Kecupan pertama
Sesampainya di rumah, aku berinisiatif untuk membantunya berganti pakaian, tetapi Kak Zaki menolak halus membuatku jadi merasa bersalah. Sepanjang perjalanan pulang dari rumah sakit, Kak Zaki diam saja. Tidak bicara sepatah katapun, padahal tadi katanya mau pergi jalan-jalan, tetapi kami berakhir di rumah. Ini semua salahku, andai saja tadi aku tidak berdiri terlalu dekat di depannya, semua ini tidak akan terjadi. Mana aku tahu kalau ada anak kecil berlarian dan menyenggol tubuhku yang mengakibatkan tubuhku jatuh menimpa tubuh Kak Zaki. Yang paling fatalnya lagi, kami berkecupan di tempat umum. Beruntungnya Kak Zaki tidak marah saat itu, aku sendiri terkejut, kenapa jatuhnya harus di posisi seperti itu. Padahal hanya ingin membersihkan es krim yang belepotan di bibir Kak Zaki. Akh, aku jadi salah tingkah di depan Kak Zaki, bingung harus bagaimana, sepertinya Kak Zaki tidak suka, oleh sebab itu dia diam saja sejak pRUANG BAHAGIA Sayup-sayup terdengar suara azan subuh mulai memanggil setiap umat muslim untuk menunaikan salah subuh. Aku bergeliat untuk merenggangkan tubuh. Begitu membuka mata aku terkejut saat tangan Kak Zaki melingkar di tubuhku. Aku mematung berpikir bagaimana kalau dia bangun dan melihat ini, mungkin akulah yang disalahkan, kenapa berani untuk tidur di sebelahnya apalagi di ranjang miliknya ini. Aku berusaha membangunkan Kak Zaki, tetapi pria itu justru makin mengeratkan pelukannya sambil mengoceh tak jelas. Aku terpaku, haruskah mempetahankan posisi ini sampai dia bangun. Akh, tidak bisa, aku harus keluar dari tempat ini, karena harus salat. “Kak.... Kak Zaki,” elusku lembut pada lengannya. “Hmmm.” “Ayo bangun sudah pagi, Rumi mau salat subuh.” “Tunggu, sebentar lagi.... aAu kedinginan Rum, mau peluk kamu,” ocehnya dengan mata terpejam. Aku nyaris tidak percaya apak
DEBARAN Aku beranjak ke kamar begitu semua urusan perdapuran selesai. Karena Kak Zaki bilang akan pergi ke rumah sakit aku harus mempersiapkan keperluannya. Begitu sampai di kamar, kupikir Kak Zaki sudah bersiap ternyata masih duduk di atas ranjangnya, entah apa yang dia lakukan. “Kak, Rumi pikir udah bersiap, ternyata.....” Langkahku terhenti begitu melihat lebih dekat wajah Kak Zaki yang meringis menahan sakit. “ Kak Kenapa?” tanyaku khawatir berlari ke arahnya segera. “Aduh, Rum.... Tanganku sepertinya terkilir.” “Kok bisa?” ucapku cepat segera melihat lengan yang dipengang oleh tangannya. “Ya biasalah. Aduh, pelan-pelan, Rum,” lirihnya menahan sakit. “Astaga, Kak. Kok nggak hati-hati sih.” Aku memijat tepat di sikunya lalu Kak Zaki setengah berteriak. “Udah, kita nggak usah jadi ke dokter aja, Rumi panggilkan tukang pijat langganan Kak Zaki aja ya.” Kak Zak
