"Jadi ...?" tanya pria egois itu ngambang dengan suara bergetar, pun raut memelas tanpa berkedip dan tanpa mengalihkan pandangan dariku Lebay! Dia pikir aku percaya?"Kelamaan! Buka pintunya!" sentakku mulai jengah. Dia mengusap wajah kasar dan menekan tombol samping kanannya, dia tampak frustasi.Cepat aku keluar setelah bunyi klik, lantas melangkah gesa ke depan mobil, saat bersamaan.Andi pun tiba. Untung anak itu tepat, kalau nggak, bisa saja aku jalan kaki sampai rumah bila ojek pun tak muncul. Begitulah saat emosi jiwa, kadang tenagaku lebih kuat dibanding sebelumnya."Kenapa sih, Mbak, marah terus sama Mas Rio? Padahal orangnya baik, kaya, ganteng lagi." E, e, ternyata anak seumur jagung ini juga sudah dicuci otaknya sama pria egois itu."Emang kamu dikasi apa bilang dia baik?""Pulsa dan jajan, Mbak, hampir tiap bulan malah." Ck! Selain dia egois, ternyata main sogok sama anak kecil. "Mas Rio-""Nyetir aja yang benar. Nggak usah bahas-bahas mas baikmu itu," ujarku memotong uca
Panggilan pertama dan kedua diabaikannya. Oke, tak ada alternatif lain, meski lambat chat jadi pilihan. [Balikin ponselku!] tulisku tanpal salam dan embel-embel lain. [Akhirnya ... Ambil sendiri] balasnya dengat emot tertawa dan tak pake lama. Kurang asem betul ini orang, gadi ditelponin nggak diangkat.[Taruh aja di tangga. Ntar Andi ke situ ngambilnya][Mesti kamu sendiri langsung jemput, baru aku lepas. Gimana kalau hilang? Banyak nomer-nomer penting di sini] balasnya lagi dengan mengirimkan gambar HPku yang sedang di utak-atiknya. Jadi menyesal tak memasangkannya pasword. [Apa maumu?] tulisku dengan dada naik turun. Sungguh lancang pria egois itu. Dia pikir aku masih seratus persen istrinya apa? [Pengen rujuk] balasnya dengan emot love berjejer. [Jangan mimpi!][Ayolah, Bulan. Beri aku kesempatan] emotnya lagi memelas.Arhgt! Bicara dengan lelaki ajaib seluruh jagad raya itu, senantiasa membuat jantungku bagai perang di sana. Bisa-bisa aku mati berdiri jika terus melayaninya.
"Jangan di sana, Ma. Kamarku berantakan, belum sempat berberes selama datang," tolakku halus. "Aku bukan mau melihat kamarmu, Bulan. Ingin bertemu cucu kami," ujar mama, diangguki dua orang di sampingnya. Nampak sekali mereka mengharap. Arght! Sepertinya aku tak punya pilihan, ditambah ibu mendekat ke arah kami, menyambut besannya. Tentulah ibu mendukung mereka. "Oo, iyya. Saya cari Andi dulu kalau begitu." Aku menuju ke bawah tanpa menunggu jawaban mereka. Biarlah mereka bertemu, toh aku tak bisa menghindar lagi, semoga menjadi hal baik bagi putraku. Amin. Sesampai di undakan anak tangga paling bawah, aku memanggil Azmi, lalu memberi kode Andi agar dia menunggu di situ."Teruslah di kamarmu," kata ibu saat melihatku muncul bersama Azmi. Beliau pasti sudah tahu cerita.Mama dan kakak Mas Rio langsung mengambil alih Azmi dari gendonganku saat baru saja memasuki kamar, lantas menciuminya sambil menangis. Papa yang duduk di kursi dekat jendela, tampak membasuh matanya. Sedang Mas Rio t
