"Sudah jangan banyak alasan. Jika dia tidak mau kerja, pulangkan saja kerumah orangtuanya!"
Aku dan Sekar terlonjak bersamaan, tatapan kecewa dilayangkan Sekar untuk Ibu.
"Ibu ... kok ngomong gitu," suara Sekar menggantung diudara. Wajahnya begitu sedih, dengan bibir tersungging tipis.
"Huh.. menyusahkan saja!" Ibu menaruh kasar tempat menyiram tanaman lalu pergi begitu saja.
"Sabar ya Dek," aku memegang kedua pundak Sekar.
"Sabar terus!" teriak Sekar. "Harusnya sebagai suami, sudah kewajiban kamu untuk nafkahi aku. Ini kenapa sebaliknya, hah!" Air mata Sekar berjatuhan.
"Selama ini aku sabar disindir-sindir terus, tapi hari ini Ibu benar-benar kelewatan."
"Ssttt ... jangan teriak-teriak," bujukku.
"Kenapa, kamu malu? Ibumu yang meyakinkan aku untuk menjadi istri kedua. Sekarang dia malah memusuhiku, lucu sekali! Menyesal aku sudah mau menuruti kata-katanya," nafas Sekar tak beraturan, dadanya naik-turun dengan cepat.
"A
"Ya gue sudah berusaha bertahan dan menyadarkan Astrid. Tapi mau gimana lagi, namanya orang lagi jatuh cinta. Bukannya mendengar malah mencak-mencak dan tidak terima," ucapku melanjutkan bualan."Ya ampun ... parah juga si Astrid." Setyo berdecak, tak habis fikir."Iya ... gue juga masih shock Yo. Harga diri gue berasa diinjek-injek, mentang-mentang dia yang banyak uang," sahutku lesu, tak bersemangat."Silahkan ..." Laras menaruh dua gelas kopi diatas meja lengkap dengan kudapannya."Mari ..." pamitnya lalu kembali masuk ke dalam."Orangtua Astrid gimana? Diam aja anaknya selingkuh?" tanya Setyo.Aku mendesah panjang, sambil memasang wajah melas. Agar lebih alami akting ini dan tidak dibuat-buat. "Mereka mana percaya sama gue Yo. Astrid mengadu ke orangtuanya malah nuduh gue yang selingkuh sama pegawai toko." Sahutku sambil menarik rambut."Padahal pegawai toko laki-laki semua, ada pun perempuan di kasir gendut jelek lagi. Masa iya s
"Oh bukan ... itu Ibunya Anwar, mantan istri saya," jelasnya dengan senyum tipis.Aku kembali menengok kearah anak Pak Anton, perempuan itu benar-benar masih menatapku dengan tatapan sinis tak suka.Loh ... apa yang dirasa, kenal juga tidak. Kenapa melihat aku seakan musuh?"Oh begitu," sahutku."Saya tidak menyangka bisa bertemu Ibu disini," selorohnya begitu semangat. Aku hanya meringis menanggapinya."Mm ... Ibu Astrid boleh saya minta nomer ....""Saya permisi ya Pak, anak saya memanggil," selaku sambil melempar senyum tipis lalu beranjak dari hadapannya. Melihat tatapan sinis mantan istri Pak Anton, membuat aku risih. Malas sekali, maksudnya apa coba?"Eh ... iya Bu." samar aku mendengar ucapan Pak Anton."Sayang sudah yuk mainnya. Dingin," aku melambai pada Naura."Sebentar lagi Mah, lagi seru!" Teriak Naura dengan wajah memohon."Oke 30 menit lagi ya?""Iya, Mah." Naura mengacungkan jempol.Ak
