Argh. Sial!
Menarik nafas dalam-dalam, menepuk pipi kiri dan kanan berulang kali. Jantungku berdebar kencang, laki-laki sok ganteng itu memang selalu membuatku berseri disekolah.Aish ... mengapa aku harus bertemu dengan dia disaat seperti ini. Aku berharap Wiwin tidak mengingat masalalu. Memalukan!Kembali aku memasukan surat berharga itu didalam brangkas. Lalu mengganti kode pada pengamannya. Mengingat keluarga Mas Ronald yang begitu licik, bukan tidak mungkin dia memasuki rumah ini saat aku tidak ada didalamnya.Kembali menarik nafas, lalu menghempasnya melalui mulut. Berjalan menuju toilet, melepas satu demi satu pakaian yang menempel ditubuh lalu berdiri dibawah shower. Mataku terpejam, menikmati hujaman air yang menikam rambut kepalaku.Terasa menyegarkan. Buliran air yang mengalir membasahi rambut kepala hingga pori-pori kulit, membuat fikiran sedikit relax.Melilitkan handuk kimono pada tubuh, lalu menggulung"Bukan hanya uang jajan, As ... kamu jangan salah paham. Disitu juga tertera uang bayaran sekolah Naura," jawab Mas Ronald tanpa rasa bersalah. Benar-benar menyulut emosiku.Aku mendengkus kesal, lalu menaruh kedua tangan dipinggang. Aku amati laki-laki didepanku dengan tatapan jengah, Mas Ronald terlihat tenang. Tak bergeming sedikitpun. Tak punya malu!Benarkah dia adalah Ayah dari anakku?"Kau tak ingin membayarnya?" tanyaku dengan otak yang mulai panas."Bukan begitu ....""Cih ... jadi kau tidak ingin menanggung apapun dari Naura, uang jajan ataupun sekolahnya?" tanyaku dengan mata melotot tajam."Ya ... kamu tahu sendiri aku tidak kerja, itu juga Ibu harus mengorek tabungannya untuk memenuhi keingan Naura. Dari pada Naura ngambek, tidak mau makan," jawabnya bagai orang bodoh."Itu uang Ibu ... gantikan saja As, nanti kalau aku sudah kerja. Pasti aku ganti," sambungnya.Kembali aku melihat rincian pengeluaran dikertas yang
Sepertinya Mamah sangat bahagia, dengan kesulitanku."Astrid ... Astrid. Ajaib sekali sih, keluarga suamimu," kekeh Mamah begitu geli, dia sampai menyeka sudut mata sebab bulir bening menetes begitu saja.Lucu sekalikah, ucapanku?"Ckckck ... haduh. Haduh," Mamah mengatur nafas, mungkin sesak, sebab nafasnya banyak yang keluar dengan cepat."Seneng banget, Mah." cibirku."Eh ... haha. Sory," Mamah mengantup mulutnya. "Habis lucu aja As ... ada ya keluarga begitu," sambungnya."Hhh ..." desahku."Terus kamu kasih?" Tanya Mamah sambil melepas ransel Naura."Tidaklah ... enak aja," jawabku geram. "Kesal banget aku Mah, Ibu dan anak sama aja tidak pada tahu diri. Heran! Kenapa dulu aku bisa cinta banget ya sama mereka," sambungku sambil mencucutkan bibir."Di dukuni kali," celetuk Mamah."Ya enggak lah, Mah ... hari gini, masa iya masih ada yang kaya gitu. Ngawur," balasku."Ya siapa tau. Habis dulu kamu susah
