POV AMIRA''Akhirnya kamu sudah resmi bercerai dengan Bagas, Amira. Aku sangat senang mendengarnya, ketidakhadiran Bagas acara persidanganmu jadi lancar. Eh, tapi Bagas ke mana ya, bukankah dia menolak bercerai denganmu?'' tanya Bunga, kami sedang dalam perjalanan pulang ke sebuah mall.''Iya dong, sekarang aku sudah terbebas dari yang namanya Bagas Prasetya. Sekarang aku sudah menjadi single, untung saja aku tidak punya anak darinya. Kalau Bagas sekarang sedang di Rumah sakit Bunga,'' ucapku menoleh ke arahnya.''Rumah sakit? Dia memangnya sakit apa?'' ''Karena dipatuk ular, jadinya dia berobat di Rumah sakit,'' jelasku padanya. Bunga seakan belum mengerti dengan apa yang baru saja aku ucapkan.''Aku heran, kenapa si Bagas bisa dipatuk ular? Lantas sekarang bagaimana keadaannya?'' tanya Bunga.''Ya karena aku sendiri yang memberi kope. Jadi gini loh, sewaktu Bagas diusir dari rumah karena ketahuan selingkuh. Tanpa sepengetahuannya aku memberikan koper yang berisikan ular dan mungkin
''Kamu kenapa sedih? Biasanya kalau orang lain hamil selalu terlihat bahagia?'' tanya Dokter, dia seperti mengetahui apa yang tengah aku rasakan. Kami pun seperti sudah lama mengenal, sama sekali tidak canggung diantara kami.''Dokter, saya tidak mau hamil. Apakah dokter mau membantu saya dengan mengaborsi bayi yang sedang saya kandung ini?'' aku memohon padanya.''Apa? Aborsi? Tidak! Saya tidak mau. Saya bukan ahli aborsi jadi tolong jangan membuat permintaan seperti itu,'' Dokter kaget dan setelah mengetahui permintaanku dia langsung tegas menolak.''Tapi Dok, saya mohon, saya akan membayar mahal asal kandungan saya ini bisa keluar. Saya tidak mau hamil dan melahirkan bayi ini. Menurutku ini adalah sebuah malapetaka dan saya tidak mau menerima kehadiran janin yang ada di dalam perut saya,'' jelasku padanya. Dokter menggeleng cepat. Bunga pun begitu kaget.''Apakah anak yang kamu kandung ini dari hubungan diluar nikah?'' tanya Dokter.Aku tertegun, menarik nafas supaya tidak terasa c
''Ini siapa? Kenapa anda tahu nomer saya?'' aku sangat meyakini bahwa dia adalah Bagas, mantan suamiku.''Amira ... Masa kamu sudah lupa? Aku ini suamimu,'' ucapnya membuatku terkejut.''Maaf! Saya tidak memiliki suami seperti anda, jadi tolong jangan menghubungi saya kembali dan ingat masalah kita sudah cukup sampai di sini.'' peringatanku padanya, lalu aku mematikan sambungan telepon secara sepihak.Aku fikir yang menelepon siapa, ternyata lelaki yang tidak tahu diri. Lebih baik aku mengganti nomer telepon supaya Bagas tidak dapat menghubungiku.Kemudian, aku melempar ponsel kasar. Tubuhku sampai sekarang masih tidak enak badan. Apa mungkin begini kali ya, rasanya hamil? Kepalaku pun masih terasa cenat-cenut.Kemudian, aku paksakan untuk tertidur, namun sampai sekarang kedua mataku ini tak kunjung terlelap. Aku malah berfikir ketika usia kehamilanku delapan bulan pasti perutku ini akan buncit seperti balon yang besar. Membayangkan rasanya begitu ngilu dan pasti ketika melahirkan beg
