Arsenio memperhatikan sekelilingnya. Ada banyak orang baru di ruangan ini. Namun, ada juga wajah-wajah yang Arsenio kenal. Ya, salah satunya adalah Luis. Anak buah Leonardo yang sempat berada di ujung jurang kematian setelah mendapat serangan bertubi-tubi dari Arsenio, saat insiden penyerangan di All Star Grup beberapa waktu lalu. Bukan hanya Luis, Rain pun juga ambil adil di sana. Sosoknya cukup menarik perhatian Arsenio, sebab gara-gara pemuda itu, acara yang sudah dipersiapkan dari jauh-jauh hari menjadi kacau balau tak terkendali.Bola mata Arsenio terus mengedar berulang kali. Tingkat waspadanya semakin tinggi, mengingat ruangan ini berisi singa yang waktu-waktu saja bisa langsung menerkam.Tidak ada orang baik di ruangan ini. Semuanya bermuka dua, licik dan haus akan kekuasaan. Arsenio tahu itu. "Tuan Muda."Sapaan seseorang lantas menyadarkan Arsenio dari lamunannya. Bahunya sedikit bergerak dan bergumam.Arsenio mengintai pria di hadapannya dengan serius. "Kau siapa?" tanya
"Arsenio!!!!" teriak X One sangat keras. "X One!!!" Teriakan Arsenio tidak kalah kencangnya dari pria yang berstatus keluarga di atas kertas itu.Dua pria yang berasal dari generasi berbeda itu, saling menjatuhkan tatapan tajam penuh dendam. Tidak dapat dipungkiri, X One begitu membenci dan menaruh dendam sangat lama kepada Alexander Guan dan putranya.Fokus X One tidak bergeser sedikit pun dari Arsenio. Namun, Tuan Muda Keluarga Guan itu, melirik ke arah Luke Mallory, yang bersiap untuk melemparkan senjatanya. Sebuah belati. Ya, Arsenio yakin itu.Arsenio bisa menangkap adanya pergerakan yang coba dilakukan Luke Mallory. Namun, sebelum tindakannya berjalan lebih lanjut, Arsenio sudah lebih dulu bertindak.Dia meraih gelas di sampingnya, lalu melemparkannya ke arah Luke Mallory, sehingga pria itu tersentak kaget dan belati miliknya jatuh ke tanah.Gelas itu jatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping. Seandainya Luke Mallory tidak menghindar, mungkin pecahan kaca itu akan mengenai wa
Berlanjut ...Di tempat terpisah. Salah satu apartemen yang berada di Sky Blue City. Tempat tinggal Anindira yang baru. Tepatnya di lantai enam, gedung itu. Seusai dengan yang Arsenio telah janjikan. Anindira akan tinggal bersama ibunya dibawah pengawasannya. Ada dua bodyguard yang diperintahkan untuk memastikan keamanan Anindira serta ibunya. Arsenio meminta mereka untuk mewaspadai kedatangan Around, yang sewaktu-waktu bisa saja menyerang Anindira kembali. "Kamu di sini, Nak?" tanya Olivia penasaran, sambil mengelus pucuk kepala Anindira dengan lembut.Anindira menjatuhkan tatapan meneduhkan dan sangat tenang, "ada apa, Bu? Apa ibu membutuhkan sesuatu? Biar Anindira belikan."Gadis cantik itu segera bersikap. Padahal, sebelumnya dia terus melamun memikirkan sesuatu yang tak pasti."Tidak, Sayang. Ibu tidak ingin apa-apa. Ibu hanya cemas memikirkanmu." Olivia duduk berhadapan dengan Anindira.Anindira mengulas senyuman tipis dan menggenggam erat tangan wanita yang sangat ia cintai
