"Ada Kak X," cicit Zendaya. "Loh, ngapain sembunyi? Enak dong, kamu bisa minta dibayarin sama Big Boss," canda Kiandra. Zendaya mendengus pelan. "Masalahnya dia dengan teman-temannya dan umm … my crush," bisik Zendaya apad akhir kalimat dengan raut muka malu-malu dan pipi yang sudah merona. Zendaya tidak masalah kakaknya di sini, yang dia permasalahkan adalah teman kakaknya. Salah satu dari mereka adalah crush Zendaya, dia malu bertemu dengannya. "Yang mana?" tanya Lachi penasaran, menatap ke arah meja Danzel yang cukup jauh dari mereka. Orang-orang dimeja tersebut terdiri dari enam orang, empat pria dan dua perempuan. "Yang … memakai kemeja hitam," jawab Zendaya, mendapat tatapan dongkol dari Lachi. "Mereka semua memakai kemeja hitam, Nyet." Lachi berucap kesal, kemudian mengelus dada untuk menenangkan diri sendiri, "aduh kesabaranku yang tipis!" "Hehehe … ya-yang duduk di dekat Kak X deh," ucap Zendaya kemudian, setelah sebelumnya mencuri pandang ke arah meja kakaknya."Wihhh
"Tangan sialan!" pekik Lachi pelan, memukul telapak tangannya sendiri secara kesal dengan kuat. Ada apa dengannya? Kemarin dia menduduki benda keramat itu dan tadi dia memegangnya. Sekarang dia dicap mesum oleh Danzel, sang Bis boss. "Semoga nggak dicap kalau aku obsesi sama barangnya." Lachi menatap nanar telapak tangan yang gemetar. Sudah setengah jam setelah dia menyentuh benda itu, tetapi sampai sekarang Lachi masih bisa merasakannya. Pertanyaannya, tangannya kah yang ternodai atau benda milik bosnya? "Kayaknya aku harus pindah deh dari sini. Aku nggak tetap tinggal di sini," ucap Lachi yang kembali bermonolog sendiri. Lachi menoleh ke sana kemari kemudian segera beranjak dari sana. Para maid mendadak hilang, pasti Danzel yang memerintah. "Ini kedua teman aku, Kiandra sama Bela, mereka suka sama Kak X, Mom." Lachi yang baru masuk langsung disambut oleh pembicaraan Zendaya dengan mommy-nya. Terlihat Zendaya, mommynya, Kiandra dan Bela sedang menikmati teh serta sebuah cookies.
Saat ini Lachi berada di kantor, seperti biasa padat dengan pekerjaan tumpukan berkas. Awal, Lachi berencana untuk pindah tempat dengan minggat dari rumah sahabatnya yang mewah tersebut. Alasannya tentu karena Danzel–Big Boss-nya yang sangat berbahaya, beraura malaikat sekaligus iblis secara bersamaan. Pria itu berbahaya dari segi manapun. Mulai dari pesonanya yang tampan hingga suaranya yang bariton, sangat seksi. Tatapan pria itu juga sangat gila, tajam, menghunus dan menembus jantung. Lachi sering kalang kabut setiap kali bertemu Danzel di rumah, apalagi dia memiliki kesalahan pada pria itu. Jadi Lachi semakin takut dan merasa terancam oleh sosok Danzel. Walau seminggu terakhir ini Danzel dan dia sudah jarang berinteraksi, bertemu pun di rumah bisa dikatakan jarang. Oleh sebab itu rencana Lachi untuk pindah jadi batal. "Kau."Lachi yang sedang membereskan dokumen di ruang rapat, reflek menoleh ke arah pintu, menemukan pria yang ia hindari sedang berdiri di sana. 'Astaga, semingg