"Saya harap saudara Astrid tidak terlalu sekarah untuk menguasai apa yang sudah kami dapatkan selama kita menikah. Biarlah, jika dia tak ingin mobil dibagi dua. Tapi saya harap dia mau membagi rumah, yang sudah jelas-jelas dihadiahi untuk pernikahan kita." Sambung Mas Ronald, dengan tatapan mengiba didepan Hakim beserta wakilnya.Aku hanya mendecih, sementara Mamah yang ada dibelakangku terdengar mengumpat mendengar ucapan Mas Ronald."Maaf, Pak Ronald ..." sela Edwin. "Mungkin Pak Ronald belum mengerti apa yang dimaksud dengan harta gono gini," sambung Edwin."Bukan begitu, Pak?" Edwin menatap pengacara Mas Ronald. "Bisa Bapak jelaskan pada client Bapak. Apa itu harta gono gini?" Lagi Edwin berbicara.Pengacara Mas Ronald menghela nafas, wajahnya murung tak bersemangat."Ya ... harta gono gini adalah harta suami dan istri. Bukan hanya harta istri, karna seperti yang kita ketahui. Suami wajib menafkahi istri, namun jika istri mempunya harta dengan
Lagi asyik menikmati manis pahitnya sebatang tembakau dengan ujung yang membara, mataku menyipit saat melihat mobil Polisi berhenti didepan pagar rumah.Aku bangkit dari duduk, kulihat laki-laki berseragam itu melambai kearahku, meminta agar aku membuka pintu pagar.Dengan perasaan bercampur aduk, aku melangkah membuka pintu pagar."Cari siapa ya, Pak?" tanyaku sedikit cemas, semoga saja Polisi datang kemari hanya sekedar bertanya alamat."Benar ini rumah Zeky Setiawan?" tanya laki-laki berbadan tegap dengan bekas luka diwajahnya."Be-nar Pak," jawabku sambil menahan nafas."Kami dari pihak kepolisian mendapat laporan untuk menahan saudara, Zeky atas tuduhan pencurian sebuah laptop dan henpon," ucapnya tegas. Jantungku seakan keluar dari tempatnya, saliva terasa menggumpal ditenggorokan. Mataku langsung melirik kekiri dan kekanan, Ibu-Ibu rempong mulai berdatangan. Mulutnya komat-kamit menerka-nerka kedatangan Polisi kerumahku."Silah
Ibu menjerit histeris saat melihat kondisi Zeky yang babak belur. Mataku ikut terbelalak melihat wajah, Zeky yang membengkak dengan mata yang membiru tertutup sebelah."Bu ..." lirih Zeky dengan tatapan memilukan."Ya Tuhan! Anakku," teriak Ibu sambil berhambur memeluk Zeky. "Kenapa jadi begini, siapa yang tega melakukan ini padamu," ratap Ibu, tangannya bergetar menyentuh wajah anak kesayangannya itu."Keluarkan Zeky dari sini Buk, aku takut Bu," Zeky menangis pilu, wajahnya memohon sangat menyedihkan.Aku dan Rhiki saling berpandangan, gurat kecemasan terpancar diraut masing-masing. Dari rumah, sebenarnya aku ingin menghajarnya karna sudah mempermalukan keluarga. Tapi begitu melihat keadaannya, aku jadi tidak tega."Kamu kenapa sampai mencuri, Zek ... kalau butuh uang bisa minta sama Ibu. Huhu," Ibu dan anak itu saling meraung, mengadu air mata."Zeky khilaf Bu ... uang hasil jualannya pun sudah Zeky pulangkan. Tapi Vanessa tidak mau, mala
"Ya sudah ... Makasih Ness atas waktunya," jawab Rikhi kemudian.Vanessa tersenyum canggung, lalu menganggukkan kepalanya.Kami akhirnya pamit, berlama-lama pun tak berguna. Sebab keduanya bersikukuh ingin meminta ganti rugi."Bagaimana ini Mas?" tanya Rikhi dengan wajah cemas, tubuhnya bersandar dijok mobil dengan tangan memijit pelipis. "Kasihan juga kalau Zeky terlalu lama dipenjara. Baru sehari saja sudah babak belur," lanjutnya lagi."Iya mau bagaimana lagi Khi, Mas juga bingung. Mas uang dari mana?" jawabku pasrah.Huh ....Mobil melaju dengan kecepatan sedang, lalu berhenti di pom bensin."Khi ada uang 150 ribu ga, buat isi bensin." tanyaku."Adanya 100 Mas, mau?""Iya sudah sini," Rikhi merogoh saku celana belakangnya lalu mengeluarkan dompet."Ini Mas ..." ucapnya seraya menyodorkan uang kertas berwarna biru dua lembar. Lumayanlah, dari pada tidak sama sekali."Itu ... kalau benar si Zeky jual lapt