Edwin memajukan wajah, menghujamku dengan tatapan sendu."Aku menunggu jandamu ..." ucapnya pelan.Tenggorokanku tercekat, mata ini membulat mendengar ocehannya. Gelas didalam genggaman hampir saja terlepas jika aku tidak segera sadarkan diri."Bercandamu tidak lucu!" ketusku memasang wajah sebal, padahal pipiku sudah menghangat dibuatnya.Edwin berdecak singat, lalu kembali menarik tubuh dan menyenderkannya dipunggung kursi."Selalu begitu ... nanti kalau aku sudah sama yang lain, baru nyesel." gumamnya begitu pelan, namun telingaku dengan jelas mendengarnya.Masa putih abu-abu terngiang dikepala, sebelum aku terbuai dengan kenangan manis beserta pahit itu. Aku segera menepisnya."Permisi ..." dengan senyum ramah, pelayan cafe meletakkan segelas moccacino dan dua porsi roti bakar keju diatas meja."Makasih," ucapku."Silahkan Mbak, Mas ..." ucapnya ramah, sebelum men
"Setidaknya kita harus berjuang dulu Bu ... Ronald yakin, rumah itu sudah menjadi milik Ronald." sahutku dengan penuh percaya diri."Awas aja kalau sampai gagal, Ibu penggal kepala kamu!""Ya ampun Bu!" teriakku. "Seram banget, nyebut Buk," mataku sampai keluar mendengar ucapan Ibu. Leherku berasa ngilu, ser-seran.Lebih sayang mobil apa yah. Dari pada anak sendiri."Sudah sana ... suruh pulang anakmu, sebelum kepala Ibu tambah pecah," Ibu melibaskan tangannya."Tapi Bu ....""Tapi apa lagi?" sentak Ibu. Aku langsung tertunduk lesu, melihat wajah sangar Ibu."Iya Bu ..." sahutku lalu beranjak menuju kamar."Huh ... berat sekali ujianku," desahku sambil membuka pintu."Mas ..." Sekar mencucutkan bibirnya, saat aku baru saja menghempaskan bokong diatas ranjang."Kenapa lagi?" sahutku tak bersemangat."Cari kerja dong ... Ibu di kampung tadi telepon, minta dikirimi uang," Sekar bergelayut dilenganku. Naura mel
"Sudah jangan banyak alasan. Jika dia tidak mau kerja, pulangkan saja kerumah orangtuanya!"Aku dan Sekar terlonjak bersamaan, tatapan kecewa dilayangkan Sekar untuk Ibu."Ibu ... kok ngomong gitu," suara Sekar menggantung diudara. Wajahnya begitu sedih, dengan bibir tersungging tipis."Huh.. menyusahkan saja!" Ibu menaruh kasar tempat menyiram tanaman lalu pergi begitu saja."Sabar ya Dek," aku memegang kedua pundak Sekar."Sabar terus!" teriak Sekar. "Harusnya sebagai suami, sudah kewajiban kamu untuk nafkahi aku. Ini kenapa sebaliknya, hah!" Air mata Sekar berjatuhan."Selama ini aku sabar disindir-sindir terus, tapi hari ini Ibu benar-benar kelewatan.""Ssttt ... jangan teriak-teriak," bujukku."Kenapa, kamu malu? Ibumu yang meyakinkan aku untuk menjadi istri kedua. Sekarang dia malah memusuhiku, lucu sekali! Menyesal aku sudah mau menuruti kata-katanya," nafas Sekar tak beraturan, dadanya naik-turun dengan cepat."A
"Ya gue sudah berusaha bertahan dan menyadarkan Astrid. Tapi mau gimana lagi, namanya orang lagi jatuh cinta. Bukannya mendengar malah mencak-mencak dan tidak terima," ucapku melanjutkan bualan."Ya ampun ... parah juga si Astrid." Setyo berdecak, tak habis fikir."Iya ... gue juga masih shock Yo. Harga diri gue berasa diinjek-injek, mentang-mentang dia yang banyak uang," sahutku lesu, tak bersemangat."Silahkan ..." Laras menaruh dua gelas kopi diatas meja lengkap dengan kudapannya."Mari ..." pamitnya lalu kembali masuk ke dalam."Orangtua Astrid gimana? Diam aja anaknya selingkuh?" tanya Setyo.Aku mendesah panjang, sambil memasang wajah melas. Agar lebih alami akting ini dan tidak dibuat-buat. "Mereka mana percaya sama gue Yo. Astrid mengadu ke orangtuanya malah nuduh gue yang selingkuh sama pegawai toko." Sahutku sambil menarik rambut."Padahal pegawai toko laki-laki semua, ada pun perempuan di kasir gendut jelek lagi. Masa iya s
