Navya menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan Axel yang mulai gelisah. "Axel, duduk, Sayang. Jangan marah-marah kayak gitu, ya?" bisiknya sambil meraih tangan anaknya. "Axel nggak boleh melawan Mami Zoya, Mami Zoya yang udah melahirkan Axel. Axel nggak boleh kayak gitu. Axel nggak mau jadi anak durhaka, 'kan?" "Tapi, Mah ...." "Axel ... ayo minta maaf sama Mami, Nak," pinta Navya dengan lembut. Axel menghela napas panjang sebelum akhirnya meminta maaf pada Zoya. "Maaf, Mami," ucapnya dengan kepala menunduk, tanpa menatap Zoya. Zoya tersenyum tipis, senyum yang penuh sindiran. "Kamu ini Navya, nggak usah berpura-pura jadi ibu peri yang selalu sabar dan baik hati di depan anak-anak. Axel sama Lexa itu anak-anak aku, jangan sok ngajarin mereka gimana caranya bersikap sama ibunya. Lagian, Lexa selalu hormat sama aku karena dia lebih sering menghabiskan waktunya sama aku, beda sama Axel yang selalu menentang aku karena dia lebih sering sama kamu. Entah gimana kamu mencuci otak
Al menatap Axel yang tertidur di pelukan Navya, sedikit mengerutkan kening. Meski Axel tampak nyaman di sana, Al khawatir keberadaan anak sulungnya itu justru mengganggu istirahat Navya. Ia menghela napas, lalu berbicara pelan agar tidak membangunkan Axel. "Nav, gimana kalo aku pindahin Axel ke sofa aja? Biar kamu bisa istirahat lebih nyaman," usul Al, suaranya lembut tapi jelas. Navya membuka matanya perlahan dan menatap Al dengan mata yang lelah, namun ada kelembutan yang samar di sana. Dia menggeleng pelan, tangannya masih menggenggam tangan Axel yang tertidur. "Jangan, Mas," bisik Navya. "Pelukan Axel bikin aku nyaman ... rasanya perut aku sedikit lebih baik kalo dia di sini. Nggak apa-apa, biar dia di sini aja." Al terdiam sesaat, memperhatikan Navya yang tampak begitu lemah namun berusaha kuat. Kemudian, dia tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. "Oh, begitu ya? Tapi aku yakin, pelukan aku pasti lebih efektif buat bikin kamu merasa lebih baik daripada pelukan Axel," go
"Ya, aku mau. Tapi aku maunya jalan aja," tegas Navya. Al menatap Navya yang bersikeras untuk tidak memakai kursi roda. Dengan perasaan campur aduk, ia akhirnya mengalah. "Oke, kita jalan aja, tapi aku bakal pegangin kamu sepanjang jalan, dan kamu nggak boleh nolak," kata Al tak kalah tegas, sambil merangkul Navya dengan lembut namun penuh perhatian. Navya tak menolak, meskipun ada sedikit keengganan di matanya. Mereka berjalan perlahan menuju taman rumah sakit, langkah Navya yang lemah membuat Al semakin hati-hati. Sepanjang perjalanan, beberapa perawat dan dokter yang mengenali Navya menyapa mereka dengan senyum simpul, namun ada juga yang memandang dengan tatapan tak suka, mungkin karena rasa iri melihat Navya yang menurut mereka terlalu beruntung menjadi istri seorang Aldevaro Mahendra. Dokter spesialis saraf sekaligus calon pewaris rumah sakit tempat mereka bekerja itu. "Ternyata masih banyak yang kenal sama aku, ya
