Sepanjang perjalanan pulang menuju ke apartemenku, kami hanya saling mengunci suara. Arsya sepertinya memahami bahwa aku sedang tak ingin bicara. Pun saat kami duduk bersisian di sofa setibanya di apartemen. Entah berapa lama kami berdiam diri hingga kemudian Arsya menggenggam tanganku. Dari sudut mata kulihat ia memandangiku.
"Kamu sudah tahu bagaimana keluarga saya." Aku tertawa pahit, lantas menoleh padanya. "Kamu pasti ingin menertawakan saya."
Arsya menggeleng. "Tidak ada alasan bagi saya untuk menertawakanmu."
Kembali aku mengalihkan pandangan dan berkata, "Kehidupan saya menggelikan. Ayah saya berselingkuh. Kakak saya membenci adiknya sendiri. Lalu saya adalah seorang pecundang yang menyimpan luka dan memendam trauma demi sebuah citra keluarga yang baik-baik saja."
"Setiap keluarga pasti mempunyai masalahnya sendiri, memiliki ketidaksempurnaan yang enggan ditunjukkan pada orang-orang." Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Dan mempunyai kelu
Langit sore yang cerah masih berada di atas sana. Awan berarak membentuk gumpalan putih yang kemudian terputus-putus. Semilir angin meniup daun-daun pada pepohonan yang berderet di sepanjang jalan. Aspal hitam yang panjang membentang tampak begitu mulus, tak terdapat lubang sedikit pun. Dua orang anak laki-laki tampak berjalan dengan riang. Seorang yang lebih tinggi memimpin di depan sambil bersiul. Sesekali tangannya memetik rerumputan tinggi di pinggir jalan. Sedangkan di belakang, sang adik mengikutinya dengan langkah-langkah kecil. Kadang ia berlari untuk mengimbangi kakaknya. "Senangnya bisa bermain di luar lagi!" seru Arsen gembira. "Kita mau ke mana, Kak?" Arsya bertanya penasaran. "Sudah, ikuti saja." Arsya menoleh ke kanan dan kiri. Jalanan itu sepi. Tak ada siapa pun selain mereka berdua. Kendaraan juga tak ada yang lewat. Arsya merasa asing. Seharusnya mereka masih berada di jalan raya sekitar kompleks perumahan. Namun Arsya merasa
Seorang pemuda melangkah keluar dari pesawat yang baru saja ditumpanginya dengan perasaan riang. Ia telah tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Senyum tak henti menghiasi wajahnya ketika berada di dalam taksi yang membawanya dari lokasi bandara di Tangerang menuju Jakarta. Ini bukan pertama kalinya ia menjejakkan kaki di ibu kota. Namun kali ini akan berbeda karena ia akan menetap. Setelah mendapat panggilan wawancara kerja dari sebuah perusahaan besar di Jakarta, Dikta langsung terbang dari Lampung. Wawancara kerja itu adalah seleksi akhir dan ia yakin akan lolos. Kalaupun akhirnya tidak lolos, ia berencana akan tetap berada di ibu kota untuk mencari pekerjaan lain. Dikta menghela napas ketika sopir taksi berhenti tepat di depan sebuah rumah indekos. Dikta telah berjanji dengan salah seorang temannya bahwa ia akan menginap di kamar indekos temannya tersebut selama ia mencari indekos yang lain. Namun beberapa jam menunggu, batang hidung si kawan tak juga muncul. Sa
Delisha menoleh ke arah pintu ruangan Arsya. Ia tahu pria itu tak akan menerimanya masuk. Arsya bahkan sudah pernah memperingatkannya untuk tak lagi datang ke gedung PT. Vibrant Indo Manufacture. Namun, Delisha seakan tak peduli. Ia kerap datang ke sana di sela jam makan siang, kadang membawakan kotak bekal untuk Arsya. Kali ini Delisha kembali gigit jari karena Arsya masih belum mau menemuinya. Sambil menghela napas, Delisha menitipkan kotak bekal yang dibawanya pada sekretaris Arsya. Para pegawai PT. Vibrant Indo Manufacture sudah memaklumi tingkah Delisha. Sudah tersebar kabar bahwa Delisha adalah kerabat Arsya yang pernah dijodohkan semasa kecil. Tentu saja Delisha yang pertama kali menginformasikan hal tersebut. "Jangan lupa kasih bekalnya ke Pak Arsya," ucap Delisha sekali lagi pada sekretaris Arsya, lalu ia beranjak. Baru saja ia ingin meninggalkan kantor Arsya ketika seorang pemuda menyapanya. Ternyata pemuda itu adalah Dikta, adik kelasnya saat SMA yang sekarang sudah menja
