"Pa-Pak Danzel mau ngapain?" panik Lachi dengan nada mencicit dan gagap–Danzel tak menanggapi, terus mendekat dan merapatkan tubuh dengan Lachi. Tiba-tiba saja pria itu memperlihatkan evil smirk, membuat Lachi merinding disko dsn semakin gugup. "Pa-Pak," gugup Lachi, menempelkan telapak tangan di dada bidang Danzel–sengaja untuk menghalangi pria itu yang semakin mengikis jarak dengannya. "A--aku bisa berteriak jika Pak Danzel ma-macam-macam." Cup' Danzel sama sekali tidak peduli ancaman Lachi, dia mendaratkan bibirnya di atas bibir Lachi–berhasil membuat perempuan itu menegang, syok dan kaku. Mata Lachi membelalak lebar, pupil matanya yang membesar terlihat sangat indah. Menakjubkan! Untungnya Danzel hanya menempelkan bibir keduanya, tidak seperti malam itu. Danzel melepas bibir Lachi, kembali menyunggingkan smirk pada perempuan yang masih membeku di tempat. "Silahkan berteriak," ucap Danzel enteng, menjauh dari sana–meninggalkan Lachi yang masih syok di tempat. ***Orangtua Da
"Dulu … rencananya kita berlibur ke desa setelah punya anak yah." Shila berkata cekikikan pada Aeera, saat ini jalan-jalan di sekitar kebun buah milik keluarga Lachi. "Betul sekali." Aeera tertawa geli, mengingat kembali impian mereka dahulu yang sangat ingin berlibur ke desa bersama-sama. Mereka merencanakannya begitu penuh penghayatan, akan tetapi setelah menua begini barulah impian keduanya tercapai. Kalau bukan karena Lachi yang berasal dari desa, mungkin impian tersebut akan menjadi wacana yang cocok dimusiumkan. Syukurlah cucu menantu mereka gadis dari desa."Memangnya Ibu besar dan Nenek pernah ingin berlibur ke desa tapi nggak kesampean?" tanya Zendaya mengulang, baru tahu jika para neneknya sangat ingin berlibur ke desa. "Hehehe, betul sekali, Cucu kesayangan Nenek." Shila tertawa lagi. "Tapi sayang, tak kesampean karena tuh …-" Shila menatap Aeera, "Bapak bosnya tak membolehkan." "Ck, biasa lah." Aeera menepuk pelan pundak Shila. "Maksudnya Ayah besar Arich yang nggak b
Demi Tuhan, dia sudah panik setengah mati ketika pria ini menghilang. Ternyata Danzel berada di belakangnya. "Kalau begitu saya duluan, Kak." Pemuda tersebut pamit. Lachi tersenyum padanya lalu langsung menatap kesal pada Danzel. "Pak Danzel dari mana?" kesal Lachi, tanpa sadar menggenggam tangan Danzel kemudian menarik pria itu untuk melanjutkan langkah. Danzel berdecis geli, menatap tangan mungil yang saat ini menggenggam tangannya. "Kau ingin bulan madu kemana?"Lachi seketika menghentikan langkah kakinya, menatap Danzel jengah bercampur lelah. Seperti biasa, pria ini berbicara sesuka hatinya–tak peduli ucapannya sesuai topik atau tidak, tak peduli obrolannya lewat jalur sekalipun. "Pak, kita nikah saja belum loh." Lachi berkata tak habis pikir. Ditanya pria ini dari mana malah dia bertanya balik kapan bulan madu. Lachi ingin heran tetapi pria ini Danzel, makhluk si paling seenak jidat. "Kenapa tidak memikirkannya sekarang? Setelah menikah denganmu, aku ingin berbulan madu den
Padahal teras rumah Lachi sangat terbuka dan memiliki halaman yang luas, angin juga berhembus namun mereka masih dapat mencium minyak telon dari badan Bela. "Umm … bauuu! Bau Kunti setelah Tante itu datang," celetuk salah satu keponakan Lachi yang bermain di teras. "Jangan-jangan dia Kunti," ucap anak lain. Bela tersinggung, langsung melotot galak pada anak-anak tersebut. Lacji menoleh ke arah Bela, di mana perempuan itu bersedekap kesal lalu memalingkan wajah secara kesal. Niatnya ingin mencari perhatian Danzel, tetapi Bela malah dikatai Kunti oleh anak-anak di sini. "Hus, nggak boleh bicara begitu." Lachi menegur keponakannya, "bagaimana kalau orangnya tersinggung sama ucapan kalian?!" lanjutnya berkata galak. "Maaf, Tante. Tapi kita hanya jujur kalau aromanya mirip seperti aroma Kunti," jawab ponakan Lachi. "Sudah Tante bilang nggak boleh bilang begitu. Kalian nggak mikirin perasaan orang?! Masa aroma begini disebut mirip aroma kunti. Yang benar saja kalian, ini lebih m
