"Hua--arghsetaaan!" Kamila terpekik kaget saat tiba di unit apartemennya dan menemukan Wisnu baru saja keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melingkar di pinggang. "Dari mana saja kamu?" tanya lelaki itu sembari muncul dari kegelapan dan mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Sebelum menjawab Kamila sembari melirik arlojinya dan menyadari ternyata malam sudah cukup larut, itulah alasan kenapa Wisnu sudah pulang sekarang. "Jalan-jalan, cari udara segar," jawab Kamila sekenanya. "Sama siapa?""Sendirilah. Kan kamu juga tahu aku nggak punya cukup banyak teman."Wisnu mengedikkan bahu, kemudian berbalik menghadap lemari yang menjulang di hadapan. Dengan sengaja dia menanggalkan handuk di depan Kamila, lalu melemparnya ke ranjang. "Crocodile Sialan! Kapan aku akan terbiasa dengan segala kevulgaran ini, Tuhan?" batin Kamila sembari memalingkan pandangan menatap ubin yang dipijaknya. "Sudah makan?" tanya Wisnu lagi, setelah selesai berpakaian. Lelaki itu terlihat segar
"Yang, kenapa kita mesti hadir, sih? Perusahaan kita, kan udah diwakilin Bang Wisnu?" protes Hendri di tengah perjalanan menuju PT. Poltaris saat melihat sang istri tengah membubuhkan lipstik warna nude di bibir tipisnya. Sebenarnya yang mengusulkan diadakannya rapat dadakan, karena hasutan Hendri dan Yayang pada beberapa pemegang saham, sebab hasutan-hasutan keduanya, mereka berhasil membuat para orang-orang berpengaruh di perusahaan itu mulai terganggu dengan kandidat kuat calon pemimpin. Hal itu mereka teruskan pada Bu Hilma, dan terjadilah rapat mendadak ini. "Bang Wisnu sama Kalina itu sepaket, nggak masuk hitungan. Papa juga bilang kalau kita boleh hadir, kok. Lagian Bu Hilma sendiri yang ngundang secara resmi.""Ck, bilang aja kalau kamu mau nyaksiin sendiri Kalina dipermalukan di rapat pertamanya.""Nah, itu tahu. Beruntung kita berhasil menjilat beberapa pemegang saham yang cukup berpengaruh. Lumayan buat permulaan, dia pasti kena mental. Kelabakan entar.""Apa kamu nggak t
"Astaga ini benar-benar menggelikan.""Bagaimana bisa dia memakai barang-barang istrinya?""Lihatlah ... ternyata mereka datang hanya untuk mempermalukan diri."Kulit wajah Yayang yang putih bersih, sekejap berubah merah padam. Rahangnya mengatup rapat dengan kedua tangan yang terkepal. Rasa malu itu sudah menjalar ke seluruh dirinya hingga tubuh tinggi ramping tersebut hanya bisa duduk mematung untuk beberapa saat. "Yang ...." Di kolong meja Hendri mengiba sembari memeluk kaki istrinya. Dia tak tahu lagi di mana harus menyembunyikan muka berserta semua rasa malunya. "Brengsek lo, Hendri!" desis Yayang seraya menendang Hendri sampai terjungkal ke belakang. Kemudian melepas kedua sepatu heels berwarna nude yang dia kenakan, beserta tas yang dilempar ke wajah sang suami. Yayang berlalu dengan bertelanjang kaki, di ambang pintu dia menatap Kamila begitu tajam seolah tatapan itu mampu mencabiknya. "Puas lo, Bitch?"Kamila mengernyit. "Lah, kok gue?""Yang!""Yayang!"Dengan mental dan
Kamila menatap nanar TV layar datar yang terpampang di hadapan. Hampir seharian berita tentang Hendri langsung menyebar mengisi berbakal artikel, surat kabar, bahkan media pertelevisian.Sudah dua hari Wisnu juga belum memberinya kabar setelah kembali ke Jakarta. Dia penasaran tentang keadaan di sana bagaimana sekarang? Walaupun tersemat sedikit kepuasan melihat kehancuran Yayang sudah nyata di hadapan, Kamila juga merasa iba dengan Hendri yang dia pikir tak terlalu jahat seperti sang istri. Dua hari ini bahkan hanya Kamila habiskan dengan menghafal beberapa berkas tentang perusahaan yang tak henti Revan kirimkan. Dia nyaris gila selama hampir 40 jam berkutat dengan berkas dan laporan. Kalau boleh memilih, pekerjaan sebagai agen BIN masih lebih mudah dibanding pekerja kantoran. Kalau bukan demi ponselnya yang dijanjikan akan Revan kembalikan, mungkin Kamila tak akan mau bekerja sampai sekeras ini. Dia bak mengulang tes saat masuk STIN dulu. Otaknya terkuras, energinya terserap habis.
