***Anggota kepolisian datang tepat setelah Kenan membawa Hana keluar dari rumah kuno yang ada di tengah hutan. Entah darimana Ari tau tempat ini, namun yang jelas ... Kenan pastikan setelah ini mantan suami calon istrinya itu mendekam dan membusuk di penjara."Dia tidak sendiri, Pak Polisi. Ada ... ada ...."Kenan merengkuh bahu Hana dan mengusap lengan wanita itu dengan lembut seraya berucap. "Tenanglah, bicara pelan-pelan!"Hana hampir saja menangis. Lagi-lagi ia teringat kejadian dimana salah satu preman sudah berhasil membuat harga dirinya hancur. "Ada beberapa orang tadi disini, sepertinya ini ... markas," papar Hana. Beberapa anggota kepolisian bergerak memutari sekeliling rumah dan menggeledah semua tempat, tapi nihil ... mereka tidak menemukan pelaku lain selain Ari."Paksa tersangka untuk menelepon semua anak buahnya! Dua dari kalian pergi dan bawa mobil kepolisian sedikit jauh dari hutan ini agar mereka tidak curiga!"Perintah atasan diangguki mantap oleh anggota kepolisi
***"Kamu baik-baik saja, Han? Astaga, Mama khawatir sekali waktu tetangga kontrakan kamu datang ke rumah dan bilang kamu hilang," ujar Bu Wira khawatir sambil memeluk tubuh Hana. "I-- ini kemeja Kenan?""Iya, Ma," sahut Kenan cepat. "Lebih baik kita pulang sekarang sebelum hari mulai sore." Bu Wira mengangguk dan mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih banyak."Terima kasih atas bantuannya, Mas," tutur Kenan pada Adrian. Kakak Ari itu menggeleng cepat dan berkata, "Seharusnya saya yang minta maaf, Mas Kenan. Maaf, karena kelakuan adik saya hampir saja ...." Adrian menghentikan kalimatnya ketika kedua matanya tanpa sengaja menatap Hana yang segera menunduk dalam. Menyadari sikap Hana yang ketakutan, sontak saja Adrian tidak melanjutkan ucapannya. Takut jika semua yang ia katakan justru akan membuat Hana malu."Maafkan kami, Han. Seharusnya aku dan Ibu dulu mendengarkan semua kata-katamu, pasti akhir dari kehidupan kita tidak seperti ini. Sekarang semuanya tinggal penyesalan, atas na
***"Ada ribut-ribut apa di depan, Ken?"Kenan menggelengkan kepala samar ketika melihat keributan yang terjadi di depan rumah Mbak Juli, jalan akses menuju rumahnya kebetulan memang harus melewati jalanan ini."Mau kemana, Ken?" tanya Bu Wira ketika mendapati sosok Kenan yang sudah keluar dari dalam mobil.Hana menggigit bibir bawahnya saat menyadari jika Kenan berjalan mendekati Bu Heni yang nampak berdiri di depan rumahnya sembari menyaksikan keributan di depan rumah Mbak Juli."Mau apa anak itu?" gumam Bu Wira. "Kita turun, Han! Jangan sampai Kenan kalap dan memaki-maki Bu Heni di depan banyak orang."Hana mengangguk dan memilih turun dari mobil lalu berlari kecil menghampiri Kenan yang sudah meluap-luap emosinya."Sampai harta saya habis sekalipun, saya tidak akan pernah melepaskan Ari dari jerat hukum. Akan saya tuntut dia sampai mendapatkan hukuman yang setimpal!" kata Kenan dengan intonasi tegas.Beberapa tetangga yang masih berada di pinggir jalan pun seketika menoleh. Sejena
***Plak ...!!!Bu Heni melayangkan tamparan tepat di pipi Adrian. "Keterlaluan kamu, Dri! Kamu boleh membenci Ari karena kesalahannya memang tidak bisa dimaafkan, tapi ... jangan mudah percaya omong kosong wanita itu! Dia pasti sedang merencanakan balas dendam!" ucap Bu Heni menggebu-gebu. Dadanya terasa sesak untuk menerima semua kebenaran dari mulut Adrian. Rasa malunya pada