Keadaan Xaviery semakin membaik, ia telah diperbolehkan duduk. Namun, belum diizinkan kembali ke pemukiman.
"Bagaimana kondisimu?" tanya Calista, sahabat perempuannya. Setiap hari, ia selalu datang membawakan makanan untuk Xaviery."Lebih baik," jawab Xaviery singkat."Syukurlah kau tidak mati di ujung pedang Jenderal Dominic," ujar Calista sambil bersidekap dekat ranjang pasien, melempar tatapan kasihan.Xaviery tergelak pelan, tawa berlebihan bisa menyakiti luka Xaviery yang masih basah ."Aku telah memperingatkanmu untuk tidak gegabah, kau pikir siapa suami Janna saat ini? Dia panglima perang kesultanan Yagondaza, Xaviery. Dia bukan orang sembarangan!" Calista tidak lagi menahan-nahan ucapan yang selama ini dipendam dalam hati.Paras kemerahan Calista menunjukkan kalau perempuan itu marah pada sahabatnya, si pria keras kepala. Di awal Xaviery menggagas keinginan menjemput paksa Janna, Calista sangat keberatan.SayanTepat matahari terbenam, rombongan Dominic tiba di penginapan."Bangun, kita telah sampai," ucap Dominic tepat di telinga Janna. Posisi kepala Janna ditopang bahu Dominic agar tidak terjatuh selama perjalanan.Janna masih duduk terlelap tidak mendengar apapun. Hembusan angin menentramkan dirinya, Janna nyaman saat ini.Berbeda dengan Dominic yang merasa bahu kirinya mulai kram lantaran menahan tubuh Janna."Janna, bangun." Suara Dominic lebih meninggi, ia menarik tangan Janna agar tidur perempuan itu terganggu. Saat ini, tinggal mereka berdua di istal kuda.Kepala Janna lunglai kembali ke bahu Dominic, seakan-akan menemukan tempat nyaman. Kesempatan itu digunakan Dominic untuk menjahit Janna.Dominic memencet hidung Janna bersamaan bibirnya mengatup, beberapa waktu Janna benar-benar terganggu akibat sulit menghirup udara dengan normal.Janna langsung meronta lalu menjauhkan tangan yang menutup jalan nafasnya. Janna terce
Semalaman tidur Janna tidak tenang setelah peristiwa rencana pembunuhan dirinya. Meskipun gagal, rasa takut masih menghinggap di hati.Dominic dan Janna harus pindah ruang tidur, lantaran kamar mereka dibatasi garis kuning sebagai tempat kejadian perkara.Dominic dan Janna sarapan seperti biasa, bedanya proses memasak di dapur penginapan dijaga ketat oleh prajurit. Mereka tidak ingin kejadian serupa terulang."Hari ini kau tidak kemana-mana, aku akan melakukan pertemuan dengan perwira militer Seaco di markas wilayah pertahanan," ucap Dominic sebelum dirinya meninggalkan penginapan.Janna dirundung kekhawatiran bila ditinggal. Seharusnya Dominic tidak bekerja, hanya saja kejadian semalam mendapat atensi lebih karena menyangkut keselamatan dirinya dan Janna. "Aku ingin ikut, Jenderal!" seru Janna begitu melintas ide itu.Dominic menoleh pada Janna, memastikan kalau dirinya tidak salah mendengar."Daripada aku di sini, seb
Sepanjang perjalanan kembali ke penginapan, Janna membuang muka ke jendela tempatnya duduk. Separuh perjalanan, Dominic sempat mengamati kalau Janna mendiamkannya. Dominic tidak peduli, ia lebih tenang bila Janna diam.Saat Janna akan turun, lagi-lagi Dominic tidak membantunya, melainkan Letnan Adrian. "Terima kasih, Letnan," ucap Janna. Sempat mendapat lirikan dari Dominic, Janna bersikap tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Janna ingin membuat Dominic kesal, toh mereka tidak seperti suami istri kebanyakan. Perjanjian dalam pernikahan mereka merugikan Janna.Sewaktu Janna menanyakan apakah ada perjanjian untuk Dominic, pria itu menggeleng. Benar-benar tidak ada keadilan, pikir Janna.Seharian Janna tidak bicara dengan Dominic, termasuk usai makan bersama. Ini malam terakhir Janna dan Dominic di penginapan, esok pagi saat matahari terbit mereka akan kembali pulang."Kita meminjam kereta kuda untukmu besok. Jangan sampai bangun terlambat."Janna berdehem lalu mengangguk, ia men