Arsenio dan Freya sampai di All Star Hospital. Nyatanya jarak yang begitu jauh, tidak serta merta membuat Freya kesulitan. Kemampuannya sebagai Utusan Sistem Mafia Terkuat, menjadikannya sebagai sosok seperti Dewa.Arsenio masih kehabisan kata-kata untuk menggambarkan bagaimana Freya itu. Kini ia merasa takut untuk berdekatan dengan gadis itu.Dari gayanya Freya memang seperti gadis pada umumnya. Namun, di satu sisi dirinya lebih mirip superhero dari masa depan. "Arsenio!" Alexander Guan pun datang beberapa saat kemudian, setelah mendapat kabar bahwa putranya itu berada di All Star Hospital."Bagaimana keadaanmu?" tanyanya penuh kecemasan karena melihat Arsenio penuh dengan luka. "Aku baik, tapi tidak dengan Bastian." Padahal dirinya juga dalam kondisi parah. Wajahnya babak belur. Namun, Arsenio menolak untuk mendapat perawatan. Dia masih bisa berjalan, artinya masih sehat. Lagi pula, berkat Freya dirinya bisa selamat. Seandainya waktu tidak berhenti, mungkin situasinya akan berbed
Hari berikutnya. Biarpun di hari sebelumnya, dia baru saja bertarung sengit dengan Leonardo, tetapi Arsenio terlihat sudah sangat segar. Siap untuk melanjutkan aktivitasnya, yang sudah menunggu."Tuan Muda." Freya datang dan menyapa.Arsenio menoleh dan mendapati ada sedikit yang aneh pada Freya. "Kau baik-baik saja?" tanyanya, yang kini berdiri menghadap utusan Sistem Mafia Terkuat itu.Berkat Sistem Mafia Terkuat, dia bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh mata biasa. "Iya, Tuan Muda. Memangnya kenapa dengan saya?" Freya balik bertanya. Sikapnya sangatlah tenang, seolah tidak terjadi apa-apa pada dirinya. Arsenio ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia mengurungkannya. Sehingga ia mengubah susunan katanya. "Heum, bukan apa-apa. Segera siapkan mobil untukku.""Baik, Tuan Muda." Freya mengangguk, selanjutnya melenggang pergi.Arsenio pun terus memperhatikan Freya dari kejauhan. Dia yakin, bahwa yang dilihatnya itu bekas luka lebam. "Sebenarnya, apa yang terjadi kepadanya?
"Anindira," sebut Arsenio sangat lembut.Sang pemilik nama, langsung menoleh. Dua matanya membola besar seolah ingin melompat keluar. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Anindira meninggikan suaranya. Dia meraih pisau dan menggenggamnya sangat kuat, sebagai perlindungan diri. "Jangan coba-coba untuk mendekat, atau aku akan membunuhmu!" lanjutnya mengancam. Arsenio membuang napas berat. Seperti yang ia duga. Anindira pasti melakukan perlawanan. Arsenio tak berkata, langsung saja melancarkan aksinya. Dia mendekat. Mengikis jarak yang hanya beberapa meter itu."Berhenti di sana!" tegas Anindira, merasa sangat takut. Namun, Arsenio tidak menggubrisnya.Dalam satu tarikan napas, Arsenio meraih pergelangan tangan Anindira yang sedang menggenggam sebuah pisau.Arsenio menatapnya tajam, begitu juga dengan Anindira. Baik Arsenio maupun Anindira, merasa ada deguban kencan dan hati yang berdebar-debar, sedang merasuk dalam jiwa. Arsenio melihat ke arah pisau itu, lalu mengambilnya dan menyingk
Hari berikutnya. Arsenio pun mendatangi apartemen Anindira lagi. Kali ini dengan gaya pakaian yang berbeda. Biasanya jas hitam, kemeja putih, pokoknya kantoran banget. Sedangkan sekarang kaos lengan pendek, celana yang panjangnya sampai sebatas lutut dan sendal jepit."Selamat pagi, Bibi." Arsenio membentangkan kedua tangannya, tersenyum lebar, tepat saat pintu terbuka.Olivia memperhatikan Tuan Muda Keluarga Guan itu, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Berpikir, kali ini apa yang akan dilakukan Arsenio?"Bibi ... Aku bawakan daging segar. Bagaimana kalau kita membuat barbeque?" ajak Arsenio, sembari menarik tangan Olivia, untuk masuk. Arsenio sudah menganggap apartemen ini seperti rumahnya sendiri, tapi memang milik keluarganya. Saking senangnya, Arsenio sampai duduk berjongkok saat menjejerkan beberapa bungkus daging yang dibelinya sebelum sampai apartemen. Olivia sampai berpikir. Sebenarnya Arsenio, Tuan Muda atau pria biasa? "Di mana Anindira?" tanyanya melihat sekeliling. S