"Oh bukan ... itu Ibunya Anwar, mantan istri saya," jelasnya dengan senyum tipis.Aku kembali menengok kearah anak Pak Anton, perempuan itu benar-benar masih menatapku dengan tatapan sinis tak suka.Loh ... apa yang dirasa, kenal juga tidak. Kenapa melihat aku seakan musuh?"Oh begitu," sahutku."Saya tidak menyangka bisa bertemu Ibu disini," selorohnya begitu semangat. Aku hanya meringis menanggapinya."Mm ... Ibu Astrid boleh saya minta nomer ....""Saya permisi ya Pak, anak saya memanggil," selaku sambil melempar senyum tipis lalu beranjak dari hadapannya. Melihat tatapan sinis mantan istri Pak Anton, membuat aku risih. Malas sekali, maksudnya apa coba?"Eh ... iya Bu." samar aku mendengar ucapan Pak Anton."Sayang sudah yuk mainnya. Dingin," aku melambai pada Naura."Sebentar lagi Mah, lagi seru!" Teriak Naura dengan wajah memohon."Oke 30 menit lagi ya?""Iya, Mah." Naura mengacungkan jempol.Ak
"Saya harap saudara Astrid tidak terlalu sekarah untuk menguasai apa yang sudah kami dapatkan selama kita menikah. Biarlah, jika dia tak ingin mobil dibagi dua. Tapi saya harap dia mau membagi rumah, yang sudah jelas-jelas dihadiahi untuk pernikahan kita." Sambung Mas Ronald, dengan tatapan mengiba didepan Hakim beserta wakilnya.Aku hanya mendecih, sementara Mamah yang ada dibelakangku terdengar mengumpat mendengar ucapan Mas Ronald."Maaf, Pak Ronald ..." sela Edwin. "Mungkin Pak Ronald belum mengerti apa yang dimaksud dengan harta gono gini," sambung Edwin."Bukan begitu, Pak?" Edwin menatap pengacara Mas Ronald. "Bisa Bapak jelaskan pada client Bapak. Apa itu harta gono gini?" Lagi Edwin berbicara.Pengacara Mas Ronald menghela nafas, wajahnya murung tak bersemangat."Ya ... harta gono gini adalah harta suami dan istri. Bukan hanya harta istri, karna seperti yang kita ketahui. Suami wajib menafkahi istri, namun jika istri mempunya harta dengan
Pov Author."Gimana, beres?" tanya laki-laki berbadan tegap dengan gawai ditelinga."Beres, Boss. Aman. Semua sesuai dengan rencana." jawab suara serak diujung sana.Laki-laki dengan janggut tipis itu tersenyum puas, lalu memutuskan sambungan telepon."Cih! Sampah! Ditolong, malah menikamku!" desis laki-laki tampan itu."Boss Setyo, ada paket." terdengar suara teriakan dari balik pintu. Laki-laki itu menaruh gawai diatas meja kerja, lalu bangkit dari kursi kebesarannya."Ini, Boss." Yadi, karyawan baru pengganti Ronald menyodorkan amplop tebal berwarna coklat."Ya." jawab Setyo, sambil mengangkat kepala. Yadi mengangguk, lalu kembali melanjutkan pekerjaan."Ckckck, rapih juga cara kerjanya." gumam Setyo sambil merobek ujung amplop, lalu menarik isi didalamnya.Senyum miring tercipta saat Setyo melihat isi amplop, sedetik kemudian bibirnya tersenyum dengan lebar."Ini belum apa-apa," gumamnya pelan. "Setelah ini ak
