BANG!Riana langsung menarik David sehingga posisi mereka berputar balik. Peluru yang harusnya mengenai punggung kiri David kini bersemayam dalam lengan kanan Riana."Argh!" erang Riana kesakitan. Lengannya terasa sangat panas seperti ditusuk-tusuk. Darah mengucur dari lukanya.David tak sempat melihat si penembak. Dia pun tak ingin mengejarnya. Sekarang Rianalah prioritasnya. David langsung mengikat luka Riana dengan handuk dan membawanya menuju ke rumah sakit.Tangan David gemetaran. Dia menunggu dokter mengobati luka Riana. Rasa kesal dan marah berkecamuk dalam dada David.Tak berapa lama dokter sudah selesai mengobati Riana. David segera masuk ke dalam kamar. Tampak Riana sedang tiduran di sana."David, kamu udah tangkap penjahatnya?" tanya Riana masih dalam posisi berbaring. Riana merasa tangan kanannya masih kebas karena bius lokal yang diberikan oleh David padanya."Bodoh kamu! Apa pentingnya penjahat itu?!""Memang penting kan? Dia mengincarmu. Pasti ada orang yang jahatin kam
"Bantu aku dulu! Ini sakit! Tolong obatin?" rengek Riana mendistraksi Jo dan ibunya."Bentar. Bentar. Ibu ambilin kotak P3K," secepat kilat ibu Riana mengambilkan obat. Jo juga ikut keluar untuk mengambil tas kerjanya di ruang tamu. Dia ingat menyimpan perban dan alkohol luka di sana.Riana menunggu di kamar sambil menahan perih. Otaknya berputar. Memikirkan alasan lain untuk mengelabui ibunya. Jangan sampai ibunya tahu dia habis kena tembak waktu di Jepang.Jo dan ibu Riana masuk lagi ke kamar dalam waktu yang hampir bersamaan. Jo yang menangani luka Riana. Sementara ibunya menemani di samping dengan wajah khawatir."Bu, ada bau gosong," celetuk Riana."Aduh! Ibu lupa! Ya udah. Ibu ke dapur lagi. Nak Jo, titip Riana ya," ibu Riana melesat lagi keluar. Kali ini ke dapur agar masakannya tak jadi arang.Riana tertawa. Ibunya terlalu khawatir padanya sampai lupa sama masakan."Dasar Ibu," gumam Riana seorang diri."Dia khawatir padamu, Riana.""Tau kok. Kamu ngapain di sini?""Obatin kam
"Jadi Jo udah gencar PDKT ke ibumu?" komentar Sena sambil tetap fokus mengerjakan ketikan beritanya."Iya. Kan ngeselin! Mana ibuku setuju banget kalau dia nikah sama aku. Katanya kalau aku belum punya pacar, ibu bakal terima lamaran Jo," Riana menyedot kuat-kuat es cokelat susu yang dipesannya sampai sisa setengah."Ajak aja David. Kalian kan bisa pura-pura pacaran atau sekalian aja nikah beneran? Bagus tuh, Ri. Kamu dapet suami dan utangmu lunas. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Keren kan ideku?""Gila kamu, Sen!" Riana melempar sedotan ke muka Sena. Memang sih David sudah pernah mengajaknya ke KUA. Tapi kan….Blush!"Tuh kan! Mulutnya nolak, mukamu merah!" goda Sena tak mau kalah."Ng-nggak! Buat apa juga David suka aku? Aku ini cuma kecoak pengganggu di matanya.""Yakin? Pernah gitu David ngomong langsung kayak gitu ke kamu?"Riana terdiam. Bayangan semua tingkah David berkelebatan di benaknya. Memang sih David galak padanya. Tapi tingkahnya selalu baik dan manis. Membuat
"Da-david…!" Riana tercekat."Kamu nonton aja. Aku mau tiduran bentar," David langsung menutup mata. Tak mau tahu apa yang akan dilakukan oleh Riana. Lagipula dia yakin, Riana tak akan berani berdiri dan membuatnya jatuh terguling ke lantai."Gimana ini?" batin Riana bingung. David sungguhan sudah terlelap di pangkuannya. Riana bisa yakin karena suara dengkuran David yang mulai mengencang. Tanda sudah mulai nyaman dalam tidurnya."Cuma tiduran kok. Cuma tiduran," gumam Riana. Sesaat Riana menyadari dirinya ibarat bantal bagi David. Tak lebih."Udahlah. Nggak usah grogi. Fokus nonton aja!" Riana kembali memperhatikan film yang ada di hadapannya agar hatinya tak deg-degan.Memang saat film berlangsung, Riana cukup teralihkan. Namun, saat film habis, Riana kembali ingat bahwa David ada di pangkuannya. Riana menatap David yang masih terlelap dalam dunia mimpi.Tanpa Riana sadari, pandangan Riana tak bisa beralih dari wajah David. Kedua bola matanya terus menjelajahi, memandangi wajah Davi
