"Ummi dan Azmi lama nggak di sana?" tanya Nailah yang duduk dekatku sambil bercanda dengan Azmi. Untung anak itu ikut, jadi kehebohannya bersama Azmi mengurangi kekakuan sekarang. Setidaknya itu yang kurasa. "Tergantung kesehatan nenek di sana, Sayang?""Kalau nenek lama sembuhnya? Jadi?" Gadis kecil itu mengerucutkan bibir. "Nailah? Kok gitu sih tanyanya?" Simbah yang duduk di depan menimpali. Sedang abinya tetap seperti biasa. Datar, dingin, dan no koment, apalagi like, share, dan suscribe. Aisht! "Nggak papa, sih, Mbah. Cuman gimana kalau Nailah rindu?" Gadis bermata bak barbie itu menunduk, ada mendung di balik wajah cantiknya. Azmi ikut-lkutan diam dan memandang Nailah. "Kan ada video call, Sayang," kataku menariknya naik di pangkuan paha kanan dan Azmi di sebelahnya. Mungkin seringnya bersama membuat kami saling merindukan. Simbah geleng-geleng, sementara abinya hanya melirik sejenak lewat kaca spion dalam, lalu kembali ke sifat aslinya. "Ummi janji setiap hari VC," ujarku
Waktu menunjuk angka sembilan malam, saat mobil memasuki kawasan rumah sakit yang telah disebutkan Rina, bersamaan panggilan telepon adik pertamaku itu mengalun. Akhirnya kabar yang kutunggu tiba."Bapak masuk ruang ICU, Mbak!" ujar Rina terisak. "Kami baru saja sampai." "Aku keluar kalau begitu." Rina menutup telepon sepihak. "Mas, jangan pergi sebelum Bulan kembali," ujarku sambil menangkupkan tangan ke depan dada tanda memohon. Azman menatap kakaknya minta persetujuan, sedang lelaki datar yang duduk depan kemudi itu terdiam sejenak lalu mengangguk.Dengan cepat aku membuka pintu ketika mobil telah terparkir. Aku bimbang antara menggendong Azmi atau tidak yang sementara terlelap."Biar aku yang antarkan Azmi masuk." Ini pertama kali lelaki dingin itu mengajakku bicara. Memang aneh, tapi tak apalah, kuikuti saja keinginannya. Baru saja keluar dari mobil dan memperbaiki posisi berdiri setelah duduk lama, dua sosok bayangan tergesa mendekat. Aku fikir Rina atau adikku yang lainnya
"M-maaf, Mas. Kirain Nailah." Tanganku refleks memutus sepihak sambungan telepon, rasanya ingin menutup wajah dengan panci karena malunya.Sambil menetralisir rasa grogi dan malu yang beraduk, gegas kaki menuju arah yang dimaksud. Samping kiri, kanan, dan belakang rumah sakit ini memiliki taman-taman minimalis. Selain mempercantik bangunan, juga berfungsi mengademkan mata, dan sekaligus obat terapi. Azmi dan Nailah yang main kejar-kejaran, langsung berlari mendekat setelah melihatku, sementara Rina, lelaki datar, dan Azman tampaknya bercerita serius. Ah, anak itu. Aku saja yang hampir seharian bersama mereka, hanya dua, tiga patah yang tersambung. Rina? Seperti sudah bertemu lama saja. Kuakui memang, adikku itu pandai bergaul, dinamis, dan supel. Sungguh berbanding terbalik dengan kakaknya yang introvert dan sedikit bicara. "Okey, kalau begitu. Kami pamit melanjutkan perjalanan," ucap Azman seraya berdiri, diikuti Abi Nailah bersamaan aku baru saja hendak bergabung. "Ingat, ya, Ma
