"Apa kau bersungguh-sungguh dengan perkataanmu itu?" Leonardo menjatuhkan tatapan tajam. Memicingkan matanya, meragukan perkataan Bastian. Meskipun mimik wajah pria yang masih kerabatnya itu cukup meyakinkan."Apa kau meragukannya? Baiklah." Bastian membalas tidak kalah seriusnya dari Leonardo. Bahkan dia melemparkan senjatanya tepat di bawah kaki Leonardo."Ambil senjata itu. Tembak aku! Lakukanlah sesuka hatimu!" tantangnya, guna membuktikan keseriusannya.Dirinya seorang laki-laki dan setiap hal yang dipegang teguh pria, adalah kata-katanya.Leonardo melirik senjata itu ragu, sebelum akhirnya menatap Bastian penuh kecurigaan. Seorang Bastian, yang terkenal seantero Sky Blue City, menyerah begitu saja? Sangat tidak menyakinkan.Dengan menggunakan kaki kanan, Leonardo menyentuh senjata itu. Ketegangan terjadi di sana. Bastian sama sekali tidak bergerak dari posisinya. Itu tadi, tidak dengan sekarang.HUB ...Bastian mengangkat kaki kanannya tinggi-tinggi, hendak melayangkan tendanga
"Arsenio!!!" Arsenio yang duduk tersungkur di atas rerumputan itu, langsung menoleh mendengar panggilan dari Anindira, sekaligus menyadarkan dirinya untuk segera bangkit. BUK ...Kakinya mengayun cepat dan tepat mengenai dagu Leonardo yang hendak menyerang lagi. Tak berselang lama, ia kembali berdiri gagah tanpa merasa sakit sama sekali.Leonardo mundur beberapa langkah. Mimik wajahnya tidak mengenakan perasaan. Arsenio menganggukkan kepalanya ke arah Anindira, memberi isyarat bahwasanya ia baik-baik saja.Anindira menghentikan langkahnya, menyentuh dadanya dengan kedua tangan dan meremah pakaiannya. Menelan ludahnya berat-berat. "Semoga berhasil, Arsenio," gumamnya terdengar lirih. Namun, hanya ia yang bisa merasakan gelombang perasaan yang sedang menerjang raganya.Kehadiran Anindira layaknya terpaan angin segar bagi Arsenio. Ada dorongan yang besar. Semangatnya meningkat seperti tak terhingga.Arsenio langsung melayangkan serangan. Tangan kanan yang sudah mengepal kuat, diarahk
"Ayah, ingin pergi kemana?" tanya seorang pemuda delapan belas tahun, yang langsung beranjak dari sofa, ketika mendapati pria dewasa yang dipanggil 'Ayah' itu, telah mengenakan pakaian rapi."Apa ayah akan pergi ke pemakaman?" tanya pemuda itu lagi.Pria dewasa itu tampak gelagapan mendengar pertanyaannya tersebut. Namun, ia cepat mendapatkan kembali kendali atas pikirannya. "Iya, ayah akan pergi ke pemakaman," jawab pria dewasa itu, disertai senyuman lembut."Baiklah. Aku ikut Ayah." Pemuda itu sedikit berjingkrak senang. "Tidak, Nak. Ayah akan pergi dengan kawan. Kamu tunggu di rumah saja," kata pria itu memberi penjelasan.Perlahan senyuman pemuda delapan belas tahun itu, memudar. Terlihat raut kekecewaan di wajahnya. Pria itu, tidak enak hati melihat sang putra yang murung karena menolak permintaannya itu.Memang sudah sejak lama ia dan sang putra tidak pergi ke pemakaman untuk mengunjungi sang istri, yang telah lama meninggalkan dunia ini. Itulah mengapa putra satu-satunya itu
Barraaaakkkk ...."Leonardo!!!!" teriak Luke Mallory, sesaat ia menyapu seluruh benda yang ada di atas mejanya. Jatuh berserakan di lantai. Tumpukan berkas itu, jadi berantakan. Laptop yang kebetulan ada di atas meja pun, jadi sasarn kemarahannya. Tidak ada lagi yang tersisa di atas meja sekarang. "Mengapa kau pergi, Leonardo!?" Dia mempertanyakan keputusan pion kesayangannya yang mengakhiri nyawa di tangan musuh."Tugasmu belum selesai!!!" teriaknya terus menerus. Menyalahkan dunia yang sudah tidak adil padanya.Kabar kematian Leonardo, tentu tersebar sangat cepat. Merambah seluruh kota. Luke Mallory tidak terima kabar tersebut. Dia sangat kecewa dan marah besar.Seisi ruangan itu, porak-poranda seperti habis diterjang angin kencang.Tidak ada satu pun anak buahnya yang berani masuk ke ruangan tersebut, walau sekedar bertatap muka saja. "Arsenio!!!!" Dia mengerang sambil mengepalkan kedua tangannya. Menatap nanar objek di depannya. "Kau harus membayar semua perbuatanmu. Tidak akan