''Baiklah, saya akan cek sekarang!'' ujarnya membalas senyumanku, dia pun segera membuka kembali mesin dan memeriksannya. Dia Reyhan, yang kata Papa anak dari Bi Asih.Reyhan mencoba membenarkan mesin supaya bisa hidup kembali, dia ternyata sangat lihai. Persis seperti yang sudah berpengalaman.Tatapan lelaki itu memandang kami sambil tersenyum, wajahnya sangat membuat aku terpesona. Jika mampu digambarkan sangat tampan dan persis seorang aktor.Setelah berlama mununggu, Reyhan pun sepertinya sudah selesai mengorek mesin, dia segera menghidupkan mobil. Dan ternyata tak disangka mobil langsung menyala dan membuat aku dan Mama tersenyum lebar padanya.''Wah ... Ternyata kamu sangat pandai sekali Reyhan, saya sama sekali tidak menyangka. Terima kasih sekali ya,'' ucap Mama pada Reyhan, dengan perasaan senang lelaki itu mengangguk.''Iya Nyonya, sama-sama. Kebetulan tadi saya lihat Nyonya dan Non Amira sedang kesusahan karena mobil ini tidak menyala, maka dari itu saya berinisitif membant
''Apa Bibi tahu siapa yang membawa senjata tajam itu?'' Amira penasaran dengan orang tersebut yang telah berani datang ke rumah ini.''Dia Tuan Bagas, Non!'' jelas Bibi, seketika kedua mata Dita terbuka lebar, ia sangat tidak menyangka ternyata Bagas datang kembali ke rumah ini.Amira melangkah cepat, menatap dari kejauhaan Bagas yang terengah-engah bertengkar dengan sucurity rumah ini. Tangan kanannya mencekal sebilah pisau, aku yang melihat benda tajam itu segera keluar dari rumah karena sangat takut Bagas akan macam-macam pada sucurityku.''Ada apa kamu ke sini Bagas? Kenapa kamu datang ke sini dengan marah-marah?'' tanyaku tajam menatap kedua matanya, dia begitu murka entah apa yang sudah membuat dia meradang seperti itu.''Apa kamu yang menyekap Dzakira sampai dia tidak pernah pulang menemuiku hah? Apa kamu merasa sakit hati atas apa yang telah aku perbuatkan padaku. Ingat Amira, aku melakukan pengkhinatan karenamu juga, ini semuanya salahmu, jika kemarin kamu tidak lumpuh aku ti
Dzakira menatap orang tersebut dengan kaget, ia seakan tak menyangka ternyata yang menolongnya Bayu. Lelaki yang sudah membuatnya seperti ini.Bayu pun terlihat kaget, ia bisa bertemu kembali dengan Dzakira.BUGH!''Kamu ... Kebetulan kita di sini, aku akan melaporkan kamu ke pihak berwajib karena sudah mengambil ginjal saya,'' ancam Dzakira sambil meninju dan menunjuk ke arah wajah Bayu, ia yang gelapapan kaget karena mendapatkan bogem mentah dari Dzakira.''Anda siapa? Sudah saya tolong malah menuduh yang tidak-tidak, sampai mau laporin ke polisi lagi. Setres ya anda.'' Bayu mengecam, tatapannya tajam seperti tidak terjadi apa-apa, padahal sudah jelas-jelas ia yang melakukan hal buruk pada Dzakira. Ia ternyata sangat pandai bersandiwara.''Menuduh ucapanmu?! Saya tidak menuduh, namun benar kenyataannya,'' Dzakira mencekal pergelangan tangan Bayu. Tubuh Bayu bergetar karena semua mata memandang ke arahnya, mereka keheranan dan tak menyangka.''Apa buktinya saya telah melakukan sesu
''Ternyata kamu di sini, Bayu?!'' ujar seseorang, mengagetkan Bayu dan Ningsih.Bayu sama sekali tidak menyangka wanita tersebut mengetahui keberadaannya sekarang. ''Bunga ... Ngapain kamu ada di sini dan kenapa kamu bisa tahu aku ada di Rumah sakit ini?'' tanya Bayu kaget melihat kedatangan Bunga--sahabat--Amira.''Aku ke sini ingin memberitahu sesuatu padamu, sampai sekarang aku masih sangat mencintai dan aku tahu kamu sedang di Rumah sakit ini karena tetangga di sekitar komplek perumahanmu,'' ujar Bunga pada Bayu.Ternyata tanpa diketahui Bunga dan Bayu adalah mantan kekasih terindah, dahulu ketika zaman cinta monyet, mereka bedua menjalin hubungan. Tapi sayangnya kandas karena kesalahpahaman diantara mereka.''Aku sudah bilang beberapa kali, tolong jangan hadir kembali ke dalam hidupku. Aku sudah melupakan dan mengubur masa lalu bersamamu. Jadi mulai detik ini, lupakan tentang hubungan kita karena aku sudah tidak mau kembali berurusan denganmu,'' jelas Bayu, ia kekeh tidak ingin