"Selamat datang kembali, Dominic," sambut ibunda Dominic, Sandama Freud. Mereka berpelukan erat seperti lama tidak berjumpa."Ibu tampak sehat. Aku senang," balas Dominic mengurai pelukan sang ibunda.Janna juga dipeluk oleh Sandama, sampai-sampai terlonjak dengan sambutan hangat ibu mertuanya. Janna mengulas senyum saat menatap manik Sandama. Ada ketenangan dan kedamaian terpancar yang ditangkap oleh Janna."Kami senang melihatmu kembali. Mendengar perjalanan kalian terganggu ingin rasanya aku menyusul ke sana," ucap permaisuri Neha lalu ia memeluk Dominic."Tidak masalah, Permaisuri. Semua bisa diatasi dengan baik.""Aku percaya padamu, Jenderal Dominic, kelihaianmu di medan perang tak diragukan. Apalah artinya, pemberontak kecil," sahut Neha tertawa.Di dalam ruangan khusus itu sedikit orang, tidak ada pelayan dan prajurit. Janna terkesiap melihat reaksi permaisuri Neha yang terlihat akrab dengan Dominic, berbeda saat di pesta pernikahan mereka tempo lalu."Janna, mungkin kau terkej
Dari arah belakang, Neha mengintip kalau yang memergoki mereka adalah Janna. Mau apa lagi setelah tertangkap basah, Neha berjalan menuju Janna dan Dominic berdiri.Janna muak melihat permaisuri Neha yang berjalan seolah-olah tanpa rasa bersalah. Pakaiannya kembali rapi seperti semula Janna lihat di ruang makan."Aku tidak menyangka, kau mengetahui secepat ini hubungan di antara kami," ujar Neha tenang. Janna tidak sudi menatap keduanya, ia membuang pandang ke arah bunga-bunga yang indah. Itu lebih baik."Dominic dan aku sepasang kekasih sebelum menikah dengan Sultan Bayezidan."Janna terkesiap mendengar fakta kalau persepupuan keduanya berubah menjadi hubungan asmara. "Kami saling mencintai dan membutuhkan. Peraturan Yagondaza memaksa kami berpisah, tapi cinta kami abadi."Apapun alasannya, bagi Janna mereka membutakan diri sebab permaisuri telah terikat pernikahan resmi. Kalau dilihat dari anak-anak Neha, Janna menyimpulkan pernikahan permaisuri dengan sultan telah berusia lima tahun.
Permaisuri Neha memutuskan ke istana Hillor lebih cepat. Seharusnya siang nanti ia kembali, berhubung perasaannya tersinggung, maka ia memilih pulang secepatnya."Permaisuri sudah lebih baik?" tanya Sandama sambil mengusap punggung Neha."Ya, Ibu," jawab Neha singkat."Apa yang menyebabkanmu tadi tiba-tiba tersedak?" tanya Kandra bingung.Neha memandang ibu kandungnya dengan sorot kesal. "Ibu tidak perlu banyak mengobrol dengan Janna perkara stratum Royusha, suasana makan menjadi tidak nyaman," elaknya. Tidak seorang pun tahu tentang alasan sebenarnya Neha tersedak air minum. Peristiwa malam itu menjadi rahasia besar mereka bertiga. Jadwal kelas tata krama Janna bergeser sehubungan rencana kepulangan permaisuri Neha dan anak-anaknya ke Hillor, areal istana kesultanan. Ia turut mengantarkan kepergian permaisuri Neha di depan kediaman Dominic. Neha memeluk semua keluarga, termasuk Janna. Dia tidak mau mengundang tanya orang-orang."Aku akan membuat perhitungan denganmu," bisik Neha s
