96 “Aku tidak percaya Kakak bisa melakukan hal seperti ini lagi kepada Elsa!” geram Mahesa sebelum satu lagi pukulannya mendarat di wajah sang Kakak. Tubuh pemuda berkuncir tampak bergetar menahan emosi. Wajahnya merah padam dengan rahang mengeras. Abyasa yang tubuhnya lingbung pasca dua pukulan mendarat cepat dan keras di wajahnya, berusaha menyeimbangkan tubuh dengan berpegangan lemari. Kepalanya digelengkan berulang-ulang untuk membuang rasa pusing akibat dua pukulan itu. “Apa sebenarnya yang ada di otakmu, Kak? Bagaimana bisa kamu membawa wanita lain ke rumah sementara di sini ada istrimu dan keluarganya? Apa kamu tidak memikirkan perasaan mereka? Terlebih lihatlah, barusan kau membawanya juga ke sini, ke kamar kalian. Itu sangat … Aaarrgghhh ….” Satu lagi bogemnya ia daratkan, kali ini di perut sang kakak hingga sukses membuat tubuh Abyasa yang tidak melawan, terhuyung. Lelaki itu mundur seraya memegangi perutnya. Mahesa bahkan tidak memberinya kesempaatan untuk bicara sama se
97“Yakin mau tinggal di ruko?” tanya Mahesa saat mereka dalam perjalanan. Pemuda berkuncir menoleh ke samping di mana wanita bertubuh mungil terus memeluk anak perempuannya yang masih terlihat ketakutan. Tadi, saat mereka hendak berangkat, Abyasa datang mengetuk kaca mobil. Mahesa sengaja menurunkan kaca di sebelah Elsa karena ingin tahu apa yang ingin dikatakan laki-laki berwajah biru itu. Abyasa meminta Elsa dan keluarganya untuk bersabar karena ia ingin menyelesaikan dulu masalah dengan Puput. Ia juga meyakinkan jika tidak ada apa-apa antara dirinya dengan Puput. Sayangnya, Elsa yang sudah terlanjur kecewa, bahkan tidak mau menoleh sama sekali. Pandangannya tetap lurus ke depan. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya. Yang dilakukannya hanya diam memeluk Davina yang juga enggan melihat Abyasa. Anak itu bahkan terus menyembunyikan wajah di pundak sang ibu. Menepis setiap kali Abyasa berusaha menyentuhnya. Lalu Fadli yang duduk di jok belakang juga tidak berkata-kat
99Abyasa menggelengkan kepala untuk membuang rasa pusing akibat pukulan seseorang yang tiba-tiba. Berkali-kali ia mengerjapkan matanya yang mendadak berkunang-kunang efek pukulan keras itu. Sungguh ia tidak mengerti kenapa ada tamu masuk rumahnya dan tiba-tiba saja melayangkan pukulan.Padahal rasa sakit akibat pukulan Mahesa saja masih belum hilang, kini masih harus ditambah pukulan orang asing bersarang di wajahnya.“Saya tidak mengerti maksud anda, Pak. Kenapa anda tiba-tiba memukul saya di rumah saya sendiri? Tidakkah anda tahu jika ini bisa dipidanakan?” Abyasa menegakkan tubuhnya setelah dapat menguasai dirinya. Tak ia hiraukan rasa perih di sudut bibir dan hidungnya.“Ya, aku tahu. Tapi aku bisa memidakanmu lebih dulu karena menculik anak gadis orang lain dan menyembunyikannya di rumahmu. Kau bahkan menghancurkan hidupnya dengan mempengaruhinya agar tidak melanjutkan study.”Abyasa menganga mendengar ucapan pria paruh baya yang garis wajahnya mirip Barata. Lelaki itu kembali m
