"Layla! Gawat! Gawat!"
Seorang wanita berusia tiga puluhan dengan rambut di kuncir kuda terlihat berlari dengan raut wajah sembab dan panik menuju ke arah perempuan yang dipanggilnya Layla.Layla yang baru saja pulang dari mengantar anak majikannya ke sekolah turun dari motor dan memarkirkannya di tempat parkir. Ia berjalan menghampiri Risma yang tampak kusut."Ada apa, Ris? Kenapa muka kamu panik begitu?""Mertua kamu!" serunya dengan napas tersengal."Ada apa dengan ibuku?""Theo masuk rumah sakit," Risma memegangi pergelangan tangan Layla dan membawanya masuk ke dalam rumah."Masuk rumah sakit?" beonya tak mengerti dengan maksud Risma. Apa hubungannya dengan ibu mertuanya dan Theo yang masuk rumah sakit?Risma yang menyadari kebingungan di wajah Layla kemudian menjelaskan dalam satu tarikan napas, "Saat kamu pergi antar Stella ke sekolah, kecelakaan terjadi di rumah. Bu Lastri terbukti meracuni Theo."Layla membeku dengan jantung berdebar kencang. Langkah kakinya terhenti saat mendengar kalimat temannya barusan."Ibuku meracuni Theo?"Risma mengangguk. Sepasang mata gadis itu tampak merah, seperti habis menangis. Tatkala Layla melihat wajah sembab diliputi kesedihan itu, ia tahu bahwa apa yang dikatakan oleh Risma bukanlah candaan.Hari itu, suasana di rumah majikan Layla terasa tegang. Sejak dia datang, dia merasakan firasat buruk menggelayuti perasaannya.Dia melihat ibu mertuanya, Bu Lastri yang sudah sepuh, duduk di ruang tamu dengan wajah penuh kegelisahan. Layla mencoba memahami apa yang terjadi, tetapi segera terkejut saat melihat beberapa polisi pun turut hadir di sana.Dalam kebingungan, Layla berlari mendekati ibu mertuanya. "Bu, apa yang terjadi?" tanyanya dengan cemas.Melihat menantunya datang, Bu Lastri kembali menangis sesenggukan. "Mereka menuduh ibu meracuni Theo, Layla. Padahal Ibu tidak pernah melakukan itu. Ibu tidak tahu apa-apa, Layla. Tolong percayalah pada Ibu."Layla mencoba menenangkan dirinya dan ibu mertuanya dengan memeluknya dan memegang tangan Bu Lastri lembut."Ibu mengatakan berkali-kali pada semua orang, tapi mereka tidak percaya pada Ibu, Layla. Tuan sudah memanggil polisi untuk menangkap Ibu. Sekarang, apa yang harus Ibu lakukan, Nak?" Bu Lastri menangis pilu dalam pelukan menantunya."Ibu tenang dulu ya. Sudah jangan menangis lagi. Aku akan bicara pada nyonya dan memohon padanya agar dia mau memaafkanmu." katanya berjanji.Sejujurnya dia juga tak yakin apakah majikannya bersedia memaafkan mereka. Bila itu sudah menyangkut kedua anak majikannya, tuan dan nyonya bisa berubah menjadi orang yang keras hati.Dua orang polisi yang datang atas panggilan Tuan Angga selaku majikan Layla lantas mendekat.“Anda harus kami bawa ke kantor sampai hasil penyelidikan selesai dan Anda terbukti tidak bersalah, Bu Lastri.”Tanpa babibu, dua orang polisi lantas membawa Bu Lastri pergi. Melihat ibu mertuanya di giring layaknya seorang penjahat kriminal, hati Layla seperti diiris belati.Segera tanpa membuang-buang waktunya, Layla mengitari pandangan ke sekeliling ruangan. Mencari keberadaan majikannya yang belum kelihatan batang hidungnya sejak dia datang ke rumah.Risma yang notabene seorang pembantu juga di rumah tersebut kemudian memberitahu keberadaan majikan mereka berdua."Tuan Angga pergi ke rumah sakit menemani tuan kecil. Sedangkan Nyonya tinggal di sini untuk mengurus penahanan ibumu, La."Kini, kedua matanya yang jernih dan meneduhkan kabur oleh air mata yang menggenang."Lalu di mana Nyonya sekarang, Ris? Aku harus bertemu dan bicara padanya, pasti sudah terjadi kesalahpahaman.""Nyonya ada di lantai atas, La. Pergilah sekarang. Jangan buang waktumu di sini." ucap Risma sama sedihnya dengan temannya."Terima kasih karena selama aku tidak ada, kamu menemani ibuku." ujar Layla merasa bersyukur."Tidak perlu berterima kasih, Layla. