"Ta-tante Nara, dia yang mengata-ngataiku, kenapa malah aku yang dimarahi?" Nara mengepalkan tangan, menarik paksa kue pemberian Angel. Sejujurnya Nara berniat menghargai pencarian perempuan ini, akan tetapi karena Angel yang memulai maka Nara melupakan norma-norma tersebut. Setelah meraih kue tersebut, Nara langsung membuangnya dalam tong sampah. Angel semakin tak percaya, menbelalak sebab kue yang ia berikan pada Nara dibuang. "Ke-kenapa …-" "Kenapa? Kamu menghina kue buatan saya. Sekarang, cepat pergi dari rumahku. Pergi!" marah Nara, begitu galak–cukup mengejutkan bagi Lachi, tak percaya jika Nara sang mama mertua akan seperti itu. "Angel, sebaiknya kita pulang," bujuk Liora, sejenak Nara menatap perempuan itu lalu memandangnya lekat. Nara sebenarnya merasa tak asing dengan Liora, akan tetapi dia mengabaikan hal tersebut. Mungkin hanya perasaannya saja. "Pa-padahal niatku baik," ucap Angel, "tapi aku yakin, suatu saat Tante akan membuka mata, melihat kebaikanku lalu merestui
"Pak Danzel suka dipanggil Mas suami atau Habibi? Atau …-""Dua-duanya," jawab Danzel cepat, akan tetapi tidak menoleh pada Lachi. 'Susah juga menghancurkan tembok ini.' batin Lachi. Satu hal yang tidak dia sukai dari Danzel adalah pria ini jarang bicara. Maksudnya tipe orang yang tak suka mengobrol, sedangkan Lachi adalah orang yang sangat suka mencerocos. Ini yang membuat Lachi hanya sekedar menyukai Danzel, tak sampai ke tahap ingin menikah ataupun mencintai. Dia sudah menduga dia dan Danzel tak akan cocok. Namun, untuk sekarang mengeluh pun percuma, Danzel sudah terlanjur menjadi suaminya. Mau bagaimanapun Lachi harus menerima. Lachi tiba-tiba menghampiri Danzel, duduk di sebelah koper. "Ada yang kurang?" tanya Danzel, mengira Lachi duduk di sana sebab mungkin dia melewatkan sesuatu. Mungkin baju Lachi yang dia kemasi kurang atau lebih. Lachi menggelengkan kepala. "Pak Danzel kok semangat sekali?" tanya Lachi, bertopang dagu sembari memindahkan beberapa susunan pakaian–merap
Setelah istirahat yang cukup, tentunya setelah menghukum Lachi yang sangat suka mengganggu Danzel, kini keduanya sarapan bersama di sebuah restoran mewah penginapan. "Pak Dan … maksudku Habibi," ucap Lachi, menggantungkan kalimat dengan mengedipkan mata sebelah secara genit ke arah Danzel yang saat ini duduk berhadapan dengannya. Lachi tersenyum anggun, dalam hati mengejek serta mendumel wajah tembok suaminya. Sedangkan Danzel, dia menatap Lachi datar. Wajahnya tanpa ekspresi akan tetapi dalam hati berdebar karena panggilan tersebut. Habibi! "Aku akan memakan buah dan sayur yang banyak," lanjut Lachi, mencondongkan tubuh ke arah Danzel lalu mencomot buah strawberry di atas kue. Lagi-lagi Lachi tersenyum penuh makna–sengaja karena menurutnya sangat menantang dan menyenangkan menggoda Danzel. Sifat Danzel yang dingin dan kaku, serta wajahnya yang tak berekspresi menjadi tantangan tersendiri bagi Lachi untuk mengganggunya. Dia tahu akibatnya akan sangat fatal, tetapi … Lachi menikma
"Hum." Danzel berdehem dingin. "Tunggu setelah makan," ancamnya, seketika berhasil membuat Lachi pucat pias dan menggelengkan kepala cepat. "Jangan, Pak. Cu-cuma bercanda tadi. A--aku cuma bercanda," panik Lachi selanjutnya. Dia terus menyakinkan Danzel jika tadi dia hanya bercanda, tetapi Danzel sama sekali tak peduli. Hingga tiba-tiba saja, dua orang–pria dan wanita menghampiri mereka. Pria tersebut mengenakan kemeja polos putih, di mana bagian atas tak dikancing sehingga membuat dada bidangnya yang kokoh terlihat mengintip. Sedangkan si perempuan, dia mengenakan dress kuning cerah yang seksi–guntingan 'V pada bagian depan yang rendah sehingga membuat dadanya terlihat menyembul. "Tuan Danzel," sapa si perempuan yang bergandengan dengan pria tinggi tampan di sebelahnya suaminya. Lachi mengamati sejenak namun buru-buru memalingkan wajah dan pura-pura sibuk dengan handphone. Jaga mata dan pandangan! Penampilan pria itu terlalu aduhai. "Hum." Danzel melirik sejenak pada istrinya u