"Suami, Heh?" Danzel menoleh sejenak pada Lachi yang telah duduk di sebelahnya. Lachie menoleh, nyengir lebar sembari menggaruk pipi yang tak gatal. "Hehehe … ka-kan mau ke arah sana, Pak. Nggak apa-apa dong manggilnya mulai dari sekarang," jawab Lachi, cengengesan bodoh diakhir kalimat sebab malu sendiri dengan perkataannya. Namun, sedikit centil pada calon suami harusnya tak apa bukan? "Humm." Danzel berdehem singkat, menatap lurus ke arah depan dan memilih diam seterusnya. 'Dehem doang. Kamper sekali orang ini.' batin Lachi, duduk kikuk di tempatnya. 'Tapi syukurlah nih orang nggak macam-macam. Haah, padahal jantungku sudah mau meledak sejak berdua sama dia. Syukur syukur syukur.' ***Setelah sampai di rumah, tiba-tiba saja Bela datang menghampiri Lachi dan Danzel. Perempuan itu tersenyum malu-malu dengan menampilkan raut muka cerah. Lachi pikir dia yang akan dihampiri, tetapi Bela berhenti tepat di hadapan Danzel. "Pak Danzel, sini aku bantu membawa barang …-" Bug'Danzel s
"Aaaaaargkkkkkkkk!" Bela seketika berteriak histeris, sudah menangis dan panik dengan rasa panas yang membakar lengan dan bagian dada ke perutnya. "Danzel!" pekik Nara, buru-buru mendekati Danzel kemudian menarik anaknya tersebut untuk menjauh dari Bela. "Apa yang kamu …-" Nara tak melanjutkan ucapannya, saking tak habis pikirnya dengan putranya tersebut. "Ada apa?" Zavier sudah di sana, cukup khawatir mendengar suara istrinya. Ketika melihat situasi dan membaca apa yang terjadi, Zavier menghela napas kemudian keluar dari sana. Bukan hal penting. Putranya hanya menyiram teman putrinya dengan air panas. Hal biasa! Nara menatap suaminya syok, semakin tak habis pikir! Inikah yang disebut dengan numpang lewat? Hei, bahkan Nara belum menjawab pertanyaan Zavier, belum mengatakan apa yang terjadi di sini tetapi Zavier sudah langsung pergi. 'Anaknya nggak jelas, tapi Daddynya lebih nggak jelas.' batin Nara, cukup gugup ketika keluarga Lachi datang. "Apa yang terjadi? Kenapa Nak Bela me
"Jauhkan tanganmu dari putriku!" amuk dan teriak Adit marah, berjalan terburu-buru ke arah Lachi dan Gilang dengan membawa parang di tangan. Lachi menoleh ke arah ayahnya, membelalakan mata dengan jantung yang langsung berdebar kencang–panik dan takut melihat ayahnya membawa parang. "Tutup gerbang!" teriak Adit pada penjaga rumah, langsung dipatuhi oleh si penjaga. Gilang yang sudah melepas tangan Lachi dan berniat kabur, seketika panik. Dari depan seorang pria paruhbaya membawa parang datang mengancam, dari belakang dua bapak-bapak datang membawa kayu lalu dari samping kanan dan kiri ada jua bapak-bapak yang datang mengepung. Niat hatinya ingin menjemput sang pujaan, kini terasa seperti menjemput kematian. "Ayah!" pekik Lachi, mendekati ayahnya lalu menahan sang ayah yang berniat melenyapkan Gilang. Ayahnya memang ramah dan baik, tetapi urusan Lachi, ayahnya lain pribadi lagi. Oleh sebab itu saat Danzel datang ke rumahnya, Lachi sangat panik. Syukur dan ajaibnya ayahnya meneri
Plak' Adit langsung melayangkan tamparan kuat ke pipi Bela, membuat perempuan tersebut terhempas kasar. Bela benar-benar syok, memengang pipi yang terasa kebas dan panas. Sudut bibirnya mengeluarkan darah. Bela yang tersungkur, terduduk tersebut mendongak ke arah Adit. Satu bulir kristal bening jatuh dari pelupuk. "A-ayahku saja tidak pernah menamparku," ucapnya lirih dan pelan, mendongak dengan tatapan penuh kebencian serta kemarahan pada Adit. "Karena aku bukan ayahmu!" marah Adit. "Tarik rambutnya," titah Adit pada anak buahnya, yang mana mereka sangat patuh dengan langsung melaksanakan perintah Adit. Dua orang menahan tangan Bela lalu satu orang lagi menarik rambut Bela secara kuat ke belakang. "Argkkk …." Bela berteriak kencang, kesakitan karena rambutnya ditarik. Rasanya kepalanya akan putus dari leher.Adit melakukan peregangan pada jari tangan, bersiap-siap untuk melakukan hal mengerikan pada Bela. "Tahan kepalanya agar aku bisa merobek mulutnya," ucap Adit, bernada dingi