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk membantumu." jawab Risma dengan bibir bergetar pelan.Sebelum Layla hendak melangkah menemui majikannya, Nyonya Kusuma yang ada di lantai dua muncul. Wanita berusia empat puluhan itu turun ke bawah. Saat wanita itu melihat Layla, raut wajahnya yang dipenuhi amarah terlihat menakutkan.Nyonya Kusuma, berdiri di depannya dengan sikap sombong dan dipenuhi kebencian."Nyonya Kusuma, saya mohon kepada Anda tolong bebaskan ibu saya. Saya yakin ibu saya tidak bersalah. Nyonya, pasti ada kesalahpahaman di sini. Ibu saya tak mungkin melakukan kejahatan semacam itu pada Theo." Layla mendekati Nyonya Kusuma sambil memohon dengan sungguh-sungguh.Nyonya Kusuma mengangkat alisnya sinis, "Layla, Jangan terlalu berharap aku semudah itu melepaskan ibumu. Ibumu telah melakukan dosa besar dengan meracuni anakku. Dia tidak pantas mendapatkan kebebasan!""Nyonya Kusuma, saya percaya ibu saya tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Selama ini, Ibuku selalu menjaga orang lain dengan tulus dan tanpa pamrih. Mana mungkin tega meracuni Theo yang telah dianggapnya seperti cucu sendiri?""Kasih sayang? Apakah itu yang terlihat ketika dia menjadi pembantu di rumahku? Dia pemalas dan penuh tipu muslihat! Kamu dan ibumu sama-sama licik dan tidak patut tinggal di sini! Andai bukan karena permintaan suamiku, sudah kutolak permohonanmu untuk membawa ibumu yang tua itu kemari!""Layla, jangan harap aku melepaskan ibumu begitu saja!" ucap Nyonya Kusuma penuh emosi.Air mata mengalir di wajah Layla saat bujukannya malah dibalas hinaan. Pada akhirnya, permohonan maaf serta bujukannya tak mampu meredakan kemarahan sang majikan. Persidangan akan tetap berlangsung dan dia hanya bisa melawan demi membuktikan kalau ibunya tak mungkin melakukan kejahatan tersebut. ***Layla tidak punya banyak waktu istirahat meski tubuhnya lelah luar biasa sebab beban kerja seharian ini. Setelah ia tidak berhasil menyakinkan sang majikan, ia langsung menanyakan kronologi kejadiannya pada Risma dan suster pembantu yang menjaga Theo saat itu."Dari rekaman CCTV memang ibu mertua kamu yang salah ngasih minuman buat Theo, Layla.""Aku tinggal bentar ke kamar mandi, La. Aku minta tolong ke Bu Lastri buat jagain Theo sebentar. Aku nggak nyangka kalau kejadiannya bakal sampai gini. Aku merasa bersalah ke kamu, La. Andai bukan karena permintaan aku, ibumu yang rabun itu nggak mungkin salah ngasih minuman ke Theo."Mendengar penuturan dua orang terdekatnya semakin melenyapkan harapan yang Layla miliki.Karena usianya, ibu mertuanya memang punya masalah penglihatan dan juga pendengaran. Oleh sebab itu, ibu mertuanya itu hanya ditugaskan untuk menjaga kebun dan bersih-bersih halaman saja. Sedangkan dia bertugas sebagai ART sekaligus pengasuh Stella yang usianya kini tiga belas tahun dan sudah bersekolah."Jadi selama hal itu terjadi, cuma ada ibu dan Theo saja di dapur?"Risma mengangguk, begitu pula dengan Lina."Ya Allah, apa yang harus aku lakukan sekarang?"Layla tersungkur ke lantai, menangis terisak saat bayangan tidak dapat menyelamatkan ibu mertuanya dari penjara terngiang-ngiang dalam benaknya.Risma yang ikut merasa sedih memeluk Layla erat. Bisikan-bisikan bernada lembut, kata-kata penyemangat dan nasehat dia bisikkan demi membuat wanita berparas ayu itu tenang."La, kamu yang kuat ya. Aku mungkin nggak bisa bantu kamu apa-apa. Tapi nanti, selama polisi minta kesaksian dari kami, aku janji akan bicara sebenar-benarnya.""Begitu pula denganku, Layla. Aku janji bakal bantuin kamu." Lina ikut berlutut. Tangis sedih mengalir di pipinya saat rasa bersalah menimpanya.