Setelah menyambut para tamu dan mengantarnya ke ruang pertemuan, Lachi melanjutkan pekerjaan. "Ck, setelah aku sah jadi staf tetap di sini, lihat saja! Aku akan berubah malas." Lachi mengetik penuh kesetanan pada keyboard, kasar karena pekerjaannya yang sangat banyak–melebihi staf lama atau staf tetap. Ada dua faktor yang membuat pekerjaan Lachi banyak, yang pertama karena staf lama mengalihkan beberapa tanggung jawab pada mereka yang berstatus pekerja magang. Yang kedua karena Lachi masih magang, jadi dia berupaya terlihat rajin–harus optimal dalam melakukan pekerjaan. Trik ambil hati bos!Jika dia malas, bagaimana dia akan diterima? Sedangkan sudah rajin begini saja Lachi tak bisa pastikan dirinya diterima. "Lachi." Lachi berhenti mengetik lalu mendongak ke arah Bela dan Kiandra. Terlihat wajah Bela yang muram dan sinis ke arah Lachi, tetepi Lachi tak peduli. Jika Bela kesal padanya tanpa sebab maka Lachi lebih kesal pada Bela karena mulutnya yang suka menghina. 'Memangnya kenap
Setelah menyerahkan laporan pada atasannya, Lachi bergegas menemui Danzel. Ada yang tak beres dengan bosnya tersebut. "Pak Danzel," panggil Lachi saat melihat Danzel. Pria itu terlihat menoleh padanya dan Lachi buru-buru menghampiri. "Ada yang ingin aku bicarakan, Pak," ucap Lachi, setelah berada di hadapan Danzel. Pria itu tak menjawab tetapi memberi isyarat agar Lachi masuk dalam ruangannya. Lachi terlihat ragu, akan tetapi dia tak akan bisa berbicara dengan pria ini jika dia berani membantah. Dia harus menurut bukan?! Setelah di ruangan kerja Danzel, Lachi langsung membungkuk memberi hormat–posisi tepat di depan Danzel yang duduk secara bossy pada sebuah sofa. "Pak--" "Silahkan duduk," potong Danzel. Lachi menganggukkan kepala lalu segera duduk di salah satu sofa kosong. "Pak, aku ingin bertanya. Kenapa Pak Danzel mengirim uang padaku?" tanya Lachi to the point. "Tidak kusangka kau akan mendatangiku secepat ini," jawab Danzel, menyunggingkan smirk tipis sembari denga
"Memang si Bela nggak ada berubah-berubahnya yah. Dan kamu juga, tolol banget! Kenapa masih mau berteman dengan orang yang tak menghargai kamu?! Kamu itu pintar loh, Lachi. Tapi masalah pertemanan, kamu paling bodoh," marah perempuan bernama Indah, salah satu teman dekat Lachi. Dia adalah orang yang pernah mengontrak dengan Lachi dan Bela dulunya. Mereka teman dekat, seorang kakak bagi Lachi juga karena Indah lebih tua darinya dua tahun. Indah memang sempat menganggur, dua tahun sebelum kuliah. "Iya, Kak, aku bodoh." Lachi menganggukkan kepala. "Tapi … kata-kata mutiaranya bisa nggak diperhalus? Kak, namamu Indah. Jangan dirusak dong sama perkataan nggak bagus." "Aelah." Indah mendengus pelan, "sekarang gimana? Mau aku antar nggak sampe ke rumah?""Cukup sampe di terminal saja, Kak. Aku sudah menghubungi Ayah dan nanti ayah yang jemput kalau udah sampe di terminal kotaku," jawab Lachi lesu, masih tak percaya kalau pertemanannya akan berakhir seperti ini. "Eh, utang si Bela Anj itu
"Siapa sih, tengah malam nelpon nelpon?" Dengan malas dan mata berat Lachi meraih handphone di atas nakas. Tanpa membaca nama kontak, Lachi langsung mengangkat kemudian menempelkan HP di telinga. "Halo, ini siapa?" sapa Lachi dengan suara sayu dan berat, efek masih setengah sadar–melawan rasa kantuk yang melanda diri. Dia menguap, menggaruk-garuk pipi kemudian menyenderkan tubuh di kepala ranjang. 'Humm.'Deg'Suara deheman berat dan dingin terdengar, mata Lachi seketika membulat. Rasa kantuk yang melanda langsung hilang. Lachi menegakkan punggung, duduk tegak dengan menatap lurus ke depan. Jantungnya berdebar kencang, ingin meloncat dari tempat. Hanya sebuah deheman namun berhasil membuat Lachi merinding disko. 'Kau pergi tanpa memberitahuku.'Lachi mengenga lebar. Tadi dia sangat kaget karena orang yang menghubunginya tengah malam begini adalah big bosnya sendiri. Sekarang dia jauh lebih kaget mendengar ucapan Danzel. Pertanyaannya, kenapa Lachi harus mengabari Danzel? Memangnya