Waktu berlalu begitu cepat. Rapat penentuan pengalihan kepemimpinan Poltaris Jaya semakin dekat di depan mata. Bersama Revan dan ayahnya yang masih terbaring tak berdaya Kamila menjalani hari-harinya yang membosankan, berkutat dengan berkas dan laporan tentang perusahaan yang terus datang setiap harinya. Sekarang perempuan itu benar-benar telah kehilangan kebebasan. Kesibukan dan jam kerja yang merampas hampir seluruh waktunya membuat dia benar-benar merindukan kehidupannya yang dulu. Berganti-ganti peran, mengintai para penjahat, melakukan dinas keliling Tanah Air, dan berlatih fisik rutin sesuai jadwal.Bugh! Bugh! Bugh! Pukulan-pukulan yang Kamila layangkan, membuat samsak tinju yang tergantung di tempat gym khusus penghuni apartemen, berayun ke sana ke mari. Keringat bercucuran dari pelipis hingga seluruh tubuh Kamila yang terbalut sport bra dan celana legging olahraga. Perut rampingnya tercetak curvi sempurna, dengan kedua lengan yang kokoh dan kencang khas olahragawan. Mes
Langkah kaki itu berayun cepat memasuki sebuah rumah sakit terkemuka di Kota Surabaya. Setelah mendengar kabar bahwa Kalina telah sadar, Kamila langsung pamit pergi, setelah berdalih pada Wisnu, izin untuk mendiskusikan tentang uang yang akan dia pinjam pada sang ayah. Perempuan itu bahkan tak perlu repot-repot mandi, dia langsung melapisi sport bra-nya dengan hoodie dan tancap gas ke lokasi. Ruang rawat Kalina sudah dia hapal di luar kepala. Setelah sampai di Rumah Sakit dia langsung menuju lantai sepuluh dan berhenti di ruang VIP.Pintu yang terbuka membawanya menuju Kalina yang tengah duduk bersandar disuapi makan oleh Revan, di sana juga sudah ada Pak Hari yang sudah stanby menunggu putrinya yang tersadar.Bruk! Kamila langsung melempar tas dan sandal jepitnya, kemudian melompat ke atas brankar saudari kembarnya. "Kamu beneran nggak inget aku? Ayah? Bahkan si ganteng bucin ini?!" Kamila menangkup wajah Kalina dan menepuk-nepuk pipi tirus itu. "Maaf," gumam Kalina penuh sesal.