DOOOOOORRRRRRR ...Suara nyaring itu seolah memecah gendang telinga, hingga terbawa ke alam sadar. "IBUUUU!!!" teriak Anindira sangat kencang. Membuka matanya lebar-lebar dan berkeringat sangat banyak. Bayangan Olivia, seketika mengisi ruang kepalanya. Anindira memperhatikan sekitarnya yang gelap. Hanya sebatas lampu kecil tepat berada beberapa meter di atas kepalanya. Tidak ada lubang angin atau semacamnya. "Apa ini? Lepaskan!" Setelah menjernihkan pikirannya, Anindira baru sadar, kalau kedua tangan dan kakinya sudah terikat tali, yang membuatnya sulit bergerak bebas."Around!!!" teriaknya kemudian, yang yakin bahwasanya sang ayahlah dalang dari semua ini.Tak berselang lama, suara tawa terdengar jelas. Mengisi seluruh ruangan hampa tersebut.Dari balik kegelapan, muncul sosok pria bertubuh gagah, membawa sebuah senjata api di tangan kanannya."Pria keparat, kau, Around!" hardik Anindira sambil melempar ludah."Berani kau bersikap kurang ajar pada ayahmu, ah? Apa kau ingin menyus
Hari berikutnya. Arsenio menaklukkan X One di Bandara internasional, yang hendak melarikan diri ke luar negeri. Di hari itu juga, Organisasi yang selama ini dipimpin X One pun ditaklukkan. Mereka tidak bisa berkutik lantaran pemimpin mereka telah ditangkap.Pada akhirnya, Arsenio pun menjadi penguasa Tiga Wilayah Bagian, seperti yang telah kakeknya janjikan. Sebagaimana seharusnya, pewaris utama keluarga Guan, yang akan memimpin Tiga Wilayah Bagian. Sejak hari itu, Arsenio mulai berbenah. Dia membentuk Organisasi Naga Merah yang lebih kuat lagi, kokoh dan sedikit berbeda dari yang dipimpin Alexander Guan sebelumnya.Arsenio membuat banyak perubahan di mana-mana. Berkat kontribusinya itu, semua orang di Tiga Wilayah Bagian tersenyum. Tidak ada yang tidak mengenal Arsenio sekarang.Arsenio pun mulai mempersiapkan pernikahannya dengan Anindira. Tepat dua bulan setelah Luke Mallory tiada. Pernikahan yang telah nantikan itu akan segera terwujud.Satu hari sebelum pernikahan. Malam harinya
"Kejutan!" Suara Elsa begitu nyaring dan sangat melekat di telinga Arsenio.Siapa yang menduga, bom yang dimaksud Luke Mallory sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya, adalah Elsa. Arsenio tidak habis pikir. Jika ia tahu, mungkin gadis itu sudah berpindah dunia kemarin. "Ada apa dengan ekspresimu, Kak? Apa kau terkejut melihatku seperti ini?" sambungnya berpura-pura polos, seolah tak terjadi apa-apa.Dia memah pandai bermain sandiwara. Kemarin Elsa berlagak layaknya seseorang yang sangat menderita. Mampu, menarik simpati Arsenio dan yang lainnya. Namun, sekarang? Elsa seperti serigala yang menyusup ke dalam gerombolan domba, lalu siap menerkam mereka.Arsenio bergeming. Dia terlalu cepat untuk mempercayai seseorang tanpa mencari tahu asal usulnya lebih jauh. Sampai akhirnya ia berada di ujung jurang karena rasa kepercayaannya itu, tapi semua ini tidak bisa ia sesali terus menerus. "Kenapa kau diam, Kak? Bukankah kau selalu saja banyak bicara ini dan itu? Kau terus saja berkata, b
