91“Tante Puput ndak boleh deket-deket Papa. Itu kulsi Mama.” Terdengar suara cempreng tetapi cadel milik anak semata wayangnya.Puput? Davina bicara dengan Puput? Apa wanita itu ada di sini?Elsa memejam sebentar, sebelum kembali melanjutkan langkah. Sesuatu terasa mengusik hatinya, membayangkan jika benar wanita itu ada di sini. Ia masih berharap pendengarannya salah. Davina hanya salah menyebut nama. Namun, kenyataannya memang seperti itu. Di sana, di ruang makan nan luas rumah Abyasa, ada wanita bernama Patricia yang Abyasa memanggilnya dengan sebutan Puput. Dan dari sekian banyak kursi makan di ruangan itu, kenapa wanita itu malah memilih kursi yang biasa ia duduki? Kursi yang sejak kedatangannya ke rumah itu, Abaysa memintanya duduk di sana setiap kali makan. Kursi yang biasanya memang diduduki seorang istri.Apa Puput ingin mengambil posisinya? Atau memang Abyasa yang menyuruhnya duduk di sana?Elsa menelan ludah yang mendadak pahit. Semua kalimat Abyasa tadi siang terngiang ke
92“Vivi ndak suka Papa dekat-dekat sama Tante itu. Vivi malah sama Papa. Pokoknya Vivi ndak mau ketemu Papa.”Elsa mengusap dada mendengar kalimat-kalimat yang terlontar dari mulut mungil Davina yang bercampur tangis itu. Terdengar lucu sebenarnya ucapan cadel penuh kecemburuan itu berbaur di antara tangisnya. Ya, terdengar kucu jika saja hati Elsa pun tidak sakit mendapati kenyataan Abyasa tega menyakiti hati putri semata wayangnya.Elsa tidak masalah jika hanya hatinya yang lagi-lagi dikecewakan lelaki itu, tetapi ini sudah menyangkut Davina. Bukankah satu-satunya alasan ia kembali menikah dengan laki-laki itu karena Davina? Jika kini Davina pun terluka oleh laki-laki itu, lalu apa gunanya semua yang ia lakukan selama ini?Elsa membungkuk, meraih tubuh Davina yang meringkuk dan memunggunginya. Ulah anak itu bak seorang kekasih yang dikecewakan pasangannya. Sang wanita kemudian membaringkan tubuh tepat di belakang sang anak. Dipeluknya tubuh itu penuh kasih. Pundaknya masih bergunca
93Elsa terpaku di tempatnya dengan tubuh beku bagai patung. Kakinya bahkan serasa menancap di bumi. Kalimat Puput barusan sebenarnya sudah pernah terbersit akan ia dengar, tetapi saat benar-benar terdengar, rasanya itu seperti dicerabut jantung dari rongganya.Ia masih mematung bahkan saat Puput berjalan mendekati Davina yang sudah duduk manis di kursi yang biasa ia duduki.“Jadi, Vivi mau duduk di situ?” tanya Puput dengan sok akrab dan sok ramah.“Ya.” Davina menjawab tanpa menoleh.Puput menatap anak perempuan yang hari ini rambutnya dikepang banyak. Tak lama wanita itu mengibaskan rambut dengan angkuh, sebelum berjalan menuju kursi di sebelah kiri kursi Abyasa.“Ya sudah, kalau kamu mau di sana, biar Tante yang di sini,” ujarnya seraya duduk dengan santainya.Davina bereaksi dengan menoleh kasar dan menatap tidak suka.“Itu kulsi Vivi!”“Kamu kan, sudah duduk di situ.”“Vivi duduk di sini bial Tante ndak duduk di sini. Ini kulsi Mama.”“Mama kamu bisa duduk di mana saja kan, kurs
94“Elsa.” Ternyata Abyasa menyusul. “Apa maksudmu berkemas?”Tidak ada jawaban. Elsa semakin mempercepat langkah dengan pelukan di tubuh Davina dipererat. Kamar Davina yang pertama dituju. Ia ingin pengasuh membantu membereskan baju-baju sang anak.“Elsa, aku mohon jangan seperti ini.” Abyasa meraih tangan Elsa, tetapi karena wanita itu memeluk anaknya, ia tidak dapat menariknya.“Jangan berpikiran buruk dulu. Dan jangan mengambil keputusan di saat sedang emosi. Mari kita bicara.” Abyasa menahan langkah Elsa dengan berdiri di jalanan yang akan dilalui wanita itu.Elsa menghentikan langkah. Sebelah tangannya menahan kepala Davina agar tetap di pundaknya dan tidak menoleh ke arah Abyasa.“Maaf, Pak. Saya rasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Lagipula, saya hanya sedang melindungi psikis Davina. Tidak mungkin terus tinggal di rumah yang membuat anak saya tidak nyaman. Ia akan terus bertingkah seperti anak yang tidak diajarkan sopan santun. Padahal itu karena rasa tidak nyamannya.”