"Hanya kamu yang mama anggap menantu, bukan siapa-siapa," ujar mama Mas Rio lagi mulai bernada tinggi. Kuperkirakan beliau sudah tahu tentang kemelut rumah tangga anaknya. Kepergianku yang tanpa pamit dan tanpa kabar sudah lebih dari kata cukup sebagai penjelasan, atau bisa saja banyaknya pendapat dari tetangga yang kadang tidak suka menjadi pemberitaan yang melebihkan. Ah, sudahlah, semua itu tak penting lagi bagiku sekarang."Nanti kita bahas, Ma. Makanlah dulu," ucapku menyodorkan sendok berisi bubur di atas nakas yang nampak belum disentuh sama sekali, sekaligus mengalihkan pembicaraan. Mengingat Mas Rio dan Marta moodku seketika lenyap, pun kadang otak tak bisa berpikir positif.Wanita paruh baya yang masih menampakkan sisa-sisa kecantikannya itu makan dengan lahap, sementara papa langsung meminta keluarganya memasak banyak sebagai syukuran kecil-kecilan.Selang tak berapa lama, tampak wajah Ibu Hajjah -mama Mas Rio- mulai agak fresh, mungkin karena makanan yang masuk ke perut
Tatap Mas Rio bagai magnet di wajahku, membuat kaki seketika kaku. Entah kenapa aku bersikap begitu, padahal diri merasa di posisi yang tak salah. Untung bapak dan calon mantan mertuaku masih serius dengan ceitanya, jadi tak memperhatikan suasana.Sementara belum menguasai pikiran, Rina menarikku masuk ke dalam, bersamanya sudah ada Azmi dalam gendongan. "Kenapa bisa bapak bersama calon mantan mertua dan suamimu. Mbak?" tanya Rina dengan kerutan alis sesampai di kamar. Tangannya cekatan melepas pakaian Azmi untuk mandi, waktu hampir menunjuk angka lima sore. Aku memindai setiap sudut kamar. Meski Andi -adik ke empatku- yang menempatinya sekarang, pengaturan tak ada perubahan. Foto pengantinku yang ukuran besar berbingkai masih tergantung di atas kepala tempat tidur. Mengingat kebahagian keluarga besarku pada saat itu, menciptakan gelenyar nyeri di aliran dada. "Ditanya kok melamun." Rina menyadarkanku dari peristiwa tiga tahun sebelas bulan yang lalu."Dia yang jemput tadi di rumah
"Ka-kami tak pernah cerita kok tentang, Mbak, sungguh ... . Meski Mas Rio sering mendesak dan merayu dengan bermacam cara." Rina menaikkan jari telunjuk dan tengah membentuk V tanda bersumpah, tapi tak membuat hatiku iba atas dukungannya ke lelaki yang telah membuat kakaknya menderita. Terserah dia sajalah, berpendapat memang tak dibayar. "Awalnya tak percaya, tapi lama-lama mulai kasihan juga," tambah gadis yang baru wisudah sarjana itu. "Ck," decakku mengalihkan wajah ke luar jendela. Lelaki pemicu emosi jiwa tercepat itu telah sukses meraih poling suara terbanyak di keluargaku. Kenapa nggak ikut pemilihan pilkada saja dia?"Dia mengambil motor Mbak yang mulai kusam itu dan menggantinya motor baru, katanya semua tentang Mbak dia akan simpan baik-baik. Entah itu benar apa nggak, kami meleleh dibuatnya," lanjutnya lagi dengan suara iba.Kali ini tak menanggapinya. Aku pikir Rina hanya hanyut akan kamuflase kebaikan lelaki yang pandai berakting."Pak Haji dan Bu Haja juga sering ke s
Jam sembilan pagi aku berencana menunai janji ke rumah orang tua Mas Rio. Waktu segitu biasanya dia masuk kantor, jadi tidak bakal bertemu. Perjalanannya tak cukup sejam sampai di sana. "Bangun, Mbak." Aku mengumpulkan kesadaran setelah membuka mata.Entah jam berapa semalam baru bisa terlelap, ungkapan Rina yang meminta koreksi diri atas kehancuran rumah tanggaku terus terngiang, sekaligus menciptakan perasaan bersalah di sudut hati yang lain. Serasa egoku mulai runtuh.Mungkinkah aku yang kurang sabar menghadapi ujian rumah tangga itu? Layakkah diri pernah disebut istri jika tak pernah berusaha menjadi pendamping yang baik? Mungkinkah...? Arght, kenapa kalimat-kalimat adikku itu, seketika membuat kepala berdenyut? Tidak! Apapun itu, di sini aku yang jadi korban, terluka, dan tak dianggap. "Mbak!" lagi, suara Andi terdengar sambil menyodorkan HP yang sedang berdering. Jam sudah menunjuk angka dua belas siang, sebentar lagi Duhur."Oh, iyya, Mbak, aku tadi mau ke situ, tapi ketidura