100Abyasa memacu mobilnya menuju ruko di mana disinyalir menjadi tempat tujuan Elsa dan keluarganya. Walaupun tidak yakin jika wanita itu dan keluarganya masih bisa memaafkan dan menerimanya lagi, tetapi ia akan berusaha sampai titik darah penghabisan.Tidak punya muka? Abyasa tidak peduli, yang penting ia akan berjuang sampai Elsa dan keluarganya kembali dalam pelukannya.Ayah dan anak pembuat onar itu sudah pergi beberapa saat lalu setelah ia meminta petugas keamanan rumahnya, juga sekuriti kompleks untuk mengamankan mereka.Awalnya, Puput tidak mau pergi. Keukeuh ingin tinggal di sana dengan tidak tahu malu. Bahkan memaksa Abyasa untuk menikahinya. Namun, Abyasa sudah tidak peduli sama sekali. Kepalanya hampir pecah memikirkan kenapa tiba-tiba hidupnya terlibat dengan orang-orang seperti mereka.Heran sebenarnya, mereka keluarga terpelajar, dokter, psikiater, tapi kenapa tidak bisa mengurus satu gadis depresi seperti Puput?Abyasa mengusap wajah dengan kasar kemudian memukul hande
101“Aku mau ikut tinggal di sini bersama kalian.”Elsa menganga tak percaya mendengar ucapan lelaki yang langsung masuk tanpa meminta izinnya sama sekali. Lelaki itu bahkan langsung menuju asal aroma masakan dan suara gaduh di salah satu sudut ruangan.Elsa mengerjap berkali-kali setelah sekian lama hanya mematung dengan mulut menganganya. Ia gegas menyusul lelaki yang baginya sangat tidak tahu malu.Apa yang ingin dilakukan Abyasa di sini?Elsa terus mengejar Abyasa yang menuju ruangan yang ia gunakan menjadi dapur sementara. Tadi Mahesa berbelanja kebutuhan rumah tangga yang penting-penting saja.Lelaki yang dikejar Elsa menghentikan langkah beberapa meter dari tiga orang yang duduk melingkar di atas tikar sintetis menghadapi hidangan sederhana dan tidak terlalu banyak yang terhampar di tengah. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu, yang pasti langkahnya yang awalnya menggebu mendadak seperti api disiram hujan. Langsung padam dan tidak memiliki kekuatan. Ia hanya berdiri terpaku di
101Kekakuan menyelimuti acara makan itu. Elsa dan ayahnya hanya diam tanpa kata. Tidak mungkin mengusir Abyasa karena Davina yang mengajaknya. Anak itu akan pasang badan untuk laki-laki itu.Mahesa terus mengomel dengan kesal. Berbagai sindiran ia tujukan untuk laki-laki itu. Hanya Davina yang sejak tadi sibuk melayani Abyasa.Anak itu menyediakan tempat untuk Abyasa dengan menggeser tempatnya sendiri menjadi lebih dekat dengan Elsa. Kemudian anak itu mengambilkan piring kosong dan menyendokkan nasi untuk ayah sambungnya. Bukan hanya itu, ia bahkan menawarkan apa Abyasa ingin disuapi.Lagi-lagi Abyasa ingin menumpahkan air matanya saking terharu dengan perlakuan anak sambungnya. Entah sudah seberapa banyak penyesalan menggunung dalam hatinya.“Tidak perlu, Sayang. Papa bisa makan sendiri. Terima kasih,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca. Kemudian mulai menyantap makanan walaupun rasa malu tak bertepi.Malu terhadap Elsa dan keluarganya yang masih mau menerima dirinya. Malu terhadap Ma
102“Mama ….” Sosok kecil mendekat bersamaan seruannya yang nyaring.Elsa mengerjap seraya memasukkan lagi cincin dalam genggamannya ke dalam saku bajunya. Pembicaraan dengan Mahesa harus dijeda karena ada Davina di sana. Terlebih ia tahu jika Davina tidak sendiri ke sana. Melainkan lelaki yang sejak tadi menemaninya bermain, mengantarnya dan menunggu di depan pintu.“Udah mainnya, Sayang?” Elsa mengangkat tubuh Davina yang licin oleh keringat. Keseruan bermain dengan Abyasa membuatnya lupa waktu dan bahkan bermandi keringat.“Udah, Ma. Kata Papa Vivi suruh mandi dulu. Nanti main lagi.”“Nanti?” Kening Elsa berkerut.“Iya, nanti. Kan, Papa mau nginap di sini, Ma.”“Nginap?” Kening itu kian berkerut dalam.“Iya, Papa mau nginap di sini sama kita.”Elsa memejam. Kesal? Jangan tanya. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu. Namun, ia tidak mungkin marah di depan Davina. Ditariknya napas panjang sebelum membawa anak itu ke kamar mandi dan berpamitan dengan Mahesa.“Sayang, Papa Aby-nya nanti