***Dalam keadaan linglung, Layla pergi ke kantor polisi. Seorang diri dia duduk di kursi dan menunggu salah satu petugas muncul. Tak lama, seorang pria datang dan duduk di hadapannya."Pak, bagaimana keadaan ibu saya?""Kamu siapanya Bu Lastri?" tanya petugas itu pada Layla."Saya menantunya, Pak,""Saya lihat dari catatan riwayat hidup, Bu Lastri sebatang kara ya, Mbak?"Layla mengangguk mengiyakan."Suami saya yang sekaligus putra satu-satunya meninggal lima tahun lalu, Pak. Setelah itu, beliau saya yang urus." Aku Layla jujur.Pak polisi menatap lama perempuan cantik yang kini tampak sedih dan pucat dengan tatapan kompleks. Kenapa masih ada sosok wanita yang masih baik yang mau merawat ibu mertuanya padahal suaminya sudah meninggal dunia?Tak mau ikut campur masalah yang bukan urusannya, petugas polisi itu lantas kembali bicara."Tim kami masih menyelidiki kasus ibumu, Mbak. Meski dari rekaman CCTV di rumah memang benar kalau Bu Lastri yang memberikan botol minum itu kepada korban, kami masih harus melakukan penyidikan lanjutan.""Rekaman CCTV?" gumam Layla tak berdaya. Ia sudah mendengar berita ini dari dua temannya tadi."Sejauh ini, rekaman tersebut merupakan bukti terkuat selain barang bukti yang telah kami ambil dari tempat kejadian."Setetes air mata kembali jatuh di pipi Layla. Ia berusaha menahan isaknya dan dengan menyakitkan bertanya kemungkinan terburuk yang bisa terjadi pada ibu mertuanya."Andai... Andaikan ibu saya diputuskan bersalah, berapa lama kira-kira hukumannya, Pak?""Hukumannya bergantung seberapa besar kejahatan dan dampak dari kejahatan yang telah dilakukan oleh ibu Anda. Dalam kasus ibu mertua Anda, kemungkinan Bu Lastri akan dihukum penjara minimal lima tahun dan maksimal dua puluh tahun.""Ya Tuhan...." Layla kehilangan kata-kata. Dunianya terasa runtuh tatkala membayangkan ibu mertua yang disayanginya menghabiskan masa tuanya di balik jeruji besi.Merasa iba, polisi lantas memberikan saran, "Anda perlu mencari seorang pengacara selama kasus sidang nantinya. Jika mbak kebingungan menemukan seorang pengacara, tim hukum kami bisa membawa salah satu pengacara untuk menemani mbak dalam menangani kasus ini. Mbak juga diperkenankan membawa pengacaranya sendiri."Layla berjalan dengan pandangan kosong dan banyak pikiran menyusuri lorong. Saat di pertigaan lorong itu, dia berpapasan dengan beberapa orang pria. Namun karena Layla tidak melihat ke arah sekitarnya, dia berjalan begitu saja tanpa ada niatan mengawasi kiri dan kanannya.Pada saat itu, salah satu dari pria yang mengenakan setelan formal, ada pria paling jangkung di antara mereka dengan wajah tampan terpahat sempurna melirik ke arah Layla dengan raut penasaran.Salah temannya yang menyadari kediamannya pun menginterupsi pandangan pria yang tampak berwibawa tersebut."Ada apa? Kenapa kamu berhenti berjalan?”“Ah, tidak. Sepertinya aku melihat seorang kenalan.” balasnya seraya menarik pandangannya kembali ke depan.“Malang sekali perempuan itu,” Tiba-tiba seorang polisi yang ada diantara mereka berbicara.Hansen yang tertarik lantas menanggapi.“Ada masalah apa dengan wanita tadi?”“Ibu mertuanya di tahan di sini. Kalau tidak salah atas kasus percobaan pembunuhan.”