95“Kalian mau ke mana?”Lagi dan lagi. Di saat seperti ini lelaki berkuncir muncul di hadapan Elsa. Entah memiliki radar yang kuat atau hanya kebetulan semata, setiap kali ia dalam kesulitan dan dalam kondisi setengah terusir, Mahesa selalu muncul tiba-tiba.“Kami mau ke ruko,” jawab Elsa datar seraya menggendong Davina dan menyeret koper.Fadli mengayuh kursi roda lebih dulu. Sementara pengasuh Davina membawakan tas-tas ransel berisi pakaian mereka.“Ke ruko?” Kening lelaki berkuncir berkerut. Ia menyamai langkah Elsa yang terlihat kesusahan, sebelum merebut koper di tangan sang wanita.“Hei, ada apa ini? Kalian baru menikah beberapa hari saja, kau sudah mau pindah ke ruko? Apa yang terjadi?” Mahesa terus bertanya seraya menghalangi langkah Elsa. Ia ingin wanita itu bicara sambil menghentikan langkah.Elsa menghentikan laju kakinya. Kemudian menatap Mahesa yang entah kenapa selalu datang seperti pahlawan di setiap ia membutuhkan bantuan.“Bisa antar kami?” tanya Elsa dengan menekan
96 “Aku tidak percaya Kakak bisa melakukan hal seperti ini lagi kepada Elsa!” geram Mahesa sebelum satu lagi pukulannya mendarat di wajah sang Kakak. Tubuh pemuda berkuncir tampak bergetar menahan emosi. Wajahnya merah padam dengan rahang mengeras. Abyasa yang tubuhnya lingbung pasca dua pukulan mendarat cepat dan keras di wajahnya, berusaha menyeimbangkan tubuh dengan berpegangan lemari. Kepalanya digelengkan berulang-ulang untuk membuang rasa pusing akibat dua pukulan itu. “Apa sebenarnya yang ada di otakmu, Kak? Bagaimana bisa kamu membawa wanita lain ke rumah sementara di sini ada istrimu dan keluarganya? Apa kamu tidak memikirkan perasaan mereka? Terlebih lihatlah, barusan kau membawanya juga ke sini, ke kamar kalian. Itu sangat … Aaarrgghhh ….” Satu lagi bogemnya ia daratkan, kali ini di perut sang kakak hingga sukses membuat tubuh Abyasa yang tidak melawan, terhuyung. Lelaki itu mundur seraya memegangi perutnya. Mahesa bahkan tidak memberinya kesempaatan untuk bicara sama se
97“Yakin mau tinggal di ruko?” tanya Mahesa saat mereka dalam perjalanan. Pemuda berkuncir menoleh ke samping di mana wanita bertubuh mungil terus memeluk anak perempuannya yang masih terlihat ketakutan. Tadi, saat mereka hendak berangkat, Abyasa datang mengetuk kaca mobil. Mahesa sengaja menurunkan kaca di sebelah Elsa karena ingin tahu apa yang ingin dikatakan laki-laki berwajah biru itu. Abyasa meminta Elsa dan keluarganya untuk bersabar karena ia ingin menyelesaikan dulu masalah dengan Puput. Ia juga meyakinkan jika tidak ada apa-apa antara dirinya dengan Puput. Sayangnya, Elsa yang sudah terlanjur kecewa, bahkan tidak mau menoleh sama sekali. Pandangannya tetap lurus ke depan. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya. Yang dilakukannya hanya diam memeluk Davina yang juga enggan melihat Abyasa. Anak itu bahkan terus menyembunyikan wajah di pundak sang ibu. Menepis setiap kali Abyasa berusaha menyentuhnya. Lalu Fadli yang duduk di jok belakang juga tidak berkata-kat