Masa iya, aku harus meminjam uang pada Astrid. Bukannya dikasih, dia pasti menertawakan hidupku.Benar-benar sial!!Sekar keluar dari kamar, sambil menyeret koper ditangannya. Aku hanya melirik, lalu mengabaikannya. Tidak melihat situasi, suami pulang capek, malah sok cari perhatian."Antar aku pulang," ucapnya ketus saat ada didekatku."Kalau mau minggat besok saja, sekarang sudah malam," sahutku datar."Aku maunya sekarang!" sinis Sekar, sambil memegangi perut buncitnya."Kalau mau sekarang pulang sendiri. Aku capek!" ketusku.Sudah lapar, lelah. Istri tak tahu diri nyari masalah. Bikin kesal. Sungguh! Tidak tahu orang lagi capek, taunya nuntut terus.Suara geluduk bergemuruh, disusul suara kilat yang bersahut-sahutan. Sejak siang cuaca memang tidak menentu, kadang panas kadang mendung. Aku rasa malam ini adalah puncaknya."Mau hujan, kamu tega biarin aku pulang sen
"Mas Setyo payah dalam urusan ranjang, terlalu cepat ejakulasi," sambungnya sambil menatapku dengan senyum penuh arti.Aku cukup terkejut mendengar ucapannya, untuk apa Laras bicara demikian padaku. Bukankah, sebagai istri harusnya dia menutupi aib suaminya?"Mas Ronald kapan resmi bercerai?" Laras menatapku intens sampai aku kikuk dibuatnya."Eh ... mm, sekitar dua minggu lagi," jawabku.Laras semakin melebarkan bibirnya, entah mengapa aku merasa Laras terus memperhatikanku. Tatapannya berbeda, sulit aku artikan."Makasih, Mbak. Ayam bakarnya enak sekali," ucapku sambil menyeka sudut bibir dengan tisu. Laras tersenyum malu, dia menggigit bibirnya sendiri."Oh iya ... Ini ada uang buat beli bensin," Laras membuka satu kancing dasternya, dompet kecil keluar dari dalam."Tidak usah Mbak," tolakku."Tidak apa, rezeki jangan ditolak." ucapnya sambil memajukan badan, seolah ingin menunjukkan isi didalam daster yang sudah dibuka kanc
Pov Author."Gimana, beres?" tanya laki-laki berbadan tegap dengan gawai ditelinga."Beres, Boss. Aman. Semua sesuai dengan rencana." jawab suara serak diujung sana.Laki-laki dengan janggut tipis itu tersenyum puas, lalu memutuskan sambungan telepon."Cih! Sampah! Ditolong, malah menikamku!" desis laki-laki tampan itu."Boss Setyo, ada paket." terdengar suara teriakan dari balik pintu. Laki-laki itu menaruh gawai diatas meja kerja, lalu bangkit dari kursi kebesarannya."Ini, Boss." Yadi, karyawan baru pengganti Ronald menyodorkan amplop tebal berwarna coklat."Ya." jawab Setyo, sambil mengangkat kepala. Yadi mengangguk, lalu kembali melanjutkan pekerjaan."Ckckck, rapih juga cara kerjanya." gumam Setyo sambil merobek ujung amplop, lalu menarik isi didalamnya.Senyum miring tercipta saat Setyo melihat isi amplop, sedetik kemudian bibirnya tersenyum dengan lebar."Ini belum apa-apa," gumamnya pelan. "Setelah ini ak