"Kalau nggak jual diri dia nggak bisa bayar uang kuliah."Zendaya merebut balik cookiesnya, tak membiarkan Bela membuka atau mencicipi. Bukan pelit, masalahnya ini milik kakaknya dan hanya dia yang diperbolehkan memakannya. "Pelit banget sih," kelu Bela karena tak diperbolehkan memakan cookies tersebut. "Ini punya Kakak aku dan dia nggak suka berbagi," jawab Zendaya dongkol. "Kamu keterlaluan banget sampe bilang Lachi jual diri. Kalau benci nggak usah sampe ke tahap fitnah, Bel," ketus Kiandra, kali ini tersulut karena menurutnya Bela semakin kurang ajar. "Loh, aku bilang sesuai fakta. Dan aku buka semua aib dia karena yah … aku udah muak sama sikap nggak tahu dirinya. Aku udah capek nutup-nutupin kelakuan gila dia dari kalian. Tapi kalau kalian tetap pengen nyusul, yaudah sih pergi saja. Biar kalian tahu se miskin apa Lachi."Zendaya dan Kiandra sama-sama bersitatap. Apa mereka harus menyusul saja? Tetapi mereka sama sekali tidak tahu Lachi tinggal di mana. Maksudnya mereka hany
"Sungguh kau tak ingin ku antar, Tuan?" tanya Bian. Alarich menganggukkan kepala kemudian segera masuk dalam mobil. Bian hanya menghela napas, mengacungkan pundak karena sudah tahu apa yang akan Alarich lakukan. Tentu saja mengikuti Aeera pulang. Ini sudah menjadi rutinitas Alarich semenjak Aeera bekerja di sini. Dan benar! Sekarang Alarich sedang memantau Aeera. Mobilnya tak jauh dari tempat Aeera menunggu taksi. "Sangat cantik," gumam Alarich, terus memandang gasdinya. Saat taksi datang dan Aeera masuk, Alarich langsung bersiap-siap untuk mengikuti. Tibanya di sebuah gang, Aeera turun. Begitu juga dengan Alarich. Biasanya Alarich hanya mengantar hingga gang ini karena mobilnya tak bisa masuk ke dalam. Bisa saja, tetapi gangnya cukup sempit dan Alarich tak suka ribet. Kali ini Alarich memutuskan turun, mengikuti Aeera dengan berjalan tak jauh dari belakang perempuan itu. Alarich perlu tahu seperti apa lingkungan pujaan hatinya tinggal dan seperti apa rumah yang Aeera tempati.
Semenjak hari pertama dia bertemu dengan Aeera, Alarich selalu mengawasi perempuan itu. Dia rasa dia telah jatuh cinta pada perempuan itu dan tergila-gila pada sosok gadis cantik itu. Tahun berganti dan Alarich semakin terjebak oleh perasaan yang dia miliki. Bukan hanya memiliki tingkah lucu, humoris dan menyenangkan, faktanya perempuan yang telah berhasil membuatnya jatuh cinta tersebut seorang yang bertanggung jawab pada pekerjaannya. Dia perempuan cerdas, kompeten dan kreatif. Alarich semakin tenggelam! Sialnya sudah jalan dua tahun lebih dia memantau Aeera, akan tetapi dia tak kunjung punya keberanian untuk mengutarakan perasaan. Hell! Mendekati Aeera secara terang-terangan saja dia tak berani. Pecundang! Alarich memang pecundang! Dulu dia pernah ditolak dan itu menghantui Alarich. Ditolak perempuan yang tak dia sukai saja rasanya sangat menjengkelkan. Apalagi jika Alarich ditolak oleh pujaan hatinya. Lebih sialnya, tiga bulan ini dia diluar negeri. Selain untuk mengurus