Satu jam kemudian. Arsenio pun kembali ke kamar Anindira, dengan mengajak banyak orang. Mereka datang membawa aneka makanan dan barang, yang telah Arsenio pesan.Anindira terperangah. Mulutnya menganga dan matanya melebar sempurna. Terkejut melihat perlakuan Arsenio yang berlebihan itu.Olivia pun tidak kalah terkejutnya dengan Anindira. Sementara Cale dan Bastian cukup diam saja. Dua pria itu, sudah sama-sama bagaimana sikap Arsenio, dia yang sedang jatuh cinta."Aku bingung harus membeli apa. Jadi, aku beli semua ini untuk kamu," aku Arsenio sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan sedikit cengengesan.Itulah gayanya. Lembut dan penyayang. Tidak ada kesan dingin maupun sombong, seperti miliarder kebanyakan. Seperti itulah dia. Murah senyum."Apa kau tidak salah? Semua ini ..." Anindira tidak mengakhiri kalimatnya. Dia kesulitan untuk menyusun kata-kata."Tentu saja. Aku bingung harus membeli buah tangan apa. Jadi, aku beli semua yang kulihat di jalan," ucapnya begitu membangg
Dua hari berikutnya. Arsenio dan Bastian berniat pergi keluar Sky Blue City. Jarak yang ditempuh sangatlah jauh karena lokasi tersebut, tidak masuk dalam Tiga Wilayah Bagian."Apa kau yakin, kawasan ini masih dibawah kekuasaan Luke Mallory?" tanya Arsenio, yang duduk di samping Bastian. Kali ini dia tidak sedang menikmati perannya sebagai Tuan Muda, melainkan rekan kerja.Bastian mengangguk antusias, "Iya, Tuan Muda. Kita akan mendatangi wilayah yang masih di bawah kekuasaan Luke Mallory. Menutut informasi yang saya dapat, organisasi ini memiliki anggota lebih dari 2 ribu orang. Setiap organisasi memiliki ketua yang kemampuannya hampir menyamai Leonardo.""Menarik." Arsenio mengelus dagunya. "Kalau begitu, aku ingin melihat, seperti apa mereka? Aku menantikan pertarungan hebat selanjutnya.""Iya, Tuan Muda." Bastian menambah kecepatan mobilnya. ***Mobil pun terparkir tepat di depan halaman sebuah gedung yang jika dilihat dari fisiknya, sudah seperti bangunan lama yang terbengkalai.
"Sebenarnya kalian siapa?" tanya Ketua Serigala Hitam, meninggalkan suaranya.Betapa terkejutnya ia, ketika melihat sebagian anak buahnya terkapar tak berdaya tanpa memberi perlawanan pada lawan. Arsenio menyeringai puas, "pernahkah kalian mendengar nama Naga Merah?"Dwaaaarrrrr ...Ketika nama Naga Merah disebut, tubuh pria itu bergetar hebat. Begitu juga dengan yang lain. Bibir mereka terkantup tanpa bisa berkelit. "Kau ..." tunjuk pria itu, dengan jari telunjuk bergetar hebat, seperti habis melihat setan saja. Sebegitu menyeramkannya nama Naga Merah, di telinga mereka?"Namaku Arsenio Bagas Guan. Pewaris utama keluarga Guan. Apakah kalian mengenal keluarga Guan?" Lebih dari itu. Mereka tahu siapa keluarga Guan dan Naga Merah itu."Tuan ... Tuan ... Mohon maafkan kami," kata pria itu, sambil berlutut dan memohon.Arsenio memicing, membuang pandangan jijik pada mereka, yang berlagak sok jagoan, padahal tidak lebih kuat dari seekor semut."Iya, Tuan. Tolong maafkan kami. Jangan bun
Hari berikutnya. Arsenio sudah stand by di tempat kemarin. Dia masih menunggu. Sebelah tangannya dililit perban sebab kemarin terlalu kencang meninju tembok, alhasil tangannya harus terluka, meski tidak terlalu dalam dan serius.Kali ini dia tidak datang seorang diri. Ada Bastian yang menemani dan dengan rencana matang tentunya. Sejak kemarin malam Arsenio bertekad untuk mengehentikan para pengedar barang terlarang tersebut. Dirinya sudah sangat geram melihat bagaimana generasi muda harus hancur karena ulah jahat mereka.Arsenio sendiri telah siap di sana lima belas menit lebih awal dari waktu kemarin. Dia terus melihat benda berwarna perak yang melingkar di pergelangan tangan kirinya itu tanpa ada kata bosan.Belasan menit berlalu, tepat saat arlojinya menunjukkan pukul 14:15, mereka yang telah ditunggu-tunggu pun akhirnya menunjukkan batang hidungnya juga.Kali ini yang terlihat hanya dua pria dewasa berjenggot saja. Sangat disayangkan, dirinya malah berharap ada lebih banyak pria