“Pembunuhan?”“Begitulah yang saya dengar dari komandan. Karena bukan saya yang menangani kasusnya, jadi saya tidak banyak informasi yang tahu.”“Hans, kenapa? Sepertinya kamu sangat tertarik dengan wanita yang lewat tadi.” Robin kembali bertanya karena merasa aneh dengan sahabatnya.“Bukan apa-apa. Kita lanjutkan saja pekerjaan kita di sini.” ujar Hansen memotong pembicaraan. Namun dalam batinnya, ia begitu yakin mengenal wanita yang tadi itu.Itu seperti gadis yang ia temui di acara reuni sekolahnya beberapa tahun silam. Alasan mengapa dia mengingatnya tak lain adalah dia memiliki ingatan tajam dan seseorang yang cantik jelita seperti wanita itu yang merupakan tipenya, sangat berkesan untuk dirinya ingat.Beberapa hari kemudian setelah penangkapan ibu mertuanya dan gagalnya dia mendapatkan pengacara yang mau membelanya, Layla datang ke sebuah kantor firma hukum yang ia dapat alamatnya dari kartu nama yang ditinggalkan oleh mendiang sang suami. Secara kebetulan, kantor itu juga merupakan gedung Law Firm HRS yang kata beberapa pengacara yang ia temui tak mungkin menang melawan mereka. Erwin memang pernah bilang kalau salah teman dekatnya telah sukses menjadi seorang advokat hebat. Dan dia teringat samar-samar pada sosok teman yang dimaksud oleh Erwin dahulu. Sebuah gedung besar dan tinggi berdiri kokoh di hadapan Layla. Ia merasa malu berada di lingkungan yang bukan seperti tempatnya. Orang-orang yang ia temui di lobi tampak seperti orang pintar, cara berpakaiannya rapi dan berkelas, sampai cara berjalannya pun seperti menampilkan keanggunan seorang lulusan sarjana terkenal. Dibandingkan dengan dirinya yang berpakaian lusuh dan menderita memar, ia merasa malu. Layla menguatkan diriny
Pagi itu langit terlihat mendung. Udara terasa lembab dan panas. Langkah pelan seseorang yang tengah memasuki pemakaman umum terlihat. Layla datang ke makam suaminya yaitu Erwin sambil membawa satu tangkai mawar yang dibelinya di toko bunga. Kedatangannya hari itu tidak direncanakannya sama sekali. Setelah semalaman bergelut dengan pikirannya yang berkecamuk, ia akhirnya mengambil keputusan tapi terlalu takut untuk menerimanya. Alhasil, dia datang ke sini untuk mengadu atas kemalangan yang ia derita pada satu-satunya orang yang ia percayai tapi telah tiada. "Apa yang harus aku lakukan, Mas? Andai kamu ada di sini, mengalami musibah yang aku dan ibu alami sekarang, kamu akan melakukan apa untuk mengatasinya?" ia terisak pilu karena dilema yang dirasakan. Bayangan tentang ibu mertuanya yang terbaring dengan wajah pucat kemarin kembali terlintas dalam benaknya. Tanpa sadar, air mata langsung mengalir deras. "Aku minta maaf, Mas. Tolong, jangan benci aku jika aku memilih cara kotor in
Gila!Hansen rasa-rasanya mau mengumpat. Namun dia menahan dirinya agar tenang. Ya ampun, sudah berapa kali ketenangannya goyah hanya karena bersama dengan wanita dalam pelukannya ini?Hansen berdeham singkat, lalu melanjutkan bertanya, “Barusan kamu bilang… menikah?”Layla mengangguk. Tatapan tercengang Hansen membuatnya panas dingin untuk alasan dan firasat buruk terjadinya penolakan. Maka dari itu, ia pun buru-buru menjelaskan maksud keinginannya.“Bukan pernikahan seperti yang Anda pikirkan. Maksud saya, saya hanya menginginkan agar Anda menikahi saya secara siri.”Pria itu menaikkan alisnya. Tampak menimbang. Terus menerus ditatap dari atas ke bawah oleh tatapan tajamnya membuat Layla semakin gemetaran. “Hansen…”“Kita pergi ke tempatku dulu,” ajak pria itu seraya menekan tombol lift menuju ke lantai kantornya.Layla yang terus dipeluk tanpa ada niatan untuk dilepaskan berusaha sekeras mungkin membuat dirinya rileks. Sudah lama sekali tidak berada sedekat itu dengan pria menyeb
