MENDENGARKANAku sejak dulu terbiasa untuk mendengarkan, jadi aku tidak keberatan jika dirinya bercerita lebih banyak dari biasanya. Tanpa terasa waktu bergulir begitu saja, aku dan Kak Zaki sama-sama terhanyut dengan obrolan kami yang berjalan begitu saja. Aku lebih banyak mendnegarkan, Kak Zaki sendiri lebih banyak bercerita mengenai masa-masa lalunya dulu, walaupun sekarang dia masih berniat untuk mengulangi masa mudanya yang sempat terlewat. “Kalau aku bisa berjalan lagi, Rum. Aku berjanji akan meninggalkan masa laluku yang kelam itu. Sekarang aku akan lebih menghargai seperti perjuangan yang kulakukan untuk bisa berjalan lagi. “ Aku mengangguk serius, mengiakan ucapannya dengan tatapan yang penuh dengan motivasi dan keoptimisan yang dia katakan dengan berapi-api. “Yah, Kak Zaki bisa mulai hidup lebih baik lagi dan bahagia. Setidaknya pikirkan saja semua pengorbanan yang Pak Romo lakukan selama ini untuk Kakak.”“Hmmm... termasuk menikahka
ORANG MASA LALU Yang paling menyakitkan adalah, orang-orang dari masa lalu yang datang kembali seolah-olah semua baik-baik saja, padahal tidak. “Zaki?” Suara lembut wanita itu sontak membuat Kak Zaki berhenti mengoceh. Dia menatapku seolah bertanya siapa yang memanggilnya sebelum dia menoleh ke arah suara itu. Aku pun begitu menatapnya dengan banyak pertanyaan di kepala, siapa wanita itu kenapa mengenal Kak Zaki, salah satu nama yang pernah terlintas di pikiran berkeliaran di kepalaku. Kak Zaki menoleh dan dia tertengun, tongkat yang digenggamnya tadi jatuh terkulai, seakan waktu berhenti saat itu melihat keduanya saling menatap. Kak Zaki dengan segala keterkejutannya dan wanita itu tersenyum senang seolah dirinya menemukan hadiah besar di depan matanya. “Zaki kan?” tanya sekali lagi. Aku melangkah ke depan sedikit, menyamai posisi sejajar dengan Kak Zaki, sambil memungut tongkatnya lalu memegang tangannya agar dia tidak terj
BAB 37 TIDAK SENGAJA “Perasaan itu akan mulai menjalar karena sering bersama” Kami sudah berada di dalam taksi. Kak Zaki kembali ke sifatnya yang dulu, diam seribu bahasa. Selama perjalanan pulang aku duduk di sebelahnya, takut jika dirinya nanti berbuat hal yang tidak bisa kujangkau kalau aku berada di depan. Sepanjang perjalanan pulang kami lebih banyak diam. Aku tidak berani bertanya soal apapun itu. Kubiarkan dirinya dengan segala perasaan dan pikirannya yang bimbang. Orang dari masa lalunya muncul di saat dirinya mulai bisa menerima keberadaannya sendiri. “Kak kita sudah sampai,” ucapku pelan membangunkan Kak Zaki yang tertidur. Kuguncang pelan bahunya, sebentar saja dia sudah terbangun. “ Kak sudah sampai.” “Oh ya, maaf, Rum aku tertidur, lelah sekali,” ucapnya sambil menyeka sudut matanya yang sepertinya berair. Apakah Kak Zaki menangis? Batinku. Aku jadi iba kepadanya, padahal sedari tadi dia b
