“Berapa, Mas?” tanya Aya hendak membayar biaya perbaikan motornya. Pagi ini Aya nebeng Wisnu yang kebetulan ada urusan keluar kantor.“Sudah dibayar sama pacar, Mbak. Saya dikasih bonus lagi, makasih banyak ya, Mbak,” ucap pemilik bengkel itu menyiapkan motor Aya.Gadis itu sempat melongo mendengar ucapan pemilik bengkel barusan.“Pacar?” Ulangnya dalam hati. Sejak kapan Eric jadi pacarnya.Setelah mengucapkan terima kasih, Aya lantas tancap gas meninggalkan tempat itu. Setiba di kantor, Aya langsung menuju ruangan Via.“Masuk aja, Pak Eric ada di dalam kok,” kata Via memberitahu.Tak membuang waktu, Aya langsung masuk. Ia benar-benar kaget melihat Ajeng ada di dalam. Dalam hati ia mengumpat kesal karena Via tidak memberi tahu kalau Eric sedang ada tamu.“Ada apa, Aya? Sini duduk,” kata Ajeng ramah melirik penuh arti ke arah Eric."Maaf, saya mengganggu. Saya kembali lagi nanti," kata Aya sembari melangkah mundur hendak keluar dari ruangan. Namun, Ajeng kembali memanggil dan meminta A
Izin keluar sebentar, siang menjelang sore ini Aya mengantarkan Mama ke bandara. Untuk beberapa hari ke depan Mama akan berada di luar kota menjenguk Tante Putri, adiknya yang baru saja keluar rumah sakit setelah operasi kista. Setelah memastikan Mama masuk ke ruang tunggu, Aya bergegas menuju parkiran. Ia cukup kaget saat tiba-tiba saja Farah melambaikan tangan dan berlari kecil menghampirinya. “Tante Aya dari mana?"Dari dalam," sahut Aya menunjuk ke arah gedung keberangkatan."Kalau Farah mau jemput Oma, Tante. Kemarin Oma pulang, sekarang Oma datang lagi," kata Farah memberitahu tanpa diminta.Aya tersenyum melihat Farah yang begitu bersemangat. Gadis kecil itu lalu mengajak Aya untuk ikut menjemput Ajeng ke dalam, namun secara halus Aya menolak permintaan gadis itu dengan alasan pekerjaan yang menumpuk. Bukan apa-apa, ia malas harus bersama Eric."Papa jangan kasih kerjaan yang banyak sama Tante Aya," ucap Farah spontan.Eric tak menjawab. Ia hanya menatap dingin ke arah Aya.Se
Aya tetap menunggu di mobil sementara Eric turun untuk doa bersama sebelum berangkat. Tak berapa lama Maman datang dan memasukkan tas milik Eric ke bagian belakang mobil. Aya sempat berpikir untuk turun dan pindah ke mobil lain, tapi terlambat karena Eric telah kembali.Setelah semua bis meninggalkan halama kantor, satu per satu mobil operasional kantor juga ikut mengiringi termasuk mobil yang Maman kemudikan. Di pertengahan jalan, Eric minta berhenti di salah satu minimarket untuk membeli kopi.“Ini uangnya. Kamu beli juga makan kecil,” perintah Eric memberikan dua lembar uang berwarna merah.Lapar yang Aya rasakan sejak tadi sudah tak bisa ia tahan. Gadis itu lantas membuka salah satu kotak yang berisi makanan. Tanpa basa basi ia langsung memakannya dengan lahap.“Ay, itu punya Pak Eric tadi kasih sama Via,” ucap Maman saat melihat Aya memakan makanan yang ada di dalam kotak.Aya terdiam. Ia mengembalikan potongan kecil ayam yang siap masuk ke mulutnya.“Jatahnya tinggal snack aja,
“Aya,” panggil Eric lagi yang kini suaranya semakin dekat. Karena tidak bisa melihat apa-apa, tahu-tahu Eric tersandung dan jatuh menimpa Aya yang ternyata berdiri di depannya. Dengan jarak yang sangat dekat seperti ini, perlahan Aya dapat melihat wajah Eric dari yang awalnya samar-samar menjadi sangat jelas. Situasi seperti ini sepertinya pernah Aya rasakan.“Kenapa gak jawab waktu aku panggil?” tanya Eric masih dengan posisi di atas Aya.Aya masih terdiam. Mencoba mengingat lebih jelas kejadian yang sepertinya pernah ia alami sebelumnya. Matanya melotot setelah memori otaknya ingat semua kejadian itu.“Jadi pria malam itu adalah Pak Eric?” Aya tidak percaya dengan apa yang baru saja ia ucapkan.Eric tak menjawab. Reflek Aya mendorong tubuh pria itu hingga tersungkur.“Aku akan tanggung jawab,” sahut Eric menatap Aya.“Tanggung jawab apa? Gak ada yang perlu di tanggung jawabkan, Pak. Pak Eric harus ingat, saya bukan istri Bapak!” seru Aya.Eric bangkit berdiri dan cepat menarik tanga