''Kenapa kalian diam?''''Maaf Pak, kami tidak bisa melapor karena pihak berwajib pun akan menerima setelah batas waktu 2x24 jam. Bapak pun juga tidak bisa menyuruh kami karena bukan atasan kami,'' jawab suster santai menolak perintah Bagas.Bagas yang mendengar langsung murka, ia memedam amarah. Lalu mencekal kerah baju suster yang barusan menjawab ucapannya.''Stop Pak, jangan bertindak kasar. Masalah ini kita bisa bicarakan baik-baik,'' belanya, aku pun melepaskan kerah baju suster dan memandangnya tajam.Suster yang mendapat perlakuan kasar hanya bisa merenung dan menunduk.''Baik-baik bagaimana? Kalian semua bodoh, kekasih saya hilang di Rumah sakit ini tapi sama sekali tidak ada rasa tanggung jawab. Saya akan melaporkan kasus ini ke polisi, Rumah sakit ini pun akan saya laporkan karena sudah menyebabkan Dzakira menghilang.'' ancam Bagas sambil menunjuk ke beberapa perawat. Keduanya tangal terkepal kuat.''Mohon maaf Pak atas kelalaian pihak Rumah sakit ini, kami berjanji akan me
Aku terdiam beberapa saat. Suasana seperti ini membuatku merasa bimbang. Aku harus jawab apa sekarang. Apa aku tolak saja? “Maaf, Mas, bukannya aku enggak mau, tapi aku sudah nggak mau menjalani hidup dengan laki-laki mana pun, aku masih ingin sendiri menikmati kehidupan seperti sekarang. Jadi, mohon maap kalau misalkan aku menolak permintaan kamu,” ucapku pada Mas Bagas dengan hati-hati. Aku takut ucapanku malah menyakiti perasaan dia. Mas Bagas menanggapi ucapanku dengan tersenyum, tatapan dia seolah-olah tidak menyimpan amarah. Namun, aku merasa nggak enak pada dirinya. “Nggak papa, Amira. Aku tahu jawaban kamu pasti akan seperti itu. Dan, aku juga sama sekali nggak marah apalagi sampai kesal hanya karena masalah ini. Aku tahu sakit yang sudah kamu rasakan kemarin, mungkin oleh karena itu kamu memilih ingin menyendiri tak ingin dengan siapa pun lagi,” ujar dia masih dengan senyumnya. Aku tahu, Mas Bagas sudah berubah tak lagi seperti dulu, tetapi bagaimana pun juga sudah keputu
“Mama juga bingung harus gimana, tapi yang jelas sekarang lebih baik kamu fokus sama anak kamu, jangan dulu memikirkan laki-laki. Nanti, jika anak kamu sudah beranjak dewasa dan ada laki-laki baik yang mau menerima kamu dan juga Bintang Mama nggak jadi masalah. Takutnya kalau kamu mengambil keputusan dan menerima dia, Mama takut nasib kamu akan sama seperti kemarin, dan Mama nggak mau melihat kamu menderita lagi,” ujar Mama menasihati. Aku mengangguk paham saat Mama mengatakan hal itu, lebih baik menyendiri dulu dan bahagiakan anak tanpa lebih dulu memikirkan laki-laki. Kegagalan membuatku trauma, aku merasa lebih nyaman seperti ini tanpa merasa ada beban. “Iya, Ma. Keputusan aku menolak Pak Devan sepertinya sudah tepat. Aku ingin sendiri dulu membahagiakan anakku Satu-satunya, aku nggak mau Bintang kembali menjadi korban hanya karena salah memilih ayah untuk dia.”Mama mengangguk. Aku merasa lebih lega sekarang karena sudah mencurahkan isi hatiku. Mungkin jika memang hanya karena