Arsenio berlari ke ruang perawatan. Dia mendapat kabar bahwa Elsa telah sadar. Dia bersyukur karena operasi pengangkatan cip itu berhasil. Bruk ...Pintu dibuka secara kencang, hingga menciptakan suara nyaring, sontak membuat dua gadis di dalamnya tersentak kaget."Arsenio ...""Kak Arsenio ..."Keduanya menyebut nama sang pria di waktu bersamaan. Terdengar kompak. Arsenio bernapas lega setelahnya. Lantaran dua wanita yang ia sayangi, ternyata baik-baik saja.Terutama saat melihat senyuman Anindira, selalu membuat hatinya tenang. "Kalian baik-baik saja bukan?" tanya Arsenio pada keduanya. "Iya, Kak Arsenio."Anindira ingin menjawab juga. Namun, dia kalah cepat dengan Elsa yang sudah lebih dulu berucap. Anindira pun hanya diam dan menunggu giliran ia berkata.Pandangan Arsenio lurus pada Anindira dan begitu juga senyuman. Ya, meskipun tangannya mengelus kepala Elsa."Lantas bagaimana dengan Kak Arsenio? Apa kakak berhasil menyelamatkan teman-temanku? Aku mendengar cerita Kak Anindir
"Kapan pengirimannya?" Terlihat Luke Mallory sedang berada di sebuah ruangan, lebih disebut sebagai gudang karena banyak tumpukan kardus terbengkalai di sana.Jaring laba-laba menjadi penghias di setiap sudut ruangan. Lubang angin pun sudah tertutup debu yang sangat tebal.Lantai yang dipijak pun bukan dari keramik, melainkan masih lapisan pasir. "Pengirimannya akan dilakukan sore ini, Bos. Ketua Bulan Darah, yang akan mengantarnya sendiri," jawab salah satu anak buahnya, tertunduk ke bawah."Bagus. Para investor kita sudah banyak menanyakan soal anak-anak itu, yang akan mereka pekerjaan sebagai penari di club-club malam."Luke Mallory tersenyum sinis. Mengayunkan kakinya santai sambil menyesap sepuntung rokok yang hendak habis."Lantas, apa kalian sudah mendapatkan informasi tentang Arsenio?"Tiba-tiba dia membahas soal Tuan Muda keluarga Guan itu. Setiap saat dirinya tidak bisa tidur, terus saja terbayang-bayang bajah pemuda tiga puluh tahun, yang telah membunuh Leonardo. "Kami be
"Sebenarnya, Kak Arsenio ini, siapa? Mengapa kakak bisa masuk ke rumah besar itu? Memangnya rumah itu, milik kakak juga?"Pertanyaan Elsa, sontak membuat Arsenio menghela napas berat. Sebenarnya dia ingin menyembunyikan identitasnya yang tidak lain adalah Pewaris Utama Keluarga Guan, dari Elsa. Namun, sepertinya keadaan yang telah memaksa ia untuk berkata jujur."Rumah mewah itu milik ayahku. Sebenarnya aku ini, pewaris utama keluarga Guan. Arsenio Bagas Guan. Putra satu-satunya Alexander Guan," beber Arsenio ragu. Dia tidak yakin momentumnya pas untuk mengungkapkan identitas. Elsa menatapnya sangat lama dan tanpa kata, seolah kalimat tadi adalah mantra yang mengutuknya menjadi patung batu. "Elsa?" Panggilan Arsenio menyadarkan gadis cantik dua puluh tahun itu, dari diamnya. "Mengapa sejak awal Kak Arsenio tidak jujur padaku?" Elsa mengubah posisi duduknya yang semula sedikit menghadap Arsenio, kini melihat keluar jendela."Aku tidak suka orang yang berkata bohong," sambungnya kesa
Arsenio pun kembali ke rumah. Kemarin malam ia tidak pulang karena menemani Elsa. "Tuan Muda. Kemana saja Anda kemarin malam?" tanya Bastian, yang langsung mencecar. "Tuan, terus mencari Anda. Mengapa ponsel Anda tidak aktif? Sebenarnya pergi kemana Anda, Tuan Muda?"Arsenio menghela napas panjang, "ada hal yang sedang kuurus. Sekarang aku minta padamu untuk mencari informasi tentang Organisasi Bulan Darah.""Bulan Darah?" Bastian menautkan sebelah alisnya. "Bukankah organisasi itu sudah hilang. Lantas, untuk apa, Anda mencari informasi tentang mereka lagi?""Aku akan jelaskan nanti. Sekarang, aku ingin menemui ayah. Di mana Ayah?" "Tuan Alexander ada di ruangannya." Setelah mendengar kalimat itu, Arsenio buru-buru menaiki anak-anak tangga, menuju lantai dua.Arsenio pun langsung masuk ke ruangan itu tanpa mengetuk pintunya lebih dulu."Ayah," kata Arsenio terkesan buru-buru."Arsenio. Kemana saja kamu, Nak?" tanya Alexander Guan cemas. Sampai bangu dari tempat duduknya. "Aku ber