Hana ia tutup dengan kabut kebencian."Mana mungkin Ari menculiknya sementara tadi dia pamit pergi ke rumah Risa. Dia akan segera menikah, tega kamu menghancurkan masa depan anakku, Hana!""Cukup!" teriak Kenan lantang. "Ternyata sikap bebal yang Ari miliki memang turunan dari Ibunya. Saya heran, masih ada ternyata orang tua yang menolak kesalahan anaknya padahal jelas-jelas bukti terlihat di depan mata. Datang ke kantor polisi, Bu Heni, maka anda akan tau semua kebenarannya. Dan ... jika setelah mengunjungi Ari anda masih saja berbicara kasar pada Hana, saya bisa menuntut anda dengan pasal mengganggu ketenanga
***Kevin menoleh dan mendapati kedua mata Anita berkaca-kaca. "Apa maksud kamu, Nit? Perasaan apa?"Anita melengos bersamaan dengan kristal putih meluncur dari bola matanya yang bening."Aku tau, Mas ... dari gelagat kamu saja mungkin bukan hanya aku ... tapi semua orang tau kalau kamu ... mencintai Mbak Hana.""Omong kosong apa ini, Anita?""Apa perasaan itu masih ada untuk Mbak Hana, Mas?" Ulang Anita. "Ah ... seharusnya tanpa bertanya pun aku tau jawabannya. Aku ... aku memang wanita yang tidak pandai bersyukur. Sudahlah hamil di luar nikah dengan pria lain, sekarang ... sekarang aku justru ingin menuntut cinta dari suamiku. Maafkan aku, Mas ...."Kevin merengkuh bahu Anita dan memeluk istrinya dengan erat. Detak jantung pria yang beberapa hari resmi menjadi suaminya itu menjadikan ketenangan tersendiri bagi Anita."Maafkan aku. Aku memang lancang, tidak seharusnya aku ikut campur urusan hati kamu, Mas.""Lihat aku, Nit!"Anita menggeleng samar. "Aku memang tidak tau diri. Seharus
***Menjelang malam ...."Mari masuk, Bu ... Pak ...."Emak melenggang setelah Bu Wira mempersilahkan wanita tua itu masuk ke dalam rumah."Hana ...."Bu Wira paham, ia menuntun Emak masuk ke dalam kamar dimana Hana sedang tertidur pulas, disusul Bapak dan Kenan di belakangnya sementara Kevin yang mendengar suara di depan pintu kamarnya pun mulai terusik. Pria itu menyingkirkan tangan Anita yang melingkar di pinggang dengan lembut dan perlahan. Ia bangkit setelah mengecup kening istrinya dengan penuh kasih sayang.Setelah Kevin keluar untuk bergabung bersama keluarga dan calon mertua Kenan, Anita membuka mata lalu buru-buru mengusap sudut matanya yang berair. Betapa pun Kevin menggaungkan kata cinta di depannya, Anita tetap paham bahwa Hana memiliki tempat khusus di hati suaminya. Dan Anita tidak bisa menjamah tempat itu."Masya Allah, Hana ...."Emak memeluk tubuh putrinya yang terbaring lemah. Setelah tertidur cukup lama, Hana merasakan seluruh tubuhnya remuk redam. "Emak ...," li
***"Bu, bantu aku bebas. Aku ... aku dijebak, Bu. Hana yang sudah ...."Plak ....Bu Heni menampar pipi Ari dengan cukup keras saat menyadari bahwa bungsunya belum juga jera meskipun sudah berada di kantor polisi."Bu ....""Ibu datang bukan untuk membebaskan pria brengsek seperti kamu," ucap Bu Heni. "Kami harus berangkat ke luar pulau hari ini, sertifikat rumah sudah Adrian tebus, kalau kamu bebas suatu hari nanti, tinggal saja disana."Ari menangis. "Ibu tidak adil. Dari dulu memang ibu tidak pernah adil," cicit Ari. "Sejak awal Ibu tau kan kalau aku dan Risa adalah sepasang kekasih, tapi ... kenapa justru meminang dia untuk Mas Adrian? Katakan, Bu!""Sudah terlalu jauh untuk membahas masa lalu, Ar," sahut Bu Heni. "Semua sudah terjadi, untuk apa membicarakan hal yang