Setelah istirahat yang cukup, tentunya setelah menghukum Lachi yang sangat suka mengganggu Danzel, kini keduanya sarapan bersama di sebuah restoran mewah penginapan. "Pak Dan … maksudku Habibi," ucap Lachi, menggantungkan kalimat dengan mengedipkan mata sebelah secara genit ke arah Danzel yang saat ini duduk berhadapan dengannya. Lachi tersenyum anggun, dalam hati mengejek serta mendumel wajah tembok suaminya. Sedangkan Danzel, dia menatap Lachi datar. Wajahnya tanpa ekspresi akan tetapi dalam hati berdebar karena panggilan tersebut. Habibi! "Aku akan memakan buah dan sayur yang banyak," lanjut Lachi, mencondongkan tubuh ke arah Danzel lalu mencomot buah strawberry di atas kue. Lagi-lagi Lachi tersenyum penuh makna–sengaja karena menurutnya sangat menantang dan menyenangkan menggoda Danzel. Sifat Danzel yang dingin dan kaku, serta wajahnya yang tak berekspresi menjadi tantangan tersendiri bagi Lachi untuk mengganggunya. Dia tahu akibatnya akan sangat fatal, tetapi … Lachi menikma
"Hum." Danzel berdehem dingin. "Tunggu setelah makan," ancamnya, seketika berhasil membuat Lachi pucat pias dan menggelengkan kepala cepat. "Jangan, Pak. Cu-cuma bercanda tadi. A--aku cuma bercanda," panik Lachi selanjutnya. Dia terus menyakinkan Danzel jika tadi dia hanya bercanda, tetapi Danzel sama sekali tak peduli. Hingga tiba-tiba saja, dua orang–pria dan wanita menghampiri mereka. Pria tersebut mengenakan kemeja polos putih, di mana bagian atas tak dikancing sehingga membuat dada bidangnya yang kokoh terlihat mengintip. Sedangkan si perempuan, dia mengenakan dress kuning cerah yang seksi–guntingan 'V pada bagian depan yang rendah sehingga membuat dadanya terlihat menyembul. "Tuan Danzel," sapa si perempuan yang bergandengan dengan pria tinggi tampan di sebelahnya suaminya. Lachi mengamati sejenak namun buru-buru memalingkan wajah dan pura-pura sibuk dengan handphone. Jaga mata dan pandangan! Penampilan pria itu terlalu aduhai. "Hum." Danzel melirik sejenak pada istrinya u
'Anjir, mampus aku!' batin Lachi ketika mengintip sedikit pada sosok pria tampan dengan tubuh gagah yang saat ini menggendongnya ke pinggir kolam.Setelah di pinggir kolam, tubuh Lachi dibaringkan. Lachi memilih pura-pura tak sadarkan diri, terlanjur berbohong dan dia takut mengakhiri kebohongannya. Jantung Lachi berdebar sangat kencang, ada dorongan dalam dirinya supaya mengakhiri kepura-puraannya. Namun karena dia begitu takut, Lachi memilih tetap berpura-pura tak sadarkan diri. Sosok itu terasa mendekat, Lachi gugup dan merinding disko. Meskipun matanya terpejam kuat, tetapi Lachi tahu jika pria yang menyelamatkannya semakin mendekat–berada tepat di atas tubuhnya. Uhuk uhuk uhuk'Takut dicium oleh pria tersebut, Lachi bangun dengan berakting batuk. Dia mendorong lemah pundak pria tersebut agar menyingkir dari atasnya sembari berpura-pura menghirup udara dengan rakus. "Jika tidak bisa berenang, kenapa kau nekat berenang, Humm?" dingin Danzel, melayangkan tatapan tajam ke arah Lach
"Apa sekarang kau juga menjalani hubungan tanpa rasa denganku?""Hah?" Lachi benar-benar terkejut dengan perkataan Danzel. Dia mendadak diam, larut dengan pemikiran sendiri–hatinya seketika bertanya, siapa dia dan Danzel? 'Menjalani hubungan tanpa rasa?' batin Lachi, masih larut dengan kalimat tersebut. Seratus persen dia akui jika dia tidak memiliki perasaan apapun pada Gilang, saat mereka berpacaran. Sehingga ketika dia dan Gilang putus, Lachi tak sakit-sakit amat. Hatinya terluka karena dipermalukan serta dihina oleh orangtua Gilang, selebihnya tidak ada. Hanya saja, setelah mengakhiri hubungan dengan Gilang, Lachi selalu kepikiran. Dia sangat bersalah karena merasa telah mempermainkan Gilang. Namun, dengan Danzel … perasaan cinta memang tidak ada. Akan tetapi suka dan kagum-- itu ada. Danzel begitu mempesona dan memiliki ketampanan yang membuat kaum hawa menjerit karenanya. Bukan cuma itu, Danzel penuh karisma dan sangat berwibawa, punya tubuh gagah dan kekar serta pembawaan yan