"Yang, makanan di depan kamar Hendri, kok masih utuh? Emangnya belum kamu kasih?" Bu Dahlia bertanya pada Yayang yang tengah memainkan ponsel sembari bertumpang kaki di ruang TV bersama Thea yang juga melainkan gadgetnya. "Udah aku ketuk dari tadi Hendri nggak nyaut, Ma. Mungkin dia ketiduran," jawab Yayang santai seolah tanpa beban. "Harusnya terus kamu ketuk, dong. Kalau dia sakit gimana? Itu makanan udah dari pagi, loh," tegur Bu Dahlia yang mulai cemas dengan keadaan putra keduanya. "Ya udah Mama tengok aja sendiri, tanggung Yayang lagi ada obrolan bisnis sama relasi," dalih Yayang, padahal kenyataannya dia tengah men-stalking sosial media Kamila dan Wisnu.Bu Dahlia menghela napas panjang. Akhirnya dia berjalan menuju lantai dua untuk memastikan keadaan Hendri. Tok! Tok! Tok! "Hendri! Makan dulu, Nak! Kalau mau protes sama papa kamu jangan pake alasan mogok makan. Mama nggak suka kalau ada orang yang mubajirin makanan, ya! Buruan keluar atau mama minta Pak Ujang buat dobrak
Kamila dan Wisnu yang baru saja tiba di Jakarta, langsung dikejutkan dengan suara sirine ambulans yang terparkir bersama dengan mobil polisi di pelataran kediaman keluarganya. Tangis histeris Bu Dahlia ikut mengiringi jasad putra keduanya yang diangkut menuju rumah sakit untuk dilakukan autopsi guna memastikan penyebab kematian Hendri apa benar bunuh diri. Garis polisi terlihat sudah membentang di depan kamar yang menjadi saksi bisu meninggalnya pewaris kedua keluarga Wijaya yang selama ini dikenal dengan pribadi yang humble dan ceria. Media menduga bahwa penyebab kematiannya adalah depresi akibat skandal yang baru saja terjadi.Kamila menoleh pada Wisnu yang tiba-tiba meraih jemarinya, lalu menggenggam erat. Seperti ada bongkahan batu yang baru saja menghantam ulu hati Wisnu, tapi dia tak bisa mendeskripsikan perasaan itu. Dari arah pintu terlihat Yayang tiba-tiba berlari dan berhambur dalam pelukan lelaki itu. Menangis meraung mengeluarkan semua stok air mata buaya yang dia punya,
"Loh, Papa." "Papa?""Uncle?""Wisnu, sejak kapan kamu berdiri di sana?"Barra yang lebih dulu sadar, berjalan mengampiri, diikuti Thea, Terra, dan terakhir Bu Dahlia. Kamila yang mendengar itu semua sontak langsung menendang Revan, lalu bangkit dan membenahi penampilan yang sejujurnya sudah tak bisa lagi terselamatkan."Wi-Wisnu.""Ma-maaf aku datang tanpa kabar. Soalnya sejak tadi ponselmu tak bisa dihubungi dan aku dengar dari Mama sedang ada acara di sini.""Ng, anu, nggak apa-apa, kok. Silakan duduk, ngobrol-ngobrol sama yang lain dulu. Aku ke atas sebentar, ya." Tanpa menunggu persetujuan dengan gerakan seribu bayangan, Kamila langsung berlari menuju kamar. Dan mengurung diri di sana.***Tok! Tok! Tok!"Mil, boleh aku masuk?" Di depan pintu kamar Kamila, Kalina berdiri. Sudah satu jam sejak pamit ke atas, dia masih belum kembali, hingga Kalina inisiatif menghampiri."Masuk aja, Kal. Nggak dikunci." Teriakan Kamila terdengar dari dalam, perlahan Kalina membuka pintu, lalu meng
"Hatchiiim."Dari arah kamar terdengar suara bersin keras, hingga membuat orang-orang yang akhir pekan ini sedang berkumpul di rumah besar itu terlonjak kaget."Kak, are you, okay?" Kepala Cici menyembul dari arah pintu."Ya, aku nggak apa-apa. Biasanya kalau tiba-tiba bersin kayak gini, pasti ada yang ngomongin," tuturnya sembari melempar selembar tisu yang sudah digunakan ke tempat sampah.Cici manggut-manggut, lalu berjalan menghampiri ke kamar. "Btw tumben rapi banget hari ini, nggak mungkin kalau cuma sekedar reuni keluarga Kak Mila sampai dandan cantik begini. Rambut digerai, pake dress tanpa lengan, heels lima senti.""Sshhh ... hari ini aku ada janji, jadi tolong wakilin jamu aja semua tamu, ya.""Ta--""Mil-- oh my God. Setan apa yang merasukimu hari ini, Mila?" Feri yang baru saja muncul terlihat membekap mulut melihat penampilan Kamila."Diem, lu, Fer. Komen sekali lagi gue gebok.""Nggak, nggak mungkin. Ini pasti bukan Kamila, ini pasti Kamile--hmmpt." Buru-buru Kamila mem
