"Orang tuamu 'kan di sini juga. Jangan lebai, ah!" Raihan masih sibuk memberesi barang-barangnya."Engga. Mereka langsung pulang kemarin setelah pesta. Mak minta pulang."Raihan sama sekali tidak ingat jika kedua mertuanya sudah berpamitan kemarin sore. "Hmm! Terserahlah."Aira tersenyum. Hatinya bahagia karena Raihan menyetujui rencananya. Sebenarnya Aira masih berat langkah untuk pergi jauh dari mak dan abahnya. Hanya saja, menjadi istri yang baik dan patuh adalah salah satu cita-citanya selama ini.Setelah sarapan, Aira dan Raihan bersiap-siap untuk mengunjungi mak dan Abah. Sebelumnya mereka terlebih dahulu berpamitan pada Bu Hafsah. Banyak nasehat yang diberikan Bu Hafsah untuk anak dan menantunya. Apalagi Aira masih berumur dua puluh tahun. Masih muda untuk menjadi seorang istri."Jaga Aira baik-baik, Nak. Hanya kamu yang dia miliki di sana. Ditambah dia masih sangat muda. Jadi, kamu harus ekstra sabar menghadapinya."Hafsah berpesan pada putra semata wayangnya. Sesekali wanita
"Mas, kamu pindah ke atas, ya. Aku saja yang tidur di bawah." Aira berusaha membangunkan Raihan yang sudah terlelap. Gadis itu baru saja masuk ke kamarnya. Sejak tadi ia duduk ngobrol dengan kedua orang tuanya di ruang tamu. Malam terakhir ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Aira sebagai malam pelepas rindu. Entah kapan ia bisa menjenguk lagi Mak serta Abahnya itu. Walau jarak Surabaya-Malang tak terlalu jauh, akan tetapi susah memastikan banyak hal ke depan. Karena Aira tahu jika ia tak sebebas lagi seperti sebelum menikah."Mas. Nanti kamu kedinginan di sini. Tidur di ataa aja, ya." Aira kembali membangunkan Raihan. Namun, lelaki itu bergeming. Aira memberanikan diri untuk menyentuh bagian tubuh suaminya yang tertutup selimut.Saat tangannya menyentuh bahu Raihan, Aira terkejut. Tubuh Raihan terasa panas. Tanpa menunggu lama, Aira pun mencoba meyakinkan dengan cara menyentuh pipi serta dahi Raihan."Astaghfirullah. Kamu demam, Mas? Ya Allah. Gimana ini?"Aira panik dan berulang mel
(POV AIRA)Aku menatap lurus ke depan. Pertanyaan yang Raihan lontarkan sungguh membuat hati teriris. Lelaki yang duduk di belakang kemudi itu tak pernah berpikir sebelum berbicara. Ia seolah mengabaikan perasaan lawan bicaranya."Kok ngomong gitu, sih, Mas? Tujuan aku nikah sama kamu, ya, mau bahagia. Itu saja.""Halah! Coba jika yang lamar kemarin bukan aku. Coba kalau kamu dijodohkan dengan orang lain, pengangguran, apa kamu mau?" Dia semakin menjadi-jadi."Tujuan menikah itu untuk memperbaiki diri, pasangan, kehidupan dan meraih keridhaan Tuhan. Aku ngga bisa milih, harus dengan si ini, dengan si itu. Pengusaha sukses atau pengangguran. Toh, semuanya Allah yang gerakkan. Kamu dan ibu datang ke rumahku bukan berjalan dengan sendirinya, tapi ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Lalu, jika yang datang melamar dulu seorang pengangguran, apakah aku menerima atau menolaknya? Aku ngga tau harus jawab gimana. Aku bilang engga, tapi Tuhan bilang iya. Aku bilang iya, tapi Tuhan bilang engga
