Sinar matahari pagi menerobos celah gorden, menyinari kamar dengan lembut. Valeria terbangun dan melihat Alan masih tertidur dengan damai. Ia tersenyum melihat wajah suaminya yang tenang saat tidur. Valeria mengelus lembut rambut Alan dan mencium pipinya.
Valeria berbisik pelan, suaranya manis. "Sayang, bangunlah. Hari sudah siang." Alan mengunyah bibirnya dan membuka matanya dengan lambat. Ia menatap wajah Valeria dengan tatapan yang penuh cinta dan kasih sayang. Alan menarik Valeria dekat ke pelukannya, suaranya berbisik lembut. "Pagi, Sayang. Aku masih ingin tidur." Valeria menjawab dengan senyum manis. "Kita harus bangun. Reinhard dan Elsa pasti sudah bangun. Mereka menunggu kita untuk sarapan." Alan menggeleng pelan dan menarik Valeria lebih dekat lagi. Ia mencium lembut kening Valeria. Ia ingin menikmati waktu bersama istrinya selama mungkin. Alan berbisik lembut ke telinga Valeria, suaraValeria mengambil sepotong roti panggang dan mengoleskannya dengan selai. "Sayang, aku ingin menjenguk ayah hari ini. Bagaimana kalau kita ke sana setelah menjemput anak-anak dari sekolah?" Alan menatap Valeria dengan senyum hangat. "Tentu saja, Sayang. Aku juga ingin menengok mertuaku. Tapi, sebelum kita ke rumah ayahmu, ada satu hal yang ingin aku lakukan. Bagaimana kalau kita mampir ke mal dulu?" Valeria menatap Alan dengan rasa penasaran. "Ke mal? Untuk apa, Sayang?" Alan mengambil tangan Valeria dan menggenggamnya dengan lembut. "Aku ingin membelikan sesuatu untuk ayahmu. Aku tahu dia sangat menyukai jam tangan. Bagaimana kalau kita cari jam tangan mewah untuknya? Sebagai tanda perhatian kita." Valeria tersenyum terharu mendengar perkataan Alan. Ia terharu dengan perhatian dan kepedulian suaminya terhadap ayahnya. Valeria menjawab dengan senyum yang manis. "Wah, Sayang. Ide bagus! Ayah pasti akan sangat
Valeria duduk di samping ayahnya, Satia, yang sedang bersandar di divan kasurnya. Suasana kamar terasa hangat dan tenang. Valeria memegang tangan ayahnya dengan lembut. "Bagaimana, Ayah? Jam tangan ini Alan yang pilih, lho." Satia menatap jam tangan mewah di pergelangan tangannya, senyumnya lebar. "Bagus sekali! Sangat bagus. Terima kasih sekali lagi, Alan." Alan yang berdiri di ambang pintu mendekati Satia dan Valeria. "Sama-sama, Ayah Satia. Oh iya, bagaimana kalau Anda berobat di Singapura saja? Asistenku akan menemani Anda di sana untuk pencangkokan jantung terbaik. Kita bisa mendapatkan perawatan terbaik di sana." Satia menggeleng pelan, suaranya lemah namun tegas. "Tidak, Nak Alan. Aku hanya ingin di sini, dekat kalian dan cucuku. Aku sudah tua, wajar sakit seperti ini. Aku merasa nyaman di sini, di rumah." Valeria menahan air mata yang hampir jatuh, suaranya bergetar. "Ayah... jangan bic
Dua hari kemudian telepon Valeria berdering. Ia melihat ID penelepon, itu dari pelayan rumah ayahnya. Valeria menerima panggilan, suaranya sedikit cemas. [Halo?] Suara pelayan terdengar panik di seberang telepon. Dengan suara terbata-bata. [Nona Valeria... Tuan Satia... Tuan Satia tidak sadarkan diri...] Valeria langsung panik. Ia menjatuhkan teleponnya dan berdiri dengan gemetar. Ia langsung menghubungi pengawalnya. Beberapa menit kemudian, Valeria sudah berada di mobil bersama pengawalnya, membelah jalan menuju rumah ayahnya. Wajahnya pucat dan panik terlihat jelas. Sesampainya di rumah Satia, Valeria langsung berlari menuju kamar ayahnya. Ia mendapati kamar ayahnya sudah ramai dengan para pelayan dan seorang dokter yang sedang memeriksa Satia. Valeria berlari menuju kasur tempat Satia berbaring, suaranya gemetar dan penuh deng