"Bagaimana kabarmu?"Pertanyaan itu Wisnu ajukan sesaat setelah Kamila dan Barra duduk di hadapannya, di ruang Head Teachers."Ba-baik." Entah kenapa afmosfer yang tercipta di antara keduanya terasa kikuk dan canggung. Sementara Barra yang duduk di tengah-tengah mereka malah sibuk memindai ekspresi dari tante dan ayah kandungnya itu."Jantung berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya, telapak tangan dingin, wajah pucat, bicara terbata-bata, terdeteksi salting. Reaksi ini biasa juga disebut dengan gugup." Barra meletakkan tangan di dada Kamila."Astaga Barra." Kamila memelotot sembari menepis tangan bocah tujuh tahun itu.Wisnu terkekeh pelan. "Maaf kalau aku membuat kalian tak nyaman." Lelaki itu sesekali menyentuh hidung dan menggaruk dahi."Gelagat itu menunjukkan kalau Papa yang justru nggak nyaman.""Hei, berhenti sembarangan baca emosi orang!" sentak Kamila kembali mengingatkan."Tapi kakek bilang mengenali ekspresi wajah merupakan cara penting untuk meraba apa yang dirasakan
Tujuh tahun kemudian ...."Bangun, Barra. Ini hari pertama kamu masuk sekolah! Seragam sama semua perlengkapan udah Mimi siapin. Jangan lupa sarapan juga. Ada nasi goreng di atas meja!"Kamila mengguncang tubuh bocah yang menggeliat panjang dalam selimut tebal, di atas ranjang berbentuk mobil-mobilan."Bentar lagi, Mi. Biasa juga sekolah internasional masuknya agak siang. Ini baru jam enam pagi, ya Tuhan.""Buset nih bocah. Siapa juga yang bilang kamu bakal masuk ke sekolah international? Yang ada kamu masuk swasta!"Mendengar kata sekolah swasta bocah berumur tujuh tahun itu langsung terlonjak dari tempatnya."Swasta? Seriously? Kita jauh-jauh pindah ke Jakarta cuma buat daftar di sekolah swasta!""Ya ampun, nih bocah nggak ada bersyukurnya. Udah untung kamu masuk sekolah swasta yang elite. Coba Mimi dulu, udah mah masuk negeri yang ikut program pemerintah, masih kudu bikin surat keterangan tidak mampu, biar nggak perlu bayar SPP lagi. Dah, ah. Buruan mandi! Atau mau langsung Mimi lu
Orang bilang, level tertinggi dari mencintai adalah mengikhlaskan. Entah itu mengikhlaskan dengan yang lain, atau yang lebih menyakitkan mengikhlaskannya pergi ke pangkuan Tuhan. Entah itu cinta antar pasangan, cinta antara anak dan orangtua, maupun cinta antar saudara.Tak ada rencana yang lebih sempurna selain takdir yang telah Tuhan gariskan. Bagaimana dua orang saudara kembar yang sudah berpisah selama lebih dari tiga puluh tahun kembali dipersatukan untuk membalas satu keluarga zalim yang merasa kekuasaan yang dimiliki mampu menutupi seberapa busuknya tingkah laku mereka, sampai lupa bahwa roda kehidupan itu berputar, dan dalam beberapa keyakinan karma itu nyata adanya.Kurang dari setahun, tepatnya delapan bulan, saudara kembar Kamila dan Kalina mampu mengantar kehancuran untuk Keluarga Wijaya. Keluarga konglomerat yang dikenal publik dengan berbagai prestasi, keluarga yang dikenal memiliki toleransi tinggi, serta kerukunan yang patut diacungi. Namun, siapa yang tahu di balik im