DIA YANG DARI MASA LALU“Membiarkan mereka berdua bicara adalah sebuah kesalahan.”Kak Zaki harus menelan kecewa sebab dokter menyarankan dirinya harus banyak istirahat dan belum boleh terlalu banyak gerak. Jelas perbedaannya bergerak di saat tubuh berbaring dengan pergerakana kaki saat berjalan. Gerakan yang telalu tiba-tiba dan reflek bisa mengakibatkan ngilu yang tidak tertahankan. Oleh sebab itu dokter menyuruh Kak Zaki untuk menahan keinginannya dan berlatih lebih giat selama dua minggu ini. Aku tersenyum melihat raut wajah Kak Zaki sejak keluar dari ruangan Dokter Hasan. Wajah itu terlihat kecewa dan menahan getir, tetapi menahan malu setengah mati juga saat dokter Hasan tersenyum sambil mengatakan. “Pak Zaki, menahan diri karena hasrat adalah sebuah pahala, nikmatnya puasa ada setelah berbuka. Untuk saat ini puasa, menahan semua nafsu yang ada di tubuh, maka setelah itu nikmat dan berkahnya akan dituai saat waktunya berbuka.Sabar ya, Pak.” Dokter Hasan menahan se
MASALAH BERTUBI-TUBI“Walau perih, tetapi aku harus bersikap bijak dalam hal ini” Sepanjang perjalanan dari rumah sakit aku lebih banyak diam begitupun dengan Kak Zaki. Mode dingin kembali merasuki jiwanya. Setelah selesai bicara dengan Tiara, Kak Zaki memutuskan untuk pulang, lagipula hari sudah sore, tidak mungkin lagi mengajaknya untuk singgah ke toko musik walau sebentar. Taksi online melesat cepat membawa kami sampai di rumah dengan selemat. Kubantu Kak Zaki turun dari mobil dan memperhatikan langkahnya supaya tidak terjatuh. Masih membopongnya untuk masuk ke dalam rumah selangkah demi selangkah. “Kenapa, Kak? Apa nyeri?” tanyaku khawatir memastikan kondisi kakinya.“Bukan kakiku, Rum, tapi tanganku yang nyeri.” Aku melirik lengan kirinya yang masih terlihat bengkak. “Besok kalau masih sakit, panggil Kang Sardi aja lagi, Kak.”“Nggak bisa, Rum. Kalau bengkak gini di urut malah makin sakit, kamu nih gimana sih. Senang kamu lihat a
GUSAR “Perasaan ini masih ada untuknya, tetapi hati ini gusar karena sebuah nama yang singgah sementara” “Apa yang harus kulakukan, Rum? Apa yang harus kulakukan?” Isaknya menahan perih. “Aku marah, sangat marah padanya, tapi jujur, aku senang melihatnya setelah sekian lama. Paras yang kurindukan kini hadir di hadapanku menawarkan kebaikan untukku.” Aku mencoba kuat, tersenyum di hadapannya untuk menguatkan dirinya yang terlalu rapuh dengan perasaannya sendiri. Sambil mengangkat kedua lengannya dan kuletakkan di dadanya. “Tanya hati Kakak, karena Kakak yang tahu jawabannya. Apakah dengan menerimanya kembali akan menjadikan diri Kakak lebih baik atau malah sebaliknya.” “Tapi, Rum....” “Rumi tahu tidak pantas mengatakan hal ini. Tapi, Rumi tidak ingin Kak Zaki berada dalam keraguan. Kak Zaki sudah punya Rumi yang akan bantu segala hal yang Kakak butuhkan, toh Kakak nggak perlu orang lain untuk itu. Tapi, Rumi tidak
PERTENGKARAN“Aku butuh kejelasan, sebenarnya seperti apa aku di matamu.”Selesai salat berjamaah, tidak satupun dari kami mengungkit apa yang terjadi tadi malam. Daripada mengungkit hal itu lebih baik membahas hal lain atau diam. Selepas itu, aku menyibukkan diri, membaca buku dan menulis tentang apa saja yang ingin kulakukan hari ini. Sementara Kak Zaki berbaring sambil bermain ponsel di atas tempat tidur. Berdua dalam satu ruangan tidak menjadikan kami sering mengobrol, apalagi habis berselisih tadi malam. Sedikit ada rasa canggung untuk memulai. Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi, aku bergegas ke belakang untuk menjemur pakaian, lalu menyiapkan sarapan yang sudah kumasak sejak subuh tadi. Menyiapkan piring dan gelas di meja makan agar Kak Zaki tidak perlu mondar- mandir mengambilnya. Hening sejak kedatangan kami di meja makan, hanya suara sendok dengan piring yang saling beradu. Tidak ada pembicaraan sedikitpun sampai ponselku berbunyi. Aku be