sudah tertinggal di belakang."Ari membuang muka. Bagi Ibunya, hubungan antara dirinya dan Risa dulu bukanlah tujuan utama. Adrian, sulung Bu Heni lebih dulu menaruh hati pada Risa, tanpa dia tahu jika adik dan wanit
***"Risa ...?"Risa masuk ke dalam ruangan berkunjung dengan ditemani Sang Bapak. Wanita yang beberapa hari nampak hancur itu kini mulai bisa menguasai air muka. Di depan banyak orang ia bisa terlihat baik-baik saja, tapi ketika sendirian ... siapa yang bisa menyembunyikan luka?"Selamat pagi, Bu ... Mas ...," sapa Risa sungkan ketika matanya bersiborok dengan kedua mata Adrian. "Maaf, kalau kami ingin berkunjung tanpa memberi kabar," ucapnya lagi."Aku bersyukur Hana bisa segera ditemukan sebelum hal-hal buruk terjadi padanya." Risa menatap wajah Ari yang berantakan setelah menangis. "Maaf, karena aku harus menggagalkan rencana kotormu, Ar. Ada gunanya juga aku mengaktifkan GPS di ponselmu."Ari menunduk dalam. Diam-diam pria itu bersyukur karena Risa yang sudah menyelematkan dirinya meskipun berujung pada hotel prodeo akhirnya."Sudah terlalu banyak kita menyakiti orang lain, Ar. Dan aku sadar ... apa yang aku dapatkan sekarang mungkin adalah sebagian kecil dari hukuman yang Tuhan
***"Assalamualaikum, Ma?""Waalaikumsalam, Sayang. Apa kabar?" tanya Bu Wira ramah. "Emak sama Bapak sehat, Hana?""Alhamdulillah. Kami semua sehat, Ma, kabar Mama sendiri bagaimana?""Sehat, Nak. Selalu sehat. Tumben telepon Mama, mau kasih kejutan ya?"Hana menggigit bibirnya gusar. "Ma ....""Ya, katakan, Nak!""Dua minggu lagi aku menikah ... dengan Pak Bima," ucap Hana hati-hati. "Mohon doa restunya.""Alhamdulillah ... serius secepat ini, Hana? Masya Allah, Mama bahagia, Nak! Semoga acara kalian berjalan lancar, kabari Mama dimana acara kalian berlangsung nanti.""Mama okey?""Tentu, Hana. Mama okey, apa yang kamu pikirkan, hah?"Hana menghela napas panjang. Beban yang berada di pundaknya hilang sudah. Rasa bersalah dan tidak tau diri yang dia rasakan selama ini menguap begitu saja saat semua keluarga Kenan memberikan restunya."Terima kasih, Ma. Terima kasih banyak." Hana menangis. Terbayang bagaimana wajah sedih Bu Wira di seberang sana. "Jangan pernah lagi merasa bersalah y
***"Pa ....""Sudah kubilang jangan panggil aku, Pa! Menjijikkan!" hardik Pak Agung. "Mang, bawa mereka berdua keluar, dan jangan pernah biarkan dua wanita mengerikan ini masuk ke dalam rumahku!"Mamang menyeret tangan Melinda dan Nasya secara kasar dan mendorongnya keduanya agar keluar dari dalam rumah dengan sedikit menghempas."Bikin kerjaan aja! Sana pulang!" hardik Mamang. "Gak tau diri banget!"Nasya berkacak pinggang, dadanya membusung dan berteriak lantang. "Kurang aja sekali kamu, hah? Dasar satpam miskin!"Mamang tertawa sumbang. Semakin bersyukur karena Bima tidak jadi menikah dengan wanita seperti Nasya. "Benar kata Pak Agung. Menjijikkan!"Nasya dan Melinda di usir secara tidak hormat. Mang Dadang segera menutup pintu pagar dan meludah tepat di depan Mel dan Nasya untuk melampiaskan rasa kesalnya."Sana pergi! Gak punya malu!"Mel menghentak-hentakkan kakinya sementara Nasya menatap rumah Bima dengan bergumam. "Semua gara-gara Satria, Brengsek! Harusnya aku jadi Nyonya B
***"Ternyata benar kata Melinda kalau sekretaris baru kamu itu memang gatel!"Bima berdiri. Napasnya memburu melihat Nasya tiba-tiba masuk ke dalam rumahnya tanpa permisi. "Satpam!" teriak