Welcome Kalina Fathira Hartono dan Kamila Anindira Hartono.Tulisan besar dari karangan bunga yang khusus dipesan tergantung di lantai dua kediaman keluarga yang bisa dibilang terkaya di Kota Surabaya.Kamila membekap mulut sembari memeluk Dahiyang di pangkuan tangan.Tak pernah terpikir dalam benak Kamila sekalipun bahwa akhirnya dia sampai di posisi ini. Posisi yang selalu ibunya katakan suatu saat akan bisa dia daki. Roda yang selama ini berhenti berputar akhirnya menempatkan dia di sini. Ternyata masa depan yang selalu dia harapkan ekspekstasinya lebih dari yang mampu dia impikan.Orang-orang dengan setelan serba-hitam yang diketahui staf dan beberapa karyawan PT. Poltaris Jaya menyambut mereka. Berjejer di antara kolam pancuran yang membentang sepanjang pelataran. Bu Hilma terlihat berjalan mendorong kursi roda Pak Hari untuk menghampiri mereka. Dua buket bunga terlihat di pangkuannya.Kamila langsung berlari dan berhambur dalam pelukan ayahnya. Di belakang Kalina menyusul dengan
Kalina terkekeh sesekali saat melihat Kamila yang terlihat begitu bersemangat pagi ini. Di dalam kamar tadi bahkan dia membongkar seisi lemari hanya untuk mencari pakaian terbaik yang bisa digunakan untuk acara hari ini. Menjadi bisnis women atau mengelola bisnis mungkin memang bukan passion Kamila. Namun, penegak hukum, aparat, serta badan inteligen adalah pekerjaan dan kecintaannya.alina tahu, meski tak mengatakannya Kamila pasti sangat ingin kembali. Walapun mustahil untuk kembali menjadi bagian dari BIN, setidaknya dia berharap bisa menjadi salah satu anggota kepolisian tak peduli apa pun tingkatnya."Mil?" Kalina meletakkan tangan di bahu Kamila yang nampak duduk tenang di kursinya menunggu panggilan."Ya?" Kamila menoleh antara gugup dan senang yang membuat Kalina agak tak tega untuk mengungkap kebenarannya. "Sebenarnya ...." Kalina sengaja mengulur-ulur waktu yang membuat dada saudaranya semakin berdegup kencang."Sebenarnya apa, sih, Kal? Buruan deg-degan el--""Kompol Warma
Di atas pusara dengan nisan bertuliskan Zahira P. Putri itu, Kamila dan Kalina duduk bersimpuh. Meletakkan buket bunga di atas gundukan tanah yang sudah lama mengering dan dilindungi tembok marmer berpondasi kokoh.Kamila terlihat menuntun tangan saudara kembarnya untuk menyiram nisan dan sebagian tanah yang terlihat."Halo, Bu. Apa kabar? Sekarang Kamila nggak datang lagi sendiri, ada Kalina juga. Akhirnya, Bu. Kita bisa tumbuh jadi anak kebanggaan ibu. Baik-baik di Surga sana, ya. Salam sayang dan peluk cium dari kami." Kamila tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Merengkuh tubuh Kalina yang sudah lebih dulu terisak di sampingnya."Nggak apa, Kal. Yang penting ibu udah liat semuanya dari atas sana." Kamila meyakinkan saudaranya sembari menyeka air mata Kalina."Bagaimana rasanya pelukan ibu, Mil?" tanya Kalina lirih."Tentu saja lebih hangat dari pelukan ayah dan lebih berkesan daripada pelukan mantan.""Kamila." Kalina mengerucutkan bibir sembari mencubit pelan perut saudaranya."Dah
"Apa-apaan ini? Masa merayakan kemenangan di Rumah Makan Padang?" Kamila menggerutu, sembari berkacak pinggang di depan sebuah rumah makan yang cukup besar di daerah setempat."Dah, terima kenyataan, Nya! Nyonya Kalina sama Pak Revan dah keseringan makan di resto bintang lima." Cici menepuk pundak Kamila, kemudian berlalu ke dalam."Tap-tapi aku juga dah keseringan makan di rumah Makan Padang. Bahkan sampe kolesterol dan mencret-mencret!" Kamila mengerucutkan bibir, menoleh menatap saudara kembarnya dan Revan yang baru saja turun dari dalam mobil."Aku janji, makan malam nanti kamu yang tentukan," sahut Kalina sembari tersenyum simpul."Seriously?" Bola mata bulat itu berbinar penuh harap."Iya. Harus berapa kali kubilang milikku, milikmu juga," tukas Kalina sembari merangkul bahu saudaranya."Resto Lavender, boleh? Ruang VIP yang view-nya macam di pelem-pelem bucin? Aku pernah ke sana, tapi cuma buat denger umpatan sampah para Wijaya Family." Kamila kembali mengerucutkan bibir."Iya