Pov Sekar."Ha-lo Mbak," suara Rikhi terdengar saat aku menggeser tombol hijau dan menaruhnya ditelinga."Iya, Khi. Gimana Mas Ronald, sudah aka kabar?" cecarku cemas. Hampir satu minggu, Mas Ronald tidak bersua kabar. Istri mana yang tidak khawatir saat tak mendangar kabar beritanya."Mbak," suara Rikhi kembali terdengar tapi kali ini terdengar bergetar disertai isakan."Ada apa, Khi?" aku semakin penasaran."Mas Ronald ..." hawa dingin langsung menyelusup tengkuk leher, mendengar suara Rikhi yang menyebut nama suamiku dengan tersendat-sendat membuat fikiran buruk langsung menjalar difikiran."Mas Ronald kenapa, Khi. Kamu yang benar dong kalau bicara, jangan begini!" aku mulai panik, kehilangan sabar."Mas Ronald sudah tiada, Mbak. Huhu."Tubuh langsung bergetar hebat, kepala berdenyut tak sanggup mencerna kalimatnya."Mbak ..." suara Rikhi kembali terdengar. Aku hanya diam dengan dada yang bergemuruh hebat.Mas
Aku memekik tertahan, tubuhku meremang seirama dengan rasa nyeuri yang luar biasa disekujur badan. Laki-laki itu menatap datar, gerakannya semakin kuat menancapkan belati diperutku.***Ofd.Pov Astrid"Saya terima nikah dan kawinnya Astrid Anandia binti Bapak Santoso Permana, dengan mas kawin satu set emas seberat lima puluh gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!"Dengan satu tarikan nafas, Edwin mengucap janji suci. Hatiku bergetar seiring dengan serempaknya kata 'saaahhh' yang menggema disetiap sudut masjid."Alhamdulillah ..."
Laras langsung menarik selimut, tubuhnya bergetar hebat memandang sosok yang ada dihadapannya.Sementara aku, nafasku tercekat tubuhku membeku tidak dapat bergerak saat sorot itu menatap tajam kearahku."Gua kira kita temen," desis Setyo mengagetkanku.Lidah begitu kelu, aku kehilangan kata-kata. Tubuh bergetar hebat, saat melihat dua laki-laki berbadan tegap masuk kedalam kamar."Yo ... gue bisa jelasin ini semua." tuturku dengan jantung yang berdebar kencang."Jelasin?" Setyo menatap remeh, lalu terkekeh setelahnya. "Gimana tubuh istri gue, nikmat?" Setyo melangkah maju mendekatiku.Aku terdiam, menoleh kearah Laras."Gue bantu kesusahan lo. Tapi ini balasannya?" api kemarahan berkobar-kobar dimatanya."Yo," aku berusaha menahan tubuhnya yang semakin mendekati."Setan lo!!"Bugh ... bugh.Pukulan bertubi-tubi menghantam wajahku, aku tak ing
Ada uang disayang, tak ada uang dicemberutin.Nasib ....***Ofd"Mas berangkat dulu," aku mengulurkan tangan, membiarkan Sekar mencium punggung tanganku."Hati-hati," ucapnya sambil melempar senyum. Aku menganggukkan kepala, lalu mengusap lembut wajah Mutia dengan lembut."Ayah kerja dulu ya," bisikku ditelinga bayi berusia satu bulan itu.Aku langsung keluar rumah, melajukan kendaraan roda dua menuju tempat kerja.Butuh waktu empat puluh menit untuk sampai dirumah Setyo, aku lihat Boss Setyo sudah duduk dikursi teras rumah sambil menyeruput kopi hitamnya."Ngopi, Boss?" tanyaku setelah memarkirkan motor dihalaman luas milik Laras. Ya setahuku begitu, rumah dan usaha yang digeluti Setyo adalah warisan dari mertuanya yang berarti punya Laras."Hmm ..." Setyo hanya bergumam, sambil mengangkat cangkir kopi dan kembali menyeruputnya."Ngirim barang kemana har