Navya tampak gugup, kedua pipinya sedikit merona. "Apaan sih, Mas?! Siapa juga yang minta kamu peluk?"Al masih tertawa kecil melihat kegugupan Navya, tapi ia menahan diri untuk tidak menggoda lebih jauh. "Oke, kita balik ke kamar aja, ya. Biar kamu istirahat lagi," katanya sambil membantu Navya berdiri. Mereka berjalan pelan kembali ke kamar rawat Navya. Al masih dengan sabar merangkul Navya, memastikan langkahnya stabil. Sesampainya di kamar, Al membantu Navya duduk di tepi ranjang, lalu mengatur bantal agar istrinya merasa nyaman. "Nyaman nggak?" tanya Al sambil memastikan posisi Navya. Navya mengangguk pelan, senyumnya lembut. "Iya, nyaman kok. Makasih, Mas." Al tersenyum, lalu duduk di sampingnya. "Kamu istirahat aja, nanti kalo dokter spesialis udah periksa kamu, dan kamu boleh pulang, kita langsung pulang." Navya menatap Al sejenak, lalu mengangguk, dan berbisik pelan, "Mas, makasih udah
Al mengusap lembut rambutnya. "Papa tau kamu pasti kecewa karena Papa nggak bolehin kamu ke rumah Mami Zoya. Tapi ini bukan karena Papa nggak sayang sama kamu, Lexa. Juga, bukan karena kamu nggak boleh deket sama Mami. Kamu tau kan, Mama Zoya lagi sakit, dan Papa nggak mau kamu melihatnya dalam kondisi yang nggak baik. Papa cuma nggak mau kamu sedih kalau liat Mami kamu lagi kesakitan." Lexa akhirnya mendongak, air mata mulai menggenang di matanya. "Tapi ... kenapa sekarang Papa selalu lebih percaya sama Mama Navya? Dia kan nggak sayang sama Mami. Dia cuma bikin Mami sedih. Dia sering jahat sama Mami. Sering banget marah-marahin Mami." Al terdiam sejenak, menatap wajah putrinya yang polos namun penuh luka emosi. "Lexa, Mama Navya itu sayang banget sama kamu, Nak. Kamu tau, nggak semua anak seberuntung kamu yang punya ibu sambung sebaik Mama Navya. Banyak sekali anak-anak di luar sana yang nggak seberuntung kamu. Tapi, Mama Navya tulus menyay
Al menarik napas dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Lexa, sayang, Mami Zoya lagi kurang sehat, ingat, 'kan? Jadi mungkin dia nggak akan mungkin bisa ikut kita ke Bali," jawabnya hati-hati, sambil menatap Navya yang kini sedang menundukkan kepala, menyembunyikan ekspresi sakit hatinya. Lexa merengek lagi, "Tapi Papa ... Mami pasti senang kalo ikut liburan sama kita. Mami nggak akan sakit kalo ada aku di dekatnya. Buktinya Mami gak pernah sakit kalo lagi sama aku." Axel, yang cukup peka terhadap suasana, langsung menyadari perubahan ekspresi di wajah Navya. Dia tahu, jika diskusi tentang Zoya berlanjut, ibu sambung tersayangnya itu akan semakin merasa tersisih. Dengan sigap, Axel memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan. "Lexa, gimana kalo kita bikin daftar tempat seru yang mau kita datengin di Bali? Kamu kan tadi bilang mau bikin istana pasir, kamu bisa cari tau dulu di pantai mana yang lebih nyaman buat bikin istana pasir. Terus coba deh bayangin ... gimana kalo kita
Al menatap Navya dalam-dalam, menyadari betapa banyak yang belum terselesaikan di antara mereka. Malam ini, dia tahu, adalah saatnya untuk dia membahas tentang nafkah batin yang selama ini belum pernah dia berikan pada istrinya.Dan, tanpa banyak berkata-kata, Al membantu Navya untuk berbaring, dan dia pun ikut berbaring di sampingnya, berhadapan, dan menatap lekat wajah cantik istrinya."Aku bodoh banget selama ini, Nav," ucapnya lirih."Bodoh? Bodoh kenapa, Mas?" tanya Navya yang tak mengerti akan maksud suaminya itu.Al menyingkirkan anak rambut yang sedikit menutupi wajah Navya dengan lembut. "Bodoh karena mengabaikan istri secantik kamu."Perkataan itu berhasil membuat kedua pipi Navya sedikit memerah, jantungnya berdegup kencang. Dia sungguh berhasil membuat istrinya gugup.Al tersenyum melihat Navya yang nampak malu, "Aku baru sadar kalo istri aku cantik banget." "Ih, apa sih, Mas. Masih kalah cantik lah aku dibanding Zoya," sungut Navya mencoba mengalihkan rasa gugupnya."Leb