Malam hari usai makan malam bersama di kediaman Freud, Dominic dan Janna menemui Sandama secara khusus. Dominic memutuskan untuk keluar dari rumah besar keluarga Freud."Mengapa semendadak ini keputusan kalian, Dominic? Baru saja kalian di sini semalam." Sandama menatap bergantian anak dan menantunya.Janna bisa merasakan kesedihan Sandama berpisah dari Dominic yang selama ini serumah bersama hingga usia Dominic tiga puluh lima tahun.Dominic sebenarnya telah memiliki kediaman sendiri, rumah itu terawat baik, meski tidak berpenghuni. Rumah besar Freud ditinggali agar lebih dekat dengan ibundanya."Ibu, kediaman kami tidak jauh, masih di Pamdos. Ibu jangan bersedih," hibur Dominic. "Bagaimana tidak sedih, kalian akan pisah rumah dari Ibu." Sandama merajuk."Setiap anak laki-laki pasti meninggalkan orang tuanya, Bu, membangun keluarga sendiri. Ini hal wajar," ucap Dominic bijaksana. Kalau saja Janna tidak pernah memergoki Dominic
Letnan Adrian menyampaikan sepucuk undangan pada Jenderal Dominic dalam ruang kerja di markas besar pertahanan Yagondaza."Undangan hari ulang tahun pernikahan Sultan Bayezidan dan Permaisuri Neha yang kelima," ucap Dominic. Ia membaca jadwal undangan akan diselenggarakan akhir pekan di istana sultan. Sultan mengundang dirinya dan Janna.Dominic meremukkan kertas undangan itu lalu melemparnya ke tumpukan sampah dekat kursinya.Selama empat tahun belakangan, ulang tahun pernikahan orang nomor satu di kesultanan Yagondaza dihadiri Dominic seorang diri. Ia selalu menyempatkan hadir di pesta tahunan itu.Kini, ia harus membawa Janna, perempuan yang tidak pernah akur dengannya.Tadi pagi saat mereka pindah ke rumah putih, Janna nyaris mendiamkan Dominic. Baik itu selama perjalanan di kereta kuda maupun telah berada di rumah putih."Tuan Swayata Tan izin menghadap, Jenderal," seru seorang prajurit dari luar.Swayata datang dengan semangat dan penuh senyuman.Untuk apa lagi dia datang kemari
Dengan anggun, Janna berjalan di acara undangan Sultan Bayezidan. Ia tidak ragu menaruh jemarinya di lengan Dominic. Senyum tak lekang dari paras cantiknya. Busana pilihan Dominic melekat indah pada tubuh ibu berbadan dua yang tak lama lagi akan berjumpa dengan si buah hati."Tanganmu dingin," ucap Dominic menyentuh jemari sang istri. Janna berusaha melepas, akan tetapi Dominic mengenggam dengan erat.Senyum Dominic menandakan kalau pria itu tengah menggoda istrinya, Janna tidak mau jatuh dalam pesona suami yang kerap bersikap sesukanya."Sepertinya ada yang tidak rela," bisik Janna melirik sekilas perempuan yang berdiri di samping sultan.Sultan Bayezidan dan permaisuri menerima ucapan selamat dari para tamu undangan. Namun, sesekali sorotan tajam diarahkan pada Janna dan Dominic. Mereka pun berhadapan lalu memberi hormat pada sultan dan permaisuri. Hanya saja, permaisuri sengaja memalingkan wajah saat Janna tersenyum padanya."Keberhasilan militer Kesultanan Yagondaza pada misi ra
Sandama menatap iba pada menantu satu-satunya yang tengah sibuk mengusapi perut besarnya. Ia seorang ibu, sekalipun Janna terlihat baik-baik saja, Sandama tahu Janna menyembunyikan perasaan terdalamnya."Apakah kau cemburu pada Yanata?"Janna tersentak hingga menghentikan elusan pada perutnya. Sedetik kemudian, Janna tersenyum pada Sandama."Ibu, telah ku katakan masih sulit ada perasaan seperti itu di antara kami."Sandama memicing, memikirkan sesuatu yang lain."Alasanmu meninggalkan Dominic setelah melahirkan tidak kuat bagi ibu dengan alasan keselamatan Dominic. Dia kepala militer, bukan orang biasa."Janna menurunkan pandangan, tatapan menyelidik Sandama membuatnya gentar. Namun, ia enggan mengatakan sesuatu. "Janna, perpisahan tidak dibenarkan di kesultanan, kecuali pihak yang meninggalkan bersedia tidak terlibat lagi dalam kehidupan pihak yang ditinggalkan di masa depan. Ibu harap kau tahu konsekuensinya."Janna tertawa kecil mengingat sikap Dominic terhadapnya dari awal perni