"Jadi ...?" tanya pria egois itu ngambang dengan suara bergetar, pun raut memelas tanpa berkedip dan tanpa mengalihkan pandangan dariku Lebay! Dia pikir aku percaya?"Kelamaan! Buka pintunya!" sentakku mulai jengah. Dia mengusap wajah kasar dan menekan tombol samping kanannya, dia tampak frustasi.Cepat aku keluar setelah bunyi klik, lantas melangkah gesa ke depan mobil, saat bersamaan.Andi pun tiba. Untung anak itu tepat, kalau nggak, bisa saja aku jalan kaki sampai rumah bila ojek pun tak muncul. Begitulah saat emosi jiwa, kadang tenagaku lebih kuat dibanding sebelumnya."Kenapa sih, Mbak, marah terus sama Mas Rio? Padahal orangnya baik, kaya, ganteng lagi." E, e, ternyata anak seumur jagung ini juga sudah dicuci otaknya sama pria egois itu."Emang kamu dikasi apa bilang dia baik?""Pulsa dan jajan, Mbak, hampir tiap bulan malah." Ck! Selain dia egois, ternyata main sogok sama anak kecil. "Mas Rio-""Nyetir aja yang benar. Nggak usah bahas-bahas mas baikmu itu," ujarku memotong uca
Biasanya, melipat dan menyetrika pakaian tak sampai dua jam selesai. Namun, kali ini terasa sangat lama. Nailah dan Azmi yang sempat membantu menurut mereka, jadi ketiduran, aslinya, sih, memang lagi main-main sambil seru-seruan.Bukan karena pakaian yang menumpuk setelah habis acara pesta sederhana, dalam rangka mengumumkan kehalalan hubungan kami.Terlebih disebabkan tentang keberangkatan besok untuk menemui umminya Nailah di Makassar, jadi aku kurang fokus. Padahal ini hampir dua bulan rencana kedatangannya mundur dari informasi sebelumnya.Abi Nailah yang baru datang dari pondok hanya menggeleng kecil sambil tersenyum melihat dua bocah terlelap asal, kemudian memindahkan mereka satu-persatu di biliknya. Kamar memang tempat favoritku mengerjakan kegiatan tersebut, selain nyaman melantai dan dingin kena AC, juga aman meski tak memakai jilbab andai kedatangan tamu tiba-tiba."Tidak usah disetrika, Ummi Sayang." Abi Nailah menyamakan posisi, dia mengambil duduk di belakang sambil mel
"Andai kutahu sahabatku seterluka ini, dari awal tak akan beramah-tamah dengan Simbah dan putrinya," kataku menatap Reta sendu. "Ck, meski aku frustasi begini, masih waras tuk melibatkan mereka dalam persoalan hati." Aku meringis merasakan cubitan kecil Reta di pinggang, sekaligus syahdu menyadari my sister itu telah kembali.Serasa ada yang mengharu biru di dada. "Kalau kamu tinggal di rumah Simbah, aku sama siapa?" tanya Reta seperti dulu, yang selalu nyeplos tanpa berfikir. Anak itu kini benar-benar telah legowo."Makanya nikah juga. Bulan udah dua kali, kamu tinggal perawan tua." Bantal langsung dilayangkan Reta, menimpuk kepala Mas Gading yang menyela pembicaraan. "Semua yang pernah pedekate ke kamu melalui aku, mulai dari belum matang, setengah matang, matang berkali-kali atau gosong sekalian, Abang masih punya nomor HP mereka semua." Mas Gading memperlihatkan gawainya ke Reta dengan mimik lucu tapi serius."Abang ..." Mas Gading langsung berlari keluar mendengar adiknya bert
