Laila pun menatap Inem dengan bingung."Mbaknya siapa?" tanya Inem menatap Laila dengan heran. "Saya tetangga yang ada di rumah pojok itu gang itu, Mbak. Yasmin ada?" tanya Laila. Gadis itu memang belum bertemu Inem saat perkenalan kemarin karena sedang belajar di rumah Amelia. Inem terlihat mengerut kan keningnya lalu akhir nya membuka pintu depan lebih lebar dan masuk ke dalam rumah lebih dulu dengan diikuti oleh Laila. Laila sebenarnya canggung masuk ke rumah dokter Marzuki lagi. Baru dua kali ini dia masuk ke dalam rumah dokter itu sejak kepindahannya. "Mbak La!" seru Yasmin yang mendadak keluar dari kamarnya. Gadis kecil itu menghambur dan melompat ke pelukan Laila. Sementara itu Inem berlalu menuju ke arah dapur."Hai Sayang!"Hap! Laila memeluk erat Yasmin lalu menciumi pipinya yang gembil. "Apa kabar luka kamu yang baru saja jatuh kemarin?" tanya Laila seraya melihat siku dan lutut kaki Yasmin uang yang masih terbalut plester."Udah nggak sakit kok mbak La. Tapi kata pa
"Assalamualaikum, Yasmin. Papa pulang!"Wajah Inem memucat. Dia terkejut melihat kedatangan dokter Marzuki, takut kalau perkataannya yang merendahkan Laila didengar oleh dokter Marzuki. Tapi sepertinya dokter Marzuki tidak mendengar ucapan dari Inem. Karena dokter Marzuki langsung berjalan dan menyapa seisi rumah. "Waalaikumsalam, Papa." Yasmin menghambur memeluk papanya dengan riang. "Mbak La main ke sini lho, Pa. Yasmin seneng sekali kalau Mbak La ke rumah," tukas Yasmin dalam gendongan papanya. Laila tersenyum canggung dan sementara itu wajah Inem langsung terlihat tidak suka. "Oh, ya. Ada Mbak La. Sudah lama di sini?" tanya dokter Marzuki. Wajah dokter itu juga agak kikuk. Karena setiap kali melihat Laila, dia selalu teringat ucapan pak Jaka. Pak Jaka memang tidak melarang dokter Marzuki untuk bertemu dengan anaknya secara langsung. Tapi secara tersirat terlihat sekali kalau pak Jaka tidak suka jika Laila memulai hubungan dengan laki-laki. "Saya harap dokter mengerti perasa
Lelaki itu terkejut dan mendelik melihat kelakuan Inem. "Astaga, mbak Inem, kenapa kamu cuma pakai handuk malam-malam begini?" tanya dokter Marzuki kaget. Inem tersenyum menggoda lalu berkata, "tadi saya merasa gerah banget sebelum hujan. Jadi saya baru saja mandi."Dokter Marzuki memalingkan wajahnya. "Duh, kenapa harus pakai handuk saja? Mbak Inem kan bisa ganti baju di dalam kamar mandi? Jadi saat keluar kamar mandi, mbak Inem nggak hampir bugil seperti ini," sahut dokter Marzuki. "Yah, maaf deh Pak. Saya nggak tahu kalau ada pak Marzuki di sini. Saya kira bapak sudah ada di kamar, jadi pas mati lampu, saya refleks pakai handuk lalu keluar dari kamar mandi begitu saja," sahut Inem menunduk. Dokter Marzuki menghela nafas panjang. "Ya sudah, cepat kembali ke kamar kamu, mbak.""Iya Pak."Mendadak petir menggelegar diluar rumah membuat Inem berteriak kecil dan mengangkat kedua tangannya melepas handuk yang mengikat tubuhnya. Sehingga tampak polos di hadapan Marzuki. "Aaarrrgghhhh