BAB 38NIAT TULUSSekeras Apapun Hatinya, Dirinya Masih Bisa Memikirkan Kebahagian Orang Lain POV ZAKI. Bukan tanpa arti aku tidak memikirkan kejadian tadi malam, pertemuan pertamaku dengannya setelah kecelakaan itu. sudah sejak lama sekali aku tidak melihatnya muncul dihadapanku. Tiara dia terlihat berbeda, seperti bukan sosok yang kukenal. Dua tahun waktu yang cukup lama untuk sebuah pertemuan kembali. “Maaf ya Zaki, kamu tahu kan aku sibuk...” Ungkapannya itu justru membuatku ingin menjauhinya. Sesibuk apa dia sehingga tidak pernah sekalipun melihatku. Aku yang mati-matian membelanya agar Papa tetap menerima dia, kesalahannya yang berselingkuh di belakangku, tetapi tetap aku masih mempertahankannya. “Maaf, Tiara. Aku butuh waktu.... lama sekali tidak melihatmu membuatku lupa apakah aku yang melupakanmu atau kamu yang memang benar-benar melupakanku........... Rum.... Ayo pulang.” Setidak
BAB 39HANYA BERCANDAAku hanya merasa bahagia karena bertemu dengannya Setelah membereskan kelas, aku duduk sambil membaca buku, sesekali melihat ponsel adakah pesan masuk dari dosen pembimbing untuk jadwal bimbingan berikutnya. Beruntungnya minggu ini jadwal tidak begitu padat jadi lebih leluasa membuat janji dengan dosen bimbinganku. Dikarenakan jadwal Kak Zaki yang berubah di minggu depan. Saat sedang asik membaca, aku dikejutkan oleh sesuatu yang panas di pipi. Aku terkejut begitu melihat Bang Kemal tengah tersenyum jahil melihat ekspresiku yang kepanasan. “Bang Kemal,” ucapku histeris. “Melamun aja sih, sampai nggak tahu kalau aku masuk. Lagi mikirin apa sih, Rum? Sini cerita, aku siap mendengarkannya, Rumi.” Tangan Bang Kemal mengarah kepadaku memberikan satu cangkir kopi panas yang masih berasap, wajar saja kalau aku terkejut sebab panasnya menempel di pipiku. “Makasih, Bang.
BAB 40PERASAAN YANG TUMBUHAku tidak tahu dengan apa yang kurasakan, tetapi aku hanya ingin menjadi pusat perhatiannya POV ZAKI. Aku menatap bayangan diri sendiri pada cermin besar yang ada di hadapanku, kusalahkan diri yang tidak berguna dan tak bisa apa-apa. Apa yang bisa dilihat dan di andalkan dari pria cacat sepertiku. Kusalahi keadaan yang membuatku seperti ini bertahun-tahun tanpa ada perubahan. Padahal awalnya aku sudah mencoba untuk berbesar hati untuk menerima keadaan ini dan menjalani terapi yang di rekomendasikan oleh Papa. Hari-hariku juga semakin menyenangkan berkat tulusnya Rumi menjaga walau aku selalu memarahinya. Apa yang kulihat tadi sungguh membuat amarah ini tidak terbendung. Aku sendiri tidak tahu kenapa dada ini rasanya sakit sekali melihat Rumi bercengkrama dan bersenda gurau dengan Kemal. Di samping pria itu, Rumi leluasa tersenyum lebar dan banyak bicara. Dirinya seolah-olah seperti burung y
BAB 41 HATI YANG MELUNAK Terkadang kita butuh bertemu banyak karakter untuk memahami setiap hati dari diri mereka. salah satunya hatinya yang kian lama kian melunak. Seperti biasa, pagi ini kupersiapkan dirinya sebaik mungkin, Kak Zaki belum tahu kalau Pak Romo pulang. Aku ingin memperlihatkan kepada Pak Romo jika selama kepergiannya Kak Zaki mengalami banyak perubahan baik dalam sikap dan perilakunya apalagi dengan terapinya, dia mengalami banyak kemajuan. “Kak, Rumi bantu pasangkan celananya ya?” Aku menawarkan bantuan kepada Kak Zaki, dirinya tersenyum kemudian sedikit sungkan memberikan celana jenis denim itu kepadaku, Aku menarik celana itu perlahan tanpa peduli penolakannya. Sikapku sudah seperti biasa kepadanya, tidak takut ataupun canggung, Raut wajahnya pun melunak, seiring dengan permintaan maaf yang dilontarkannya tadi. Aku merasa dirinya sudah menjadi priba