Ya Allah ... bagaimana ini ...“Kamu kenapa, Amira?”Tiba-tiba terdengar suara dari belakang, dengan cepat aku memutar tubuh dan menatap ke arahnya. Ternyata dia ....“Mas Devan?”Aku terkejut setelah tahu ternyata itu adalah Mas Devan. Tatapannya seakan bingung, mungkin dia heran melihat aksiku yang seperti anak kecil. Aku juga seakan merasa malu pada dirinya, bisa-bisanya aku bertingkah seperti itu. “Kamu kenapa, Amira?” tanya Mas Devan mengulang pertanyaan yang sama. “Nggak papa, kok, Pak.” Aku tersenyum, kemudian berniat ingin menjauhinya karena merasa malu. “Permisi, Pak.” Aku pamit dan melangkah pergi. “Tunggu sebentar, Amira,” ujarnya menghentikan langkah kakiku. Perasaanku seakan menggebu saat dia memanggilku. Aku pun lantas berbalik arah dan menatapnya lagi. “Iya, kenapa, Pak?” tanyaku menatap mata elangnya. Jujur, Mas Devan memang begitu sangat tampan sekali. Matanya pun nampak indah. Dia manis. 'Astagfirullah. Apa-apaan sih Amira. Inget, kamu itu janda. Nggak boleh
“Saya enggak membutuhkan pekerja untuk menjadi asisten pribadi saya. Memang kemarin iya, tapi jika dipikir-pikir saya nggak butuh asisten pribadi,” ucap Mas Devan menjelaskan. “Jika tidak membutuhkan asisten pribadi, saya tidak akan jadi melamar di perusahaan ini, karena dengan pengalaman saya sebelumnya pernah memimpin perusahaan dan mungkin saya juga bisa mengatur segala urusan apapun sebagai asisten pribadi,” sahutku berucap. Seketika itu dia menatapku seolah-olah penasaran. Kemudian dia meraih CV yang aku bawa dari rumah. Dia membaca secara seksama isi dari CV itu.“Waw, hebat sekali! Ternyata sebelumnya kamu pernah memiliki perusahaan besar. Saya sangat mengenal betul pemilik perusahaan itu. Apakah kamu putri dari Pak Handriana, directur utama perusahaan Aksara Pramudia?” “Betul, Mas. Itu Papa saya. Perusahaan yang sudah Papa saya bangun dan kelola selama ini mengalami masalah sehingga kami tidak memimpin kembali perusahaan itu. Oleh sebab itu, saya memutuskan mencari lowongan
“Ya mau bagaimana lagi, Ma. Amira sedang mencari. Mungkin nanti secepatnya dapat pekerjaan, yang penting Mama doakan selalu Amira,” “Mama doakan semoga kamu secepatnya mendapatkan pekerjaan Amira,” lirih Mama berucap. Aku merasa belum mampu membahagiaan Mama padahal hanya aku satu-satunya anak Mama. Ya Allah ... mudah-mudahan Engkau lancarkan agar aku bisa mendapatkan uang. Aku nggak tahu lagi bagaimana caranya mencari uang sedangkan anak aku pun masih kecil. Aku berharap ada keajaiban, Allah maha baik dia pasti menolongku. Setelah obrolan itu, pagi ini aku bersiap akan melakukan perjalanan ke kota untuk mencari pekerjaan. Aku menenteng map cokelat yang berisikan surat-surat yang dibutuhkan. Masuk ke dalam kendaraan roda empat, satu-satunya yang kumiliki saat ini. Dengan cepat aku mobilku melesat menyusuri jalanan raya yang lenggang. Saat ini tujuanku ingin melamar ke perusahaan digital yang bergerak dibidang pemasaran lokasinya tak jauh dari rumah. Aku begitu sangat percaya diri
Jam dipergelangan tanganku sudah menunjuk ke arah pukul 13:00 WIB, sudah hampir menjelang sore namun hujan hingga kini belum juga usai. Aku pun berniat ingin menerjang hujan karena takut Bintang menunggu kepulanganku di rumah. Saat hendak masuk ke mobil, tiba-tiba saja pandanganku teralih ke arah seorang laki-laki yang tengah duduk termenung di pinggir jalan. Wajahnya nampak mirip sekali dengan Mas Reyhan, dia terlihat sedih, berulang kali menatap jalan raya dengan perasaan cemas. Entah kenapa hatiku ingin sekali menghampirinya. Aku segera masuk ke dalam mobil bersiap menghidupkan mobil, lalu kendaraan roda empat yang tengah kukendaraipun berjalan tepat di depan laki-laki itu yang mirip sekali dengan Mas Reyhan.“Permisi, Mas. Sejak tadi saya lihat di tempat pemakaman umum Mas terlihat sedih. Ada apa?” tanyaku menghampirinya.“Anak saya sampai saat ini belum kunjung pulang, Mbak. Saya sangat khawatir dengan keadaannya.” Dia menjelaskan keresahan hatinya.“Memangnya anak Mas usia ber