99Abyasa menggelengkan kepala untuk membuang rasa pusing akibat pukulan seseorang yang tiba-tiba. Berkali-kali ia mengerjapkan matanya yang mendadak berkunang-kunang efek pukulan keras itu. Sungguh ia tidak mengerti kenapa ada tamu masuk rumahnya dan tiba-tiba saja melayangkan pukulan.Padahal rasa sakit akibat pukulan Mahesa saja masih belum hilang, kini masih harus ditambah pukulan orang asing bersarang di wajahnya.“Saya tidak mengerti maksud anda, Pak. Kenapa anda tiba-tiba memukul saya di rumah saya sendiri? Tidakkah anda tahu jika ini bisa dipidanakan?” Abyasa menegakkan tubuhnya setelah dapat menguasai dirinya. Tak ia hiraukan rasa perih di sudut bibir dan hidungnya.“Ya, aku tahu. Tapi aku bisa memidakanmu lebih dulu karena menculik anak gadis orang lain dan menyembunyikannya di rumahmu. Kau bahkan menghancurkan hidupnya dengan mempengaruhinya agar tidak melanjutkan study.”Abyasa menganga mendengar ucapan pria paruh baya yang garis wajahnya mirip Barata. Lelaki itu kembali m
138“Ka-mu beneran mau sama dia?” Elsa bertanya ragu dengan telunjuk menunjuk rendah Mahesa. Tatapan sangsi ia lemparkan antara Mahesa dan Nadia berganti-gantian.“Hei, pertanyaanmu itu, Kakak ipar. Memangnya kenapa denganku? Aku ini ganteng, lebih ganteng dari suamimu. Aku juga masih muda, paling tidak lebih muda dari suamimu. Aku juga punya pekerjaan mapan, walaupun tidak lebih tinggi jabatannya dari suamimu. Wanita yang aku pilih akan menjadi wanita yang sangat beruntung karena di luar sana ada banyak wanita yang aku tolak. Lalu, kenapa kalau wanita cantik ini juga memilihku?”Mahesa bertolak pinggang. Terlihat raut tersinggung yang sengaja dibuat-buat. Sejatinya ia tidak bisa marah terhadap Elsa walaupun cintanya berkali-kali ditolak wanita itu. Ia bahkan rela bermusuhan dengan kakaknya sendiri dan menghancurkan nama baiknya sendiri untuk melindungi Elsa. Namun, Mahesa menyadari jika perasaan tidak bisa dipaksakan, sebaik apa pun ia terhadap Elsa, tidak dapat membuat wanita itu ja
137“Vivi mengganggu saja,” omel Elsa pelan seraya menyusupkan wajah di sisi leher Abyasa.Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan panas malam ini saat pintu kamar diketuk dan pengasuh mengantar Davina yang menangis mencari ayah sambungnya. Untung saja mereka telah selesai hingga walaupun lelah dan sedikit terganggu, setidaknya tidak ada lagi yang mengganjal.Abyasa tersenyum. Tangannya mengusap kepala Elsa yang terbenam di salah satu sisi lehernya. Sementara yang sebelah lagi memeluk tubuh Davina yang juga memeluknya. Bahkan cegukan sisa isaknya masih terdengar sesekali.Tadi pengasuh mengantar Davina ke sana dalam kondisi nangis kejer. Mungkin sudah nangis lama akibat dilarang ke kamar orang tuanya.“Sabar, nanti kalau Vivi sudah pulas lagi kita lanjut babak dua, ya.” Abyasa berbisik nakal. Sesuangguhnya ia pun masih ingin mengulang lagi dan lagi. Bayangkan, selama bertahun-tahun hasrat itu terkubur karena trauma mendalam, kini setelah kembali masih harus ditahan.Mengh
136“Mas, kasihan ya, Mbak Lina. Dia dicerai saat mengandung hanya gara-gara Bang Adrian cemburu buta.”Malam ini Elsa menyandarkan kepalanya di dada sang suami. Mereka menikmati malam yang mengembuskan udara hangat di balkon kamar. Davina sudah lama terlelap berbantalkan salah satu paha Abyasa. Sementara di sisi lainnya, Elsa menempelinya dengan posesif.Tangan sang wanita sejak tadi tak diam. Terus saja memainkan bulu-bulu yang tumbuh di sepanjang rahang sang suami. Bulu-bulu yang rasanya baru kemarin ia cukur, kini sudah mulai mengintip lagi melalui posri-pori kulit sang suami.Sesuatu yang paling disukainya sejak dulu. Bahkan di hari pertama pernikahan pura-pura mereka, ia tidak tahan untuk tidak menyentuh bagian tubuh Abyasa yang satu itu. Dulu, bahkan Abyasa sampai mengamuk karena kelancangannya.