BAB 42SATU LANGKAHAku bersyukur karena proses yang kujalani makin lama menunjukkan hasil. Terkadang kita butuh babak belur dahulu baru merasa nikmat dari usaha yang telah diperjuangkan. Pukul 8 tepat aku sudah bersiap, semua dokumen yang harus kubawa sudah tersusun rapi di dalam tas. Kemudian aku menatap Kak Zaki yang juga sudah selesai, perlahan dirinya mulai terbiasa dengan memakai sendiri pakaiannya. Buktinya pagi ini dia mempersiapkan diri sendiri tanpa bantuanku. “Kak, udah selesai? Ayo berangkat,” ucapku saat Kak Zaki melihat pantulan dirinya di depan cermin. Kuikuti dan berdiri di sebelahnya. Tampak Kak Zaki tengah mengelus pipi dan dagunya. “Kenapa?” tanyaku yang heran melihatnya serius menatap cermin. “Risih,” ujarnya. “Yaudah nanti singgah ke salon aja, Kak.” “Nggak mau, nanti pulang dari kampusmu, bantu aku mencukurnya.” Bukan seperti ajakan, melainkan sebuha perintah
WISUDA POV ZAKI. Sejak keluar dari rumah hingga sampai di pelataran auditorium kampus, aku tidak melepas genggaman ini dari tangan Rumi. Dirinya sampai mengomel karena aku tidak melepas pegangan tanganku padanya. “Sebentar aja, Kak, Rumi mau ke toilet,” ucapnya padaku yang berusaha melepas pegangan tangannya. “Yaudah, aku ikut. Aku tunggu di luar.” Dia melotot menatapku, kuabaikan saja berpaling menatap ke arah lain. “Astaga, Kak Zaki. Rumi cuma ke situ, toiletnya dekat.” “Emang salah kalau aku ikut? Ya aku mau jagaian kamu,” balasku tak mau kalah, seulas senyum kuberikan untuknya sebagai peredam amarahnya, tetapi tampaknya tidak berhasil. Kuabaikan lirikan Rumi yang seolah ingin memakanku hidup-hidup. Rumi melangkahkan kakinya dan kuikuti berdampingan dengannya. Tangannya kugenggam erat agar dia tidak menjauh dariku.
PRIA LAIN“Kalian berdua sama pentingnya di hati ini. Nggak mungkin aku harus memilih” Pagi ini aku bangun lebih awal, sebab jam 8 nanti ada undangan dari Bang Kemal untuk menghadiri acara wisudanya. Masalah kemarin sudah selesai, nggak diperpanjang dan berlarut. Kami sama-sama minta maaf. Kak Zaki sudah menjelaskan padaku tentang Tiara. Perasaan itu berubah sejak lama, saat Tiara mengabaikannya, tidak ingin tahu tentang dirinya. Kalaupun Tiara merasa kehilangan Kak Zaki, harusnya Tiara mencari bukan malah menghilang tanpa kabar. Dia katakan kalau Tiara banyak berubah, bukan seperti wanita yang dikenalnya dulu. memang sejak dulu Tiara ambisius, tetapi sekarang jadi lebih terobsesi ingin kembali pada Kak Zaki, padahal Kak Zaki sudah menolaknya. “Kakak, pakai baju ini?” tanyaku saat melihat Kak Zaki mengeluarkan kemeja batik berwarna hijau botol dengan celana hitam berbahan kain. Dia menatapku sekilas