"Permisi. Ini pesanan tambahannya," seorang pelayan memberikan sebuah paket dessert ke Riana. Ada kertas pesan di nampannya.David langsung mengambil dan membacanya. Ini buat kamu, Riana. Dari Jo.Pandangan David mengedar ke sekitar. Tampak di dekat pintu masuk ada Jo dan beberapa kliennya di sana. Jo yang bertatapan dengan David hanya melempar senyum sinis."Pesan dari mantanmu," David memberikan kertas itu pada Riana. Tak membaca pesan itu, Riana malah langsung berdiri."Kita pulang aja," pinta Riana."Oke," David berdiri. Mengikuti keinginan Riana untuk pulang.Saat akan masuk ke dalam mobil, seseorang meraih tangan Riana. Ternyata, itu adalah Jo. Napas Jo tersengal-sengal. Sepertinya dia buru-buru mengejar Riana."Kamu mau kemana sama dia?" tanya Jo menginterogasi."Apa urusannya sama kamu? Kita bukan siapa-siapa, Jo!""Kamu orang yang kusukai Riana.""Tapi aku nggak suka kamu!" balas Riana tegas."Tapi kamu juga nggak suka orang itu kan?""Siapa? Aku? Riana suka aku kok," David
Riana berlari menghampiri ibunya. Jo mundur. Memberikan ruang agar Riana bisa berdekatan dengan ibunya. "Ibu kenapa? Jo ngapain Ibu?""Kenapa kamu nggak cerita ke Ibu?""Cerita apa? Riana baik-baik aja kok Bu.""Jangan bohong, Nak! Kamu terlibat hutang kan?"Riana membelalak seketika. Bagaimana bisa ibunya tahu? Riana langsung menatap Jo tajam. Brengsek kamu, Jo!"Nggak, Bu! Riana nggak punya hutang apa-apa. Riana masih kerja kayak biasanya," bohong Riana menenangkan ibunya."Kenapa kamu ambil hutang Nak? Apa karena ibu? Iya?""Nggak, Bu! Riana nggak pernah ambil hutang apa-apa! Demi Allah!" Riana menitikkan air mata sambil terus berusaha menenangkan ibunya."Jangan bohong kamu! Argh!" ibu Riana memegangi dadanya. Wajahnya begitu kesakitan menahan nyeri."Ibu? Bu! Ibu! Ibu!"Riana kacau melihat ibunya tak sadarkan diri. Jo berniat memeriksa ibu Riana tapi David mendorongnya. David melemparkan kunci mobilnya ke Riana lalu menggendong ibunya keluar. Walau kalut, Riana langsung berlari k
"Lepasin tanganku!" Riana berusaha melepaskan diri dari genggaman tangan Jo tapi Jo malah menariknya pergi dan masuk ke dalam lift hotel yang jadi lokasi reuni kampus mereka."Kita mau ke mana Jo?!" Riana masih berusaha melepaskan diri. Sayangnya, genggaman tangan Jo sangat kuat. Membuat tangannya jadi sakit.Jo benar-benar baru melepaskannya saat mereka masuk ke dalam salah satu kamar hotel. Riana terkesiap melihat Jo yang mulai menggila. Pria ini sudah bukan Jo yang selama ini dikenalnya."Jo! Bukain pintunya Jo!""Aku cuma mau ngobrol bentar sama kamu Riana?" pinta Jo."Ngobrol apa? Terus kenapa harus di kamar hotel?""Biar kamu nggak kabur! Pasti kamu nggak mau kan ngobrol sama aku?""Udah tau gitu. Masih nanya!" jawab Riana ketus."Aku minta maaf, Ri. Aku beneran bingung. Gimana lagi caranya biar kamu mau nerima aku!""Tapi gara-gara kamu ibuku jadi masuk ICU! KAMU ITU EGOIS JO!" air mata Riana kembali meleleh. Ingatan dan rasa sakit hatinya kembali mencuat dalam dada."Riana, a
"Lhoh? Kok gelap?" Jo bingung saat masuk kembali ke kamar. Saat akan menyalakan lampu, seseorang memeluk erat dari belakang dan menghentikan gerakan tangan Jo."Jangan dihidupin lampunya, Jo," ujar Risa dengan suara yang sudah disetting seperti suara Riana dengan alat bantu pengubah suara."Kenapa, Ri? Nanti nggak bisa---""Bisa kok," Risa menarik tangan Jo dan mendorongnya ke atas kasur. Dengan cekatan tangannya membuka kemeja yang dikenakan oleh Jo."Ri?" Jo merasa bingung sekaligus gerah mendapati tindakan seperti itu. Namun, kegerahan Jo berubah menjadi hawa nafsu saat bibirnya bersentuhan dengan bibir Risa yang dia kira adalah bibir Riana.Jo meladeni pagutan yang dilayangkan oleh Risa di bibirnya. Semakin lama semakin memanas. Kedua tangannya pun ikut bergerak menjelajahi tubuh Risa dalam kegelapan. Memunculkan suara-suara desahan.Risa menjejalkan permen ke dalam mulut Jo lewat ciuman panas mereka. Jo menelan permen itu dan menjadi semakin gerah. Tak heran Jo langsung membantin