“Amira, kamu kenapa menangis?”“Mas Reyhan bunuh diri, Ma,” jelasku pada wanita yang telah melahirkanku dua puluh sembilan tahun lalu.“Apa? Kok bisa?” “Entahlah, aku sendiri pun nggak tahu kenapa dia malah memilih jalan buntu dengan melakukan perbuatan itu.” Aku menghela nafas menghapus air mata yang sedari tadi mengalir. “Apa mungkin karena perkataanku tadi ya, sampai-sampai dia berani bunuh diri?” lanjutku menatap tak percaya Mama.“YaAlloh Amira ... kamu jangan menyalahkan diri kamu atas kematian Reyhan, kamu perempuan baik, mungkin dia seperti itu karena sudah terlalu capek hidup di dunia walaupun dengan cara yang salah memaksakan diri untuk mengakhiri hidup,” lirih Mama menguatkan. Sebagaimana perasaanku kini, hati yang paling terasa begitu belum ikhlas. Memang setiap yang bernyawa pasti akan kembali lagi ke sang pencipta, namun harus bagaimana lagi mungkin sudah garis takdir.“Iya.” Aku mulai merasa tenang saat Mama berucap barusan, mungkin saat ini aku harus belajar ikhlas
"Hallo, Amira. Ada sesuatu yang ingin aku beritahu tentang kamu tentang mantan suamimu. Ternyata dia barusaja melakukan pencobaan bunuh diri.” Jelasnya dari seberang telepon. “Apa? Ini siapa?” “Ini Bunga.” “Siapa yang bunuh diri?” “Reyhan.” “Apa?” Seketika itu aku merasakan debaran yang bergejolak di dada, terasa aneh dan tak percaya membuatku seakan tak percaya. Mas Reyhan bunuh diri? Karena apa? “Aku nggak percaya dia bunuh diri, kamu tahu dari mana?” tanyaku tak percaya, apalagi baru tadi sore Mas Reyhan datang ke rumah dan meminta maap atas apa yang telah ia perbuat kepadaku di masa lalu. “Malam tadi. Aku juga tahu dari Mas Irsyad.” Jelasnya membuatku terkejut. Bagai dihantam batu besar dadaku saat mendengarnya. Hatiku seketika gelisah. Bagaimana mungkin Mas Reyhan tega melakukan hal itu sementara setahuku dia tak akan mungkin melakukan hal bodoh apalagi sampai menghilangkan nyawanya sendiri. “Nggak mungkin dia bunuh diri, Bunga. Baru tadi sore dia datang ke rumahku.” A
—Lima tahun kemudian—“Ma, di depan ada tamu, katanya ingin bertemu dengan Mama,” ucap Bintang menghampiriku yang tengah sibuk menata bumbu di dapur.“Siapa, Nak?” “Nggak tahu. Katanya teman Mama.” Keningku mengerut heran. Aku merasa nggak ada janji dengan siapa pun tiba-tiba saja ada tamu datang ke rumah ini. Aku lantas menyelesaikan aktivitas di dapur dan segera menghampiri seseorang yang berada di ruang tamu. Kedua kakiku melangkah pelan menyusuri ruangan, tepat tiga langkah hendak menuju ruang tamu aku menatap dari kejauhan. Terlihat seorang laki-laki duduk termenung menampakkan raut wajahnya yang gelisah. Aku begitu terkejut ketika mengetahui tamu yang dimaksud Bintang.“Mas Reyhan?”Ternyata dia sudah bebas dari penjara. Lantas, kenapa dia datang ke rumah ini? Apa jangan-jangan ia ingin kembali menculik Bintang? “Ada perlu apa kamu datang ke rumah ini?” tanyaku menghampirinya menatap tak suka dengan kehadiran matan suamiku.“Amira.” Dia bangkit dan tersenyum.“Kamu mau mencu