103Elsa mengembuskan napas kasar sebelum berlalu ke kamar mandi untuk menuntaskan hajatnya. Setelahnya ia memilih kembali ke kamar tanpa melirik lagi ke arah lelaki yang meringkuk di sana.Namun, saat akan merebahkan dirinya lagi, Elsa urung melakukannya. Wanita itu terdiam beberapa saat tanpa melakukan apa pun. Setelahnya ia kembali bangkit. Mengintip tubuh yang meringkuk itu.Hujan di luar masih awet menyapa bumi. Udara yang dibawanya menjadi lembab hingga menghadirkan rasa dingin yang menusuk tulang. Padahal ruangan itu belum memakai AC.Elsa kembali mengintip keluar kamar. Tubuh itu semakin meringkuk lebih dalam. Mungkin menahan rasa dingin. Tidak ada gerakkan selain punggungnya yang turun naik dengan teratur.Elsa terpaku memandanginya. Peperangan kecil mulai terjadi dalam hatinya. Bagaimanapun, ia bukan pohon pisang yang punya jantung tapi tidak punya hati. Sekesal apa pun terhadap lelaki itu, ia tetap tidak tega melihatnya seperti itu.Diembusnya napas berat, kemudian melirik
138“Ka-mu beneran mau sama dia?” Elsa bertanya ragu dengan telunjuk menunjuk rendah Mahesa. Tatapan sangsi ia lemparkan antara Mahesa dan Nadia berganti-gantian.“Hei, pertanyaanmu itu, Kakak ipar. Memangnya kenapa denganku? Aku ini ganteng, lebih ganteng dari suamimu. Aku juga masih muda, paling tidak lebih muda dari suamimu. Aku juga punya pekerjaan mapan, walaupun tidak lebih tinggi jabatannya dari suamimu. Wanita yang aku pilih akan menjadi wanita yang sangat beruntung karena di luar sana ada banyak wanita yang aku tolak. Lalu, kenapa kalau wanita cantik ini juga memilihku?”Mahesa bertolak pinggang. Terlihat raut tersinggung yang sengaja dibuat-buat. Sejatinya ia tidak bisa marah terhadap Elsa walaupun cintanya berkali-kali ditolak wanita itu. Ia bahkan rela bermusuhan dengan kakaknya sendiri dan menghancurkan nama baiknya sendiri untuk melindungi Elsa. Namun, Mahesa menyadari jika perasaan tidak bisa dipaksakan, sebaik apa pun ia terhadap Elsa, tidak dapat membuat wanita itu ja
137“Vivi mengganggu saja,” omel Elsa pelan seraya menyusupkan wajah di sisi leher Abyasa.Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan panas malam ini saat pintu kamar diketuk dan pengasuh mengantar Davina yang menangis mencari ayah sambungnya. Untung saja mereka telah selesai hingga walaupun lelah dan sedikit terganggu, setidaknya tidak ada lagi yang mengganjal.Abyasa tersenyum. Tangannya mengusap kepala Elsa yang terbenam di salah satu sisi lehernya. Sementara yang sebelah lagi memeluk tubuh Davina yang juga memeluknya. Bahkan cegukan sisa isaknya masih terdengar sesekali.Tadi pengasuh mengantar Davina ke sana dalam kondisi nangis kejer. Mungkin sudah nangis lama akibat dilarang ke kamar orang tuanya.“Sabar, nanti kalau Vivi sudah pulas lagi kita lanjut babak dua, ya.” Abyasa berbisik nakal. Sesuangguhnya ia pun masih ingin mengulang lagi dan lagi. Bayangkan, selama bertahun-tahun hasrat itu terkubur karena trauma mendalam, kini setelah kembali masih harus ditahan.Mengh