PROBLEM“Terima kasih karena sudah peduli dan khawatir” Aku menghela napas pelan berjalan lunglai melewati tiang-tiang koridor perpustakaan. Napas ini sesak, bukan karena Kak Zaki, tetapi lebih kepada diri sendiri. Mulai dari pergi menuju kampus kesialan sudah mengikutiku. Ban taksi online yang bocor di tempat sepi, membuat sopir taksi tersebut kewalahan melakukan pergantian ban sendiri dengan peralatan seadaanya. Begitu tiba di kampus dosen pembimbing sudah tidak ada lagi, beliau pergi karena menunggu terlalu lama. Entah bagaimana nanti aku menemuinya karena sudah membuatnya menunggu. Aku mengutuki diri, mungkin ini adalah salah satu pelajaran karena mengingkari dan mengabaikan ucapan Kak Zaki. Dia melarangku pergi, tetapi aku paksa untuk pergi, alhasil begini hasilnya. Allah langsung menegurku dengan berbagai rentetan kejadian di luar kuasa diri. Getaran dari dalam tas membuat langkahku terhenti, menepi se
SALAH PAHAM “Siapa, Kak,” tanyaku dari dalam sambil berjalan ke arah pintu. Langkah kaki ini terhenti begitu pintu kubuka lebar. “Kak,” lirihku pelan menatap Tiara berpelukan dengan Kak Zaki, dirinya tesenyum ke arahku sambil mengedipkan sebelah matanya. “I miss you,” bisiknya sengaja di depanku sambil melirik. Kak Zaki menoleh, dia segera melepaskan pelukan wanita itu dan berjalan pelan ke arahku perlahan. “Rum,” desisnya sembari meraih tangan ini. Namun, tanpa diduga tangan yang berusaha meraih tangan ini kutepis begitu saja, refleks karena merasa kecewa dengan apa yang sudah kulihat. Kutatap kedua netra Kak Zaki yang terlihat seperti memohon. “Rum, dengar sebentar, Sayang,” ucapnya lembut sambil memegang tanganku lagi. Mata ini sudah memupuk air yang siap
UNGKAPAN Aku masuk terlebih dahulu membiarkan Kak Zaki yang masih diteras memandang ke arah jalan, seolah tengah menunggu seseorang. Mulai dari membereskan ruang tamu juga sisa piring yang masih ada di wastafel belum aku bersihkan. Oh ya, aku lupa mengecek ponsel yang belum sempat kuperiksa tadinya. Kubuka ponsel dan melihat beberapa banyak pesan masuk dan panggilan tidak terjawab dari Bang Kemal juga Riyan. [Rum, kamu baik-baik aja, kan?] [Apa Zaki melarangmu datang?] Jariku berhenti tepat di pesan tersebut begitu membacanya, seolah Bang Kemal tahu apa yang terjadi. Pantas saja tatapan pria itu tidak sedikitpun terusik dengan apa yang Kak Zaki lakukan, dia masih terlihat santai di saat Kak Zaki melakukan aksi konyolnya tadi. [kamu nggak bisa di hubungi, nggak terjadi apa-apa, kan?] [Nanti aku sama Riyan mau datang ke rumah menjenguk kamu.] Ak
DEBAT KUSIRPOV KEMALAku menunggu Riyan di meja pantry yang ada di dapur Rumi. Sambil main ponsel melihat dokumentasi kegiatan yang baru dilakukan hari ini bersama pihak yayasan chariety peduli rumah singgah. Aku tersenyum senang melihat wajah-wajah semringah anak-anak rumah singgah yang senang mendapat bantuan dari para relawan. Selain itu juga sebagai pendiri rumah singgah, yayasan tersebut mengucurkan dana berupa bantuan untuk membangun bangunan sekolah semi permanen agar dindingnya tidak beralaskan kardus lagi. Aku banyak mengucap syukur, setidaknya apa yang kulakukan bisa memberikan mafaat bagi orang lain. Melihat foto kegiatan para pengajar terbesit rasa sedih walau hanya sedikit, karena Rumi tidak hadir. Namun, aku mencoba menepisnya. Bukannya Rumi tidak mau datang, pasti ada sebabnya kenapa dia tidak bisa hadir. Aku mengulas smirk, menyadari bahwa Rumi bukanlah wanita yang kukenal dulu. Dia sudah bersuami dan pasti dia harus menuruti perkataan suaminya. Sepanjang kegiatan
