Waktu berlalu begitu cepat. Rapat penentuan pengalihan kepemimpinan Poltaris Jaya semakin dekat di depan mata. Bersama Revan dan ayahnya yang masih terbaring tak berdaya Kamila menjalani hari-harinya yang membosankan, berkutat dengan berkas dan laporan tentang perusahaan yang terus datang setiap harinya. Sekarang perempuan itu benar-benar telah kehilangan kebebasan. Kesibukan dan jam kerja yang merampas hampir seluruh waktunya membuat dia benar-benar merindukan kehidupannya yang dulu. Berganti-ganti peran, mengintai para penjahat, melakukan dinas keliling Tanah Air, dan berlatih fisik rutin sesuai jadwal.Bugh! Bugh! Bugh! Pukulan-pukulan yang Kamila layangkan, membuat samsak tinju yang tergantung di tempat gym khusus penghuni apartemen, berayun ke sana ke mari. Keringat bercucuran dari pelipis hingga seluruh tubuh Kamila yang terbalut sport bra dan celana legging olahraga. Perut rampingnya tercetak curvi sempurna, dengan kedua lengan yang kokoh dan kencang khas olahragawan. Mes
Langkah kaki itu berayun cepat memasuki sebuah rumah sakit terkemuka di Kota Surabaya. Setelah mendengar kabar bahwa Kalina telah sadar, Kamila langsung pamit pergi, setelah berdalih pada Wisnu, izin untuk mendiskusikan tentang uang yang akan dia pinjam pada sang ayah. Perempuan itu bahkan tak perlu repot-repot mandi, dia langsung melapisi sport bra-nya dengan hoodie dan tancap gas ke lokasi. Ruang rawat Kalina sudah dia hapal di luar kepala. Setelah sampai di Rumah Sakit dia langsung menuju lantai sepuluh dan berhenti di ruang VIP.Pintu yang terbuka membawanya menuju Kalina yang tengah duduk bersandar disuapi makan oleh Revan, di sana juga sudah ada Pak Hari yang sudah stanby menunggu putrinya yang tersadar.Bruk! Kamila langsung melempar tas dan sandal jepitnya, kemudian melompat ke atas brankar saudari kembarnya. "Kamu beneran nggak inget aku? Ayah? Bahkan si ganteng bucin ini?!" Kamila menangkup wajah Kalina dan menepuk-nepuk pipi tirus itu. "Maaf," gumam Kalina penuh sesal.
"Yang, makanan di depan kamar Hendri, kok masih utuh? Emangnya belum kamu kasih?" Bu Dahlia bertanya pada Yayang yang tengah memainkan ponsel sembari bertumpang kaki di ruang TV bersama Thea yang juga melainkan gadgetnya. "Udah aku ketuk dari tadi Hendri nggak nyaut, Ma. Mungkin dia ketiduran," jawab Yayang santai seolah tanpa beban. "Harusnya terus kamu ketuk, dong. Kalau dia sakit gimana? Itu makanan udah dari pagi, loh," tegur Bu Dahlia yang mulai cemas dengan keadaan putra keduanya. "Ya udah Mama tengok aja sendiri, tanggung Yayang lagi ada obrolan bisnis sama relasi," dalih Yayang, padahal kenyataannya dia tengah men-stalking sosial media Kamila dan Wisnu.Bu Dahlia menghela napas panjang. Akhirnya dia berjalan menuju lantai dua untuk memastikan keadaan Hendri. Tok! Tok! Tok! "Hendri! Makan dulu, Nak! Kalau mau protes sama papa kamu jangan pake alasan mogok makan. Mama nggak suka kalau ada orang yang mubajirin makanan, ya! Buruan keluar atau mama minta Pak Ujang buat dobrak
Kamila dan Wisnu yang baru saja tiba di Jakarta, langsung dikejutkan dengan suara sirine ambulans yang terparkir bersama dengan mobil polisi di pelataran kediaman keluarganya. Tangis histeris Bu Dahlia ikut mengiringi jasad putra keduanya yang diangkut menuju rumah sakit untuk dilakukan autopsi guna memastikan penyebab kematian Hendri apa benar bunuh diri. Garis polisi terlihat sudah membentang di depan kamar yang menjadi saksi bisu meninggalnya pewaris kedua keluarga Wijaya yang selama ini dikenal dengan pribadi yang humble dan ceria. Media menduga bahwa penyebab kematiannya adalah depresi akibat skandal yang baru saja terjadi.Kamila menoleh pada Wisnu yang tiba-tiba meraih jemarinya, lalu menggenggam erat. Seperti ada bongkahan batu yang baru saja menghantam ulu hati Wisnu, tapi dia tak bisa mendeskripsikan perasaan itu. Dari arah pintu terlihat Yayang tiba-tiba berlari dan berhambur dalam pelukan lelaki itu. Menangis meraung mengeluarkan semua stok air mata buaya yang dia punya,