Pov Sekar."Ha-lo Mbak," suara Rikhi terdengar saat aku menggeser tombol hijau dan menaruhnya ditelinga."Iya, Khi. Gimana Mas Ronald, sudah aka kabar?" cecarku cemas. Hampir satu minggu, Mas Ronald tidak bersua kabar. Istri mana yang tidak khawatir saat tak mendangar kabar beritanya."Mbak," suara Rikhi kembali terdengar tapi kali ini terdengar bergetar disertai isakan."Ada apa, Khi?" aku semakin penasaran."Mas Ronald ..." hawa dingin langsung menyelusup tengkuk leher, mendengar suara Rikhi yang menyebut nama suamiku dengan tersendat-sendat membuat fikiran buruk langsung menjalar difikiran."Mas Ronald kenapa, Khi. Kamu yang benar dong kalau bicara, jangan begini!" aku mulai panik, kehilangan sabar."Mas Ronald sudah tiada, Mbak. Huhu."Tubuh langsung bergetar hebat, kepala berdenyut tak sanggup mencerna kalimatnya."Mbak ..." suara Rikhi kembali terdengar. Aku hanya diam dengan dada yang bergemuruh hebat.Mas
Aku memekik tertahan, tubuhku meremang seirama dengan rasa nyeuri yang luar biasa disekujur badan. Laki-laki itu menatap datar, gerakannya semakin kuat menancapkan belati diperutku.***Ofd.Pov Astrid"Saya terima nikah dan kawinnya Astrid Anandia binti Bapak Santoso Permana, dengan mas kawin satu set emas seberat lima puluh gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!"Dengan satu tarikan nafas, Edwin mengucap janji suci. Hatiku bergetar seiring dengan serempaknya kata 'saaahhh' yang menggema disetiap sudut masjid."Alhamdulillah ..."
Laras langsung menarik selimut, tubuhnya bergetar hebat memandang sosok yang ada dihadapannya.Sementara aku, nafasku tercekat tubuhku membeku tidak dapat bergerak saat sorot itu menatap tajam kearahku."Gua kira kita temen," desis Setyo mengagetkanku.Lidah begitu kelu, aku kehilangan kata-kata. Tubuh bergetar hebat, saat melihat dua laki-laki berbadan tegap masuk kedalam kamar."Yo ... gue bisa jelasin ini semua." tuturku dengan jantung yang berdebar kencang."Jelasin?" Setyo menatap remeh, lalu terkekeh setelahnya. "Gimana tubuh istri gue, nikmat?" Setyo melangkah maju mendekatiku.Aku terdiam, menoleh kearah Laras."Gue bantu kesusahan lo. Tapi ini balasannya?" api kemarahan berkobar-kobar dimatanya."Yo," aku berusaha menahan tubuhnya yang semakin mendekati."Setan lo!!"Bugh ... bugh.Pukulan bertubi-tubi menghantam wajahku, aku tak ing
Ada uang disayang, tak ada uang dicemberutin.Nasib ....***Ofd"Mas berangkat dulu," aku mengulurkan tangan, membiarkan Sekar mencium punggung tanganku."Hati-hati," ucapnya sambil melempar senyum. Aku menganggukkan kepala, lalu mengusap lembut wajah Mutia dengan lembut."Ayah kerja dulu ya," bisikku ditelinga bayi berusia satu bulan itu.Aku langsung keluar rumah, melajukan kendaraan roda dua menuju tempat kerja.Butuh waktu empat puluh menit untuk sampai dirumah Setyo, aku lihat Boss Setyo sudah duduk dikursi teras rumah sambil menyeruput kopi hitamnya."Ngopi, Boss?" tanyaku setelah memarkirkan motor dihalaman luas milik Laras. Ya setahuku begitu, rumah dan usaha yang digeluti Setyo adalah warisan dari mertuanya yang berarti punya Laras."Hmm ..." Setyo hanya bergumam, sambil mengangkat cangkir kopi dan kembali menyeruputnya."Ngirim barang kemana har