136“Mas, kasihan ya, Mbak Lina. Dia dicerai saat mengandung hanya gara-gara Bang Adrian cemburu buta.”Malam ini Elsa menyandarkan kepalanya di dada sang suami. Mereka menikmati malam yang mengembuskan udara hangat di balkon kamar. Davina sudah lama terlelap berbantalkan salah satu paha Abyasa. Sementara di sisi lainnya, Elsa menempelinya dengan posesif.Tangan sang wanita sejak tadi tak diam. Terus saja memainkan bulu-bulu yang tumbuh di sepanjang rahang sang suami. Bulu-bulu yang rasanya baru kemarin ia cukur, kini sudah mulai mengintip lagi melalui posri-pori kulit sang suami.Sesuatu yang paling disukainya sejak dulu. Bahkan di hari pertama pernikahan pura-pura mereka, ia tidak tahan untuk tidak menyentuh bagian tubuh Abyasa yang satu itu. Dulu, bahkan Abyasa sampai mengamuk karena kelancangannya.“Bang Adrian memang keterlaluan. Menceraikan setelah sebelumnya menuduh dengan keji. Dipisahkan dari anaknya selama enam tahun memang hukuman yang paling pantas. Karena akhirnya ia meny
135“Maaf, Elsa. Sebenarnya Abang datang ke sini, untuk menyerahkan ini.” Adrian bicara setelah mendapat kesempatan. Tangannya menyodorkan sebuah map di atas meja.Mata Elsa yang masih nyalang, mengikuti gerakkan tangan Adrian hingga pupil matanya terfokus di map yang sangat familier baginya.“Ini milik Vivi, dan selamanya akan menjadi milik Vivi,” ujar Adrian lagi.Elsa mengalihkan pandangan dari map ke wajah lelaki yang sangat berbeda dengan kemarin. Jika kemarin penuh emosi dan meluap-luap. Tidak mau kalah setiap kali berdebat, bahkan terus saja bersitegang dengannya dan Abyasa. Namun kini terlihat sangat tenang dan teduh. Ia bahkan menunggu Elsa selesai meluapkan amarahnya. Ia hanya diam menyimak sampai Elsa lelah sendiri.“Maaf, seharusnya Abang melakukan ini sejak dulu. Seharusnya Abang tidak membiarkan kamu dan Vivi keluar dari rumah kalian. Rumah peninggalan David adalah hak Vivi, hak kamu juga. Tidak seharusnya kalian terlunta-lunta di luar sana sebelum kamu kembali menikah k
134Elsa mengusap sudut bibir Abyasa dengan tisu. Ia baru saja selesai menyuapi pria yang lagi-lagi sikap manjanya berlipat-lipat jika sedang sakit. Namun, tidak apa. Kali ini Elsa melayaninya dengan Ikhlas. Diurusnya lelaki itu dengan segenap hati walaupun ia jadi seperti mengurus dua bayi.Untunglah Davina tidak terlalu rewel. Meski harus mendapat perhatian lebih karena jiwanya masih terguncang atas semua peristiwa yang menimpanya. Namun, Davina termasuk anteng dan tidak banyak menuntut. Lebih sering berbaring memeluk Abyasa bahkan hingga tertidur. Seolah meminta perlindungan, gadis kecil itu sering berteriak jika tengah teringat kejadian kemarin. Dengan memeluk sang ayah sambung, ia seolah merasa tenang.Kebiasaan barunya saat akan tidur adalah memeluk ayah sambungnya itu, Abyasa tidak akan meninggalkannya hingga ia terlelap. Walaupun tubuhnya pun belum sepenuhnya pulih, Abyasa akan merelakan dirinya dan mengutamakan kenyamanan Davina.Keduanya melirik pintu kamar karena seseorang
133Kengerian tercipta saat mobil Porsche putih yang melesat cepat itu akhirnya melanggar tubuh kecil Irma dan menerbangkannya cukup jauh hingga mendarat di sebuah pot bunga besar setelah sebelumnya juga menghantam pohon palm di halaman.Elsa bahkan hanya bisa melebarkan mata dengan kedua tangan menutupi telinganya. Mulutnya tidak dapat mengeluarkan suara sedikit pun saking tidak percaya dengan yang baru saja terjadi di depan matanya.Tubuhnya lemas bagai dilolosi tulangnya, ambruk bersamaan tubuh Irma yang juga mendarat di paving. Elsa tidak tahu lagi apa yang ia rasakan saat ini. Dunia terasa berputar di matanya. Jungkir balik dan melayang-layang. Semua abu-abu dan hampir gelap saat teriakkan nyaring dari suara yang dikenalnya menyapa telinga.“Mama ….”Elsa menggelengkan kepala dengan kuat demi mendengar suara yang sumpah demi apa pun sangat dirindukannya. Segenap kesadaran yang beberapa detik lalu hampir terbang karena tak percaya dengan pandangannya, kini berusaha ia hadirkan lag