'Anjir, mampus aku!' batin Lachi ketika mengintip sedikit pada sosok pria tampan dengan tubuh gagah yang saat ini menggendongnya ke pinggir kolam.Setelah di pinggir kolam, tubuh Lachi dibaringkan. Lachi memilih pura-pura tak sadarkan diri, terlanjur berbohong dan dia takut mengakhiri kebohongannya. Jantung Lachi berdebar sangat kencang, ada dorongan dalam dirinya supaya mengakhiri kepura-puraannya. Namun karena dia begitu takut, Lachi memilih tetap berpura-pura tak sadarkan diri. Sosok itu terasa mendekat, Lachi gugup dan merinding disko. Meskipun matanya terpejam kuat, tetapi Lachi tahu jika pria yang menyelamatkannya semakin mendekat–berada tepat di atas tubuhnya. Uhuk uhuk uhuk'Takut dicium oleh pria tersebut, Lachi bangun dengan berakting batuk. Dia mendorong lemah pundak pria tersebut agar menyingkir dari atasnya sembari berpura-pura menghirup udara dengan rakus. "Jika tidak bisa berenang, kenapa kau nekat berenang, Humm?" dingin Danzel, melayangkan tatapan tajam ke arah Lach
"Apa sekarang kau juga menjalani hubungan tanpa rasa denganku?""Hah?" Lachi benar-benar terkejut dengan perkataan Danzel. Dia mendadak diam, larut dengan pemikiran sendiri–hatinya seketika bertanya, siapa dia dan Danzel? 'Menjalani hubungan tanpa rasa?' batin Lachi, masih larut dengan kalimat tersebut. Seratus persen dia akui jika dia tidak memiliki perasaan apapun pada Gilang, saat mereka berpacaran. Sehingga ketika dia dan Gilang putus, Lachi tak sakit-sakit amat. Hatinya terluka karena dipermalukan serta dihina oleh orangtua Gilang, selebihnya tidak ada. Hanya saja, setelah mengakhiri hubungan dengan Gilang, Lachi selalu kepikiran. Dia sangat bersalah karena merasa telah mempermainkan Gilang. Namun, dengan Danzel … perasaan cinta memang tidak ada. Akan tetapi suka dan kagum-- itu ada. Danzel begitu mempesona dan memiliki ketampanan yang membuat kaum hawa menjerit karenanya. Bukan cuma itu, Danzel penuh karisma dan sangat berwibawa, punya tubuh gagah dan kekar serta pembawaan yan
Selama berlibur dengan Danzel, Lachi sangat menikmati. Lachi sangat suka saat Danzel mengajaknya jalan-jalan ke pantai dan berkeliling kota. Sekarang Danzel membawa Lachi ke sebuah party, acara pemilik hotel–Victoria. Semua pengunjung hotel boleh mengikuti acara tersebut akan tetapi tidak semua bisa masuk ruang VIP acara. Namun, karena Danzel tamu spesial, merasa bisa menikmati pesta secara eksklusif. Sayangnya karena tak mengenali siapapun di tempat ini, kecuali suaminya, Lachi kurang menikmati. Dia hanya menonton, menyaksikan pertunjukan yang disediakan oleh pemilik acara. Alunan musik manis tak hentinya mengalun, membuat suasana terkesan romantis. "Haih." Lachi menghela napas pelan, boring dan sejak tadi hanya bermain dengan jemari suaminya. Tanpa sadar Lachi melakukanya, kadang mencubit pelan punggung tangan Danzel, kadang menepuk-nepuk ke pipi sendiri, kadang mengigit ujung jari Danzel, kadang juga mencabut bulu tangan sang suami. Lachi merasakan gabut yang sesungguhnya. Mak
"Kak Danzel, kenapa membawa pembantu ke sini?" tanya Angel, tanpa merasa berdosa sedikitpun–bahkan merasa bangga dengan apa yang dia katakan. Danzel langsung melayangkan tatapan tajam ke arah Angel, berdiri kemudian menghampiri Angel. Tanpa pikir panjang, Danzel melayangkan tamparan ke arah Angel yang terlihat sudah membuat dan takut. Namun, sebelum tangan Danzel menyentuh pipi Angel, Lachi lebih dulu menahan tangan suaminya. Lachi menahan kuat tangan Danzel yang akan melayang ke pipi Angel untuk memberikan tamparan. Lachi menarik pelan Danzel, membawa Danzel kembali duduk ke tempat semula. "Habibi, jangan! Tahan emosi kamu, banyak orang di sini," ucap Lachi, menenangkan suaminya yang marah. "Jaga ucapanmu, Bitch!" marah Nathan, ikut marah sekaligus malu karena perkataan Angel pada Lachi tersebut.Angel mengabaikan ucapan kasar Nathan padanya, masih mencerna apa yang terjadi. Tadi menakutkan! Hampir saja Danzel menamparnya di depan umum hanya karena mengatai Lachi pembantu. Bagaim