"Hm, mbak Inem juga bisa sih kalau cuma main Layang-layang, manjat pohon, dan baik. Gimana kalau seandainya mama kamu itu mbak Inem?" tanya Inem sekali lagi. Yasmin mendelik mendengar kata-kata dari Inem. "Tapi Yasmin maunya sama mbak La. Bukan mbak Inem," sahut Yasmin dengan mengerucutkan bibirnya. Inem menjadi kesal. 'Ck, dasar bocil. Nggak tahu kalau aku lebih pro daripada Laila. Memang sih secara bodi, bagus Laila. Wajar saja karena Laila belum pernah melahirkan anak. Aku kan sudah melahirkan dua anak. Tapi kalau masalah di ranjang, aku pasti lebih mahir daripada Laila. Aku kan bisa goyang atas bawah, samping kanan kiri,' bisik Inem dalam hati. "Hm, padahal lho mbak La kan belom bisa masak. Pasti masih lebih enak masakannya mbak Inem, Min," sahut Inem penuh percaya diri. "Mbak Inem ini bawel. Yasmin kan harus sekolah, malah diajak ngomongin mbak La. Entar kalau Yasmin telat, tak bilangin ke papa lho," ujar Yasmin membuat Inem mendelik. 'Astaga! Sialan ini bocil. Kok bisa sih
"Halo, Nem. Kata yayasan, kamu sudah dapat tempat kerja yang baru ya? Kok kamu nggak ngomong sama suami mu ini? Kamu mau jadi istri durhaka?" tanya suara dari seberang membuat Inem terlonjak kaget. "Hm, itu mas, aku memang sudah dapat kerja di rumah orang. Tapi baru beberapa hari ini aku kerja. Nggak bisa kirim gaji sekarang. Bulan depan baru gajiannya bisa aku kirim, Mas," sahut Inem lirih. "Ck, kebanyakan alasan saja kamu! Anak kamu itu banyak makannya. Aku juga baru kalah judi. Gobl*k kamu!" teriak suami Inem dari seberang telepon. Seketika nyali Inem mengerut. Tapi tak urung juga, rasa dendam di dalam hatinya terasa semakin besar. "Mas, kamu ini apa nggak tahu malu? Kamu kan kepala rumah tangga? Tapi kenapa justru membuatku pontang panting dan kebingungan cari uang?" tanya Inem akhirnya. Suasana hening sejenak. Lelaki di seberang telepon terdiam. Mungkin berpikir akan dengan apa membalas ucapan Inem. "Heh, kamu sudah bisa melawanku ya? Ingat aku nggak akan segan menyakiti an
Inem menghela nafas. Bingung dengan apa yang harus dilakukannya dengan uang itu. "Diambil atau jangan ya?" gumamnya lirih dan ragu.Inem menghela nafas sekali lagi. Sejenak ragu-ragu apa yang harus dilakukan nya. "Kalau aku mengambil uang ini, kira-kira ketahuan nggak ya oleh dokter Marzuki?" Sekali lagi dipandanginya uang yang sudah berada di dalam genggaman tangannya. "Ambil, enggak, ambil, enggak ya? Tapi nanti kalau pak Marzuki ingat dan menanyakan kembali soal uang ini gimana?"Hari Inem terus berdebat sendiri melihat uang itu. Mendadak terdengar suara suaminya yang terngiang di telinganya. "Tapi kata mas Slamet, sepertinya benar. Dokter Marzuki kan kaya. Dia tidak akan menjadi miskin hanya karena kehilangan 100 atau 200 ribu. Ah, tahu ah gelap. Aku ambil saja lah uang ini," ucap Inem lalu dengan buru-buru dimasukkan nya uang yang ditemukan nya di dalam saku celana panjangnya. Dengan bergegas, Inem lalu membereskan aneka baju kotor lalu memasukkan nya ke dalam mesin cuci. D
Dokter Marzuki yang sedang mengulurkan tangan ke plafon rumahnya seketika terdiam. Dia tidak menyangka bahwa Yasmin akan meminta hal itu. Lelaki muda itu turun dari kursi lalu mendekati Yasmin. Dengan lembut dielusnya rambut Yasmin. "Kemarin papa ketemu dengan pak Jaka, ayahnya mbak La. Kata ayahnya, mbak La sedang ujian, Min. Jadi belum bisa main kemari dan kamu juga jangan main ke sana dulu. Karena mbak La pasti sibuk, Sayang. Kamu main sama mbak Inem atau papa dulu ya."Marzuki menatap ke mata anaknya. Berharap anaknya mau mengerti kondisi saat ini, tidak rewel, dan tidak tantrum karena hal itu. Yasmin hanya menatap papanya. Seolah tahu kegusaran yang dialami papanya. "Ya pa. Yasmin akan main sendiri kok. Papa lanjut aja mengganti lampunya," sahut Yasmin tersenyum. Entah kenapa hati Marzuki seolah mencelos mendengar dan menatap anaknya yang selalu berusaha mengerti kondisi dirinya. Seolah anak sekecil itu sudah dipaksa untuk dewasa sebelum waktunya karena tidak mempunyai seora