(POV RAIHAN)Perempuan satu ini memang menyebalkan!Bisa-bisanya dia muntah dalam perjalanan. Sudah udik, kuno, malu-maluin lagi. Duh! Ibu, kenapa pula istri macam ini yang kau sukai? Apa tidak ada wanita cantik nan elegan, gitu?"Hati-hati, kalau muntah di dalam mobilku, kamu harus bersihkan sampai bersih!" seruku padanya sebelum dia terbirit-birit keluar dari mobil. Sambil menutup mulutnya, Aira berlari menepi di pinggir jalanan yang sepi. Dia terlihat pucat, tapi apa peduliku. Beberapa saat aku menunggu perempuan itu di sisi pintu mobil. Tak lama kulihat ia berjalan sempoyongan ke arahku. Entah kenapa refleks saja aku sedikit berlari dan segera menangkap tubuhnya yang limbung.Alamak! Bau muntah pula!Setelah membawanya masuk mobil, aku segera membersihkan baju serta tanganku menggunakan tisu basah yang tersedia. Lengkap sudah, selain udik, kuno serta malu-maluin, ternyata dia juga jorok! Fiks, dia sukses membohongi Ibu. Aku semakin yakin jika perempuan ini memakai cara yang tidak
(POV RAIHAN)Otakku seperti di-refresh saat menginjakkan kaki di rumah. Bertemu Pak Tono serta Mbak Ayu. Dua orang kepercayaanku selama ini. Ya, walaupun Aira ikut denganku, tapi posisi sekarang akulah yang berkuasa.Setelah memperkenalkannya pada Mbak Ayu, aku pun menuju kamar. Ingin melepas lelah dan stres setelah menikah. Tak peduli apa yang ada di benak mereka. Apalagi Mbak Ayu, dia tahunya aku pulang karena ingin menjenguk Ibu, eh, tau-taunya balik ke sini bawa seseorang yang mengaku istri.Aku beristirahat cukup lama. Rasa lapar membuatku beranjak menuju dapur. Sekaligus penasaran juga ingin melihat gadis kurus itu sedang melakukan apa."Mbak, mana Aira?""Pak Raihan, mah, begitu. Suka ngangetin. Bu Aira di kamarnya, Pak. Istirahat.""Kok bisa? Lalu Mbak Ayu yang masakin ini semua?" tanyaku dengan nada suara naik satu oktaf."Iya. Biasanya, kan, juga begitu, Pak."Mana bisa aku terima. Aku segera berjalan menuju kamar si gadis kurus. Beberapa kali aku harus mengetuk pintu, dan b
(POV AIRA)Aku kaget mendengar usulan yang Mas Raihan paparkan. Bisa-bisanya dia mendapatkan itu seperti itu. Apa yang terfikirkan dalam benaknya tentang pernikahan kami?Tidak bisa kubayangkan bagaimana reaksi Ibu, Mak serta Abah jika mengetahui rencana gila Mas Raihan. Dia pikir aku akan diam saja? Ini rumah tanggaku. Dia suamiku. Aku berhak mempertahankan kelangsungan pernikahan kami. Urusan dia tidak peduli, yo wes! Aku masih punya Allah, kok. Mas Raihan bisa apa kalau Sang Pencipta menggagalkan semua rencananya?***"Mas, makan yuk!"Bismillah, sekuat tenaga kuredam rasa sesak yang sempat menyerang. Jujur, aku sedih saat ia menyarankanku untuk menghancurkan pernikahan kami. Malah dia akan mencari orang lain yang bisa membuat hatinya berbunga-bunga. Dia menjadikan jika ini adalah pernikahan mainan, dengan mudah bisa diputuskan seperti layang-layang.Mulai hari ini aku akan memikirkan cara untuk meluluhkan hati Mas Raihan."Mas, ayuuukk!" seruku sambil tersenyum manja. Rasanya malu
(POV AIRA)"Mas, pelan-pelan," tegurku sambil menarik lengan Mas Raihan. Lelaki yang berada di depanku ini tampak semringah. Ia terlihat bersemangat mengitari deretan baju terusan yang digantung berdempetan. Entah bahagia karena menghabiskan bersamaku, atau karena pertemuan dengan Safia sebelum ashar tadi."Ra, kamu mau yang mana bajunya?" tanya Mas Raihan sambil ikut memilihkan baju untukku."Ngga tau, Mas. Kalau sudah banyak begini, aku suka bingung.""Bingung kenapa? Tinggal pilih aja, kok." Mas Raihan menegaskan."Bingung karena di dekat kamu.""Hm! Mulai, deh!" Mas Raihan melirikku lucu."Iya. Mulai belajar untuk mencintai kamu." Kali ini, sih, bukan iseng, ya. Aku serius!"Aduh! Bisa aja bocah!" seru Mas Raihan. Sebelah tangannya menjawit daguku.Dia berjalan ke arah lain. Sementara aku diminta untuk tidak berlama-lama lagi memilih baju. Hari sudah malam. Kami harus segera pulang.***Sesampai di rumah. Aku memilih masuk kamar, mengganti pakaian dan merebahkan badan. Beberapa ka