"Rasanya nikmat seperti yang aku bayangkan, Layla." bisik Hansen tepat di depan wajah wanita itu yang kini memerah dan sepasang mata indah itu bergetar ringan."Ya Tuhan... bagaimana bisa seenak ini?" ulang Hansen sambil mencium bibir bengkak memerah itu berulang-ulang. Seolah dia tercandu-candu dan tak ingin berhenti untuk terus mencicipinya.Layla yang mulai merasa sakit pada mulutnya kemudian menutupnya dengan telapak tangan dan ciuman pria itu berhenti di sana. Hansen menatap Layla cemberut. "I-Ini sudah cukup kan?" Walau nampaknya dari ekspresi pria itu menyiratkan belum cukup, namun Hansen akhirnya bangun dari menindih Layla. Ia merapikan jasnya yang kusut, menata kembali penampilannya agar rapi seperti sedia kala. Layla ikut bangun, tetapi langsung mengerutkan keningnya saat pandangannya menggelap sejenak. Pusing membelah kepala membuat pelipisnya sakit."Ada apa?""Ya? Ah tidak, bukan apa-apa," balasnya menutupi ketidaknyamanannya pada lelaki itu. Dia tidak mau disangka le
Keesokan harinya, di sebuah rumah dua lantai.Hansen kedatangan tamu yang tak lain merupakan sekretarisnya di kantor hukum serta sahabat karibnya yang juga seorang pengacara. Kedua pria itu sedang duduk di ruang tengah selagi Hansen mempelajari kasus percobaan pembunuhan yang dituduhkan pada ibu mertua Layla.Saat Hansen sedang membaca dokumen, dia juga bertanya pada sang sekretarisnya, "Apa kamu sudah melakukan apa yang aku perintahkan?"Jordan yang sedang fokus dengan ponselnya lantas mengalihkan tatapannya kembali ke arah Hansen. Dan melirik ke arah pria berkacamata yang merupakan sekretaris sahabatnya tersebut. Charlie. "Aku sudah menemui Julie yang rencananya akan menjadi pengacara dari pihak penuntut. Aku mengatakan padanya untuk melanjutkan proses sidang," jawab Charlie. "Mereka pastinya sudah mulai melakukan penyelidikan dari tempat kejadian dan mewawancarai saksi mata kan?" Hansen bertanya disela dia sedang mempelajari kasus tersebut Dan kini beralih pada Jordan."Ya, kamu
Layla belum sepenuhnya pulih dari demam, tapi Hansen telah membombardirnya dengan pilihan sulit ketika turun ke bawah untuk menemuinya."Duduk. Kamu belum sarapan kan, makan dulu. Baru nanti kita membahasnya lebih lanjut setelah kamu selesai mengisi perutmu." ujarnya menyuruh Layla yang membeku tak bergerak agar duduk.Patuh, Layla mengambil duduk di hadapan Hansen. Ia tidak punya nafsu makan dan sakit yang dialaminya semakin membuat dia tidak ingin makan apa pun. Akan tetapi setelah Hansen melihatnya dengan alis terangkat karena cuma duduk diam saja, jadinya ia terpaksa mengangkat sendoknya.Setelah beberapa saat makan dalam keadaan hening dan mereka berdua selesai sarapan. Hansen memanggil bibi pembantu agar membereskan meja. Ia mengajak Layla pindah ke ruang tengah.Jordan maupun Charlie sudah pergi setelah Hansen naik ke kamarnya. Sekarang, tersisa bekas minuman dan puntung rokok di asbak tatkala Layla tiba di sana."Seperti yang sudah kamu ketahui, aku meminta sahabatku untuk menj