Kedatangan Dikta untuk menetap di Jakarta membuatku merasa serba salah. Di satu sisi, aku merasa senang karena kehadiran Dikta mengobati sedikit rasa rinduku pada kampung halaman. Namun di sisi yang lain, aku merasa khawatir ia akan mengetahui tentang hubunganku dengan Arsya dan perjanjian di antara kami.Andai keadaannya berbeda, aku pasti sudah menyewa kontrakan sederhana di pinggir kota dan tinggal bersama Dikta. Namun semuanya telah terjadi. Jika mengurut ke belakang tentang penyebab semua ini, pikiranku akan semakin penuh. Aku menghela napas, hanya bisa berharap bahwa Dikta tidak akan mengetahuinya.Menatap layar ponsel, aku teringat bahwa aku belum menanyakan di perusahaan mana Dikta bekerja. Perlahan kupilih nomor kontak Dikta untuk meneleponnya. Namun jemariku terhenti saat melihat panggilan masuk dari sederet nomor asing. Ragu sesaat, tetapi kemudian kuangkat panggilan itu."Halo. Apa benar ini nomor ponsel Abelia?" Suara lembut keibua
Dua minggu sudah Dikta bekerja di PT. Vibrant Indo Manufacture. Ia masih menunggu ajakan makan siang bersama Delisha seperti yang dijanjikan oleh gadis itu. Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Dikta mendapat telepon dari Delisha saat sedang memikirkannya. Siang itu mereka berjanji untuk makan bersama di sebuah kafe. Dikta merapikan sedikit kemejanya saat akan memasuki kafe. Delisha sudah duduk menunggu sambil menikmati secangkir latte. Ia tersenyum kala melihat Dikta yang tentu saja dibalas oleh pemuda itu dengan senyuman dan wajah semringah. Apalagi saat dilihatnya penampilan Delisha yang rapi dan berseri. "Jadi, kamu bisa masuk di PT. Vibrant Indo Manufacture atas rekomendasi siapa?" Delisha memulai pembicaraan setelah pramusaji mengantarkan makanan mereka. "Tidak atas rekomendasi siapa-siapa, Kak. Kemarin mereka memang sedang membuka lowongan pekerjaan dan aku mencoba mengikuti seleksi," jawab Dikta sambil mengunyah makanannya. "Really? Saya kira atas rekomendasi kakak kamu." Delisha
Pagi itu, Arsya segera membuka rapat ketika semua peserta telah berkumpul. Dikta memperhatikan sikap si direktur muda yang bicara seperlunya, tidak banyak tersenyum ataupun beramah-tamah. Sama sekali tak tampak seperti bos genit meskipun memiliki sekretaris yang muda dan cantik. Namun, siapa yang tahu perilakunya di luar kantor? Maka Dikta tak ingin cepat menyimpulkan dan masih mencoba menilik gerak-gerik sang bos. Sebuah pertanyaan melintas di benak Dikta. Kalau memang Arsya dan Abelia memiliki hubungan, bagaimana keduanya bisa saling mengenal? Tentu tidak mudah bisa mengenal apalagi mendekati seorang direktur perusahaan besar seperti Arsya.Lamunan Dikta buyar ketika mendengar Arsya meminta laporan dari setiap manajemen. "Penjualan alat berat mengalami kenaikan 15% dibandingkan tahun lalu. Permintaan terhadap produksi alat berat juga terus naik. Sebanyak 60% penjualan kita adalah untuk sektor pertambangan, sisanya untuk sektor lain termasuk konstruksi. Produksi alat berat PT. Vibra