Entah hanya berapa jam waktu tidurku semalam, setelah melakukan pengaduan panjang lewat salat tahajud dan dilanjut salat Subuh, aku berkutat di dapur lalu membersihkan rumah.Rumah sakit yang terpikir sekarang, entah Reta tak memaafkan lantas mengusir, aku akan jelaskan semua dan memohon maaf yang sebesarnya. Bahkan akan berencana mempertemukan Abi Nailah, agar dia mendengar langsung pernyataan dari bibir pria yang diimpikannya itu."Semoga Allah memudahkanmu, Sayang." Doa Simbah saat aku pamit, beliau mengusap kepalaku sambil tersenyum hangat."Bawain bakso bakar yang dekat masjid kalau pulang nanti, ya, Ummi," pesan Nailah dan Azmi hampir berbarengan, makanan itu mamang favorit mereka. Aku menaikkan jempol tanda setuju.Aku sampai ke rumah sakit dengan ojek sesuai rencana, namun segera berbalik ke toko setelah mendapat telepon Pak Sholeh, ada instansi yang ingin mengambil barang dalam jumlah besar dan harus ada tanda tangan pemilik tokoh sebagai tanda bukti. Okelah, bertemu Reta kit
Aku menumpukan bobot tubuh di kursi taman, meredam rasa bercampur yang masih bergolak. Aku tak tahu apa yang ada di pikiran Mas Rio, bisa-bisanya muhallil yang bercokol di otaknya dan seakan tak bisa diubah. Dia pikir semudah menggoreng ikan lalu melahapnya? Dan luar biasanya, Reta mendukung rencana gila itu agar mendapatkan Abi Nailah. Tak salah lagi, kedua orang ini bucin akut. Ajaibnya semua menyangkut diriku.Huft ...Kututup mata beberapa saat sambil memijit pangkal hidung, ini salah satu cara merilekskan otot-otot syaraf yang masih menegang. Entah itu benar apa tidak, diri selalu mengaplikasikan cara ini."K-kapan, Mas, di sini?" Aku memegang dada mendapati rupa menawan itu sangat dekat saat membuka mata, berjarak sekitar setengah lengan dewasa, hembusan desahan panjangnya menyapu wajahku.Abi Nailah tak menjawab, dia menarik lenganku lembut menuju parkiran, lalu memintaku naik ke roda empatnya. Pria ini kenapa bersikap aneh?Seperti biasa, tak ada percakapan, hanya suara grub
Aku menatap tak berkedip ke arah Reta sekaligus berusaha menajamkan pendengaran ke lawan bicaranya yang kini dia kurangi volume suara di ponselnya. Sama, gadis manis itu tetap bersikap benci, malah sekarang dia seakan jijik walau sekedar menoleh ke arahku meski hanya sejenak. Ya, walau tak sepenuhnya aku menyalahkan diri, tetap saja posisiku tersudut bila berhadapan Reta. Ya, itu disebabkan sebegitu sayangnya aku pada dia. Tidak! Sekira persahabatan kami ini benar-benar tak bisa diselamatkan, aku harus menahan ego. Setidak aku telah berusaha berjuang untuk memperbaiki walau ujungnya akan tetap salah, dimaki, dan dijauhi. Ya, Rabb .... Beri hamba sejumput sabar lagi. Pliss .... Mohon dengan sangat. "Seberapa besar marahmu ke aku, sejumlah itu juga diri akan memohon maaf," kataku dengan bibir bergetar. Sungguh ... jangankan dalam dunia maya, dalam mimpipun aku tak pernah berniat menyakiti hati sahabatku. "Tidak untuk kali ini. Anggap saja aku sudah mati, begitupun sebaliknya." Mimi
Setelah Marta mampu mengontrol emosinya, dia lantas mengajak kami ke arah kamarku dulu."Sekuat apa aku berjuang sepertinya akan sia-sia. Lihatlah! Tak ada aku di sana," ucapnya menunjuk isi ruangan yang telah terenov, foto pengantin kami dalam ukuran besar terpajang di dinding, ditambah gambar Azmi berbagai gaya dan pose.Abi Nailah sempat terpaku setelah menyusuri dengan bola mata ruang penuh kenangan."Jangan pernah sedikitpun menyimpan cemburu untukku, Mar, karena hari di mana satu malam Mas Rio mengambil paksa haknya, aku membuang diri ke esokan paginya ke tempat asing, mengobati sakit, bahkan melahirkan tanpa keluarga," kataku mengusap pipi, lalu melirik Abi Nailah. Ah, biarlah dia tahu seperti apa wanita yang telah dinikahinya."Bertahun tertatih berjuang mengikhlaskan semua yang terjadi, lihatlah, meski jauh dari baik, aku bisa bilang, sahabatmu ini bahagia, pun tak menyimpan dendam pada kalian," ujarku menarik senyum."Intinya, jangan berputus asa, Marta. Yakinlah, Allah akan