TARIK MENARIK Selagi aku sibuk di dapur membuka barang belanjaan yang dibawa Riyan, kubiarkan mereka bertiga di ruang tamu. Sambil membuka layar televisi agar suasana tidak terlalu hening. Dari dapur bisa kuperhatikan apa yang sedang ketiganya lakukan. Kak Zaki masih tetap dengan posisinya fokus menatap layar televisi, Bang Kemal lebih memilih membaca buku yang ada di atas nakas sebelah sofa. Yah, memang di sebelah sofa itu selalu kusiapkan beberapa buku yang sering kubaca, sengaja di letakkan di sana agar tidak berulang mengambil ke kamar. Sementara Riyan sama dengan Kak Zaki, fokus menonton acara kesukaan keduanya, apalagi kalau bukan berita tentang sepak bola. Sesekali kudengar keduanya mengobrol. Membincangkan berita yang disampaikan presenter televisi tentang acara bola tersebut. Sedikit merasa lega, karena akhirnya Kak Zaki tidak diam saja, bisa mengobrol dengan Riyan membincangkan hal yang dia sukai. Supaya suasana mencair tidak mencekam seper
SURAM“Sebentar ya, Bang, Rumi buatkan minum dulu,” ucapku tersenyum lalu meninggalkan keduanya di ruang tamu. Sepeninggalanku keduanya tidak banyak bicara, sesekali curi-curi pandangan ke arah mereka, tetapi keduanya masih diam membisu, tidak seperti biasanya. Aku hanya berharap semoga apa yang kutakutkan tidak terjadi, masalah pertengkaran aku dan Kak Zaki semoga saja tidak menjadi masalah bagi hubungan perteman mereka. Semoga Kak Zaki bisa bersikap biasa saja kepada Bang Kemal. “Ini Bang, silakan di minum,” ucapku mempersilakan Bang Kemal. Kubuatkan dua teh hangat untuk dirinya dan juga Riyan, sekaligus ada camilan roti kaleng yang sudah kutaruh dipiring agar mempermudah keduanya untuk mengambilnya. “Terima kasih, Rum,” balasnya sambil tersenyum. Aku ambil duduk di single sofa yang letaknya tidak jauh dari Kak Zaki dan Bang Kemal. Namun, belum juga duduk lenganku tertahan. “Kamu mau ke mana, Sayang?” tanya Kak Zaki tiba-tiba. Aku terhent
COMTEMPLATION“Dirinya terlalu samar untuk diriku yang butuh kejelasan.”Masih dengan posisi yang sama, meringkuk memeluk lutut sambil merenungi kesalahanku hari ini. Tangis belum juga reda dan dada masih terasa sesak. Kuliirik jam yang berdentang menunjukkan pukul 9 tepat, tanpa sadar berada di posisi ini sudah dua jam lebih. Ponselku berdenting, sebuah pesan masuk dari Bang Kemal.[Rum, sudah di mana?]Begitulah bunyi pesan itu yang tampil di layar bar tanpa membuka aplikasi pesan itu langsung terbaca. Karena terlalu hanyut dengan perasaan ini membuatku lupa mengabari Bang Kemal. [Maaf ya, Bang. Rumi nggak bisa hadir. Kasihan Kak Zaki nggak ada yang temani.]Seperti itulah alasanku, setelah itu kumatikan ponsel tidak ingin diganggu oleh siapapun. Aku masih ingin meresapi perasaan ini, memikirkan bagaimana caranya untuk meminta maaf kepada Kak Zaki. Keras dan angkuhnya itu belum bisa terpatahkan. Kak Zaki terlalu samar untuk kutelus