Sembari menyentuh perut yang semakin membesar, Janna duduk di tepi ranjang tidurnya. Ia mengelusi calon bayi yang masih meringkuk di dalam.Air mata tak kunjung berhenti menandakan kesedihan Janna yang tak bisa diungkapkan pada siapa pun.Merasa sendiri dan kesepian menjalani hidup, Janna ingin memutuskan pilihan terbaik buat dirinya di masa depan.Merapikan penampilan, Janna pergi ke markas besar tempat suaminya bekerja, ia ingin mencari tahu informasi tentang kakaknya.Tiba di sana, Janna mencari seseorang yang sempat dilihatnya dalam tugas membebaskan Yanata saat itu. Dia adalah bawahan Dominic."Bisa kau memberitahuku tentang Allan Braun?"Janna masuk ke ruangan perwira tinggi itu."Nyonya?" Pria itu berdiri menyambut kedatangan istri dari alasannya."Silakan duduk," tawarnya."Tidak perlu. Aku hanya sebentar." Janna bersikeras berdiri."Bisa kau beritahukan aku kabar Allan Braun?" Janna butuh informasi yang akurat.Perwira tinggi itu hanya diam menimbang jawaban yang harus disamp
Pembebasan Yanata berhasil dilakukan tim prajurit khusus kesultanan. Dominic tidak sampai turun tangan, ia hanya mengirimkan seorang negosiator di antara para prajurit. Yanata langsung di bawa ke pusat fasilitas kesehatan untuk mendapat perawatan. Dominic tiba beberapa waktu kemudian bersama Swayata Tan. Paras sendu seorang ayah menyiratkan kemarahan sekaligus kesedihan. Dominic menepuk pundak Swayata yang menatap putri kesayangan yang sedang tertidur lelap."Bersyukurlah, ia baik-baik saja.""Mengapa kau tidak menyerang pemukiman Royusha? Malah mengirim negosiator?" tanya Swayata tanpa memandang Dominic.Dominic terganggu dengan pertanyaan itu. Ia berdehem untuk menormalkan situasi pikirannya. "Itu bukan urusanmu, Pak Tua. Yang penting, Yanata diselamatkan oleh prajuritku."Selang beberapa waktu, Swayata pamit undur diri. Semakin lama di sana, kesedihan membuatnya ingin murka.Tinggallah Dominic bersama Yanata, ditatapnya dengan lekat wajah teman masa kecilnya itu. Terdapat gores
Janna gelisah usai mencuri dengar rencana militer Kesultanan Yagondaza akan menyerbu pemberontak Royusha yang menyembunyikan keberadaan Yanata. "Apa yang akan terjadi pada Allan?"Pagi hari itu dilalui Janna dalam kecemasan di dalam kamar, ia sibuk berlalu lalang memikirkan rencana Dominic. Pria itu tidak dapat dihentikan.Namun, Janna masih ingin berjuang untuk kakaknya sekalipun ia telah melakukan kesalahan besar sebelumnya."Kana, Mala, katakan pada prajurit, kita ke markas besar." Janna menemui pelayan di depan kamar.Keduanya memberi hormat lalu melakukan sesuai perintah.Dalam perjalanan, Janna melihat sekumpulan prajurit berjalan menuju keluar dari areal markas. Ia mengamati apakah suaminya ada di sana, ternyata tidak."Percepat kereta!" perintah Janna.Janna gegas turun dari kereta dibantu Kana dan Mala. Sambil mengangkat gaun kebangsawanan stratum Armyasa, Janna masuk menuju ruangan Dominic.Ia meminta Kana dan Mala tidak perlu mengikuti sampai ke dalam.Tiba di pintu dengan