"Cucu Ibu perempuan, dia cantik seperti Mamahnya," suster menyahut.Ibu terperangah, wajah penuh harapnya berubah keruh."Silahkan, Bapak." suster berjalan mendahuluiku, memberi jalan agar aku mengekorinya.Kulihat Ibu tertunduk lesu, tak ada gairah sama sekali.Bayi mungil didalam box bayi bergeliat, wajahnya benar-benar menyerupai Sekar. Hatiku terenyuh saat tangan ini bersentuhan dengan wajah merahnya.Kulantunkan takbir, bibirku bergetar saat melihat bayi itu membuka matanya. Entah mengapa aku jadi mengingat dosa, dosa kepada Astrid dan Sekar karna sudah mengkhianati kedua.Selesai mengadzankan bayi mungil itu, aku memutuskan untuk keluar dari ruangan. Rasa sesak menghimpit hati, merobek-robek relung jiwaku. Aku tidak tahu apa yang membuat hatiku serapuh ini, yang aku tahu aku sudah terlalu banyak berbuat dosa."Ibu mau kemana?" tanyaku saat melihat Ibu dan Zeky berjalan meninggalkan kursi
"Ya Alloh ... nafasnya melambat," ucapnya panik, lalu kembali menepuk-nepuk wajah Sekar."Dek, bangun Dek!" aku yang takut hal buruk terjadi pada Sekar langsung mendekat. Merangkup wajah pucatnya yang terasa semakin dingin."Bagaimana ini, Bu?" tanyaku panik, melihat Sekar yang tetap bergeming."Bu sadar, Bu." Ibu Bidan terus mengguncang tubuh Sekar."Segera bawa kerumah sakit, Ibu Sekar sepertinya sudah sangat lemah." jawab Bu bidan."Siapkan mobil, bantu saya menduduki tubuh Ibu Sekar diatas kursi roda," titahnya langsung aku turuti.Dengan perasaan kacau, segera memindahkan tubuh Sekar. Aku benar-benar takut dengan keadaannya."Loh kok dibawa keluar, ada apa?" Ibu terlihat bingung."Sekar tidak sadarkan diri, Bu. Harus dibawa kerumah sakit untuk segera dilakukan tindakan," jawab Bu bidan.Dibantu Zeky, aku memasuki tubuh Sekar kedalam mobil. Wajah kami semua benar-
Pov Ronald.Kepala berdenyut ngilu, jantung berdetak lebih kencang saat Sekar mengetahui tentang Laras. Sekar mulai curiga, dia terus saja membondong seribu pertanyaan untuk menyerangku.Saat ini yang aku lakukan hanya mengelak dan menghindar. Aku takut Sekar semakin curiga, dan masalah semakin melebar kemana-mana."Kasih tahu si Sekar, punya sikap itu dijaga. Masa kepala aku dilempar pakai piring," cebik Zeky saat aku baru saja tiba dirumah. Aku hanya menarik nafas, tak menggubrik ocehannya. Memilih sibuk memainkan gawai."Apes hidupmu, Mas. Lepas dari berlian dapet kepingan sampah." Lagi, Zeki terus saja mengumpat."Ga tahu diri. Sudah numpang dirumah mertua, tapi ga ada bebantunya sama sekali. Dikira dia itu Tuan Putri." Zeky terus berkoar."Ambilin, Mas minum sanah. Haus nih, ditambah denger kamu ngomel-ngomel. Bikin kepala tambah panas," ucapku kemudian, sambil menatap dingin sorot matanya. Zeky mendengkus, sambil menghent
"Lampu kamarnya dinyalakan dong, Mas Ronald. Aku jadi tidak bisa melihat wajah tampanmu." desahnya sambil menggigit bibir bagian bawah. Kepala langsung panas, aku menoleh nanar pada sosok yang tertidur lelap disampingku. Air mata luruh begitu saja, nafasku sesak menahan dentuman yang bergejolak didalam dada. Sakit sekali, Tuhan. Tega kamu, Mas! Apa kurangku selama ini, aku selalu sabar menghadapi Ibu dan Adik-Adikmu. Aku selalu pengertian disaat kau tidak memiliki uang, disaat Astrid membuangmu begitu saja aku selalu ada dan selalu setia mendoakan kese