"Apa-apaan kamu, Dikta?!" hardikku begitu melihat Arsya yang sedikit terhuyung akibat tinju Dikta yang sangat keras.Aku memegangi lengan Arsya dan merasa panik begitu melihat setitik darah menetes dari bibirnya. Arsya mengelap ujung bibirnya sambil berbisik padaku bahwa ia baik-baik saja. Namun, aku bisa melihat raut wajahnya yang tak terima atas pukulan Dikta. Hanya saja Arsya mungkin mencoba menahan amarahnya karena Dikta adalah adikku."Ada apa, Dikta?! Dan kenapa kamu datang ke sini tanpa mengabari kakak?" cecarku."Kakak menyuruhku untuk mengabari sebelum datang kemari karena takut ketahuan bahwa Kakak menjalin hubungan dengan pria berengsek ini, 'kan?!" Dikta menunjuk wajah Arsya."Chill, Dikta. Let's have a seat and talk." Arsya berkata dengan tenang."Shut up," ucap Dikta sinis kemudian beralih lagi padaku. "Pantas saja sikap Kakak mencurigakan, seperti sedang menyembunyikan sesuatu."Aku menatap
Lingkungan kerja PT. Vibrant Indo Manufacture sebenarnya sangat menyenangkan bagi Dikta. Namun, karena permasalahan pribadinya dengan Arsya, Dikta tetap memutuskan untuk mengundurkan diri. Ada rasa sedih menyelinap di hati Dikta, karena perusahaan itu salah satu impiannya sejak dulu. Nyatanya, harga diri atau mungkin egonya lebih berpengaruh dalam mengambil keputusan.Dikta masih bekerja di sana selama menunggu masa training yang akan selesai dalam beberapa hari. Menjelang jam makan siang, ia mendapat telepon dari Delisha yang kembali mengajaknya bertemu. Sebenarnya Dikta sudah enggan bertemu, tetapi juga dia merasa tidak enak untuk menolak. Maka saat jam makan siang, mereka bertemu di taman yang letaknya tak jauh dari kantor mereka masing-masing."Jadi, bagaimana tentang Abelia dan Arsya? Sudah kamu selidiki?" tanya Delisha langsung setelah mereka saling menyapa.Terdiam sejenak, Dikta lalu mengangguk. "Apa yang Kak Delisha bilang itu benar."
Hello, MELODI ABELIA readers! Thank you so much for reading love story of Abelia and Arsya. Hope you like it. Cerita ini memang bukan tema populer, tapi aku menyukainya. Tema novel ini memang sedikit dark dengan mengangkat isu kesehatan mental dan konflik keluarga yang pelik. Di sini hampir setiap tokohnya melakukan kesalahan, tidak ada yang sempurna. Masing-masing memiliki sisi baik dan buruk, juga memiliki keterikatan dengan masa lalu. Masing-masing tokoh juga mengalami perkembangan karakter.Terlepas dari kelebihan dan kekurangan dari novel ini, semoga kamu bisa mengambil pelajaran di dalamnya, ya. Semoga juga bisa menjadi bacaan yang menghibur dan berkesan. That's it. Thank you and see you. With Love,Author Remahan Croissant NOTE: JANGAN MENJIPLAK KARYA INI SEBAGIAN ATAUPUN SELURUHNYA. SANK
Sekian tahun berlalu. Abelia terbangun di pagi hari karena sinar mentari yang mengintip dari sela tirai jendela kaca. Segera ia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya, ia melihat kalender. Ia tak akan pernah lupa pada tanggal itu. Hari ulang tahun Arsya, pria yang sangat dan akan selalu ia cintai. Perlahan Abelia menghela napas. Sambil menyunggingkan senyum, ia beranjak ke kamar anaknya. Putranya yang bernama Abizhar, berumur 5 tahun. Putrinya yang bernama Aubrie, berumur 3 tahun. Abelia segera membangunkan mereka untuk mandi dan bersiap-siap. Karena mereka sulit sekali dibangunkan, Abelia menciumi pipi mereka hingga terbangun. "Ayo, bangun. Hari ini ulang tahun papa," ucap Abelia. Abizhar dan Aubrie segera bangkit dari ranjang mungil mereka masing-masing. "Oh, ya. Hari ini ulang tahun papa!" seru mereka. "Apakah kita akan menemui papa hari ini, Ma?" tanya Abizhar. "Tentu saja, Sayang. Makanya mandi, biar cepat bertemu papa." Abelia tersenyum. "Ayo, mandi, M