Tidak sampai setengah jam, sekarang Layla resmi jadi istri sah Hansen meski hanya secara agama saja. Dua pria yang menikahkan mereka telah pergi, menyisakan tiga orang duduk di ruang tengah. Jordan yang bersikeras ingin bicara pada Hansen menunggu dengan ekspresi marah di tempat dia duduk. "Tunggulah aku di kamar. Aku akan menyusul setelah menyelesaikan pembicaraan dengan sahabatku." titah Hansen pada Layla. Sebelum pergi, tak lupa lelaki itu menyematkan ciuman pada sudut mulut istri barunya. Menuruti perkataan Hansen, Layla naik ke lantai atas dengan wajah sangat malu dan panas. Ia dapat merasakan tatapan tajam Jordan yang terus terarah kepadanya. Pria yang ia tahu merupakan sahabat Hansen itu secara terang-terangan memandangnya penuh hinaan dan cemoohan. Meski ia merasa tak nyaman, namun dia hanya bisa menanggungnya. Lagipula, dia tak punya alasan untuk membela diri apabila kebenarannya sudah terpampang nyata ke permukaan. Bahwa demi sesuatu yang ia mau, dia rela menjual tubuhny
Tubuh Hansen yang berotot dan basah membuat Layla menelan ludah gugup. Layla merasa panas naik ke pipinya. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan rona merah di wajahnya. Mendapatkan persetujuannya, Hansen kembali menangkap dagu itu, mengangkatnya agar menatap padanya. Tanpa tedeng aling-aling, ia segera melumat bibir yang telah menarik perhatiannya dengan rakus. Refleks, Layla memejamkan mata dan dengan gemetar berusaha menenangkan diri tapi gagal. Apalagi saat tangan besar itu mulai menurunkan bathrobe yang ia gunakan ke samping, ia langsung gugup dan merasa ketakutan. Hansen yang melihat tingkah dan kegugupannya, meraih tangan Layla di atas pahanya lalu memegangnya dengan lembut. Dua telapak tangan berbeda ukuran saling menggenggam satu sama lain. Ia menghentikan ciuman itu sejenak, dengan suara rendah dan serak ia bilang, "Rileks, Layla." Layla menatap Hansen, matanya berkilauan di ruangan temaram kamar mereka. "Aku... aku hanya sedikit takut," ujarnya dengan jujur, suaranya ber
Proses sidangnya begitu rumit, meski begitu semuanya berjalan lancar. Seperti yang dikatakan oleh Jordan pada Layla, wanita itu tak perlu khawatir. Dia hanya harus mendengarkan dan menuruti baik-baik semua perkataan si pengacaranya. Meskipun semua bukti telah menunjukkan bahwa Bu Lastri merupakan tersangka utama, namun dari hasil penyidikan yang terbaru ditemukan kalau ternyata terdapat sidik jari lain serta bukti tambahan yang kini ditemukan. Setelah Jordan dan Layla pulang dari menghadiri sidang, mereka berdua bersama-sama pulang untuk menemui Hansen yang kini berada di kantornya Jordan. Setibanya mereka di gedung AMKA, banyak pasang mata melirik ke arah keduanya. Namun Jordan yang tampaknya telah terbiasa menjadi pusat perhatian cuma menunjukkan sikap acuh tak acuh dan terus menyuruh Layla agar berjalan terus. Usai masuk ke dalam lift, dan naik menuju ke lantai dimana kantor Jordan berada, mereka berdua langsung disambut oleh asisten Jordan yang bernama Stefanie. "Pak, Pak Harr
Keesokan paginya, Layla bangun pada pukul delapan dengan tubuh sangat lelah. Ia terdiam lama di tempat tidur seraya melihat ke arah jendela dimana gordennya telah ditarik ke samping dan cahaya pagi masuk ke dalam kamar. Selain dirinya, dia tidak melihat keberadaan Hansen dimanapun. Lagi-lagi, dia terbangun sendirian di kamar pria itu. Hansen telah memberitahu Layla kalau nanti sahabatnya yang sekaligus pengacara itu akan menemuinya. Layla yang tak mau membiarkan orang itu menunggu dirinya lantas bangun dari tempat tidur lalu pergi mandi. Pada pukul sembilan, Jordan datang. Pria itu mengenakan setelan jas dan membawa tas kerja. Saat dia melangkah masuk ke rumah sahabatnya, ia mendapati seorang wanita yang akan menjadi klien yang mau dia bela sedang duduk di ruang tengah. Sendirian. "Halo, Layla" Layla langsung berbalik dan menyapa balik pada Jordan. Meski kelihatan gugup karena harus berhadapan dengan Jordan yang ia tahu tak menyukai dirinya, ia menyuruh pria itu agar duduk. "Sila