Valeria terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat dan terlihat sangat lelah. Alan baru saja tiba di rumah setelah perjalanan bisnis yang panjang. Ia langsung menghampiri Valeria dengan wajah khawatir. Alan menyentuh dahi Valeria dengan lembut. "Sayang, kau demam? Kau terlihat sangat pucat. Sejak kapan seperti ini?" Valeria merintih pelan. "Semalam... aku merasa sangat pusing dan mual. Badanku juga sangat lemas." Alan segera mengambil teleponnya. "Tenang Sayang, aku akan menghubungi dokter pribadi kita. Kau tunggu di sini, ok." Alan menghubungi dokter pribadinya dan menjelaskan kondisi Valeria. Ia meminta dokter untuk segera datang ke rumah. Setelah menunggu beberapa waktu, dokter pribadi mereka tiba. Ia membawa tas dokternya dan langsung memeriksa Valeria dengan teliti. Ia memeriksa tekanan darah, suhu tubuh, dan menanyakan beberapa gejala yang dialami Valeria.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Kehamilan Valeria semakin terlihat. Perutnya mulai membuncit, dan ia sering merasa lelah. Namun, ia selalu merasa bahagia dan penuh semangat. Alan selalu ada di sisinya, memberikan dukungan dan perhatian penuh. Suatu sore, Alan, Valeria, Reinhard, dan Elsa sedang berkumpul di ruang keluarga. Reinhard dan Elsa sedang asyik bermain, sedangkan Alan dan Valeria sedang berbincang. "Sayang, bagaimana perasaanmu hari ini? Ada yang perlu kubantu?" "Aku baik-baik saja, Sayang. Hanya sedikit lelah. Tapi, aku merasa sangat bahagia." Alan memeluk Valeria dari samping. "Aku juga, Sayang. Aku tidak sabar untuk bertemu dengan adik kecil Reinhard dan Elsa." Reinhard dan Elsa berhenti bermain dan mendekati Alan dan Valeria. "Mommy, apakah adikku akan lucu sepertiku?" tanya Reinhard. "Atau cantik sepertiku?" sambar Elsa.
Keesokan harinya, Alan dan Valeria mengunjungi makam Satia. Mereka membawa serta seikat bunga dan beberapa makanan kesukaan Satia. Reinhard dan Elsa ikut serta, meskipun mereka masih terlalu kecil untuk sepenuhnya memahami arti kunjungan tersebut. Valeria berlutut di depan makam Satia, meletakkan bunga. "Ayah... aku datang menjengukmu. Aku membawa Anya, cucu perempuanmu yang sangat cantik. Ia sangat mirip denganmu." Valeria mengusap air matanya. Alan berdiri di sampingnya, menaruh tangannya di pundak Valeria sebagai tanda dukungan. Alan berbicara dengan lembut. "Ayah... kami semua sangat merindukanmu. Keluarga kita baik-baik saja. Anya telah membawa banyak kebahagiaan ke dalam hidup kami." Reinhard dan Elsa meletakkan bunga mereka di atas makam Satia. Mereka masih terlalu kecil untuk mengerti sepenuhnya, namun mereka ikut merasakan kesedihan Valeria dan Alan. Valeria mengambil ma
Dapur yang cukup luas di rumah Alan dan Valeria. Valeria sedang membantu pelayan menyiapkan makanan, sementara Reinhard dan Elsa, dengan riang, mendorong troli bayi Anya di sekitar dapur. Elsa dengan suara riang. "Ayo, Reinhard, lebih cepat lagi! Anya suka!" Reinhard menirukan suara mesin. "Wrooom! Wrooom! Perjalanan Anya dimulai!" Anya di dalam troli tertawa terbahak-bahak, menepuk-nepuk tangan kecilnya dengan gembira. Ia tampak menikmati "perjalanan" dadakannya. Valeria tertawa melihat tingkah anak-anaknya. "Hati-hati, Nak! Jangan sampai nabrak!" Reinhard menghentikan troli sebentar. "Tenang, Mommy! Kami jago menyetir!" Elsa menunjuk ke arah Valeria. "Mommy, Anya tertawa karena kita!" Valeria menghampiri mereka, mencium pipi Anya. "I
