa tidak tahu lagi apa yang ia rasakan saat ini. Dunia terasa berputar di matanya. Jungkir balik dan melayang-layang. Semua abu-abu dan hampir gelap saat teriakkan nyaring dari suara yang dikenalnya menyapa telinga.“Mama ….”Elsa menggelengkan kepala dengan kuat demi mendengar suara yang sumpah demi apa pun sangat dirindukannya. Segenap kesadaran yang beberapa detik lalu hampir terbang karena tak percaya dengan pandangannya, kini berusaha ia hadirkan lag
132“Ayo kita kembali ke rumah itu.” Abyasa berusaha bangkit, tapi gegas Elsa menahan. Sang suami masih terlihat kesakitan.“Kamu masih harus istirahat, Mas.” Elsa menggeleng sembari menahan tangan sang suami. Tatapan nanar bercampur haru berpendar di mata basahnya.“Elsa, keselamatan Vivi jauh lebih penting dari kesehatanku. Ayo kita kembali ke sana.”“Tidak, Mas. Kamu istirahat saja dulu, aku yang akan ke sana.”“Kamu?”“Iya. Ada ibu, sopir dan orangnya Pak Sudradjat yang menemani.”Abyasa menggeleng seraya tetap bangkit. “Kita pergi sama-sama. Di sini pun aku tidak akan bisa istirahat. Selain mengkhawarirkan Vivi, aku juga akan mengkhawatirkanmu, Elsa.”Elsa menggigit bibirnya. Sungguh ia tidak tahu apa yang harus dipikirkannya saat ini, tidak tega membiarkan Abyasa harus pergi di saat terluka, tapi juga keselematan Vivi sangat penting. Ia takut terjadi sesuatu dengan anak itu mengingat cerita sang ibu yang menyebut sang anak dikuasai anak majikannya yang autis.Akhirnya walaupun d
131Kening Elsa berkerut dalam, matanya memicing tajam. Ditatapnya tak percaya wanita yang memiliki garis wajah sama dengannya itu. Serius. Tidak terlihat gurat canda atau sedang berbohong.“Apa maksud Ibu? Jangan bercanda, Bu. Jangan membuat kepalaku semakin mendidih. Ibu tahu kan, kalau saat ini aku sedang sangat down.”“Ibu tidak bercanda, Elsa. Ibu memang yang membawa Vivi dari kolam renang kemarin.”Hening. Baik Elsa atau Irma tidak bersuara pasca kalimat Irma yang diucapkan dengan sangat serius barusan. Untuk beberapa lama Elsa larut dalam berbagai perasaan yang tak dapat digambarkan bahkan oleh dirinya sendiri.Apa ia harus percaya dengan kalimat sang ibu barusan? Tapi jika dipikir-pikir, bagaimana ibunya tahu Davina hilang sedangkan mereka baru saja bertemu lagi. Jika memang benar sang ibu melakukannya, kenapa? Apa motifnya?Benar dugaannya, kemuncukan Irma di sini disertai banyak misteri.Perlahan Irma yang sedari tadi hanya menatap kosong ke depan, mengalihkan pandangan ke a
130“Ibu?” Elsa bergumam lirih dengan tatapan memicing tak percaya melihat sosok wanita paruh baya berpostur mungil yang tengah berdebat dengan laki-laki yang seharian ini terus membuntuti dirinya dan Abyasa.Untuk beberapa lama ia mematung di tempatnya. Mencoba mencerna apa yang tengah terjadi hingga saat ia bisa menguasai dirinya, kakinya gegas mendekat.Sebelum Elsa tiba, wanita yang masih berdebat sudah menyadari kehadirannya, hingga ia yang menyongsong.“Elsa ….” Pekiknya seraya menghambur memeluk tubuh Elsa dengan kuat hingga nyaris terseret mundur beberapa langkah.Elsa mengerjap bingung. Sungguh, ia merindukan sang ibu yang sebenarnya sejak kecil mereka tidak hidup bersama dan baru bertemu saat ia menjadi istri David. Namun, entah kenapa saat dipertemukan dalam keadaan seperti ini, ia malah bingung seolah tidak suka bertemu lagi. Baginya, ada banyak misteri di balik pertemuan tak terduga ini.“Elsa, aku yakin jika ibumu ini yang sudah membawa Vivi. Buktinya ia tiba-tiba saja d