"Mbak Inem, tolong kemari sebentar. Ada hal serius yang ingin saya bicarakan," ucap Marzuki. Inem mendekat dengan ragu. Dia melangkah perlahan menuju ke tempat duduk Marzuki di ruang tengah. "Ya Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Inem. Dia mulai membayangkan Marzuki tertarik padanya. 'Kalau dokter Marzuki tertarik padaku, aku akan minta dinikahi dan akhirnya aku tidak perlu lagi repot-repot kerja. Aku akan minta sewa asisten rumah tangga dan baby sitter. Aku juga akan terpisah dari mas Slamet yang brengsek itu. Lalu aku bisa jalan-jalan ke luar kota bahkan keluar negeri dengan anak-anakku dan ibuku. Yes! Pasti dokter Marzuki ingin ngomong kalau dia tertarik padaku dan ingin menikahiku. Satu ... dua ... tiga ...'"Apa yang sedang kamu lakukan saat itu, Mbak?" tanya dokter Marzuki sambil memperlihatkan rekaman cctv dari laptop yang dipangkunya. Seketika Inem mendelik dan menelan ludah. Mendadak hitungan yang tadi sudah disiapkannya dalam hati menguap tak berbekas. "Pak Marzuki,
Tiara mendelik, dia langsung terduduk di ranjang hotel dan memutar ulang video yang menampilkan sosoknya yang sedang marah-marah. "Sial*n! Siapa yang telah merekam dan mempermalukanku? Ini pasti kerjaan bocil genit itu! Bisa-bisa nya mas Marzuki mencintai anak kecil padahal aku masih hidup. Aku tidak terima! Aku akan membalas bocil itu!"Tangan Tiara mengepal. "Tapi apa yang bisa aku lakukan untuk membuat mas Marzuki meninggalkan bocil itu?!"Tiara berdiri lalu mondar mandir di dalam kamar hotelnya, mencari ide untuk membuat Marzuki membenci Laila. Mendadak sebuah ide terlintas di kepalanya. "Ah, betul juga! Kalau wajah Laila menjadi cacat, Mas Marzuki dan Yasmin pasti tidak mau mendekati bocil itu lagi. Dan saat itulah aku akan merebut perhatian mereka. Mereka pasti akan menerima perhatian dariku," desis Tiara dengan penuh keyakinan. Dia lantas membuka internet lalu mencari tahu di online shop tentang barang yang bisa membantu rencananya. ***Laila dengan tangan gemetar mencelupk
Tiara yang sudah mengenal suara di belakang nya menghela nafas dan berbalik ke belakang. "Hai, Mas Rizki. Kamu sampai di sini juga?" tanya Tiara berbasa basi seraya menyedekapkan kedua tangan di depan dadanya. "Tentu saja. Setelah kamu minggat, aku langsung memerintahkan orang untuk mencari keberadaan kamu. Ternyata kamu di sini. Jauh-jauh dari jakarta ke kota terpencil ini hanya untuk mengganggu suami orang. Ck, ck, aku tidak menyangka kalau kamu akan berbuat sesuatu seperti ini. Kamu benar-benar berbakat menjadi pelakor, Ti," sahut Rizki, sang suami. Tiara tergelak. "Pelakor? Hati-hati kalau kamu bicara, Mas! Dia mantan suamiku, jadi aku ...""Memang di masa lalu, dia adalah suami kamu. Tapi saat ini dia kan sudah mempunyai keluarga baru, istri baru, seharusnya kamu tahu diri dan tidak merusak kehidupan rumah tangganya!"Tawa Tiara semakin terdengar keras. "Hahaha! Kamu ini lucu sekali, Mas! Kamu dulu menjadi pebinor dan merebutku dari mas Marzuki sehingga kami bercerai, dan sek