Penantian Arsya berakhir sudah. Hari bahagianya bersama Abelia yang sempat tertunda kini telah terwujud. Sebuah hari bahagia di mana ia dan sang kekasih akhirnya mengucap ikrar suci dan janji untuk saling setia dalam ikatan pernikahan. Mereka mengikuti semua prosesi pernikahan yang sakral dalam suasana syahdu. Para tamu yang hadir pun ikut terlarut. Ijab kabul dan prosesi adat telah selesai dilakukan. Sekarang saatnya mereka bersanding di pelaminan mengebakan sepasang gaun pengantin hasil rancangan desainer ternama. Arsya terlihat semakin tampan dalam balutan tuxedo berwarna putih, sedangkan Abelia mengenakan gaun panjang sederhana berwarna putih yang terlihat mewah dengan taburan payet di bagian dada. Para tamu mengagumi keelokan penampilan mereka. Ditambah dengan dekorasi pernikahan yang didominasi dengan warna putih semakin membuat suasana pesta pernikahan itu begitu agung. Arsya menoleh pada Abelia, wanita yang sudah sah menjadi istrinya. Keel
Kebekuan melingkupi Abelia dan Arsya sepanjang perjalanan. Setibanya di apartemen Abelia pun mereka masih saling berdiam diri tanpa sepatah kata terucap. Sambil menahan air mata, Abelia menatap Arsya. Mereka saling menatap dalam diam dengan pandangan yang redup. Suasana yang dingin pun tercipta. Semua kebahagiaan yang terjadi pada mereka belakangan ini seolah lenyap begitu saja. Abelia merasa dia harus kembali mengulang masa-masa sakit, tetapi kali ini lebih perih. Masa lalu yang kelam kembali datang menghampiri. Membuat luka yang sudah hampir sembuh kini menganga kembali. "Arsya," panggil Abelia pelan. "Lebih baik kita akhiri hubungan ini." Perlahan Abelia melepaskan cincin tunangan yang melekat di jari manisnya. Melihat itu, Arsya menahannya dan menggeleng. "Aku tidak mau, Abelia." "Lalu maumu bagaimana? Tetap menjalani hubungan sampai ke pernikahan setelah semua fakta itu?" cecar Abelia. Sejenak Arsya terdiam, lantas mengangguk. "Bagaimana mungkin aku bisa menikah dengan seora
Suasana bahagia masih meliputi hati Abelia dan Arsya sejak hari pertunangan mereka kemarin. Mereka tak bisa menyembunyikan kelegaan akan hubungan mereka yang sudah masuk ke jenjang yang lebih serius. Kedua pihak keluarga juga sudah membicarakan persiapan pernikahan mereka yang rencananya akan dilaksanakan dalam beberapa bulan ke depan. Hanya tinggal selangkah lagi untuk benar-benar saling memiliki.Kini Abelia bisa sedikit lebih fokus pada outlet barunya yang sudah dibuka dan beroperasi. Ia sudah mempekerjakan beberapa orang karyawan yang didapatnya dari rekomendasi supplier produk jualannya. Hari-hari yang sibuk akan segera dimulai. Abelia harus membagi waktu antara mengurusi bisnis dan mempersiapkan pernikahan.Namun, Abelia tak merasakan masalah berarti karena ada Arsya yang selalu mendukungnya. Hari itu Arsya menemani Abelia mengunjungi outlet-nya yang dinamakan Abelia Mode. Selain menjual kain, Abelia juga berencana untuk memproduksi pakaian berbahan d