“Bang Adrian memang keterlaluan. Menceraikan setelah sebelumnya menuduh dengan keji. Dipisahkan dari anaknya selama enam tahun memang hukuman yang paling pantas. Karena akhirnya ia meny
135“Maaf, Elsa. Sebenarnya Abang datang ke sini, untuk menyerahkan ini.” Adrian bicara setelah mendapat kesempatan. Tangannya menyodorkan sebuah map di atas meja.Mata Elsa yang masih nyalang, mengikuti gerakkan tangan Adrian hingga pupil matanya terfokus di map yang sangat familier baginya.“Ini milik Vivi, dan selamanya akan menjadi milik Vivi,” ujar Adrian lagi.Elsa mengalihkan pandangan dari map ke wajah lelaki yang sangat berbeda dengan kemarin. Jika kemarin penuh emosi dan meluap-luap. Tidak mau kalah setiap kali berdebat, bahkan terus saja bersitegang dengannya dan Abyasa. Namun kini terlihat sangat tenang dan teduh. Ia bahkan menunggu Elsa selesai meluapkan amarahnya. Ia hanya diam menyimak sampai Elsa lelah sendiri.“Maaf, seharusnya Abang melakukan ini sejak dulu. Seharusnya Abang tidak membiarkan kamu dan Vivi keluar dari rumah kalian. Rumah peninggalan David adalah hak Vivi, hak kamu juga. Tidak seharusnya kalian terlunta-lunta di luar sana sebelum kamu kembali menikah k
134Elsa mengusap sudut bibir Abyasa dengan tisu. Ia baru saja selesai menyuapi pria yang lagi-lagi sikap manjanya berlipat-lipat jika sedang sakit. Namun, tidak apa. Kali ini Elsa melayaninya dengan Ikhlas. Diurusnya lelaki itu dengan segenap hati walaupun ia jadi seperti mengurus dua bayi.Untunglah Davina tidak terlalu rewel. Meski harus mendapat perhatian lebih karena jiwanya masih terguncang atas semua peristiwa yang menimpanya. Namun, Davina termasuk anteng dan tidak banyak menuntut. Lebih sering berbaring memeluk Abyasa bahkan hingga tertidur. Seolah meminta perlindungan, gadis kecil itu sering berteriak jika tengah teringat kejadian kemarin. Dengan memeluk sang ayah sambung, ia seolah merasa tenang.Kebiasaan barunya saat akan tidur adalah memeluk ayah sambungnya itu, Abyasa tidak akan meninggalkannya hingga ia terlelap. Walaupun tubuhnya pun belum sepenuhnya pulih, Abyasa akan merelakan dirinya dan mengutamakan kenyamanan Davina.Keduanya melirik pintu kamar karena seseorang
133Kengerian tercipta saat mobil Porsche putih yang melesat cepat itu akhirnya melanggar tubuh kecil Irma dan menerbangkannya cukup jauh hingga mendarat di sebuah pot bunga besar setelah sebelumnya juga menghantam pohon palm di halaman.Elsa bahkan hanya bisa melebarkan mata dengan kedua tangan menutupi telinganya. Mulutnya tidak dapat mengeluarkan suara sedikit pun saking tidak percaya dengan yang baru saja terjadi di depan matanya.Tubuhnya lemas bagai dilolosi tulangnya, ambruk bersamaan tubuh Irma yang juga mendarat di paving. Elsa tidak tahu lagi apa yang ia rasakan saat ini. Dunia terasa berputar di matanya. Jungkir balik dan melayang-layang. Semua abu-abu dan hampir gelap saat teriakkan nyaring dari suara yang dikenalnya menyapa telinga.“Mama ….”Elsa menggelengkan kepala dengan kuat demi mendengar suara yang sumpah demi apa pun sangat dirindukannya. Segenap kesadaran yang beberapa detik lalu hampir terbang karena tak percaya dengan pandangannya, kini berusaha ia hadirkan lag