Saat Layla tiba di kediaman Hansen, pria itu telah pulang dari bekerja. Sekarang, sosoknya yang terlihat segar karena habis mandi sedang duduk di ruang tengah di lantai atas. Melihat suara langkah kaki dari tangga, sepasang matanya awas menatap si pemilik langkah. Begitu melihat kalau itu Layla, ia memanggilnya. "Layla, kemarilah." Layla sedikit terkejut karena panggilan Hansen. Sebab lampu utama tidak dinyalakan, dia tidak menyadari ada seseorang duduk di sana. Ia berjalan menghampiri pria tersebut. Setelah dekat, Hansen menunjuk ke sisinya agar wanita itu duduk di sampingnya. Patuh, dia pun mendekat. Yang mengejutkan, saat dia mau duduk, lengannya ditarik Hansen, membuat dia kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke depan.Bibir Hansen menyeringai senang. Dengan refleks yang tepat, ia menangkap Layla dan memeluknya erat. "A--apa?"Namun sebelum Layla berhasil mengeluarkan suara, mulutnya yang sedikit terbuka di cium pihak lain dengan agresif. Ia dicium dalam-dalam sampai saliva m
Pada saat Layla datang mengunjungi ibu mertuanya, Bu Lastri langsung dipanggil oleh petugas polisi untuk menemuinya. Melihat sang menantu datang betapa bahagianya Bu Lastri. "Bu.""Layla... Kamu kemana saja, Nak? Kenapa kemarin tidak datang menjenguk Ibu? Ibu sudah cemas dan berpikir tidak-tidak. Ibu takut sesuatu terjadi padamu, Layla," Bu Lastri menggenggam tangan sang menantu dan meremasnya erat. Ia benar-benar khawatir pada Layla. Layla merasa terkejut mendengar serentetan pertanyaan yang diajukan oleh ibu mertuanya. Hatinya merasa sedih namun demikian ia tidak menunjukkan kesedihannya tersebut. "Maafkan aku, Bu. Kemarin aku sedang beberes dari rumah Nyonya Kusuma sampai-sampai kelelahan sekali. Nyonya memecat kita, jadi karena itu aku sekarang kembali tinggal di rumah yang ada di Cikarang." "Ya Tuhan... Lalu bagaimana? Kalau kita dipecat...." Bu Lastri tertunduk lesu, merasa bersalah karena kecerobohan yang telah dirinya perbuat. "Pasti sulit buat kamu Layla dapat kerjaan bar
Layla tidak membawa ponsel yang ia tinggalkan di rumahnya. Dan sekarang, saat dia tidak punya kegiatan apa pun di rumah besar Hansen, dia ingin sekali mengunjungi ibu mertuanya untuk memastikan keadaannya. Namun karena kendala komunikasi, dia bingung harus memutuskan yang mana dulu. "Apa aku tanya saja pada Eli? Dia pasti tahu cara menghubungi Hansen." gumamnya sambil berpikir keras. Dia tidak berani pergi keluar rumah tanpa meminta izin dulu pada Hansen. Karena menurut Bibi pembantu di rumah tadi, dia tidak diizinkan kemana-mana dan harus tinggal di rumah untuk beristirahat sampai keadaannya sembuh total. "Aku coba saja," putusnya lalu pergi ke luar untuk menemui Bibi pembantu yang ia kenal.Di ruangan khusus untuk para pembantu bersantai, Layla menemukan Eli dan Bibi paruh baya yang ia ketahui namanya sebagai Bi Arum sedang menonton televisi sambil melipat baju. Tampaknya itu baju milik mereka yang habis di angkat dari jemuran. "Bi," Layla memanggil pelan dan kedua wanita beda u