Alan memasuki kamar, matanya terpaku pada Valeria yang berbaring di tempat tidur, mengenakan lingerie yang indah. Ia meneguk ludah, terpukau oleh kecantikan istrinya. Alan bersuara rendah dan berat, lalu berbisik. "Sayang... kau sungguh memukau malam ini." Valeria tersenyum lembut, matanya berbinar. "Apakah kau sudah selesai mengantar anak-anak tidur, Sayang?" Alan mendekat, duduk di tepi tempat tidur, mengaitkan jari-jarinya dengan jari Valeria. "Aku tak bisa mengalihkan pandanganku darimu. Kau begitu memesona dalam balutan itu." Valeria menarik Alan lebih dekat, memeluknya. "Aku senang kau menyukainya, Sayang. Malam ini, hanya untukmu." Alan dan Valeria saling berciuman dengan penuh gairah. Di antara ciuman mereka, terdengar bisikan-bisikan penuh cinta dan hasrat. Tangan Alan menjelajahi tubuh Valeria dengan
Alan memerintahkan baby sister datang ke hotel untuk menjaga Anya. Sedangkan dia ingin bermesraan bersama Valeria. "Aku bukannya senang merayakan wasiatmu, tapi aku speechless kenapa Ayah Satia tidak jujur dan malah berhutang banyak denganku. Apa dia hanya pura-pura saja? Pantas saja dia meninggalkan perusahaan, pergi ke Rusia bersama wanita mudanya, hanya untuk mengujiku," ucap Alan yang kini sedang menciumi tubuh Vale dengan mesra. Valeria tertawa kecil. "Jadi, semua ini adalah ujian? Ujian yang sangat mahal!" Alan mencium leher Valeria. "Ya, ujian untuk melihat apakah kita cukup kuat untuk menghadapi semua ini bersama-sama. Dan sejauh ini, ki
"Terima kasih sudah menjadi suamiku kembali. Meskipun kau membuatku sedikit khawatir tadi malam." Alan tertawa kecil. "Maaf, sayang. Aku terlalu bersemangat." Valeria mencubit lengan Alan pelan. "Lain kali, jangan terlalu bersemangat. Tapi... aku senang." Alan memeluk Valeria. "Baiklah, sayang. Aku berjanji akan lebih lembut... kecuali jika kau menginginkan sebaliknya. Malam yang luar biasa. Aku senang kita bisa menghabiskan waktu bersama seperti ini. "Aku juga. Rasanya seperti kita kembali muda lagi." "Kita akan selalu muda di hati, sayang. Selamanya."
Reinhard dan Elsa, dua anak Alan Chester Clark yang gendut dan lucu, berlarian di sekitar taman pesta pernikahan Abizar, membuat para tamu undangan tertawa. Mereka berguling-guling di atas rumput, mengejar kupu-kupu, dan saling kejar-kejaran. 'Lihatlah mereka! Seperti dua anak kelinci yang berlarian!" ucap para tamu. "Mereka sangat menggemaskan! Aku jadi ingin punya anak juga." Di sisi lain taman, Valeria, dan Violet, duduk di sebuah bangku tamu undangan, menikmati suasana pesta sambil mengobrol. Anya duduk di pangkuan Valeria, tersenyum terus tanpa henti. "Anya, kamu kenapa senyum terus? Ada yang lucu ya?" Violet tertawa. "Dia memang selalu ceria. Lihat giginya, baru tumbuh beberapa
"Jadi, anakku sudah mulai mengikuti jejak ayahnya, ya?" ucap Alan sambil tertawa. Valeria mendelik. "Jangan tertawa! Ini serius! Aku khawatir dia akan terlalu banyak pacar nanti." Alan masih tertawa. "Tenanglah. Aku yakin dia akan baik-baik saja. Setidaknya dia punya bakat alami. Mungkin suatu hari nanti dia akan menulis buku tentang pengalaman pacarannya, judulnya." "Petualangan Cinta Seorang Playboy Cilik". Valeria memukul pelan lengan Alan. "Jangan mengada-ada! Ini serius!" Alan tertawa. "Baiklah, baiklah. Aku berjanji akan membicarakan ini dengan Reinhard. Tapi jangan berharap aku akan melarangnya pacaran. Aku sendiri kan juga pernah mengalami masa-masa itu. Tapi aku akan memastikan dia tahu batasannya. Aku tidak ingin dia terluka."