(POV RAIHAN)Dasar bocah! Bisa-bisanya dia menjebakku di dalam kamarnya. Berpenampilan menggoda tanpa mengenakan jilbab serta berpakaian tidak seperti biasanya.Aku gugup menahan napas. Bagaimana tidak! Aira terlihat sangat berbeda tanpa balutan baju panjangnya. Jika saat mengenakan pakaian tertutupnya, gadis itu begitu misterius dan susah ditebak, akan tetapi saat berpenampilan seperti tadi malam, dia terlihat menggemaskan dan menggoda tentunya.Lalu apakah aku jatuh cinta? Tentu tidak semudah itu, dong. Cinta dan kagum adalah dua hal yang berbeda. Tidak bisa dikait-kaitkan. Sekarang ini, aku hanya berada dalam lingkup sebatas kagum melihat Aira. Tidak lebih. Aku kagum pada usaha kerasnya untuk meluluhkan hatiku. Namun, itu hanya sia-sia belaka. Dia melakukan hal mustahil yang jelas-jelas tidak akan tercapai.***Pagi ini aku hendak berangkat kerja. Aira sudah siap menungguku di meja makan. Selama dia berada di rumah ini, aku tidak lagi sendirian menghadapi makanan di meja makan."M
"Menuruti emosi dan keras kepala hanya akan merugikan, dan penyesalan adalah hadiah yang tepat untuk diterima."***Aku duduk termenung di depan gundukan tanah Merah yang masih basah. Aroma khas dari tanah yang disiram rintik hujan menyapa lembut di indra penciuman. Para pelayat yang lain sudah meninggalkan tanah pekuburan. Hanya aku, Abah, Mak, Ibu serta beberapa tetangga dekat yang masih bertahan.Kami masih khusyu dengan doa masing-masing. Terutama aku, banyak hal yang masih kupertanyakan pada Tuhan, juga banyak hal yang akan kupinta pada-Nya. "Raihan, sudah. Kita pulang. Sebentar lagi hujan lebat," ujar Abah. Sebelah tangannya berada di pundakku. Aku bergeming. Hanya menggeleng saja tanpa menoleh ke arah Abah. "Besok dilanjut lagi, Nak Raihan. Kamu juga harus istirahat. Semalam kamu belum tidur." Kudengar suara Mak ikut menimpali. "Aku masih ingin ngobrol dengan Aira, Mak, Bah. Aku masih mau di sini.""Ya sudah. Kami pergi terlebih dahulu, ya. Ibu tunggu di rumah mertuamu."Aku
"Aira....!"Aku berteriak nyalang. Bungkusan rujak di dalam kantong lepas di tangan. Mak dan Abah berbalik badan. Tangis keduanya semakin menjadi saat melihatku masih berdiri di belakang mereka.Aku menubruk tubuh Aira dan segera mengangkatnya sambil berlari ke luar rumah. Darah segar masih saja tampak mengalir menyentuh telapak kaki wanita yang sudah sangat pucat ini. Panik dan bingung membuatku tak bisa berpikir jernih. Di belakangku Mak dan Abah masih menangis sambil ikut berlari mengikutiku. "Aira. Bangun, Sayang. Ini Mas datang. Mas bawa rujak pesananmu, Sayang."Aku menunggu Abah dan Mak masuk di bangku belakang. Kemudian aku meletakkan Aira perlahan di atas pangkuan mereka. "Raihan. Cepat, Nak. Aira sudah sangat lemah."Tanganku gemetar saat memasukkan kunci ke dalam lubangnya. Tubuhku pun telah basah oleh keringat dingin. "Bah, ajak Aira bicara. Buat dia selalu sadar."Entah ilmu dari mana itu, yang ada di pikiranku adalah Aira harus sadar. Jangan sampai dia tertidur selama