Kamila mengempaskan diri ke ranjang, pikirannya jauh menerawang sembari menatap langit-langit kamar. Ada sesuatu yang mengganjal, dan membuat Kamila bimbang. Perseteruan ini bahkan baru dimulai, tapi sudah ada satu nyawa yang melayang. Setelah ini apa? Apakah rencana Kalina akan sebanding dengan rencana jahat yang mungkin sudah Yayang persiapan? Sebagai penonton sekaligus tokoh figuran, Kamila hanya bisa menunggu dalam ketidakpastian. Seandainya dia tahu lebih awal, mungkin keadaan tak akan sepelik ini. Kamila menggulingkan tubuhnya, mengubah posisi dari telentang, menjadi telungkup. Pesan-pesan dari Revan baru saja memenuhi notifikasi setelah Kamila menyalahkan fitur Wi-Fi.From : Revan Hensem[Bagaimana keadaan di sana?][Aku cukup terkejut dengan berita tentang Hendri.][Segera kabari kalau ada sesuatu yang mencurigakan. Untuk sementara mungkin aku akan stay di Surabaya, menjaga Kalina sampai dia pulih sepenuhnya.]Kamila memutar bola mata membaca pesan ketiga bernada posesif it
Suasana duka masih menyelimuti kediaman keluarga Wijaya. Berbagai karangan ucapan belangkawa para kolega dan partner bisnis masih terus berdatangan mengisi sepanjang jalan pelataran sampai pintu masuk kediaman. Terhitung 1 x 24 jam setelah jasad Hendri dikebumikan, pemberitaan tentang wafatnya salah satu pewaris kerajaan bisnis PT. Wijaya Sejahtera itu masih menjadi headline berbagai berita dan surat kabar. Skandal tentang penyimpangan perilakunya mulai tenggelam oleh kasus bunuh diri yang menghebohkan.Para anggota keluarga yang masih berkabung dengan kepergian salah satu anggota keluarga, menunjukkan berbagai ekspresi beragam, ada yang bersikap tenang, bahkan memanfaatkan keadaan, ada yang diam membisu dengan segala kemelut pikiran, ada yang hanyut dengan rasa bersalah tak bersudahan, serta ada pula yang menonton dan menjadi bagian yang kebingungan. "Nyonya besar belum kasih uang belanja, Nya, beliau juga belum keluar kamar dari kemarin. Cici nyimpen cuma seratus rebu di kantong.
"Kenapa kita nggak bawa mamamu ke rumah sakit aja, sih, Wisnu? Jangan bilang nggak ada duit, malu-maluin banget kalian," protes Kamila setelah mengetahui bahwa mereka memutuskan pasien untuk dirawat di rumah."Uang ada, Kal. Lagi pula mama juga punya asuransi jiwa. Papa yang minta mama buat dirawat di rumah, takutnya kalau di luar terjadi sesuatu yang tak diharapkan," tutur Wisnu menjelaskan setelah mereka berdua tinggal di kamar. "Bukannya lebih baik kalau di rumah sakit, ya? Kalau ada apa-apa tinggal panggil dokter atau perawat, sedangkan di sini, siapa yang bakal tanggung jawab?" cetus Kamila bersikeras. "Yayang yang akan merawatnya.""Cih." Kamila mendengkus. "Si Kuyang diandelin. Dia, kan ular berbisa yang bisa matok dari mana aja.""Kal. Sejak kapan kamu suka berpikiran buruk tentang orang?""Sejak kenal si Yayang. Pokoknya segala yang dia lakuin mencurigakan. Kamu jangan terlalu deket sama dia. Selain ular, dia juga bisa merangkap jadi ulet. Gatel!"Wisnu menghela napas panja
*Foto*[Tebak, kehebohan apa yang baru terjadi gara-gara karangan bunga ini?]Revan tertegun membaca pesan berikut gambar yang baru saja Kamila kirimkan. Tanpa berniat membalasnya, dia langsung menutup ponsel, lalu beralih pada Kalina yang tengah duduk sembari merajut di kursi santai, balkon apartemen yang sempat ditempati Wisnu dan Kamila. Yaitu The Peach Residence.Lelaki berkulit putih itu beranjak dari tempat sebelumnya, kemudian menghampiri Kalina dan mengambil tempat di sampingnya. "Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Revan.Kalina menghentikan kegiatan merajutnya dan menoleh pada lelaki itu. "Rasanya aneh. Aku terbangun setelah koma hampir tiga bulan, mendapati seseorang yang sangat mirip denganku menggantikan posisiku. Belum lagi janin yang tumbuh di rahim ini. Apa anak ini benar-benar aku inginkan?"Revan cukup tertegun mendengar pernyataan yang baru saja keluar dari mulut perempuan berambut panjang itu."Apa maksudmu, Kal? Kamu bahkan membutuhkan waktu sepuluh tahun pena