Layla keluar dari kamar setelah dia selesai mandi dan mengenakan pakaian yang layak untuk dilihat orang. Ia ingat kalau di rumah, bukan cuma dia saja yang tinggal melainkan ada dua pembantu yang bertugas membersihkan rumah dan memasak. Langkah demi langkah, Layla berjalan perlahan menuruni anak tangga. Padahal sudah lama berlalu tapi dia secara samar masih bisa merasakan gemetar pada kedua kakinya. Di lantai bawah, Layla berpapasan dengan wanita yang usianya lebih tua darinya. "Permisi," "Oh astaga... Anda sudah bangun?" Wanita yang ternyata salah satu pembantu itu bertanya pada Layla. "Ya, maaf saya mengagetkan Anda." ujarnya tak enak hati.Wanita itu tersenyum perhatian, lantas bertanya pada Layla, "Anda pasti lapar kan?""Ahh, iya," Layla bergumam malu."Tuan muda telah memberitahu kami agar melayani nona dengan baik. Apa demam Anda sudah turun? Bagaimana keadaan Anda? Apa ketidaknyamanan di mana pun?" "Saya baik-baik saja, dan untuk demamnya pun sudah turun.""Syukurlah. Tua
Layla terbangun dengan mata sulit dibuka. Ia terbaring telungkup dengan sisi wajah miring. Dan pada saat itu, dari arah belakangnya terdengar suara serak Hansen yang ternyata bangun juga. Atau, pria itu belum tidur? "Kamu bangun? Bagus, setidaknya aku tidak lagi merasa seperti sedang menyetubuhi mayat yang tak bergerak,""Tu-tunggu.... Enhh," Layla tersentak. Ia baru saja bangun dan kini jadi sadar sepenuhnya saat hentakan keras kembali dia terima. "Aku... aku lelah," mohonnya namun tidak ditanggapi oleh pria yang kini mencengkramnya kuat dalam pelukan. Punggungnya yang telanjang dan berkeringat bersandar pada dada bidang berotot di belakangnya. "Jangan pingsan dulu, Layla. Kamu baru saja bangun, dan sekarang mau pingsan lagi? Aku bilang, aku tidak mau merasa seperti sedang berhubungan intim dengan mayat, jadi jangan tidur dulu," perintahnya terdengar dingin dan menuntut. Namun Layla yang tidak tahu sudah berapa lama mereka saling bersentuhan mulai merasakan panas dan berdenyut di
Tubuh Hansen yang berotot dan basah membuat Layla menelan ludah gugup. Layla merasa panas naik ke pipinya. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan rona merah di wajahnya. Mendapatkan persetujuannya, Hansen kembali menangkap dagu itu, mengangkatnya agar menatap padanya. Tanpa tedeng aling-aling, ia segera melumat bibir yang telah menarik perhatiannya dengan rakus. Refleks, Layla memejamkan mata dan dengan gemetar berusaha menenangkan diri tapi gagal. Apalagi saat tangan besar itu mulai menurunkan bathrobe yang ia gunakan ke samping, ia langsung gugup dan merasa ketakutan. Hansen yang melihat tingkah dan kegugupannya, meraih tangan Layla di atas pahanya lalu memegangnya dengan lembut. Dua telapak tangan berbeda ukuran saling menggenggam satu sama lain. Ia menghentikan ciuman itu sejenak, dengan suara rendah dan serak ia bilang, "Rileks, Layla." Layla menatap Hansen, matanya berkilauan di ruangan temaram kamar mereka. "Aku... aku hanya sedikit takut," ujarnya dengan jujur, suaranya ber
Tidak sampai setengah jam, sekarang Layla resmi jadi istri sah Hansen meski hanya secara agama saja. Dua pria yang menikahkan mereka telah pergi, menyisakan tiga orang duduk di ruang tengah. Jordan yang bersikeras ingin bicara pada Hansen menunggu dengan ekspresi marah di tempat dia duduk. "Tunggulah aku di kamar. Aku akan menyusul setelah menyelesaikan pembicaraan dengan sahabatku." titah Hansen pada Layla. Sebelum pergi, tak lupa lelaki itu menyematkan ciuman pada sudut mulut istri barunya. Menuruti perkataan Hansen, Layla naik ke lantai atas dengan wajah sangat malu dan panas. Ia dapat merasakan tatapan tajam Jordan yang terus terarah kepadanya. Pria yang ia tahu merupakan sahabat Hansen itu secara terang-terangan memandangnya penuh hinaan dan cemoohan. Meski ia merasa tak nyaman, namun dia hanya bisa menanggungnya. Lagipula, dia tak punya alasan untuk membela diri apabila kebenarannya sudah terpampang nyata ke permukaan. Bahwa demi sesuatu yang ia mau, dia rela menjual tubuhny