Bima lantang. Mang Dadang berlari tergesa-gesa dan memasuki ruang tamu dengan tatapan bingung. "Loh, Mbak Nasya kok bisa masuk?" "Mamang bagaimana sih, daritadi kemana saja?""Ada Mbak Melinda di depan, dia ngajakin ngobrol, Mas. Saya gak tau kalau ada penyusup ....""Bim, tenang! Duduk!" Pak Agung bangkit. Dia berjalan mendekati Bima dan Nasya yang nampak bersitegang."Silahkan duduk, Nasya," kata Pak Agung formal. Hana dan kedua orang tuanya canggung. Wanita cantik itu merasa jika Nasya adalah orang penting di hidup Bima sebelumnya. Suasana sedang tidak baik-baik saja apalagi wanita di depannya itu sempat menyebut nama Melinda. Tentu saja sekretaris gatal yang dimaksud adalah dirinya. Hana."Kenapa datang-datang marah-marah di rumah kami, Nasya? Ada keperluan apa?""Pa ....""Maaf, saya bukan P
***"Sudah siap?"Hana dan Emak mengangguk berbarengan. "Sudah, Bapak masih di dalam, ganti baju sebentar," sahut Hana malu-malu. Pasalnya Bima sejak tadi tidak membuang pandangan darinya. Bahkan sesekali pria itu tersenyum sambil menatap Hana yang tersipu."Make up-nya terlalu menor ya?"Bima menggeleng. "Sudah pas. Malah makin cantik," puji Bima tulus. "Meskipun tanpa make up juga cantik, tapi kalau begini semakin cantik," imbuhnya.Emak tersenyum simpul. Dia mengusap lengan Hana dan berkata. "Jangan gugup! Kalau mau makan malam sama keluarga pacar memang begini.""Emak apa-apaan sih, pacar ... pacar ... udah tua ini kita," gerutu Hana malu. "Emak lupa kalau aku ini janda, sudah pernah gagal menikah pula.""Itu tidak penting, Hana," sahut Bima menimpali. "Janda, perawan, singel, itu tidak penting. Yang semua orang cari dalam sebuah hubungan adalah kenyamanan dan keterbukaan pada pasangan.""Jangan merasa rendah karena status janda, tidak semua status itu menyandang hal buruk." Emak
***"Kenapa buru-buru ngajakin balik, Han?" tanya Emak ketika mobil mereka mulai keluar dari pelataran rumah sakit. "Emak sama Bapak sudah bersiap bawa baju ganti. Eh, gak jadi menginap. Kenapa?""Canggung, Mak," jawab Hana lirih. "Lagian gak enak sama Pak Bima. Sudah diantarkan gratis, masa dia balik sendiri. Kasihan.""Perhatian sekali," puji Bima sambil tersenyum manis. "Terima kasih sudah memikirkan aku."Hana melengos. Bima selalu saja bisa membuat jantungnya berdebar hebat. "Saya hanya merasa tidak tau diri kalau membiarkan Pak Bima pulang sendirian. Setidaknya kalau pulang sama-sama kan saya jadi gak sungkan-sungkan amat."Emak dan Bapak manggut-manggut paham. "Ya sudah, setidaknya tadi sudah menjenguk. Bagaimana baiknya menurut kamu saja, Emak dan Bapak ngikut."Suasana di dalam mobil mulai hening. Emak dan Bapak tertidur sementara Hana bermain-main dengan ponselnya. "Besok makan malam bersama Papa, kamu siap, Han?"Hana meletakkan ponsel ke dalam tas. Dia menoleh sejenak la
***"Mama habis nangis?" Hana duduk di samping Bu Wira dan bergelayut manja di lengan wanita yang dulu adalah pemilik pemasok sayuran terbesar. Siapa sangka, pertolongan Bu Wira kala itu adalah jalan bertemunya Hana dan Kenan. "Kenapa?"Bu Wira menggeleng. Dia membalas pelukan Hana dari samping dan berbisik. "Dia suka sama kamu ya?"Pipi Hana bersemu. Air muka wanita itu sudah menjelaskan bagaimana perasaannya di depan Bu Wira. Ada sedikit nyeri, namun Bu Wira lagi-lagi berusaha menguasai diri. Kenan dan Hana memang bukan jodoh. Hana berhak melanjutkan hidupnya sementara Kenan berhak