LEPAS BAHAGIA“Gimana mau bosan, kalau kamu aja selucu ini”Ditepi tempat tidur sambil bersandar pada kepala ranjang, kedua tangan diamit erat seolah tidak ingin lepas. Pipi ini sudah jelas seperti kepiting rebus yang siap di santap, senyum pun merekah bak bunga mekar. Pria itu tidak lagi bertelanjang dada, sejak tadi sudah dibantu untuk memakai pakaian setelah memutuskan untuk berdamai. Sambil mengelus kepalaku yang sudah tidak berjilbab, dirinya entah sudah yang keberapa kali mendaratkan kecupan di kepala ini. “Ih, Kak jangan sering-sering,” tolakku saat satu kecupan mendarat lagi di kening ini. “Loh, kenapa? nggak suka?” tanyanya dengan wajah terkejut sambil menangkup wajahku. “Hmmmm, bukan.” Sungguh malu sekali melihat Kak Zaki dalam posisi yang berjarak sempit ini. “Terus kenapa?” tanyanya lagi tanpa memperbolehkan diri ini berpaling. “Nanti Kakak bosan,” ucapku asal tapi sukses membuat dia tertawa keras. “Gimana
COMTEMPLATION“Dirinya terlalu samar untuk diriku yang butuh kejelasan.”Masih dengan posisi yang sama, meringkuk memeluk lutut sambil merenungi kesalahanku hari ini. Tangis belum juga reda dan dada masih terasa sesak. Kuliirik jam yang berdentang menunjukkan pukul 9 tepat, tanpa sadar berada di posisi ini sudah dua jam lebih. Ponselku berdenting, sebuah pesan masuk dari Bang Kemal.[Rum, sudah di mana?]Begitulah bunyi pesan itu yang tampil di layar bar tanpa membuka aplikasi pesan itu langsung terbaca. Karena terlalu hanyut dengan perasaan ini membuatku lupa mengabari Bang Kemal. [Maaf ya, Bang. Rumi nggak bisa hadir. Kasihan Kak Zaki nggak ada yang temani.]Seperti itulah alasanku, setelah itu kumatikan ponsel tidak ingin diganggu oleh siapapun. Aku masih ingin meresapi perasaan ini, memikirkan bagaimana caranya untuk meminta maaf kepada Kak Zaki. Keras dan angkuhnya itu belum bisa terpatahkan. Kak Zaki terlalu samar untuk kutelus
WISUDA POV ZAKI. Sejak keluar dari rumah hingga sampai di pelataran auditorium kampus, aku tidak melepas genggaman ini dari tangan Rumi. Dirinya sampai mengomel karena aku tidak melepas pegangan tanganku padanya. “Sebentar aja, Kak, Rumi mau ke toilet,” ucapnya padaku yang berusaha melepas pegangan tangannya. “Yaudah, aku ikut. Aku tunggu di luar.” Dia melotot menatapku, kuabaikan saja berpaling menatap ke arah lain. “Astaga, Kak Zaki. Rumi cuma ke situ, toiletnya dekat.” “Emang salah kalau aku ikut? Ya aku mau jagaian kamu,” balasku tak mau kalah, seulas senyum kuberikan untuknya sebagai peredam amarahnya, tetapi tampaknya tidak berhasil. Kuabaikan lirikan Rumi yang seolah ingin memakanku hidup-hidup. Rumi melangkahkan kakinya dan kuikuti berdampingan dengannya. Tangannya kugenggam erat agar dia tidak menjauh dariku.