"Kami nggak lama, Mbak, harus melanjutkan perjalanan segera. Ada urusan mendesak besok pagi," jelas Azman bersamaan Abi Nailah meletakkan piringnya yang telah kosong."Bermalam saja dulu, Nak. Tak ada kapal yang berangkat malam." Ibu menimpali."Lain kali aja, Tant. Kami lewat darat. Aku yang nyetir," jelas Azman diangguki lelaki datar di sampingnya."Sebenarnya Nailah pengen tinggal di sini sama Ummi dan Azmi. Tapi nggak dibolehin Abi." Nailah menunduk setelah melihat abinya sesaat. Ada sedih di balik wajah putih bak pualam itu. "Tidak apa-apa, Sayang. Dua tiga hari ini, ummi dan Azmi akan ke sana." Nailah langsung terlonjak dengan mata berbinar menanggapinya. "Janji, ya, Ummi." Aku menaikkan jari tengah dan telunjuk membentuk V meng-iya-kannya."Tunggu sebentar," kataku, lalu masuk membungkuskan makanan dan kue-kue untuk di jalan. Juga oleh-oleh buat Simbah, Reta, dan Mas Gading. Sekaligus enam lembar sarung baru -kado waktu nikahanku dulu yang belum tersentuh- untuk Simbah. Be
"Kami pulang dulu, Nak Bulan, besok-besok ke sini lagi, oh, ya, nggak papa, kan, Azmi sekali-kali kami bawah ke rumah?" Mama muncul bersama Azmi dalam gendongan kakak Mas Rio. Aku mengangguk lalu mengantarnya turun ke bawah. Untung mereka muncul tepat waktu, jadi tak perlu pusing merangkai kata menjawab Reta. Pernyataan Mas Gading sebelum ke sini membuatku serba salah membahas Mas Rio di depannya. "Makasih untuk hari ini," ujar Mas Rio sambil menyodorkan ponselku yang sempat terlupa lagi. Aku meraih cepat benda persegi itu tanpa ada keinginan menatap wajahnya. Entahlah, rasa takut menghalangi melakukan itu. Takut hatiku melemah, takut ibaku mendominasi, dan takut tak bisa menolaknya. Arght! Sekuat aku menanam benci, ada rasa entah yang begitu menekan."Besok aku ke sini lagi, sekalian bertemu Azmi," ujar Mas Rio lagi. Aku mengangkat kedua bahu sebagai jawaban terserah. Aku tak ingin dia berperasangka lebih, jangan sampai dia mengira aku siap diajaknya janjian.Sebagai anak yang didid
Pov Rio Arindra"Aku malu kalau perjodohan itu tak sampai ke pernikahan, Rio. Apa kata orang-orang nantinya? Di mana letak posisi kita sebagai manusia yang dipegang kata-katanya? Kalau tak mampu mewujudkan sebuah janji?" Entah keberapa kali kalimat seperti itu, mama perdengarkan di telingaku. Hingga hari ini, ini, asam lambungnya meningkat dan terbaring sakit di rumah. Bukan karena perjodohan itu saja yang tidak bisa masuk di akalku pada jaman modern dan digital ini. Selain karena sudah punya calon pendamping yang sempurna dan telah berjalan tiga tahun tak terasa. Juga, gadis dipilihkan mama-papa itu adalah sahabat dari kekasih belahan jiwaku.Alangkah tak berfungsinya otak ini, bila Marta yang cantik nan seksi, kutukar dengan ... arght! Namanya saja sangat norak. Bulan? Kayak nama-nama wanita jaman purba saja, Sari Bulan, Mega Bulan, Naga Bulan, Ah, itu nama-nama wanita tempo doloe. Intinya nggak kekinian. Bagaimana bisa mengajaknya ke acara-acara kantor? Kalau namanya aja aneh begi
Pov Rio ArindraJantung seakan berderap seperti mau perang ketika mama memintanya melepas jilbab dan aku disuruh memasang kalung di leher wanita tak elok di mata itu. Memang aku tak pernah melihatnya bertelanjang kepala, bahkan wajahnya saja tak pernah kuperhatikan seksama selain ketika bertengkar, berdebat, dan saat-saat emosi jiwa membuncah. Ah, kenapa ada desir aneh saat berjarak beberapa jengkal dengannya? Ternyata di balik pakain tak kekinian itu dia memiliki keindahan alami tanpa menggoyangkan isi dompet. Arght! Harum tubuhnya mulai memorandakan ketenanganku, juga melengserkan persepsi buruk kepadanya. Dia jauh lebih dari wanita yang kupuja.Pertengkaran hebat terjadi saat kami pulang dari mama. Marta membanting foto pernikahanku dengan sahabatnya karena cemburu. Entah kenapa tiba-tiba saja membawa bingkai yang menyimpan momen bersejarah itu. Selain ingin menggantungnya di dinding sebagai jaga-jaga tidak tersingkapnya kebobbrokan rumah tangga akibat ulahku ke keluarga besar. Ju