Tubuh Janna bergetar hebat, sorot mata merah memandang tajam penuh amarah padanya."Ma... ma... af, Jenderal," lirih Janna mengatupkan tangan sembari menggeleng-geleng dengan deraiuair mata."Kau mencoba mengkhianatiku?" Dagu Janna diraih lali dicengkram Dominic.Janna merasakan aura kemarahan Dominic menghukum dirinya saat ini."Permintaanmu aku penuhi bukan agar kau bisa mengelabuiku dan prajurit Pamdos, Janna."Dominic menghempas wajah Janna hingga terlepas dari cekalannya."Katakan sesuatu!" Dominic berteriak tepat di hadapan Janna yang semakin ketakutan."A... aku mohon maaf, Jenderal."Geram rasanya Dominic mendengar permintaan maaf Janna yang diutarakan berkali-kali."Bukan itu yang ingin ku dengar!" hardiknya keras dengan tangan mengepal."Katakan alasanmu menebar gas penidur lalu mengendap-ngendap masuk ke gudang persenjataan."Rasa bersalah menembus hati Janna, ia teringat beberapa permintaan telah dipenuhi Dominic, padahal pria itu biasanya menolak desakan Janna."A... aku
Dominic memperbolehkan Janna pisah kamar dengannya. Pria itu melunak dalam menghadapi istrinya. Nasihat Swayata diikuti Dominic agar hidupnya pun bisa tenang tanpa perlawanan dari Janna."Apakah Nyonya sudah tidur?" tanya Dominic sewaktu berpapasan dengan Mala.Pelayan Janna itu menunduk lalu menjawab sesuai pesan nyonyanya.Dominic berjalan menuju pustaka sekaligus ruang kerjanya. Ia ingin menghabiskan malam mempelajari keadaan persembunyian Royusha yang diperoleh dari sumber yang dipercaya. Berat mata Dominic padahal belum lama ia duduk di ruang kerja. Sewaktu akan berdiri, Dominic terduduk lantaran kantuk yang menyerang.Mengendap-ngendap Janna berjalan menyusuri kediaman Dominic. Ia memakai penutup wajah lembab untuk menghindari terkena gas penyebab rasa kantuk mendera.Janna bisa melihat pelayan dan prajurit tertidur pulas. Sengaja Janna mendatangi kamar kerja Dominic dan ia melihat suami tertidur dalam keadaan duduk.Kesempatan itu digunakan Janna untuk pergi keluar dari kedia
Janna terbangun tanpa ada Dominic di sampingnya. Usai menyenderkan punggung, pandangan Janna menyapu ke sekeliling ruangan.Sama sekali tidak ada tanda-tanda Dominic ada di sana. Janna mendengkus lalu menarik napas panjang dan membuang perlahan.Apa yang Janna harapkan?Janna turun dari ranjang lalu menggeser pintu sehingga Kana dan Mala yang telah bersiap di balik menghadap pada Janna."Selamat pagi, Nyonya," sapa mereka sembari memberi hormat. "Bantu aku membasuh diri."Kana dan Mala melakukannya dengan senang hati. Bila Janna tidak mengeluarkan suara, Kana dan Mala pun tidak akan bersuara. Apalagi mereka tahu kalau Janna memilih pisah kamar dari suaminya. Bukannya tidak tahu, Jenderal kesayangan semalam baru dari kamar nyonya mereka, tetapi tidaklah sopan menanyakan hal pribadi pada tuan yang dilayani."Apakah Jenderal telah pergi ke markas?" Pertanyaan pertama Janna setelah sedari tadi membisu.Kana dan Mala saling berpandangan sembari tersenyum penuh arti."Sudah, Nyonya," jawa
Belum lagi matahari terbit, Janna bangun lalu duduk di tepi ranjang. Ia menoleh ke belakang, menatap gersang Dominic yang tertidur lelap seperti seorang bayi dalam temaram cahaya.Pria yang sekehendak hati bila ingin menghabiskan malam bersamanya. Janna menyentuh perut yang mulai membesar, hentakan kecil bisa dirasakan. Anaknya memberi sinyal bahwa ia baik-baik saja dalam rahim Janna.Perlahan Janna turun dari ranjang agar tidak membangunkan Dominic. Ia memungut pakaian untuk menutupi tubuh yang kedinginan.Langkah kaki Janna menuju jendela, tirai disingkat sedikit hingga sinar rembulan menerpa masuk ke kamarnya. Jauh Janna memandang kedepan dalam kegelapan, yang terbingkai adalah paras Allan Braun, kakak kesayangannya. Terngiang-ngiang ucapan Dominic tentang penculikan Yanata Tan oleh Allan. 'Apa yang kau lakukan, Kak?' Janna hanya bisa mengucapkan itu dalam hati.Janna tahu Allan akan berurusan dengan negara bila mengusik stratum yang lebih tinggi. Dampaknya akan meluas pada pend