PRIA LAIN“Kalian berdua sama pentingnya di hati ini. Nggak mungkin aku harus memilih” Pagi ini aku bangun lebih awal, sebab jam 8 nanti ada undangan dari Bang Kemal untuk menghadiri acara wisudanya. Masalah kemarin sudah selesai, nggak diperpanjang dan berlarut. Kami sama-sama minta maaf. Kak Zaki sudah menjelaskan padaku tentang Tiara. Perasaan itu berubah sejak lama, saat Tiara mengabaikannya, tidak ingin tahu tentang dirinya. Kalaupun Tiara merasa kehilangan Kak Zaki, harusnya Tiara mencari bukan malah menghilang tanpa kabar. Dia katakan kalau Tiara banyak berubah, bukan seperti wanita yang dikenalnya dulu. memang sejak dulu Tiara ambisius, tetapi sekarang jadi lebih terobsesi ingin kembali pada Kak Zaki, padahal Kak Zaki sudah menolaknya. “Kakak, pakai baju ini?” tanyaku saat melihat Kak Zaki mengeluarkan kemeja batik berwarna hijau botol dengan celana hitam berbahan kain. Dia menatapku sekilas
PROBLEM“Terima kasih karena sudah peduli dan khawatir” Aku menghela napas pelan berjalan lunglai melewati tiang-tiang koridor perpustakaan. Napas ini sesak, bukan karena Kak Zaki, tetapi lebih kepada diri sendiri. Mulai dari pergi menuju kampus kesialan sudah mengikutiku. Ban taksi online yang bocor di tempat sepi, membuat sopir taksi tersebut kewalahan melakukan pergantian ban sendiri dengan peralatan seadaanya. Begitu tiba di kampus dosen pembimbing sudah tidak ada lagi, beliau pergi karena menunggu terlalu lama. Entah bagaimana nanti aku menemuinya karena sudah membuatnya menunggu. Aku mengutuki diri, mungkin ini adalah salah satu pelajaran karena mengingkari dan mengabaikan ucapan Kak Zaki. Dia melarangku pergi, tetapi aku paksa untuk pergi, alhasil begini hasilnya. Allah langsung menegurku dengan berbagai rentetan kejadian di luar kuasa diri. Getaran dari dalam tas membuat langkahku terhenti, menepi se
SALAH PAHAM “Siapa, Kak,” tanyaku dari dalam sambil berjalan ke arah pintu. Langkah kaki ini terhenti begitu pintu kubuka lebar. “Kak,” lirihku pelan menatap Tiara berpelukan dengan Kak Zaki, dirinya tesenyum ke arahku sambil mengedipkan sebelah matanya. “I miss you,” bisiknya sengaja di depanku sambil melirik. Kak Zaki menoleh, dia segera melepaskan pelukan wanita itu dan berjalan pelan ke arahku perlahan. “Rum,” desisnya sembari meraih tangan ini. Namun, tanpa diduga tangan yang berusaha meraih tangan ini kutepis begitu saja, refleks karena merasa kecewa dengan apa yang sudah kulihat. Kutatap kedua netra Kak Zaki yang terlihat seperti memohon. “Rum, dengar sebentar, Sayang,” ucapnya lembut sambil memegang tanganku lagi. Mata ini sudah memupuk air yang siap
UNGKAPAN Aku masuk terlebih dahulu membiarkan Kak Zaki yang masih diteras memandang ke arah jalan, seolah tengah menunggu seseorang. Mulai dari membereskan ruang tamu juga sisa piring yang masih ada di wastafel belum aku bersihkan. Oh ya, aku lupa mengecek ponsel yang belum sempat kuperiksa tadinya. Kubuka ponsel dan melihat beberapa banyak pesan masuk dan panggilan tidak terjawab dari Bang Kemal juga Riyan. [Rum, kamu baik-baik aja, kan?] [Apa Zaki melarangmu datang?] Jariku berhenti tepat di pesan tersebut begitu membacanya, seolah Bang Kemal tahu apa yang terjadi. Pantas saja tatapan pria itu tidak sedikitpun terusik dengan apa yang Kak Zaki lakukan, dia masih terlihat santai di saat Kak Zaki melakukan aksi konyolnya tadi. [kamu nggak bisa di hubungi, nggak terjadi apa-apa, kan?] [Nanti aku sama Riyan mau datang ke rumah menjenguk kamu.] Ak