Pov Rio Arindra"Mas fikir Bulan akan kembali? Nggak usah buang-buang waktu menunggunya. Kalau aku saja sahabat dikhianati, apalagi kamu yang memang nggak pernah berbuat apa-apa." Marta terus mengomel melihat kamar Bulan telah selesai direnov. Aku membuatnya lebih luas, unik, dan menyambungkan ke taman belakang. Wanita yang telah tersakiti itu paling suka tanaman. Aku mengetahuinya, saat sering tak sengaja setiap pulang dari kantor dan sehabis makan masakannya, terihat dari jendela kamarku dia menanam dan merawat sayur-sayuran jangka pendek. Daun sop, tomat, Cabe, kacang panjang, tersusun rapi beserta bunga. Setelah menyirami tanamannya dia akan menghabiskan sore menatap kilauan cahaya matahari berwarna keemasan sampai lenyap di ufuk barat. Ah, baru kini kusadari, tempat itu sangat damai setelah mengikuti kebiasaannya, itupun setelah dia tiada.Bertambah-tambahlah rasa sesal ini menekan, mengetahui tanaman itu sepenuhnya dia belum nikmati dan pergi. "Mas tak boleh ke mana-mana!
Biasanya, melipat dan menyetrika pakaian tak sampai dua jam selesai. Namun, kali ini terasa sangat lama. Nailah dan Azmi yang sempat membantu menurut mereka, jadi ketiduran, aslinya, sih, memang lagi main-main sambil seru-seruan.Bukan karena pakaian yang menumpuk setelah habis acara pesta sederhana, dalam rangka mengumumkan kehalalan hubungan kami.Terlebih disebabkan tentang keberangkatan besok untuk menemui umminya Nailah di Makassar, jadi aku kurang fokus. Padahal ini hampir dua bulan rencana kedatangannya mundur dari informasi sebelumnya.Abi Nailah yang baru datang dari pondok hanya menggeleng kecil sambil tersenyum melihat dua bocah terlelap asal, kemudian memindahkan mereka satu-persatu di biliknya. Kamar memang tempat favoritku mengerjakan kegiatan tersebut, selain nyaman melantai dan dingin kena AC, juga aman meski tak memakai jilbab andai kedatangan tamu tiba-tiba."Tidak usah disetrika, Ummi Sayang." Abi Nailah menyamakan posisi, dia mengambil duduk di belakang sambil mel
"Andai kutahu sahabatku seterluka ini, dari awal tak akan beramah-tamah dengan Simbah dan putrinya," kataku menatap Reta sendu. "Ck, meski aku frustasi begini, masih waras tuk melibatkan mereka dalam persoalan hati." Aku meringis merasakan cubitan kecil Reta di pinggang, sekaligus syahdu menyadari my sister itu telah kembali.Serasa ada yang mengharu biru di dada. "Kalau kamu tinggal di rumah Simbah, aku sama siapa?" tanya Reta seperti dulu, yang selalu nyeplos tanpa berfikir. Anak itu kini benar-benar telah legowo."Makanya nikah juga. Bulan udah dua kali, kamu tinggal perawan tua." Bantal langsung dilayangkan Reta, menimpuk kepala Mas Gading yang menyela pembicaraan. "Semua yang pernah pedekate ke kamu melalui aku, mulai dari belum matang, setengah matang, matang berkali-kali atau gosong sekalian, Abang masih punya nomor HP mereka semua." Mas Gading memperlihatkan gawainya ke Reta dengan mimik lucu tapi serius."Abang ..." Mas Gading langsung berlari keluar mendengar adiknya bert