Navya tertegun mendengar kata-kata Al yang baru saja diucapkan dengan penuh ketulusan. Nafkah batin. Sesuatu yang selama ini tak pernah ia bayangkan akan datang dari suaminya yang, meski sudah tiga tahun menikah, belum pernah benar-benar mendekatinya secara emosional, apalagi fisik. Detik-detik berlalu terasa lambat. Navya bisa merasakan jantungnya berdebar lebih kencang, tubuhnya mendadak kaku. Dia tidak siap. Meskipun mereka sudah terikat dalam ikatan pernikahan, perasaannya belum sepenuhnya menyusul status itu. Dia merindukan cinta yang nyata, bukan hanya kewajiban. Dengan hati-hati, Navya menggelengkan kepalanya pelan, membuat Al terdiam menunggu jawabannya. "Maaf, Mas," bisik Navya, suara lembutnya hampir tak terdengar. Dia menatap mata Al, berharap suaminya mengerti perasaannya. "Aku ... aku belum siap." Al mengerutkan kening, jelas merasa bingung. "Kenapa, Nav? Aku nggak mau memaksakan apa pun ke kamu. Kalo memang kamu nggak mau malam ini, aku nggak akan maksa. Tapi ... ken
Axel menarik lengan Navya dengan antusias, wajahnya terlihat tidak sabar. “Ma, Kalo nunggu Papa ganti baju kelamaan! Aku mau es krim coklatnya sekarang! Papa harus cepetan ganti bajunya biar kita bisa foto terus makan es krim. Aku udah nggak sabar, tau!” Navya menunduk, menatap Axel dengan lembut. “Iya, Nak, tolong sabar ya. Nanti habis foto, kita ambil es krim coklat buat kamu, okay?” Axel mendengus kesal dan melipat tangan di depan dada. “Papa ngapain masih bengong sih? Kenapa nggak cepetan ganti baju? Nanti es krimnya keburu habis!” Mendengar celotehan Axel, Al tersenyum geli. “Iya, iya, Papa cepet, kok. Kamu tunggu di sini, ya, sama Mama. Jangan pergi ke mana-mana.” “Papa beneran cepet, 'kan?” Axel menatap Al dengan ragu, seolah menantang ayahnya untuk menepati janji. Al mengangguk sambil tertawa kecil. “Beneran cepet. Papa cuma mau ganti baju sebentar, terus kita foto bareng sama Tante Cindy sama suaminya. Setelah itu, langsung kita ambil es krim coklat buat kamu.” Axel ter
Al tiba di lobi hotel, tempat pernikahan Cindy dilangsungkan. Dengan langkah cepat, dia berjalan masuk ke hotel setelah memberikan kunci mobilnya pada petugas valet parkir. Hujan gerimis yang menyisakan jejak basah di tubuhnya membuat penampilannya semakin berantakan. Kemejanya tampak kusut, dan rambutnya yang sedikit basah terlihat acak-acakan. Wajahnya yang kusut semakin menambah kesan buruk pada imejnya yang selama ini selalu berpenampilan rapi dan berhasil menarik perhatian para wanita. Begitu tiba di depan ballroom, Al disambut tatapan heran dari para tamu yang berada di luar ruangan. Beberapa di antaranya berbisik-bisik melihat penampilannya yang jauh dari kesan profesional dan elegan yang biasanya ia tampilkan. Al tidak memperdulikannya. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal—Navya. Dia harus menemukan istrinya sebelum Navya kembali menghindarinya. Ketika hendak melangkah masuk ke dalam ruangan, dua petugas yang berjaga di pintu langsung menghentikan langkahnya. “Maaf,