Hari pertunangan Abelia dan Arsya secara resmi tengah berlangsung. Mereka memilih tema garden party sebagai dekorasi. Lantunan musik romantis terdengar dari sebuah band akustik yang berada di salah satu sudut taman. Nada dan melodi yang merdu itu seakan membuat para tamu terhanyut dalam kesyahduan. Keluarga dari kedua belah pihak telah datang. Abelia datang hanya bersama keluarga intinya yang sempat menginap semalam di hotel. Sementara dari pihak keluarga Arsya tidak hanya dihadiri oleh keluarga inti, tetapi juga kerabat dekat termasuk Derry dan Delisha. Semua tamu tampak menikmati suasana pesta yang hangat itu. Arsya dan Abelia berdiri berdampingan di depan sebuah dekorasi hiasan bunga bertuliskan inisial nama keduanya. Mereka mengobrol dengan para kerabat yang sebaya. Setelah para kerabat itu berlalu, Delisha berjalan mendekati Arsya dan Abelia yang tampak sibuk bercanda satu sama lain. Melihat itu, Dikta menyusul karena merasa khawatir Delisha akan membuat
Ini pertama kalinya aku berlibur ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Memang tak salah kalau Arsya ingin mengajak liburan ke sini karena begitu banyak wisata alam yang indah dan memanjakan mata. Kalau sudah mengeksplor keindahan alam biasanya kepenatan akan hilang dan tergantikan dengan ketenangan dan tentu saja munculnya ide-ide baru. Setelah semalaman berisitirahat di hotel, hari pertama kami berkunjung ke Gua Kristal dengan waktu tempuh sekitar 30 menit dari kota Kupang. Awalnya aku ragu untuk masuk karena sebelumnya aku belum pernah mengunjungi gua atau sejenisnya. Namun, setelah akhirnya turun, tak ayal aku mengagumi keindahan Gua Kristal. Di dalamya terdapat air yang berwarna biru kehijauan, sangat unik. Aku dan Arsya mengambil beberapa foto dari berbagai sisi yang memberikan efek berbeda di setiap sudut pengambilan gambar karena perbedaan cahaya. Puas menikmati keindahan Gua Kristal, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Lasiana yang tak kalah indah.
Hari sudah gelap ketika Abelia dan Arsya tiba di kediaman Hadinata. Rumah besar itu terlihat sepi. Masih dengan perasaan cemas, Abelia mengikuti langkah Arsya masuk ke dalam rumah. Yunita sudah menunggu di ruang tamu dengan penampilannya yang elegan bak putri keraton, seperti biasa.Namun, kali ini ada senyuman di wajah wanita paruh baya itu. Tiba-tiba Abelia merasa tak enak hati karena ia dan Arsya datang dengan tangan kosong. Abelia memang sama sekali tak membawa buah tangan dari Lampung karena ia tak berpikir akan bertemu dengan Arsya kembali, apalagi bertemu Yunita."Lama tidak berjumpa, Abelia," sapa Yunita membuyarkan lamunan Abelia."Ya, Tante," sahut Abelia pelan.Walaupun Yunita bersikap ramah, Abelia masih bisa melihat kesan kaku pada sikap mama Arsya itu. Abelia berkesimpulan bahwa memang begitu watak Yunita karena pada Arsya pun begitu sikapnya. Melihat Abelia masih berdiri di tempatnya, Arsya membimbing wanita itu untu
Setahun mengurusi online shop di Lampung, begitu banyak perkembangan yang patut aku syukuri. Sejak delapan bulan lalu, aku sudah mendirikan sebuah outlet tak jauh dari rumahku. Sengaja aku membuatnya agar aku juga bisa menjual produk secara offline dan mempekerjakan penduduk setempat sebagai karyawan.Aku sudah memiliki beberapa orang karyawan untuk mengurusi usahaku secara online dan offline. Selain itu, aku juga menambah produk jualanku berupa kain tapis (kain tenun Lampung) yang bisa bernilai mahal. Kini penjualanku mulai merambah ke negara tetangga. Hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya.Ibu sangat bahagia melihat keberhasilanku. Di sela bekerja, aku juga sering mengisi seminar yang masih berhubungan dengan UMKM. Karena banyak tawaran seminar yang berasal dari Jakarta dan akupun berniat membuka cabang outlet di sana secara serius, maka aku memutuskan untuk kembali menetap di ibu kota negara tersebut.Awalnya ibu berat melepasku kemba