--Karl Alarich Adam & Aeera Grizella-- "Ck." Suara decakan kesal terdengar di bibir seorang pria yang sedang duduk di balik setir, sedang mengemudi. Pria tersebut begitu mempesona, sangat tampan dan berkarisma. Dia pria setuju pesona dan love dreams bagi banyak kaum hawa. Bukan hanya dianugerahi ketampanan, dia juga seorang yang sangat sukses–pengusaha yang ditakuti serta berasal dari keluarga terpandang. Hidupnya mendekati kata sempurna! Sayangnya, pria tampan ini digosibkan telah menyimpang. Karena diusia yang ke tiga puluh dua tahun, tak ada issue tentang dirinya yang berkencan dengan perempuan. Dia bersih dari gosip apapun mengenai lawan jenis sehingga banyak orang berspekulasi jika dia seorang homo. Sejujurnya dia bukan pria seperti yang digosibkan. Dia hanya tidak punya waktu untuk meladeni kaum hawa, serta-- fakta jika dia pernah ditolak seseorang. Itulah yang membuat pria tampan ini memilih hidup sendiri–tanpa pasangan. Dertttt' Suara handphone berdering, dia menoleh lal
Hari yang ditunggu pun tiba, Nathan dan Zendaya melangsungkan pernikahan dengan meriah. Sekarang, keduanya telah sah menjadi sepasang suami istri. Keluarga besar Nathan–dari sang Mama, terlihat begitu bahagia. Begitu juga dengan keluarga Zendaya yang penuh suka cita serta keharuan. Tristan dan istri keduanya, maupun Angel tak diundang. Sekalipun mereka ingin mengacau, mereka tidak bisa karena pernikahan Nathan dilakukan di sebuah hotel mewah, dijaga ketat oleh banyak penjaga. Mereka diblacklist dari daftar tamu undangan, sesuai permintaan Preya–yang masih memiliki dendam pada suaminya. Preya juga tidak mau hari bahagia putranya rusak oleh kehadiran Erika dan putrinya. Lagipula makhluk gatal seperti mereka, tak pantas menghadiri acara putranya. Sejak tadi, Danzel terus memandang ke arah adiknya–memperhatikannya dengan lekat. Tatapannya begitu sendu, manik berkaca-kaca sebab merasa sedih tanpa sebab. Sewaktu kecil hingga dia besar, adiknya selalu menyusahkannya. Anak itu cerewet dan p
Sedangkan Victoria yang sudah buntu, menatap penuh harap pada Liora. "Liora, apa kamu bersedia menikah dengan adikku? Apapun akan kuberi padamu asal kamu bersedia membantuku untuk menikah dengan Devson." Liora termenung, menundukkan kepala dengan raut muka sedih. Sedangkan Lachi yang memahami perasaan perempuan itu memilih diam, dia takut salah bicara. Namun, mengejutkannya tiba-tiba saja Liora menganggukkan kepala. "Aku bersedia. Tapi … bawa aku pergi dari sini," ucap Liora, menatap Victoria dengan sendu. "Se-sebenarnya aku sedang bersembunyi dari Angel. Kemarin dia menjebak Tuan Danzel dengan sebuah obat terlarang. Aku tidak tahu apa yang terjadi secara lengkap, tetapi Angel sendiri yang berakhir meminum minuman itu. Dia menghubungiku untuk menyelamatkannya dan aku …-Liora terdiam sejenak. Lachi menggaruk pipi tak enak karena sejujurnya dia tahu kenapa Angel lah yang berakhir meminum jebakannya sendiri. Dia bahkan mendengar percakapan Liora dengan Angel, dan dari sana Lachi bisa
"Karena kebaikan hatinya, Tristan membawa Erika dan putrinya ke rumah. Awal, dia menjadikan Erika sebagai pelayan di rumah kami," cerita Preya pada Nara, mengenai kedatangan Erika dan Angel di keluarga Luis. Nara yang lebih dulu mengungkit Erika, yang ternyata pernah berniat merusak keluarga Nara dan Zavier. Lalu Erika dipecat, diblacklist dari perusahaan manapun serta dari tempat kerja yang berada dinaungan perusahaan Adam. Mendengar itu, Erika tak menyangka. Dia kira Erika yang Nara katakan berbeda dari Erika yang ada di keluarga Luis. Namun, itu Erika yang sama. "Dari awal aku tidak pernah suka pada Erika, sejak Tristan membawanya ke rumah. Katakanlah aku perempuan yang cemburuan. Namun, aku hanya mengikuti feeling sebagai seorang istri dan perempuan yang mencintai suaminya. Benar saja, perempuan itu tidak baik dan dia berhasil menghancurkan rumah tanggaku. Aku tidak menyalahkan dia sepenuhnya, perpisahanku dengan Tristan juga terjadi karena Tristan sendiri. Coba saja dia tegas,