Al berdiri di samping mobilnya, matanya masih terpaku pada jalanan basah oleh hujan. Gemericik suara gerimis seakan menyatu dengan rasa kacau di dalam dadanya. Dia mencoba menekan nomor Navya lagi, kali ini dengan lebih frustasi, berharap kali ini ada jawaban. Panggilan itu kembali berakhir dengan suara operator yang dingin. Ponsel Navya masih mati. Al mengumpat pelan, “Navya, kamu mau sampe kapan sih ngilang kayak gini?” Tangannya mengepal di samping tubuhnya. Dia merasa seperti terjebak di dalam mimpi buruk yang tidak kunjung berakhir. Seketika, ponselnya bergetar. Dengan cepat Al meraihnya, berharap itu adalah Navya. Namun, nama di layar bukan yang dia harapkan. Al menatap nama Axel yang tertera di layar ponselnya. Tenggorokannya tercekat, pikirannya berputar, mencari-cari alasan. Karena dia tahu siapa yang akan ditanyakan putranya itu. Siapa lagi jika bukan Navya yang sampai saat ini masih belum diketahui keberadaannya. Dia menarik napas panjang sebelum menjawab, berusaha
Al melangkah kembali ke mobilnya, merasa semakin tenggelam dalam kebingungan dan kekhawatiran. Sementara hujan telah berhenti, dinginnya malam seolah mencerminkan kehampaan yang dirasakannya. Dia mulai bertanya-tanya, kenapa rasa cemas dan takut ini begitu menguasainya. Apakah ini karena dia sudah mulai mencintai Navya, atau sekadar rasa bersalah yang terus menghantuinya? Ketika dia menyusuri jalan menuju rumah, pikirannya dipenuhi bayangan Navya. Setiap momen yang pernah mereka lalui bersama berputar di benaknya—wajah Navya yang ceria saat selalu menyambutnya pulang, tangannya yang selalu sibuk mempersiapkan segala keperluannya tanpa keluh kesah. Al menghela napas panjang. “Apa aku bener-bener udah mulai cinta sama dia?” tanya Al dalam hati, tanpa mampu menemukan jawabannya yang pasti. Setiap kali dia memikirkan betapa hancurnya Navya saat ini, hatinya terasa semakin tertekan. Namun, dia tidak tahu apakah tekanan itu berasal dari rasa cinta, atau hanya sekadar rasa bersalah atas
Al bergegas membawa Axel pulang, tetapi di kepalanya masih berputar soal Navya. Sesampainya di rumah, Axel, yang baru keluar dari mobil, segera bertanya, "Papa, Mama udah pulang belum?" Al menelan ludah, mencoba tetap tenang meskipun hatinya berkecamuk. "Mama masih di panti, Nak. Papa mau jemput Mama sekarang." Axel berhenti sejenak di depan pintu rumah, wajahnya tampak khawatir. "Aku ikut, Pah! Aku mau ikut jemput Mama ke panti!" Al langsung menghentikan langkahnya dan menunduk, meraih bahu Axel dengan lembut, namun suaranya tegas. "Nggak, Axel. Kamu istirahat aja di rumah. Ini sudah malam, kamu harus tidur. Papa bisa jemput Mama sendiri." Axel merajuk, menatap Al dengan mata yang berkaca-kaca. "Tapi, Pah, aku—" "Axel ...." Al memotong dengan nada lebih tegas kali ini, menatap putranya dalam-dalam. "Denger Papa. Kamu tinggal di rumah dan istirahat. Besok pagi, Mama pasti udah di rumah." Axel mengangguk pelan, merasa tak berdaya di hadapan ketegasan Al. Dia selalu takut jik
Navya menatap layar ponselnya yang kini penuh dengan air mata. Di situ, ada foto Al yang sedang menatap Zoya dengan tatapan sendu sambil menggenggam erat tangan Zoya. Foto itu dikirim langsung oleh Zoya dengan pesan singkat.Mak Lampir :Inget ini baik-baik, cewek udik! Al cuma akan jadi milik aku. Cinta dia cuma buat aku. Jadi, jangan mimpi kamu bisa dapetin cinta dia!Bohong jika Navya mengatakan dia baik-baik saja. Hatinya benar-benar merasa hancur sekarang. Bukan hanya sekali ini sebenarnya Zoya mengirim foto-foto yang sengaja dikirim Zoya untuk memprovokasinya.Biasanya, yang dia rasakan tidak sesakit ini. Tapi, mengingat betapa Al memohon padanya untuk tidak bercerai, dan segala perlakuan manis, juga perhatian yang Al berikan kepadanya beberapa hari terakhir ini, membuatnya sedikit memiliki harapan bahwa Al bisa mencintainya.Namun, setelah apa yang terjadi hari ini, juga kiriman foto itu, dia hanya bisa tersenyum getir dengan air mata yang enggan untuk berhenti mengalir. "Kamu