Selama berlibur dengan Danzel, Lachi sangat menikmati. Lachi sangat suka saat Danzel mengajaknya jalan-jalan ke pantai dan berkeliling kota. Sekarang Danzel membawa Lachi ke sebuah party, acara pemilik hotel–Victoria. Semua pengunjung hotel boleh mengikuti acara tersebut akan tetapi tidak semua bisa masuk ruang VIP acara. Namun, karena Danzel tamu spesial, merasa bisa menikmati pesta secara eksklusif. Sayangnya karena tak mengenali siapapun di tempat ini, kecuali suaminya, Lachi kurang menikmati. Dia hanya menonton, menyaksikan pertunjukan yang disediakan oleh pemilik acara. Alunan musik manis tak hentinya mengalun, membuat suasana terkesan romantis. "Haih." Lachi menghela napas pelan, boring dan sejak tadi hanya bermain dengan jemari suaminya. Tanpa sadar Lachi melakukanya, kadang mencubit pelan punggung tangan Danzel, kadang menepuk-nepuk ke pipi sendiri, kadang mengigit ujung jari Danzel, kadang juga mencabut bulu tangan sang suami. Lachi merasakan gabut yang sesungguhnya. Mak
"Kak Danzel, kenapa membawa pembantu ke sini?" tanya Angel, tanpa merasa berdosa sedikitpun–bahkan merasa bangga dengan apa yang dia katakan. Danzel langsung melayangkan tatapan tajam ke arah Angel, berdiri kemudian menghampiri Angel. Tanpa pikir panjang, Danzel melayangkan tamparan ke arah Angel yang terlihat sudah membuat dan takut. Namun, sebelum tangan Danzel menyentuh pipi Angel, Lachi lebih dulu menahan tangan suaminya. Lachi menahan kuat tangan Danzel yang akan melayang ke pipi Angel untuk memberikan tamparan. Lachi menarik pelan Danzel, membawa Danzel kembali duduk ke tempat semula. "Habibi, jangan! Tahan emosi kamu, banyak orang di sini," ucap Lachi, menenangkan suaminya yang marah. "Jaga ucapanmu, Bitch!" marah Nathan, ikut marah sekaligus malu karena perkataan Angel pada Lachi tersebut.Angel mengabaikan ucapan kasar Nathan padanya, masih mencerna apa yang terjadi. Tadi menakutkan! Hampir saja Danzel menamparnya di depan umum hanya karena mengatai Lachi pembantu. Bagaim
"Au …." Lachi meringis pelan ketika ingin bangkit dari ranjang bagian bawahnya terasa sakit. Bukan hanya itu tubuhnya juga terasa tak bertenaga, kepala sedikit berat. Pada akhirnya Lachi memilih duduk sembari bersandar ke kepala ranjang, melirik suaminya yang masih terpulas tidur. Lachi mendengus pelan, mendumel dalam batin dengan bibir manyun. Dia kesal pada Danzel, pria itu tiba-tiba mengamuk padanya entah karena apa. Lachi berupaya mencari apa kesalahannya pada Danzel, akan tetapi Lachi tak menemukan.Apa karena lukisan Devson? Tetapi letak masalahnya di mana? Devson hanya memamerkan karya kesukaannya tepat di hari ulangtahunnya. Apa yang salah dengan itu? 'Aku juga bisa melukis.' Lachi mengingat perkataan Danzel. Setelah itu, Lachi buru-buru mengambil handphone di nakas lalu menyalakan kamera depan. "Ini mah bukan melukis, Bang Sat! Astagfirullah." Setelah mengumpat Lachi buru-buru istighfar, mengelus dada untuk menenangkan dirinya yang kesal. Setelah itu, dia kembali melihat t
Setelah kejadian itu, Lachi tidak berani berbicara pada Danzel. Dia mengira pria itu marah padanya karena ketahuan memaki-maki Danzel. Sekarang Danzel pergi entah kemana. Dia tidak mengatakan apa-apa dan Lachi tak bertanya sebab takut. Sekarang Lachi di outdoor kamar penginapan, duduk di kursi santai sembari berbicara lewat telepon dengan Zendaya. 'Pasti Kak X cemburu pada Devson. Makanya habis dari sana, dia langsung mendiamimu.' ucap Zendaya di seberang sana. Lachi habis curhat mengenai keanehan Danzel yang tiba-tiba kesetanan setelah Devson menunjukkan lukisannya ke tamu. Tentunya Lachi tak mengatakan bagian intim antara dia dan suaminya. Itu privasi!"Maksudnya, Mas Suami eh maksudnya Pak Danzel cemburu karena Devson bisa melukis?" 'Acieee … yang sudah manggil Mas Suami ke … ekhmm. Katanya dulu nggak mau, amit-amit. Ahahaha …. Mas suami nggak tuh.'"Hehehe … jangan gitu dong. Hidungku pegal kembang kempis melulu gegera salting. Kembali ke topik atuh." Lachi menegur halus. Tet