"Dalam rangka apa kau memberiku bunga, Mochi?" tanya Danzel, mengecup kening Lachi. Setelah sebelumnya sang istri menyalam tangannya. "Dalam rangka mencintai Habibi," jawab Lachi dengan nada jelas, nyengir setelahnya karena dia malu-malu. Sial. Padahal dia sudah berlatih berjam-jam di depan cermin. Hanya agar terkesan anggun, tak malu-malu serta tak gugup sedikitpun ketika memberikan hadiah berupa buket bunga primrose ini pada sang suami. Namun nyatanya dia tetap gugup dan malu. "Hum?" Danzel menaikkan sebelah alis, langsung menggendong istrinya secara bridal style–membawa istrinya ke kamar. Ah, masa bodo jika Lachi bermaksud menciptakan adegan romantis. Sungguh, persetan! Toh, di mata Danzel, istrinya tetap terlihat tengah menggodanya. Yah, ini godaan yang manis! Danzel meletakkan bunga pemberian Lachi di atas nakas kemudian membaringkan istrinya di ranjang. "Habibi, tunggu! A-adegan ini tidak ada dalam skenario hayalanku. Harusnya bukan begini. Menjauh dulu," pekik Lachi, meng
"A--aku hanya iseng, tidak ada artinya kok." 'Cinta terpendam.' batin Nathan, terkekeh pelan sembari mengacak pucuk kepala Zendaya secara gemas. Nathan tahu artinya karena salah satu kalung yang dia berikan pada Zendaya–setiap ulang tahunnya, punya bandul bunga mawar putih. Hampir saja dia lupa akan hal itu, dan untuknya dia mengingat. Namun, benarkah Zendaya memberikan kalung ini atas dasar ungkapan cinta terpendam yang perempuan ini rasakan padanya? Atau memang hanya iseng? ***"Nyonya Xavier."Mendengar namanya di panggil, Lachi yang sedang memilih bunga langsung menoleh ke arah seseorang yang memanggilnya. Lachi mengerutkan kening, bingung dan cukup aneh melihat Liora bersama Victoria mendatanginya. "Oh, iya?" ucap Lachi, meletakkan bunga primrose ke tempat semula. Dia menghadap kepada Victoria dan Liora yang telah berada di sebelahnya. "Nyonya sedang membeli bunga untuk Tuan yah?" tanya Liora sembari tersenyum canggung. Lachi membalas dengan senyum tipis, menganggukkan kep
Tangan Donita terangkat ke arah Zendaya, melayang untuk menampar pipi Zendaya. Namun, pergelangan tangannya tertahan. Bahkan dihempas kasar lalu berakhir dirinya yang terkena tamparan. Plak'"Ahck." Donita menoleh kasar ke sebelah, segera memengang pipi yang terkena tamparan. Donita mendongak, menatap seseorang yang telah menampar pipinya dengan sangat kuat–tak punya hati. "Nathan?" pekik Donita tak percaya, menatap sosok pria tinggi yang berada di sebelah Zendaya. Zendaya menoleh ke arah sebelahnya, mendongak untuk melihat Nathan. Pria tersenyum memasang mimik dingin, melayangkan tatapan tajam yang menghunus tepat ke arah Donita. "Kau akan mendapat yang lebih buruk dari ini jika seandainya tanganmu menyentuh kulit wanitaku," ucap Nathan dingin, mengatupkan rahang–menahan gejolak marah karena perempuan ini berniat menyakiti Zendaya.Zendaya yang masih syok karena Donita berniat menamparnya kemudian tiba-tiba ada Nathan di sini yang mengambil peran melindunginya. Kini semakin syok