"Mas, tolong aku!" ujar Tiara dengan penuh harap menatap ke arah Marzuki. "Aku mengalami KDRT! Aku kabur dari suamiku! Tolong tampung aku di rumah kamu, Mas!" seru Tiara lagi dengan sangat memelas. Laila mendelik, sebenarnya dalam hatinya sangat ingin mencakar dan menjambak Tiara. Tapi ditahannya karena Laila tidak mau mengotori tangan nya dengan memegang sampah. Wajah Marzuki menegang melihat Tiara yang datang menemui mereka, apalagi di hadapan Yasmin. "Kok kamu bisa kesini?" tanya Marzuki dengan wajah parau. Ditatapnya wajah dan tubuh Tiara yang terdapat lebam-lebam di beberapa tempat. "Mas, kalau enggak di sini, aku harus kemana? Lihatlah luka-luka di tubuhku ini. Aku dipukuli suami ku. Tidakkah kamu kasihan, Mas? Aku hanya punya kamu. Kamu kan tahu kalau orang tuaku meninggal sejak SMA dan aku bisa hidup karena bantuan kamu," ujar Tiara dengan wajah memelas. Baru saja Laila hendak merespon ucapan Tiara saat Marzuki menunjuk wajah Tiara dengan serius. "Kamu tahu bahwa hanya a
Laila terbangun dan merab* ranjang di samping nya."Kok kosong? Mana mas Marzuki ya?" gumam Laila lalu duduk di atas ranjang dan melihat sekeliling kamar."Mungkin masih salat di masjid atau lihat tivi. Hm, ini kan hari Minggu. Puskesmas libur dan hanya on call," ujar Laila lagi. Dia melihat ke arah jam di kamar. "Sudah jam lima nih. Musti mandi dulu sebelum salat."Laila pun bergegas ke kamar mandi yang terletak di dalam kamar lalu segera membersihkan diri. Setelah mandi dan menunaikan salat subuh, Laila mengering kan rambut nya dengan hair dryer lalu keluar dari kamar. "Mama! Selamat ulang tahun!" seru Yasmin riang begitu Laila membuka pintu kamarnya. Laila yang saat itu sedang mengenakan daster warna kuning merasa sangat bahagia dan terkejut saat melihat kue berbentuk lingkaran mungil yang sedang dipegang oleh Yasmin. Lalu dari arah belakang tampak Marzuki yang sedang mengenakan celemek dan membawa sendok sayur sedang berjalan menuju ke arah Laila dan Yasmin. Sedangkan bi Inah
Laila terbangun saat merasakan dinginnya AC yang menyentuh kulitnya, dengan segera di Laila menarik selimut nya lagi. "Dingin ya?" sapa sebuah suara yang berbisik di telinga Laila. Laila mengangguk manja. Dan Marzuki yang ada di belakang Laila memeluk erat sang istri semakin erat. "Ya sudah. Aku peluk lagi. Atau kamu mau kita mengulang yang semalam?" tanya Marzuki seraya menciumi pundak dan punggung Laila sehingga perempuan itu terkikik geli dan manja. "Mas, geli tahu!" bisik Laila lalu membalikkan badannya ke arah Marzuki. Mereka saling bertatapan di dalam remang cahaya lampu kamar tidur. Laila memandang jam bulat melalui pundak Marzuki yang tertempel di dinding kamar. 'Masih jam satu rupanya.'Marzuki meletakkan tangannya ke pipi Laila dan berbisik merdu. "Kenapa kamu memandang kearah belakang ku? Aku hanya ingin kamu menatap ke arahku, Sayang."Marzuki menangkup wajah Laila lalu mengecup pipi istrinya perlahan. Laila mengalihkan pandangan nya ke arah Marzuki. "Lalu aku harus
"Mama! Papa!" Yasmin melambaikan tangan pada Laila dan Marzuki dari layar ponsel. "Sayang!" Laila memberikan kecup jauh untuk gadis kecil itu."Mama dimana?" tanya Yasmin lagi."Bagaimana ini, Yang? Kita jemput Yasmin di pintu masuk hotel. Daripada nanti dia bertemu dengan Tiara lebih dulu."Marzuki menoleh pada Laila dan terlihat bingung."Baiklah Mas, ayo kita jemput mami dan Yasmin." Laila menarik tangan Marzuki dan mereka berjalan menuju gapura pintu masuk hotel."Mama!"Yasmin berlari dan menghambur memeluk Laila. "Hap!"Laila memeluk Yasmin beberapa lama, lalu melanjutkan langkah menuju papi dan mami kemudian mencium punggung tangan keduanya."Yasmin sudah makan?" tanya Laila sambil mengelus kepala Yasmin perlahan. "Belum, Ma.""Ayo makan dulu ke resto. Restonya bagus dan ada kolam renangnya." Laila berjalan mendahului Marzuki dan orangtuanya menuju ke resto."Yasmin mau makan apa?" tanya Marzuki."Ayam goreng, Pa."Marzuki segera menulis ayam goreng krispi di kertas menu l