POV RAIHAN***Setelah menghabiskan waktu satu jam menelepon Aira setelah subuh tadi, pagi ini aku berkemas dengan semangat. Tak sabar ingin menyelesaikan pekerjaan dan segera menjemput Aira di Surabaya. Aku ingin memeluknya dan bersimpuh di kaki wanita itu. Kesalahanku padanya sudah menggunung. Kuhadapi meja makan seorang diri. Biasanya selalu ada Aira menemani. Kali ini aku sarapan tanpa ditemani tatapan penuh cinta istriku. Aku sungguh menyesal telah menyia-nyiakannya beberapa hari ini. Mendiamkan Aira tanpa mempedulikannya sama sekali. Ponsel bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dan segera kubuka. Aku berharap itu adalah Aira. Benar saja, sebuah pesan masuk dari istriku. [Apa Mas masih menyimpan rasa untuk Safia?]Apakah dia masih belum percaya dengan penjelasanku kemarin? Yang dilihat oleh Aira di dekat lampu lalu lintas itu bukanlah sebuah kesengajaan. Lagi pula Safia telah menjadi istri orang. Dia adalah masa lalu yang sudah kukubur dalam-dalam. Jika pun sekarang aku be
"Pak, para klien sudah berkumpul di restoran, bapak di mana?" tanya Omar di seberang telepon. Aku menancap gas agar tak terlambat. Masih tersisa setengah jam lagi."Iya. 15 menit lagi. Minta mereka untuk menunggu sebentar lagi.""Bu Aira bagaimana?""Mereka sudah pergi. Kami selisih di jalan."Aku baru saja dari kafe yang disebutkan Aira tadi malam. Namun, setiba di sana, menurut karyawan kafe, mereka baru saja keluar dari tempat tersebut. Aku tidak menemukan siapa pun. Bermaksud menelepon Aira, ponselku pun tertinggal di dalam mobil. Begitu berada di dalam mobil, aku malah lupa menghubungi Aira karena panik mengejar waktu agar tak terlambat. Benar saja, ternyata para klien telah menunggu di restoran bersama Omar."Pak, saya boleh minta tolong? Safia di dalam taksi sekarang hendak menemuiku. Menurut Safia, sopir taksi tersebut sedang terburu-buru. Anaknya meninggal. Bisa Pak Raihan menunggu Safia sebentar. Posisinya ngga jauh dari posisi bapak sekarang.""Wah, kenapa dia ngga menumpa
Berulang kali Aira menghubungi suaminya, akan tetapi Raihan tidak memberikan respon apa-apa. Aira merasa khawatir, karena sebentar lagi mereka akan tiba di lokasi tempat yang telah ditentukan. Adit juga telah mengirim pesan di IG sejak tadi, lelaki itu memberitahukan pada Aira jika ia telah tiba sejak tadi dan sedang menunggu kedatangan Aira. "Lu yakin, Ai, mau jumpa Adit tanpa suami lu?" tanya Lita. Wanita itu telah melambankan laju mobilnya. Aira tak menjawab. Ia hanya menaikkan bahu pertanda bimbang. "Ngga pa-pa, deh! Kalau suami lu memang ngga bisa datang, kami saja yang akan menghandel semuanya," ucap Sania kemudian. Aira merasa tak mungkin membatalkan pertemuan dengan Adit. Ini adalah kesempatannya untuk berbicara dengan lelaki itu. Padahal sudah sejak tadi malam Aira memberitahukan pada Raihan, agar lelaki itu bisa meluangkan sedikit waktu untuk pertemuan yang telah direncanakan. Namun, dia malah tak bisa dihubungi. Aira memantapkan diri untuk keluar dan segera menemui Adi
POV AIRA***Mas Raihan meneleponku. Dia marah karena Lita serta Sania menghubunginya. Dua sahabatku itu memang keras kepala. Sudah kukatakan agar jangan menghubungi Mas Raihan, tapi mereka tetap melakukannya. Percuma menelepon Mas Raihan, apa lagi menjelaskan semuanya tanpa bukti yang akurat. Mas Raihan tidak akan percaya karena dia mengira jika aku dan kedua sahabatku pasti bersekongkol. Aku tetap menghubungi Adit dan menetapkan jadwal pertemuan kami besok. Dari cara-cara lelaki membalas pesanku, dia terlihat sangat antusias. [Wow! Akhirnya aku bisa melepaskan rindu bersamamu, Cantik!]Muak aku membaca pesan balasan dari Adit. Kita lihat saja besok apa yang akan terjadi. [Kamu memang jahat, Dit. Tega sekali mau merusak rumah tanggaku.]Aku membalas pesan lelaki itu. [Lho! Aku ngga suka lihat suamimu, Ai!]Terserah juga dia mau bilang apa, aku akan menyelesaikan semuanya besok. Mas Raihan juga telah kuajak untuk ikut serta. Lelah rasanya berlarut-larut dalam masalah ini. Ditambah