"Cucu Ibu perempuan, dia cantik seperti Mamahnya," suster menyahut.Ibu terperangah, wajah penuh harapnya berubah keruh."Silahkan, Bapak." suster berjalan mendahuluiku, memberi jalan agar aku mengekorinya.Kulihat Ibu tertunduk lesu, tak ada gairah sama sekali.Bayi mungil didalam box bayi bergeliat, wajahnya benar-benar menyerupai Sekar. Hatiku terenyuh saat tangan ini bersentuhan dengan wajah merahnya.Kulantunkan takbir, bibirku bergetar saat melihat bayi itu membuka matanya. Entah mengapa aku jadi mengingat dosa, dosa kepada Astrid dan Sekar karna sudah mengkhianati kedua.Selesai mengadzankan bayi mungil itu, aku memutuskan untuk keluar dari ruangan. Rasa sesak menghimpit hati, merobek-robek relung jiwaku. Aku tidak tahu apa yang membuat hatiku serapuh ini, yang aku tahu aku sudah terlalu banyak berbuat dosa."Ibu mau kemana?" tanyaku saat melihat Ibu dan Zeky berjalan meninggalkan kursi
"Ya Alloh ... nafasnya melambat," ucapnya panik, lalu kembali menepuk-nepuk wajah Sekar."Dek, bangun Dek!" aku yang takut hal buruk terjadi pada Sekar langsung mendekat. Merangkup wajah pucatnya yang terasa semakin dingin."Bagaimana ini, Bu?" tanyaku panik, melihat Sekar yang tetap bergeming."Bu sadar, Bu." Ibu Bidan terus mengguncang tubuh Sekar."Segera bawa kerumah sakit, Ibu Sekar sepertinya sudah sangat lemah." jawab Bu bidan."Siapkan mobil, bantu saya menduduki tubuh Ibu Sekar diatas kursi roda," titahnya langsung aku turuti.Dengan perasaan kacau, segera memindahkan tubuh Sekar. Aku benar-benar takut dengan keadaannya."Loh kok dibawa keluar, ada apa?" Ibu terlihat bingung."Sekar tidak sadarkan diri, Bu. Harus dibawa kerumah sakit untuk segera dilakukan tindakan," jawab Bu bidan.Dibantu Zeky, aku memasuki tubuh Sekar kedalam mobil. Wajah kami semua benar-
Pov Ronald.Kepala berdenyut ngilu, jantung berdetak lebih kencang saat Sekar mengetahui tentang Laras. Sekar mulai curiga, dia terus saja membondong seribu pertanyaan untuk menyerangku.Saat ini yang aku lakukan hanya mengelak dan menghindar. Aku takut Sekar semakin curiga, dan masalah semakin melebar kemana-mana."Kasih tahu si Sekar, punya sikap itu dijaga. Masa kepala aku dilempar pakai piring," cebik Zeky saat aku baru saja tiba dirumah. Aku hanya menarik nafas, tak menggubrik ocehannya. Memilih sibuk memainkan gawai."Apes hidupmu, Mas. Lepas dari berlian dapet kepingan sampah." Lagi, Zeki terus saja mengumpat."Ga tahu diri. Sudah numpang dirumah mertua, tapi ga ada bebantunya sama sekali. Dikira dia itu Tuan Putri." Zeky terus berkoar."Ambilin, Mas minum sanah. Haus nih, ditambah denger kamu ngomel-ngomel. Bikin kepala tambah panas," ucapku kemudian, sambil menatap dingin sorot matanya. Zeky mendengkus, sambil menghent
"Lampu kamarnya dinyalakan dong, Mas Ronald. Aku jadi tidak bisa melihat wajah tampanmu." desahnya sambil menggigit bibir bagian bawah. Kepala langsung panas, aku menoleh nanar pada sosok yang tertidur lelap disampingku. Air mata luruh begitu saja, nafasku sesak menahan dentuman yang bergejolak didalam dada. Sakit sekali, Tuhan. Tega kamu, Mas! Apa kurangku selama ini, aku selalu sabar menghadapi Ibu dan Adik-Adikmu. Aku selalu pengertian disaat kau tidak memiliki uang, disaat Astrid membuangmu begitu saja aku selalu ada dan selalu setia mendoakan kese