Dokter 91"Insyallah saya lebih baik dalam mengasuhnya daripada sang ibu kandung yang menelantarkannya. Dan jangan coba-coba mendekati suami saya setelah Mbak dengan semena-mena membuangnya. Tolong jangan hadir sebagai orang ketiga diantara kami. Terimakasih atas pengertiannya," kata Laila seraya memandang tajam pada Tiara. Laila melihat tangan Tiara yang putih terkepal di atas meja kafe. "Kalem saja Mbak. Bukankah mbak sudah punya suami juga? Jadi mari kita berusaha melakukan yang terbaik untuk keluarga kita."Tiara menatap tajam ke arah Laila. "Tunggu saja Laila. Saya pastikan kita akan segera bertemu lagi. Bagaimanapun Yasmin itu adalah darah daging saya. Dan saya pastikan Mas Marzuki akan menceraikan kamu!"Tiara mengacungkan telunjuknya ke arah Laila. Dan Laila menurunkan telunjuk Tiara dengan santai. "Oh ya? Baru ingat kalau masih punya darah daging? Kemana saja kamu selama ini saat Yasmin kesepian dan tidak punya teman bermain karena ibunya menghilang?"Kamu yang tidak tahu
"Tiara?" gumam Marzuki kaget.Laila juga tidak kalah kagetnya karena dia ingat betul siapa Tiara itu."Tolong! Ada yang berprofesi dokter di sini? Atau tenaga medis? Perempuan ini dadanya tidak bergerak lagi."'Ya benar! Walaupun aku belum pernah melihat fotonya, tapi aku yakin dia pasti ibunya Yasmin. Garis wajah dan lengkung bibirnya yang sensual sama persis dengan gadis kecil itu. Kenapa dia di sini. Apa mas Marzuki sengaja mengajakku ke sini untuk mencari ibu Yasmin lagi? Tapi perempuan itu butuh tenaga medis untuk menyelamatkan nyawanya. Ya Tuhan, jika mas Marzuki yang melakukan CPR, hatiku tidak ikhlas karena kalau memberikan nafas buatan, bib*r mereka akan langsung bersentuhan. Bagaimana ini?' gumam Laila bingung.Hati Laila berperang antara rasa cemburu dan rasa kemanusiaan. Digenggamnya tangan Marzuki yang berdiri di sebelahnya. Terasa dingin dan tatapan matanya seakan juga menyiratkan kegalauan dan kebimbangan hati.'Mas, apakah masih ada namanya di hatimu?'Laila menghela
Aku tidak ingin kamu hanya menjadi seperti pelangi di langit ku, yang hanya muncul setelah hujan sejenak kemudian meninggalkan pergi.***Beberapa hari setelahnya,"Wah bagus sekali kamar hotel yang kamu pesan, Mas," kata Laila seraya membuka tirai kamar dan memandang keluar. Langsung terlihat kolam renang yang dikelilingi perpaduan rumpun mawar dan pohon palem botol sebagai pagar hidupnya."Kamu suka?" tanya dokter Marzuki memeluk Laila dari belakang. Hembusan napasnya terasa hangat di telinga.Sekarang musim liburan sekolah, dan Marzuki memutuskan untuk mengajak Laila bulan madu di Bali, sedangkan Yasmin ingin menghabiskan liburannya di rumah Ambar dan Iwan. "Suka banget Mas. Makasih ya," sahut Laila lalu membalikkan badan dan mengecup hidung dokter Marzuki dengan lembut."Kamu ..., minta jatah ya?"Pertanyaan Marzuki membuat Laila nyaris tersedak."Apa? Nggak kok! Memang kalau istri mencium suami lebih dahulu berarti minta gituan ya?" tanya Laila manyun tapi tetap mengalungkan ked