Entah hanya berapa jam waktu tidurku semalam, setelah melakukan pengaduan panjang lewat salat tahajud dan dilanjut salat Subuh, aku berkutat di dapur lalu membersihkan rumah.Rumah sakit yang terpikir sekarang, entah Reta tak memaafkan lantas mengusir, aku akan jelaskan semua dan memohon maaf yang sebesarnya. Bahkan akan berencana mempertemukan Abi Nailah, agar dia mendengar langsung pernyataan dari bibir pria yang diimpikannya itu."Semoga Allah memudahkanmu, Sayang." Doa Simbah saat aku pamit, beliau mengusap kepalaku sambil tersenyum hangat."Bawain bakso bakar yang dekat masjid kalau pulang nanti, ya, Ummi," pesan Nailah dan Azmi hampir berbarengan, makanan itu mamang favorit mereka. Aku menaikkan jempol tanda setuju.Aku sampai ke rumah sakit dengan ojek sesuai rencana, namun segera berbalik ke toko setelah mendapat telepon Pak Sholeh, ada instansi yang ingin mengambil barang dalam jumlah besar dan harus ada tanda tangan pemilik tokoh sebagai tanda bukti. Okelah, bertemu Reta kit
Aku menumpukan bobot tubuh di kursi taman, meredam rasa bercampur yang masih bergolak. Aku tak tahu apa yang ada di pikiran Mas Rio, bisa-bisanya muhallil yang bercokol di otaknya dan seakan tak bisa diubah. Dia pikir semudah menggoreng ikan lalu melahapnya? Dan luar biasanya, Reta mendukung rencana gila itu agar mendapatkan Abi Nailah. Tak salah lagi, kedua orang ini bucin akut. Ajaibnya semua menyangkut diriku.Huft ...Kututup mata beberapa saat sambil memijit pangkal hidung, ini salah satu cara merilekskan otot-otot syaraf yang masih menegang. Entah itu benar apa tidak, diri selalu mengaplikasikan cara ini."K-kapan, Mas, di sini?" Aku memegang dada mendapati rupa menawan itu sangat dekat saat membuka mata, berjarak sekitar setengah lengan dewasa, hembusan desahan panjangnya menyapu wajahku.Abi Nailah tak menjawab, dia menarik lenganku lembut menuju parkiran, lalu memintaku naik ke roda empatnya. Pria ini kenapa bersikap aneh?Seperti biasa, tak ada percakapan, hanya suara grub
Aku menatap tak berkedip ke arah Reta sekaligus berusaha menajamkan pendengaran ke lawan bicaranya yang kini dia kurangi volume suara di ponselnya. Sama, gadis manis itu tetap bersikap benci, malah sekarang dia seakan jijik walau sekedar menoleh ke arahku meski hanya sejenak. Ya, walau tak sepenuhnya aku menyalahkan diri, tetap saja posisiku tersudut bila berhadapan Reta. Ya, itu disebabkan sebegitu sayangnya aku pada dia. Tidak! Sekira persahabatan kami ini benar-benar tak bisa diselamatkan, aku harus menahan ego. Setidak aku telah berusaha berjuang untuk memperbaiki walau ujungnya akan tetap salah, dimaki, dan dijauhi. Ya, Rabb .... Beri hamba sejumput sabar lagi. Pliss .... Mohon dengan sangat. "Seberapa besar marahmu ke aku, sejumlah itu juga diri akan memohon maaf," kataku dengan bibir bergetar. Sungguh ... jangankan dalam dunia maya, dalam mimpipun aku tak pernah berniat menyakiti hati sahabatku. "Tidak untuk kali ini. Anggap saja aku sudah mati, begitupun sebaliknya." Mimi
Setelah Marta mampu mengontrol emosinya, dia lantas mengajak kami ke arah kamarku dulu."Sekuat apa aku berjuang sepertinya akan sia-sia. Lihatlah! Tak ada aku di sana," ucapnya menunjuk isi ruangan yang telah terenov, foto pengantin kami dalam ukuran besar terpajang di dinding, ditambah gambar Azmi berbagai gaya dan pose.Abi Nailah sempat terpaku setelah menyusuri dengan bola mata ruang penuh kenangan."Jangan pernah sedikitpun menyimpan cemburu untukku, Mar, karena hari di mana satu malam Mas Rio mengambil paksa haknya, aku membuang diri ke esokan paginya ke tempat asing, mengobati sakit, bahkan melahirkan tanpa keluarga," kataku mengusap pipi, lalu melirik Abi Nailah. Ah, biarlah dia tahu seperti apa wanita yang telah dinikahinya."Bertahun tertatih berjuang mengikhlaskan semua yang terjadi, lihatlah, meski jauh dari baik, aku bisa bilang, sahabatmu ini bahagia, pun tak menyimpan dendam pada kalian," ujarku menarik senyum."Intinya, jangan berputus asa, Marta. Yakinlah, Allah akan