Entah mengapa, Arsenio merasa ingin berlama-lama di tempat ini. Seolah sesuatu sedang menunggunya dan takdir ingin dirinya menemukan itu.Arsenio pun mengunjungi ayahnya dan mengatakan bahwa ia akan pulang setelah makan siang. Sesaat setelah itu, Arsenio melihat sesuatu yang membuat aliran darahnya mendidih lagi. "Hei, kalian yang berkelahi di sana! Apa yang kalian lakukan di depan umum seperti ini?!" "Ayo cepat pergi!!" ucap seorang pelaku mendorong rekannya untuk kabur dari sana.Arsenio berseru. Namun, sebelum ia bisa melanjutkan aksinya, dua pria yang lagi-lagi sedang mengeroyok anak kecil itu, pergi. Kali ini bukan gadis yang Arsenio selamatkan sebelum."Hei kalian--Ck!!" Arsenio berdecak dengan kepalan tangan meninju udara. Tindakannya itu, mendapat teguran dari dua pria berseragam keamanan. Dari yang Arsenio lihat, sepertinya mereka sedang melakukan patroli rutin. "Kau?! Lagi-lagi membuat keributan di sini, apa tak kapok?!" ucap salah seorang petugas keamanan itu yang ter
Hari berikutnya. Arsenio pun melaju dengan kecepatan tinggi dengan motornya. Sudah cukup lama ia tidak berpacu di atas kuda besinya itu. Semenjak menjadi Tuan Muda keluarga Guan, ia tidak lagi mengendarai motor.Arsenio membelah keramaian kota Sky Blue City. Menyalip kendaraan yang ada di depannya dengan mudah.Setelah berpacu kecepatan di jalanan selama tiga puluh menit, Arsenio pun menghentikan laju motornya tepat di depan gerbang pemakaman keluarga. Arsenio turun dari motor, tidak lupa dia membawa satu buket bunga mawar putih yang sangat indah dan harum.Arsenio berjalan memasuki makam dan berhenti tepat di samping pusaran yang bertuliskan nama Clarissa di atasnya. Dia membuka kacamata hitam yang sedari tadi melekat di wajahnya. "Selamat pagi, Bu. Maafkan Arsenio yang baru mengunjungi ibu lagi."Arsenio meletakkan buket bunga itu di atas makam Clarissa. Sekuat tenaga dia memendung emosi, yang coba menerobos pertahanannya."Ibu suka mawar putih bukan? Kali ini Arsenio bawakan mawa
Satu Minggu berikutnya. Kondisi Arsenio telah pulih sepenuhnya. Bastian pun mengajak Arsenio untuk menemui anak-anak di tempat sosial, yang dibangun oleh Alexander Guan.Arsenio berjalan santai sambil melihat-lihat sekelilingnya, yang dipenuhi suara tawa anak-anak. Koridor ini, mengingatkan Arsenio pada sekolah dasarnya dulu. Hanya saja, saat ia bersekolah tidak ada tawa yang seperti ini. Setiap kali dirinya berjalan, maka teman-teman sebayanya langsung menghindar. Seolah dirinya monster yang tidak pantas untuk didekati. Melihat anak-anak bisa tertawa lepas tanpa beban, meskipun tidak memiliki orang tua, membuat Arsenio merasa tenang. Ada kebahagiaan yang sulit ia gambarkan dalam lembaran kata-kata. Setidaknya di tempat ini, mereka tidak merasa kesepian. "Tuan Alexander Guan membangun tempat ini, tepat satu bulan setelah meninggalnya Nyonya Clarissa. Tuan Alexander Guan, sangat terluka saat itu, terlebih lagi dia harus berpisah dengan putranya, yaitu Anda, Tuan Muda. Sebelum memban