132“Ayo kita kembali ke rumah itu.” Abyasa berusaha bangkit, tapi gegas Elsa menahan. Sang suami masih terlihat kesakitan.“Kamu masih harus istirahat, Mas.” Elsa menggeleng sembari menahan tangan sang suami. Tatapan nanar bercampur haru berpendar di mata basahnya.“Elsa, keselamatan Vivi jauh lebih penting dari kesehatanku. Ayo kita kembali ke sana.”“Tidak, Mas. Kamu istirahat saja dulu, aku yang akan ke sana.”“Kamu?”“Iya. Ada ibu, sopir dan orangnya Pak Sudradjat yang menemani.”Abyasa menggeleng seraya tetap bangkit. “Kita pergi sama-sama. Di sini pun aku tidak akan bisa istirahat. Selain mengkhawarirkan Vivi, aku juga akan mengkhawatirkanmu, Elsa.”Elsa menggigit bibirnya. Sungguh ia tidak tahu apa yang harus dipikirkannya saat ini, tidak tega membiarkan Abyasa harus pergi di saat terluka, tapi juga keselematan Vivi sangat penting. Ia takut terjadi sesuatu dengan anak itu mengingat cerita sang ibu yang menyebut sang anak dikuasai anak majikannya yang autis.Akhirnya walaupun d
131Kening Elsa berkerut dalam, matanya memicing tajam. Ditatapnya tak percaya wanita yang memiliki garis wajah sama dengannya itu. Serius. Tidak terlihat gurat canda atau sedang berbohong.“Apa maksud Ibu? Jangan bercanda, Bu. Jangan membuat kepalaku semakin mendidih. Ibu tahu kan, kalau saat ini aku sedang sangat down.”“Ibu tidak bercanda, Elsa. Ibu memang yang membawa Vivi dari kolam renang kemarin.”Hening. Baik Elsa atau Irma tidak bersuara pasca kalimat Irma yang diucapkan dengan sangat serius barusan. Untuk beberapa lama Elsa larut dalam berbagai perasaan yang tak dapat digambarkan bahkan oleh dirinya sendiri.Apa ia harus percaya dengan kalimat sang ibu barusan? Tapi jika dipikir-pikir, bagaimana ibunya tahu Davina hilang sedangkan mereka baru saja bertemu lagi. Jika memang benar sang ibu melakukannya, kenapa? Apa motifnya?Benar dugaannya, kemuncukan Irma di sini disertai banyak misteri.Perlahan Irma yang sedari tadi hanya menatap kosong ke depan, mengalihkan pandangan ke a
130“Ibu?” Elsa bergumam lirih dengan tatapan memicing tak percaya melihat sosok wanita paruh baya berpostur mungil yang tengah berdebat dengan laki-laki yang seharian ini terus membuntuti dirinya dan Abyasa.Untuk beberapa lama ia mematung di tempatnya. Mencoba mencerna apa yang tengah terjadi hingga saat ia bisa menguasai dirinya, kakinya gegas mendekat.Sebelum Elsa tiba, wanita yang masih berdebat sudah menyadari kehadirannya, hingga ia yang menyongsong.“Elsa ….” Pekiknya seraya menghambur memeluk tubuh Elsa dengan kuat hingga nyaris terseret mundur beberapa langkah.Elsa mengerjap bingung. Sungguh, ia merindukan sang ibu yang sebenarnya sejak kecil mereka tidak hidup bersama dan baru bertemu saat ia menjadi istri David. Namun, entah kenapa saat dipertemukan dalam keadaan seperti ini, ia malah bingung seolah tidak suka bertemu lagi. Baginya, ada banyak misteri di balik pertemuan tak terduga ini.“Elsa, aku yakin jika ibumu ini yang sudah membawa Vivi. Buktinya ia tiba-tiba saja d