DEBAT KUSIRPOV KEMALAku menunggu Riyan di meja pantry yang ada di dapur Rumi. Sambil main ponsel melihat dokumentasi kegiatan yang baru dilakukan hari ini bersama pihak yayasan chariety peduli rumah singgah. Aku tersenyum senang melihat wajah-wajah semringah anak-anak rumah singgah yang senang mendapat bantuan dari para relawan. Selain itu juga sebagai pendiri rumah singgah, yayasan tersebut mengucurkan dana berupa bantuan untuk membangun bangunan sekolah semi permanen agar dindingnya tidak beralaskan kardus lagi. Aku banyak mengucap syukur, setidaknya apa yang kulakukan bisa memberikan mafaat bagi orang lain. Melihat foto kegiatan para pengajar terbesit rasa sedih walau hanya sedikit, karena Rumi tidak hadir. Namun, aku mencoba menepisnya. Bukannya Rumi tidak mau datang, pasti ada sebabnya kenapa dia tidak bisa hadir. Aku mengulas smirk, menyadari bahwa Rumi bukanlah wanita yang kukenal dulu. Dia sudah bersuami dan pasti dia harus menuruti perkataan suaminya. Sepanjang kegiatan
TARIK MENARIK Selagi aku sibuk di dapur membuka barang belanjaan yang dibawa Riyan, kubiarkan mereka bertiga di ruang tamu. Sambil membuka layar televisi agar suasana tidak terlalu hening. Dari dapur bisa kuperhatikan apa yang sedang ketiganya lakukan. Kak Zaki masih tetap dengan posisinya fokus menatap layar televisi, Bang Kemal lebih memilih membaca buku yang ada di atas nakas sebelah sofa. Yah, memang di sebelah sofa itu selalu kusiapkan beberapa buku yang sering kubaca, sengaja di letakkan di sana agar tidak berulang mengambil ke kamar. Sementara Riyan sama dengan Kak Zaki, fokus menonton acara kesukaan keduanya, apalagi kalau bukan berita tentang sepak bola. Sesekali kudengar keduanya mengobrol. Membincangkan berita yang disampaikan presenter televisi tentang acara bola tersebut. Sedikit merasa lega, karena akhirnya Kak Zaki tidak diam saja, bisa mengobrol dengan Riyan membincangkan hal yang dia sukai. Supaya suasana mencair tidak mencekam seper
SURAM“Sebentar ya, Bang, Rumi buatkan minum dulu,” ucapku tersenyum lalu meninggalkan keduanya di ruang tamu. Sepeninggalanku keduanya tidak banyak bicara, sesekali curi-curi pandangan ke arah mereka, tetapi keduanya masih diam membisu, tidak seperti biasanya. Aku hanya berharap semoga apa yang kutakutkan tidak terjadi, masalah pertengkaran aku dan Kak Zaki semoga saja tidak menjadi masalah bagi hubungan perteman mereka. Semoga Kak Zaki bisa bersikap biasa saja kepada Bang Kemal. “Ini Bang, silakan di minum,” ucapku mempersilakan Bang Kemal. Kubuatkan dua teh hangat untuk dirinya dan juga Riyan, sekaligus ada camilan roti kaleng yang sudah kutaruh dipiring agar mempermudah keduanya untuk mengambilnya. “Terima kasih, Rum,” balasnya sambil tersenyum. Aku ambil duduk di single sofa yang letaknya tidak jauh dari Kak Zaki dan Bang Kemal. Namun, belum juga duduk lenganku tertahan. “Kamu mau ke mana, Sayang?” tanya Kak Zaki tiba-tiba. Aku terhent
COMTEMPLATION“Dirinya terlalu samar untuk diriku yang butuh kejelasan.”Masih dengan posisi yang sama, meringkuk memeluk lutut sambil merenungi kesalahanku hari ini. Tangis belum juga reda dan dada masih terasa sesak. Kuliirik jam yang berdentang menunjukkan pukul 9 tepat, tanpa sadar berada di posisi ini sudah dua jam lebih. Ponselku berdenting, sebuah pesan masuk dari Bang Kemal.[Rum, sudah di mana?]Begitulah bunyi pesan itu yang tampil di layar bar tanpa membuka aplikasi pesan itu langsung terbaca. Karena terlalu hanyut dengan perasaan ini membuatku lupa mengabari Bang Kemal. [Maaf ya, Bang. Rumi nggak bisa hadir. Kasihan Kak Zaki nggak ada yang temani.]Seperti itulah alasanku, setelah itu kumatikan ponsel tidak ingin diganggu oleh siapapun. Aku masih ingin meresapi perasaan ini, memikirkan bagaimana caranya untuk meminta maaf kepada Kak Zaki. Keras dan angkuhnya itu belum bisa terpatahkan. Kak Zaki terlalu samar untuk kutelus