Meski dalam keadaan baru bangun, aku mengenal jelas sosok berbau maskulin itu. "M-mau ke mana, Mas?" tanyaku memberanikan diri melihat Abi Nailah berpenampilan sangat berbeda. Baju kaos putih setengah lengan dipadu celana training panjang. Huft, mataku hampir lupa berkedip beberapa saat mendapati keindahan pahatan Ilahi."Mau antar Rahmat -sopir-." Ekspresinya tetap dingin, tapi ajaibnya lelahku tiba-tiba hilang mendengar kami mulai bisa berkomunikasi."Aku ikut." Ingin sekali bibir mengucapkan itu, tapi rasa canggung menguasai. Selain ingin jalan-jalan bersamanya dalam keadaan status yang berbeda, aku ingin mangajaknya menjemput Marta lalu bertemu Mas Rio. Mestinya rasa grogi itu sudah hilang, mengingat pernikahan ini tak ada paksaan seperti dulu, ditambah usia matang mengarungi rumah tangga dan status yang bisa dikatakan berpengalaman. Huft, tetap saja bekal itu tak menjadi dorongan untuk menjalin keakraban lebih cepat. Aku mulai meragu dengan kata-kata Azman, kalau abangnya
Meski dadakan dan seadanya, acara tetap berjalan sesuai syariat, pun seluruh kerabat dekat yang hadir sangat bersuka cita, mungkin karena sudah tahu kami memang sempat hampir menikah, namun batal karena ulahku.Terutama Nailah, Rina, bapak, dan ibu, apalagi Marta. Mulai dari mendengar persetujuan Abi Nailah, sikap permusuhannya langsung mencair bak es. Aku seperti kembali ke memory di masa-masa sekolah dulu.Ya, Rabb ... buka jugalah pintu hati sahabatku Reta di sana. Agar hambamu ini tak dihantui rasa bersalah. Amin."Maaf, Mar. Apa pernikahan kalian belum diketahui orang tua Mas Rio?" tanyaku pada Marta, setelah sedari tadi tak melihat Mas Rio.Wanita yang matanya bengkak efek menangis itu, seketika memegang dada sambil menatapku sendu, dari geriknya menunjukkan kalau statusnya masih istri siri. Sungguh mustahil diterima akal sehat, bertahun menunggu dalam ketidak pastian, masih tetap berjuang memiliki. Marta benar-banar layak dilabeli wanita bucin sejati sedunia."Nanti aku akan m
Karena bapak, ibu, dan Rina memaksa, juga Nailah merengek, akhirnya lelaki dingin itu menginap di lantai bawah. Tempat itu ada dua kamar sekarang, salah satunya untuk tamu. Aku tak tahu sampai jam berapa mereka ngobrol di malam harinya. Yang jelas, aku, Azmi, dan Nailah terbawa mimpi di atas kamarku dengan nyenyak. Bahkan setelah salat Subuh berencana tidur lagi sedikit karena lelahnya.Baru saja mata terpejam segera terbangun mendengar suara-suara ribut di bawah. Untuk memastikan kejadian, dengan lunglai aku mengecek situasi setelah memasang jilbab.Marta tiba-tiba menghambur memelukku dan menangis sesenggukan sesaat kaki menjejaki undakan tanggga paling akhir, terlihat Mas Rio pasrah melihat dua wanita yang pernah dimadunya dalam keadaan tidak biasa. Ada apa ini? Apa yang terjadi sebenarnya?Belum hilang kekalutanku di pagi buta, Andi menyodorkan ponsel berdering terus yang tak sempat kukantongi tadi. Reta! Tangan merijek dulu, waktunya tidak tepat."Aku mencintai Mas Rio dengan se