Meski dalam keadaan baru bangun, aku mengenal jelas sosok berbau maskulin itu. "M-mau ke mana, Mas?" tanyaku memberanikan diri melihat Abi Nailah berpenampilan sangat berbeda. Baju kaos putih setengah lengan dipadu celana training panjang. Huft, mataku hampir lupa berkedip beberapa saat mendapati keindahan pahatan Ilahi."Mau antar Rahmat -sopir-." Ekspresinya tetap dingin, tapi ajaibnya lelahku tiba-tiba hilang mendengar kami mulai bisa berkomunikasi."Aku ikut." Ingin sekali bibir mengucapkan itu, tapi rasa canggung menguasai. Selain ingin jalan-jalan bersamanya dalam keadaan status yang berbeda, aku ingin mangajaknya menjemput Marta lalu bertemu Mas Rio. Mestinya rasa grogi itu sudah hilang, mengingat pernikahan ini tak ada paksaan seperti dulu, ditambah usia matang mengarungi rumah tangga dan status yang bisa dikatakan berpengalaman. Huft, tetap saja bekal itu tak menjadi dorongan untuk menjalin keakraban lebih cepat. Aku mulai meragu dengan kata-kata Azman, kalau abangnya
Meski dadakan dan seadanya, acara tetap berjalan sesuai syariat, pun seluruh kerabat dekat yang hadir sangat bersuka cita, mungkin karena sudah tahu kami memang sempat hampir menikah, namun batal karena ulahku.Terutama Nailah, Rina, bapak, dan ibu, apalagi Marta. Mulai dari mendengar persetujuan Abi Nailah, sikap permusuhannya langsung mencair bak es. Aku seperti kembali ke memory di masa-masa sekolah dulu.Ya, Rabb ... buka jugalah pintu hati sahabatku Reta di sana. Agar hambamu ini tak dihantui rasa bersalah. Amin."Maaf, Mar. Apa pernikahan kalian belum diketahui orang tua Mas Rio?" tanyaku pada Marta, setelah sedari tadi tak melihat Mas Rio.Wanita yang matanya bengkak efek menangis itu, seketika memegang dada sambil menatapku sendu, dari geriknya menunjukkan kalau statusnya masih istri siri. Sungguh mustahil diterima akal sehat, bertahun menunggu dalam ketidak pastian, masih tetap berjuang memiliki. Marta benar-banar layak dilabeli wanita bucin sejati sedunia."Nanti aku akan m
Karena bapak, ibu, dan Rina memaksa, juga Nailah merengek, akhirnya lelaki dingin itu menginap di lantai bawah. Tempat itu ada dua kamar sekarang, salah satunya untuk tamu. Aku tak tahu sampai jam berapa mereka ngobrol di malam harinya. Yang jelas, aku, Azmi, dan Nailah terbawa mimpi di atas kamarku dengan nyenyak. Bahkan setelah salat Subuh berencana tidur lagi sedikit karena lelahnya.Baru saja mata terpejam segera terbangun mendengar suara-suara ribut di bawah. Untuk memastikan kejadian, dengan lunglai aku mengecek situasi setelah memasang jilbab.Marta tiba-tiba menghambur memelukku dan menangis sesenggukan sesaat kaki menjejaki undakan tanggga paling akhir, terlihat Mas Rio pasrah melihat dua wanita yang pernah dimadunya dalam keadaan tidak biasa. Ada apa ini? Apa yang terjadi sebenarnya?Belum hilang kekalutanku di pagi buta, Andi menyodorkan ponsel berdering terus yang tak sempat kukantongi tadi. Reta! Tangan merijek dulu, waktunya tidak tepat."Aku mencintai Mas Rio dengan se