Navya menunduk, merenung sejenak. Dia merasa ada kebenaran dalam kata-kata Sean, namun untuk membuat keputusan itu butuh keberanian yang belum tentu dia miliki. “Kalo kamu butuh temen ngobrol atau butuh bantuan, kamu tau dimana harus cari aku, Nav. Nomer aku masih yang dulu kok. Aku juga aktif di sosmed. Kamu tinggal DM aku aja kalo emang kamu udah nggak save nomer aku. Jangan ragu buat chat aku kapanpun kamu mau,” ucap Sean dengan penuh ketulusan. Navya menatapnya lagi, kali ini ada secercah harapan di matanya. "Makasih, Sean." "Eh, nggak sadar, ya. Kok kita awet banget ya ngobrol di depan toilet kayak gini. Gimana kalo kita ke kafe atau ke mana gitu yuk buat lanjut ngobrol?" ajak Sean. Navya tersenyum tipis, "Maaf, Sean. Aku mau pulang, mau istirahat. Next time aja, ya." Sean tersenyum dan mengangguk, meskipun sorot matanya terlihat kecewa. "Kalo gitu, aku anter kamu pulang aja, ya? Gimana?" "Nggak usah. Aku udah pesen taksi online kok. Nih drivernya udah chat aku. Aku
Navya merasa tubuhnya lemas dan pusing, seolah dunia di sekitarnya berputar. Tepat saat ia hampir jatuh, sebuah tangan kuat menahan tubuhnya dengan cepat. “Navya?” Suara pria itu terdengar terkejut. Navya, yang masih setengah sadar, perlahan mengangkat pandangannya. Seketika jantungnya berdegup kencang saat melihat wajah yang tak asing baginya—Sean, teman lamanya yang sudah bertahun-tahun tak ditemuinya, sekaligus adik dari Zoya. Raut wajah Sean dipenuhi kekhawatiran. "Sean?" tanya Navya, suara dan tatapannya masih lemah. “Ka-kamu ... kamu ngapain di sini? Bukannya kamu di London?” "Aku harusnya yang tanya, kamu ngapain sendirian, di sini, huh? Mau pingsan pula. Kamu sakit?" Sean bertanya dengan nada prihatin sambil membantu Navya berdiri lebih tegak. Navya menepis tangannya pelan, mencoba menstabilkan dirinya sendiri. “Aku nggak apa-apa, cuma maag aku aja yang lagi kambuh,” jawabnya dengan nada datar, mencoba menyembunyikan kegundahannya. Sean memicingkan mata, jelas tida
Al akhirnya menghela napas panjang, merasa terjebak di antara kewajiban dan kenyamanan keluarga kecilnya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, dia menjawab panggilan itu. “Halo ... Tante?” Suara Al terdengar berat, seperti sedang bersiap untuk mendengar kabar buruk. Dari seberang telepon, suara Merry terdengar menangis terisak dengan penuh kepura-puraan. “Al ... tolong. Zoya ... dia butuh kamu. Dia ... dia tadi batuk darah banyak banget, Al. Tapi dia nggak mau dibawa ke rumah sakit. Dia bilang, dia mau ... dia mau mati aja, karena katanya kamu udah bahagia sama Navya dan anak-anaknya. Dia merasa udah merusak kebahagiaan kamu. Dia nggak mau merusak kebahagiaan kalian. Dia nyerah sama penyakitnya, Al. Tolong ... tolong datang ke sini sekarang, Al." Al terdiam, menatap Navya yang masih memperhatikan dengan tatapan penuh pertanyaan. "Tante takut sesuatu yang buruk terjadi sama dia. Cuma kamu yang bisa bujuk dia, Al. Tante mohon. Tolong Tante. Setidaknya, lakukan ini demi putri k