POV RAIHAN***Sebenarnya aku tidak tega bersikap terlalu keras pada Aira. Apalagi kondisinya sedang hamil. Melihat dia menangis saja, hatiku sudah ketar-ketir. Namun, entah dari mana saja datangnya, emosi kian tersulut saat foto-foto tak senonoh yang diperlihatkan oleh lelaki keparat itu bermain di pikiranku. Hati siapa yang sanggup menerima jika pasangannya pernah ditiduri oleh orang lain? Kurasa tidak ada yang mau menerima kenyataan itu. Apakah aku harus lebih mempercayai Aira dari pada Adit? Siapa di antara mereka yang berbohong? Aku meraih ponsel dan membuka galeri. Mencoba melihat lagi foto tersebut. Tampak wajah Aira tersenyum semringah, ia terlihat seperti sangat menikmati suasana. Berada di sisi sang lelaki yang sedang memeluknya. Emosiku kembali bergejolak. Bagaimana tidak, Aku merasa ditipu mentah-mentah. Aira telah membohongiku sejak awal. Dia tidak jujur dan terkesan menutup-nutupi kejadian yang telah dialami. Apakah ini adalah salah satu trik agar rencana pernikahan ta
"Lu tau ngga kalau gue dan istri lu saling mencintai?"Aku kaget saat mendengar penjelasan Adit. Lelaki yang tadi malam telah membuat Aira menangis. Kami tidak bertemu di kafe seperti yang kusampaikan pada Aira. Ya, aku membohonginya agar ia tidak khawatir. Aku mengajak lelaki itu bertemu di tempat kerjaku. Di ruanganku. Awalnya kukira ia akan menolak, ternyata dia datang dan menunjukkan keberaniannya. "Tapi istri gue ngga ngomong gitu, Bro! Ngarang lu!" Aku tidak setuju dengan ucapannya. Aira adalah orang yang jujur, aku yakin itu. "Wih! Cinta banget lu sama Aira? Sama! Gue apalagi!"Hatiku terbakar dibuatnya. Bisa-bisanya dia berbicara seperti itu di depanku, suami Aira. "Dia cantik, bukan?"Seringain Adit membuat tanganku mengepal. Dia seperti sengaja mempermainkan emosiku, tapi tetap kutahan dan mencoba tersenyum. Aku menebak jika lelaki yang duduk di depanku ini sedang berusaha membuatku cemburu. "Tentu, kalau tidak mana mungkin gue nikahin!""Sayangnya dia sudah tutup wajahn
POV AIRA***Sakit sekali rasanya ketika Mas Raihan tidak mempercayaiku sama sekali. Padahal aku tidak berbohong. Justru dialah yang sedang dibohongi oleh Adit, lelaki pecundang yang tak henti-hentinya mengangguku. Tidak ada cara lain untuk membuktikan kebenaran. Menghubungi Lita dan Sania adalah satu-satunya jalan keluar. Sudah beberapa bulan ini aku memang belum pernah menghubungi mereka berdua. Mereka harus segera tahu kejadian yang menimpaku. Membantuku mencari kebenaran informasi mengenao foto yang dipermasalahkan oleh Mas Raihan. Foto seperti apa yang telah diperlihatkan oleh Adit sehingga membuat Mas Raihan sangat murka? Pagi ini badanku terasa berat untuk diajak bangun cepat. Aku memilih kembali tiduran setelah mengerjakan salat subuh. Sedangkan Mas Raihan sudah bersiap-siap hendak pergi bekerja."Mas, aku ngga temenin sarapan, ya. Rasanya malas banget bangun."Tak ada jawaban.Hmm! Masih pagi, tapi suasana sudah panas. Mas Raihan masih tak menggubrisku, akan tetapi aku tak m