132“Ayo kita kembali ke rumah itu.” Abyasa berusaha bangkit, tapi gegas Elsa menahan. Sang suami masih terlihat kesakitan.“Kamu masih harus istirahat, Mas.” Elsa menggeleng sembari menahan tangan sang suami. Tatapan nanar bercampur haru berpendar di mata basahnya.“Elsa, keselamatan Vivi jauh lebih penting dari kesehatanku. Ayo kita kembali ke sana.”“Tidak, Mas. Kamu istirahat saja dulu, aku yang akan ke sana.”“Kamu?”“Iya. Ada ibu, sopir dan orangnya Pak Sudradjat yang menemani.”Abyasa menggeleng seraya tetap bangkit. “Kita pergi sama-sama. Di sini pun aku tidak akan bisa istirahat. Selain mengkhawarirkan Vivi, aku juga akan mengkhawatirkanmu, Elsa.”Elsa menggigit bibirnya. Sungguh ia tidak tahu apa yang harus dipikirkannya saat ini, tidak tega membiarkan Abyasa harus pergi di saat terluka, tapi juga keselematan Vivi sangat penting. Ia takut terjadi sesuatu dengan anak itu mengingat cerita sang ibu yang menyebut sang anak dikuasai anak majikannya yang autis.Akhirnya walaupun d
131Kening Elsa berkerut dalam, matanya memicing tajam. Ditatapnya tak percaya wanita yang memiliki garis wajah sama dengannya itu. Serius. Tidak terlihat gurat canda atau sedang berbohong.“Apa maksud Ibu? Jangan bercanda, Bu. Jangan membuat kepalaku semakin mendidih. Ibu tahu kan, kalau saat ini aku sedang sangat down.”“Ibu tidak bercanda, Elsa. Ibu memang yang membawa Vivi dari kolam renang kemarin.”Hening. Baik Elsa atau Irma tidak bersuara pasca kalimat Irma yang diucapkan dengan sangat serius barusan. Untuk beberapa lama Elsa larut dalam berbagai perasaan yang tak dapat digambarkan bahkan oleh dirinya sendiri.Apa ia harus percaya dengan kalimat sang ibu barusan? Tapi jika dipikir-pikir, bagaimana ibunya tahu Davina hilang sedangkan mereka baru saja bertemu lagi. Jika memang benar sang ibu melakukannya, kenapa? Apa motifnya?Benar dugaannya, kemuncukan Irma di sini disertai banyak misteri.Perlahan Irma yang sedari tadi hanya menatap kosong ke depan, mengalihkan pandangan ke a
130“Ibu?” Elsa bergumam lirih dengan tatapan memicing tak percaya melihat sosok wanita paruh baya berpostur mungil yang tengah berdebat dengan laki-laki yang seharian ini terus membuntuti dirinya dan Abyasa.Untuk beberapa lama ia mematung di tempatnya. Mencoba mencerna apa yang tengah terjadi hingga saat ia bisa menguasai dirinya, kakinya gegas mendekat.Sebelum Elsa tiba, wanita yang masih berdebat sudah menyadari kehadirannya, hingga ia yang menyongsong.“Elsa ….” Pekiknya seraya menghambur memeluk tubuh Elsa dengan kuat hingga nyaris terseret mundur beberapa langkah.Elsa mengerjap bingung. Sungguh, ia merindukan sang ibu yang sebenarnya sejak kecil mereka tidak hidup bersama dan baru bertemu saat ia menjadi istri David. Namun, entah kenapa saat dipertemukan dalam keadaan seperti ini, ia malah bingung seolah tidak suka bertemu lagi. Baginya, ada banyak misteri di balik pertemuan tak terduga ini.“Elsa, aku yakin jika ibumu ini yang sudah membawa Vivi. Buktinya ia tiba-tiba saja d