Dengan dibantu Eric, Aya turun dari rakit. Setelah setengah jalan menyusuri sungai, mereka berhenti di warung kecil yang berada di pinggir sungai untuk istirahat sambil menikmati makanan ringan. Beberapa karyawan terlihat berbisik-bisik saat Eric bersama dengan Aya duduk saling berdekatan.“Makasih, Pak. Ini baju saya sudah mulai kering. Nanti saya ganti rakit aja, Pak. Ikut sama yang lain, gak enak saya,” ucap Aya berusaha berdiri tapi gak jadi karena kakinya masih nyeri. Saat ia jatuh tadi kakinya terkena ujung bambu dan sempat terbentur baru besar.“Duduk aja kenapa sih?” Eric menatap Aya.Tak berapa lama Wisnu dan yang lain datang menghampiri.“Gimana, Ay? Masih sakit?” tanya Wisnu.“Lumayan, Nu.” Aya tersenyum kecut.Via yang tahu Aya jatuh dan terluka cepat menghampiri. Belum sempat bertanya, Eric malah menyuruhnya untuk mengambilkan teh hangat dan beberapa kue untuk dirinya dan Aya.Kembali dengan pesanan yang Eric minta, Via lantas duduk di samping Aya.“Tapi gak apa-apa kan,
Akibat permainan tadi, Aya harus terima kalau ia makan di samping Eric.“Sini hati ayamnya, aku tahu kamu gak suka itu,” ucap Eric sembari mengambil hati ayam yang sedari tadi tidak disentuh oleh Aya.Aya melongo melihat tindakan Eric. Setelah tanggal lahir, ternyata bosnya itu juga tahu makanan yang tidak ia suka.“Pak Eric tahu dari mana?” tanya Aya sambil mengunyah makanannya.Pria itu hanya tersenyum, membuat Wisnu yang tak pernah jauh dari kameranya kembali mengabadikan momen manis antara Aya dan Eric.“Sini biar saya aja, Pak,” kata Aya mengambil piring milik Eric yang sudah kosong. Dibalas dengan senyuman manis Eric, Aya sempat salah tingkah dan nyaris menabrak Via yang datang membawakan buah untuk Eric.“Ay, kamu gak lihat aku sebesar ini?” protes Via.“Sori, Vi,” kata Aya bergegas pergi.“Pak Eric masih perlu sesuatu?” tanya Via yang direspon Eric dengan gelengan kepala.Dengan langkah bahagia, Via melenggang pergi. Ia benar-benar menikmati acara outbound kali ini yang tidak
Aya terbangun karena bahunya terasa berat tapi tangannya terasa hangat. Ia kaget saat menoleh, ternyata Eric bersandar di bahunya dengan tangan yang menggenggam tangannya. Aya lantas melirik ke kursi yang berseberangan dengannya."Untung pada tidur," gumam Aya dalam hati. Ia lalu melepaskan tangannya dan mendorong pelan pria itu agar sedikit menjauh."Maaf, Pak," kata Aya nyengir. Gerakan yang ia lakukan ternyata membuat Eric terbangun.Pria itu tersenyum kecil sembari membenarkan posisi duduknya. Aya lantas memalingkan wajahnya ke arah jendela sambil meremas kedua tangannya. Tanpa sadar ia malah membaui tangan kirinya yang sempat digenggam oleh Eric tadi.Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, mereka akhirnya sampai juga di kantor sekitar pukul satu siang. Sebagian dari mereka langsung mengambil barang masing-masing dan pamit pulang. Masih cukup waktu untuk beristirahat agar besok fresh kembali bekerja."Langsung pulang ya, Nu," kata Aya pamit pada Wisnu."Hati-hati ya," sah
Aya begitu nyenyak tertidur hingga terbangun di pukul setengah tujuh pagi. Reflek ia meloncat dari atas tempat tidur dan bergegas menuju kamar mandi. Secepatnya kilat ia mandi dan bersiap pergi ke kantor. Jalan yang seharusnya tidak pernah macet, pagi ini malah macet dan membuatnya nyaris terlambat. Dengan muka tembok, Aya masuk berjalan di antara karyawan kantor yang sudah berkumpul untuk pengarahan pagi.“Tumben kamu telat, Ay?” tanya Wisnu saat Aya datang dan berdiri di dekatnya.“Iya, Nu. Aku bangun kesiangan,” sahut Aya pelan.Sekitar lima belas menit kemudian pengarahan pagi selesai. Masing-masing dari mereka kembali ke mejanya, tidak terkecuali Aya.“Nu,” panggil Aya melirik ke gorengan yang ada di atas meja Wisnu.“Makan aja,” sahut Wisnu yang serius menatap layar komputernya.Beberapa detik kemudian Wisnu mendekat sambil memegang kertas yang baru saja ia cetak.“Apa itu, Nu?” tanya Aya penasaran sambil terus mengunyah tempe goreng.“Ini undangan buat Pak Eric. Lusa dia ada me