Sore hari menjelang, mentari mulai terbenam, menorehkan warna jingga dan ungu di langit. Alan dan Valeria masih berbaring di ranjang, saling berpelukan. Suasana kamar masih dipenuhi aroma intim dan sisa-sisa gairah. Valeria tersenyum. "Aku merasa sangat senang. Seperti kembali ke masa pacaran kita dulu." "Aku juga. Rasanya seperti waktu berhenti, hanya ada kita berdua." "Anak-anak akan kembali dalam seminggu. Kita harus memanfaatkan waktu ini sebaik mungkin." "Tentu. Bagaimana kalau kita memasak makan malam bersama? Sesuatu yang romantis, hanya untuk kita berdua." "Ide bagus! Bagaimana kalau kita membuat pasta? Dengan saus truffle dan anggur merah?" Alan tersenyum. "Kau selalu tahu
Jan 23.00 malam baru pulang dari kantor. Ia masuk ke kamar , melihat Valeria, matanya melebar. Ia berjalan mendekat dengan langkah pasti. Kamar gelap hanya diterangi cahaya remang dari lampu tidur di meja samping ranjang. Alan berbisik, sedikit serak. "Wow..." menatap Valeria yang tertidur pulas dengan lingerie sutra berwarna merah marun. "Pekerjaan yang melelahkan di kantor, langsung sirna begitu melihatmu..." Alan mendekati Valeria dan menyentuh pipinya dengan lembut, jari-jarinya merasakan kelembutan kulit Valeria. "Lingerie itu... sangat menggoda." Ia menarik napas dalam-dalam, aroma parfum Valeria memenuhi indranya. "Kau selalu tahu bagaimana membuatku tenang dan... tergoda sekaligus." Ia menunduk, mencium lembut leher Valeria. "Kau luar biasa, Valeria." Alan kemudian berbaring di samping Valeria, memeluknya dengan erat. Ia merasakan detak jantung Valeria yang t
"Kau menginap di sini atau pulang, Boy?" "Aku langsung pulang saja, Kak. Kan ada jet pribadi Kakak." Boy tersenyum. Alan tersenyum. "Ya sudah. Aku ke ruang kerja dulu." Alan menyerahkan Anya ke Valeria. "Anya, sayang, ikut Mommy ya." Valeria menerima Anya. "Tentu, Sayang." "Reinhard dan Elsa ke mana, Kak?" "Mereka tadi, setelah berenang, katanya mau bermain di taman bersama teman-temannya. Sepertinya mereka sudah pulang juga. melihat ke arah pintu. "Ah, lihat! Mereka sudah pulang." Reinhard dan Elsa masuk, membawa beberapa mainan kecil. "Mom! Papa!" teriak Reinhard. "Paman Boy!" seru Els
Valeria segera mempersiapkan diri untuk menyusui Anya. Alan meletakkan Anya di pangkuan Valeria, dan Anya langsung menempelkan mulutnya ke dada Valeria, menghisap dengan lahapnya. Valeria menatap Anya yang sedang menyusu. "Nah, sudah tenang sekarang, ya, Sayang. Minum yang banyak biar kuat." Alan duduk di samping Valeria. "Dia memang cepat sekali laparnya." "Iya juga ya. Besok aku harus lebih sering memberinya ASI. Jangan sampai dia kelaparan lagi." Valeria menatap Anya dengan penuh kasih sayang. "Mommy sayang Anya." Alan memeluk Valeria dari belakang. "Aku juga sayang kalian semua. Keluarga kecilku yang sempurna." Anya selesai menyusu dan tertidur pulas di pangkuan Valeria. Suasana menjadi tenang dan damai. Valeria berbisik kepada Alan. "Dia sudah tidur. Tidurnya sangat nyenyak." "Kita juga perlu istirahat sebentar, Sayang. Hari ini cukup melelahkan." Valeria dan
Alan dan Valeria tetap berpelukan, tenang dan damai. Keheningan di antara mereka dipenuhi dengan cinta yang dalam dan pengertian yang mendalam. Alan berbisik pelan. "Ingatkah kau... saat kita pertama kali bertemu?" Valeria tersenyum lembut muncul di wajahnya. "Tentu saja. Di kafe kecil itu, dengan hujan yang turun deras di luar." Kenangan itu muncul kembali di benak mereka, membawa mereka kembali ke masa-masa awal hubungan mereka. Mereka mengingat perasaan gugup, debaran jantung, dan percikan cinta pertama yang mekar di antara mereka. "Saat itu... aku tahu. Aku tahu kau adalah orang yang tepat untukku." "Aku juga, Sayang. Aku merasakannya sejak pandangan pertama." Mereka saling bertukar tatapan, tatapan yang penuh cinta, kepercayaan, dan pen