melihat kebahagiaan Hana di alam sana. "Kalau Mama lihat, sepertinya lebih dari suka. Sikapnya seperti Kenan."Hana menoleh dengan cepat. "Mama juga merasakan itu?"Bu Wira mengangguk membenarkan. "Caranya mencuri hati kamu persis seperti cara Kenan waktu itu. Iya kan?"Hana bergeming. Lagi-lagi kesedihan merajai hatinya. "Tapi perasaan ini belum tumbuh, Ma. Aku ....""Tidak perlu terburu-buru, Hana. Mam
***"Ma, dia bukan supir," kata Kevin membuat langkah kaki Bu Wira terhenti. "Hah, bukan? Lalu ...?" Bu Wira menatap bingung pada Kevin dan semua orang yang ada di ruang tamu."Ini Pak Bima, partner bisnisku," jelas Kevin. "Bos Hana."Sorot mata Bu Wira seketika meredup. Senyumnya langsung memudar ketika Kevin mengatakan jika Bima adalah Bos Hana yang baru. Sontak saja ingatannya beralih pada bagaimana dulu Kenan memperlakukan Hana. Sikapnya sama seperti sikap Bima pada Hana saat ini. "B-- Bos?"Suasana yang hangat seketika membeku. Semua orang di ruang tamu sontak saja saling pandang karena air muka Bu Wira yang berubah tidak ramah seperti semula. "Hana ... bekerja?"Hana paham. Sejak awal dia tidak mengatakan jika dia sudah bekerja di Perusahaan lain sementara Perusahaan Kenan pun bisa kapan saja menerimanya dengan pintu terbuka. Wanita cantik itu melangkah mendekat. Dia memeluk Bu Wira dan berkata. "Maaf, Ma.""Kamu bekerja, Nak?" tanya Bu Wira menyelidik. "Dimana?"Belum sempat
***"Pak Bima?" Hana memekik di depan rumah ketika Bima keluar dari mobilnya yang berbeda lagi dari kemarin malam. "Kan saya sudah bilang kalau ....""Pak, Mak ... sudah siap?"Emak dan Bapak memandang Hana dengan tatapan bingung sementara Hana justru jauh lebih bingung lagi."Kalau sudah siap, ayo! Kita langsung ke Rumah Sakit atau ke rumah Kevin dulu?"Segaris senyum terbit di bibir Bapak dan Emak. Keduanya paham jika keberangkatan mereka kali ini adalah dengan diantar oleh Bima. Sementara Hana cemberut karena Bima datang tanpa memberi kabar."Kami naik Bus, Pak. Pak Bima bisa naik Bus?" tanya Hana tak acuh. "Kalau gak bisa, mending gak usah ikut!""Kamu gak lihat aku bawa mobil?" sahut Bima ketus. "Kalau kamu mau naik Bus, ya silahkan! Tapi Bapak sama Emak ikut aku.""Loh, situ siapa kok ngalah-ngalahin anak sendiri?" Hana berkacak pinggang. "Anaknya Emak sama Bapak itu saya, Pak. Kok Bapak yang ngatur sih?!""Kamu gak tau, ini ... calon mantu," kata Bima sembari memainkan kerah ba
***"Sudahlah, Pak, jangan bercanda ke arah sana terus. Saya ...."Hana menggantung ucapannya di udara sementara Bima mengangguk paham dan kembali menikmati hidangan di depannya."Jadi besok kamu gak bisa makan malam bersama Papa?""Saya sudah berjanji pada Anita untuk datang, Pak, bisakah acara makan malamnya ditunda minggu depan? Maaf," kata Hana sungkan. "Keterlaluan sekali saya menolak ajakan orang pertama di Perusahaan, tapi ... saya benar-benar sudah berjanji pada istri Kevin, Pak.""Oke, Hana. Aku paham," sahut Bima tenang. "Jangan khawatir, Papa juga pasti paham. Lagipula kita terlalu dadakan membuat acara."Hana berterima kasih dan kembali mengikuti gerakan Bima menghabiskan makanan di atas meja. Siasana puncak yang semakin lama semakin ramai membuat Hana dan Bima semakin enggan untuk beranjak. Dinginnya puncak tidak lantas membuat keduanya jengah menatap keindahan alam dari atas sambil menikmati minuman hangat. "Kita pulang?" Hana mengangguk setuju. "Sudah terlalu larut, s